alt/text gambar

Kamis, 30 Juni 2016

Topik Pilihan:

MORAL DAN HUKUM, APA BEDANYA?


Oleh : Nani Efendi


Berikut ini saya akan menjelaskan perbedaan antara moral dan hukum. Penjelasan ini merujuk ke pendapat tiga ahli filsafat: Franz Magnis-Suseno, K. Bertens, dan Simon Petrus Lili Tjahjadi. Ketiganya saat ini adalah profesor yang telah banyak membuat karya tulis, khususnya tentang filsafat moral atau etika.  
Pertama kita lihat penjelasan dari Franz Magnis-Suseno. Kata 'moral', jelas Magnis, selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bukan mengenai baik buruknya begitu saja, misalnya sebagai dosen, tukang masak, pemain catur, atau pejabat, melainkan sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. 
Sedangkan norma hukum adalah norma-norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Norma hukum tidak sama dengan norma moral. Bisa terjadi demi tuntutan suara hati, demi kesadaran moral, orang harus melanggar hukum. Kalaupun orang itu kemudian dihukum, hal itu tidak berarti bahwa orang itu buruk. Hukum tidak dipakai untuk mengukur baik-buruknya seseorang sebagai manusia, melainkan untuk menjamin ketertiban umum. (Lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987, h. 19)

‌Selanjutnya, menurut ahli etika, K. Bertens, dalam bukunya, Etika, harus dibedakan antara "hak legal" dan "hak moral". Hak legal adalah hak yang didasarkan atas hukum (berdasarkan undang-undang, peraturan hukum, atau dokumen hukum tertentu lainnya). Contohnya: jika negara mengeluarkan peraturan bahwa para veteran perang memperoleh tunjangan setiap bulan, maka setiap veteran yang memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan, ia berhak untuk mendapatkan tunjangan tersebut. Sedangkan "hak moral" didasarkan atas prinsip etis. Sebagaimana hukum dan etika perlu dibedakan, demikian juga halnya dengan hak legal dan hak moral. 
Hak moral belum tentu merupakan hak legal juga. Walaupun banyak hak moral serentak juga adalah hak legal. Contoh hak moral yang bukan merupakan hak legal: janji yang diadakan secara pribadi oleh dua teman, tidak menampilkan hak legal, hanya sebatas hak moral saja. Suami atau istri berhak bahwa pasangannya akan setia, tapi ini suatu hak moral, bukan hak legal. Sebaliknya, hak legal belum tentu mengandung hak moral juga. Tak mustahil, ada hak legal untuk melakukan sesuatu yang tak bermoral. Di AS baru pada tahun 1954 Mahkamah Agung melarang diskriminasi rasial di sekolah-sekolah negeri. Sebelumnya, seorang kepala sekolah menolak untuk menerima anak-anak kulit hitam di sekolah anak-anak kulit putih, ia punya hak legal untuk itu. Walaupun, kita tahu, itu tindakan tidak etis, karena merupakan diskriminasi rasial.
Walaupun hak legal, lanjut K. Bertens, tidak dengan sendirinya merupakan hak moral, namun yang ideal adalah bahwa hak legal pada dasarnya merupakan suatu hak moral juga. Sama seperti hukum secara paling ideal merupakan endapan moralitas yang baik. Hak legal sepatutnya mempunyai moral force, sebagaimana dikatakan D. Lyons: daya etis yang memungkinkan mempertanggungjawabkan hak legal itu secara etis juga. Di sisi lain, hak moral sering kali (tapi tidak selalu) pantas diberi dasar hukum pula. Hak moral akan lebih efektif dan mempunyai kedudukan lebih kukuh dalam masyarakat, kata Bertens, jika didukung dan dilindungi oleh status hukum.
Apakah semua hak termasuk ke dalam hak moral dan hak legal? Adakah hak yang netral saja? Menurut Bertens, memang ada hak yang bersifat netral. Hak seperti itu, Bertens mengacu ke T.L. Beaucham disebut "hak yang bersifat konvensi". Contohnya: seseorang yang menjadi anggota suatu organisasi atau klub, dengan itu ia memperoleh beberapa hak. Contoh lain: seseorang mengadakan permainan dengan teman atau berolahraga, maka seseorang dan temannya itu mempunyai hak-hak tertentu. Permainan catur, misalnya, yang main dengan buah catur putih berhak membuka permainan. 
Pada umumnya, kata Bertens, hak-hak seperti itu muncul karena orang tunduk pada aturan atau konvensi yang disepakati bersama. Hak-hak konvensional ini berbeda dengan hak-hak moral karena ia hanya tergantung pada aturan atau konvensi yang menguasai permainan atau keanggotaan tadi. Hak konvensional ini juga berbeda dengan hak legal karena tidak tercantum dalam suatu sistem hukum (lihat K. Bertens, Etika, Yogyakarta: Kanisius, 2013, h. 141-142).

Sekarang kita lihat lagi penjelasan  S.P. Lili Tjahjadi tentang hukum dan moral. Dalam bukunya, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris, S.P. Lili Tjahjadi menjelaskan: "Dalam Metafisika Kesusilaan (1797) Kant membuat distingsi antara legalitas dan moralitas. Legalitas (Legalitat/Gesetzmassigkeit) dipahami Kant sebagai kesesuaian atau ketidaksesuaian semata-mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah belaka. Kesesuaian atau ketidaksesuaian ini pada dirinya sendiri belum bernilai moral, sebab dorongan batin sama sekali tidak diperhatikan." 
Jadi, lanjut Tjahjadi, moralitas yang dimaksud Kant adalah kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batin kita, yaitu apa yang kita pandang sebagai kewajiban kita. Moralitas akan tercapai apabila kita mentaati hukum lahiriah bukan lantaran itu membawa akibat yang akan menguntungkan kita atau lantaran takut pada kekuasaan pemberi hukum, melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu merupakan kewajiban kita. Sikap Kant dalam bidang moral dianggap rigorisme moral, atau sikap yang terlalu keras dan kaku. ("Rigor" dari bahasa Latin). Kant seolah-olah tidak mau menerima berbagai dorongan lain bagi tindakan seseorang seperti "belas kasihan", "iba hati", atau "kepentingan diri". 
Kant hanya mau menegaskan, jelas Tjahjadi, bahwa kesungguhan sikap moral kita baru tampak kalau kita bertindak demi kewajiban itu sendiri, meskipun itu tidak mengenakkan kita atau tidak memuaskan perasaan kita. Motif selain kewajiban, seperti iba hati, memang "patut dipuji", tetapi itu sama sekali tidak mempunyai nilai moral. Bagi Kant, kewajibanlah yang lantas menjadi tolok ukur atau batu uji apakah tindakan seseorang boleh disebut tindakan moral atau tidak. 
Perbedaan tajam antara legalitas dan moralitas masih menunjukkan sesuatu yang lain yang amat penting, yaitu sikap atau kaidah tindakan orang lain tidak dapat kita nilai dengan pasti. Sebab, apa yang bisa kita lihat hanyalah apa yang secara lahiriah kelihatan, yaitu perbuatan atau tindakan seseorang, seperti Si A mencuri obat. Atau si T bekerja sebagai pelacur. Tapi, dari perbuatan dan tindakan lahiriah itu, orang tidak bisa mengetahui dengan pasti tekad batin atau maksud yang sebenarnya. Tidak mungkin kita sanggup memberi penilaian moral yang mutlak terhadap orang lain. Dengan tegas Kant berkata, "Hanya Allah yang mampu melihat bahwa tekad batin kita adalah moral dan murni."
Immanuel Kant juga membedakan moralitas menjadi dua: "moralitas otonom" dan "moralitas heteronom". Moralitas otonom adalah kesadaran manusia akan kewajibannya yang ia taati sebagai sesuatu yang dikehendakinya sendiri karena diyakini sesuatu itu baik. Dalam moralitas otonom, orang mengikuti dan menerima hukum lahiriah bukan lantaran mau mencapai tujuan yang diinginkan atau karena takut terhadap penguasa pemberi hukum, melainkan karena itu dijadikan kewajiban sendiri berkat nilainya yang baik. Moralitas seperti ini, yang kadang disebut juga "otonomi kehendak" (autonomie des willens), menurut Kant, merupakan prinsip tertinggi moralitas. Sebab, ia jelas berkaitan dengan kebebasan, hal yang sangat hakiki dari tindakan manusia sebagai makhluk rasional.
Moralitas heteronom adalah: sikap di mana kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak si pelaku sendiri, misalnya karena mau mencapai tujuan yang diinginkan ataupun karena perasaan takut pada penguasa yang memberi kewajiban itu. Sikap macam ini, menurut Kant, menghancurkan nilai moral. "Tidak ada yang lebih mengerikan daripada tindakan seseorang yang harus takluk kepada kehendak pihak lain," kata Kant (lihat S.P. Lili Tjahjadi. Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris. Yogyakarta: Kanisius, 1991, h. 47-48).

Dari penjelasan ketiga ahli filsafat di atas, kiranya sudah bisa dipahami secara ringkas apa perbedaan moral dan hukum. Keduanya tidaklah sama. Bisa saja seseorang salah secara hukum, tetapi secara moral belum tentu. Oleh karena itu, Andre Ata Ujan dalam bukunya, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan, membedakan antara malum prohibitum dan malum in se. Malum prohibitum adalah "kejahatan yang dilarang oleh hukum". Sedangkan malum in se adalah "kejahatan karena tindakan tertentu dalam dirinya sendiri buruk atau jahat". Nah, malum in se ini, menurut saya, adalah yang jahat secara moral, walaupun kejahatan dimaksud tidak diatur dalam hukum. Untuk lebih memahami, saya anjurkan untuk membaca lebih lanjut buku-buku yang saya jadikan rujukan.
Yang jelas, prinsip dasarnya: Apa yang diperintahkan oleh hukum itu haruslah berupa kebaikan dan apa yang dilarang oleh hukum harus berupa kejahatan. Jadi, janganlah hukum itu memerintahkan kejahatan. Itu prinsip hubungan hukum dengan moral. Contoh hukum yang tidak didasari moral: hukum di zaman Nazi untuk melegalkan pemusnahan etnis Yahudi.

Nani EfendiAlumnus HMI


Rujukan: 

- Franz Magnis-Suseno. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1987

- K. Bertens. Etika. Yogyakarta: Kanisius, 2013

- S.P. Lili Tjahjadi. Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris. Yogyakarta: Kanisius, 1991

Andre Ata Ujan. Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan. Yogyakarta: Kanisius, 2009






0 komentar:

Posting Komentar