alt/text gambar

Jumat, 15 Desember 2023

Topik Pilihan: , , , , ,

PSEUDO-KOMUNIKASI: SEBUAH CATATAN UNTUK DEBAT CAPRES



Oleh: Nani Efendi

 

Apakah debat capres bisa jadi ukuran untuk menilai seorang capres? Saya pikir tak bisa dijawab dengan simpel. Karena terlalu banyak faktor lain yang mempengaruhi kebijakan seorang capres ketika ia berhasil jadi presiden kedepannya. Mereka yang dinilai hebat dalam acara debat hari ini, bisa jadi kepemimpinannya lebih bobrok. Begitu pun sebaliknya. Kata Abraham Lincoln, "Kalau ingin mengetahui karakter seseorang, berilah dia kekuasaan."

Dalam berdebat, orang bisa saja berpenampilan sebaik mungkin agar dianggap hebat. Padahal, itu terkadang sebagai penipuan diri saja. Terlebih, acara debat telah diatur dan di-setting sedemikian rupa oleh KPU. Sehingga komunikasi antar capres yang berlangsung selama debat pun bukanlah komunikasi yang otentik. 

Meminjam istilah Jurgen Habermas, bukan "komunikasi bebas dominasi". Tapi komunikasi yang dibatasi oleh berbagai rambu-rambu percakapan: komunikasi yang penuh dengan sensor-sensor, baik sensor sosial maupun "self cencorship". Dalam filsafat, dikenal dengan istilah "pseudo-komunikasi". Oleh karenanya, ada yang menilai debat capres itu bukan debat yang sebenarnya, tapi cuma "debat-debatan".

Apa itu pseudo-komunikasi?

Menurut F. Budi Hardiman, guru besar filsafat di Universitas Pelita Harapan, dalam bukunya Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003, h. 113-116), pseudo-komunikasi adalah komunikasi yang terdistorsi secara sistematis. Pseudo-komunikasi dapat menciptakan suatu "konsensus semu" yang dihasilkan dari proses komunikasi dengan paksaan-paksaan otoritas, baik itu otoritas tradisi, otoritas politik, dan lain sebagainya.

Dalam sebuah komunikasi dengan paksaan otoritas, lanjut Hardiman, terjadi distorsi-distorsi sistematis yang membuat maksud-maksud komunikasi tak tersampaikan secara otentik. Sehingga, apa yang diungkapkan (baik dalam tuturan maupun tindakan) tak menampilkan maksudnya secara langsung. 

Jadi, ada semacam self-cencorship, atau "menyensor maksud diri sendiri" dari berkata yang sebenarnya. Self-cencorship (menyensor maksud diri sendiri) ini adalah dalam upaya survival atau melindungi diri agar tetap bisa bertahan hidup. Atau dalam bahasa sederhana: agar selamat, aman, tak apalah berbohong atau bersikap munafik. Padahal, secara otentik, ia sendiri sadar bahwa ia telah mengingkari nuraninya sendiri.

Self-cencorship ini banyak terjadi dalam komunikasi masyarakat sehari-hari. Self-cencorship dilakukan karena adanya ketakutan pada otoritas-otoritas dalam masyarakat, semisal otoritas politik yang memiliki perangkat hukum atau undang-undang yang dapat menjerat seseorang jika berbicara "tak sejalan" dengan kepentingan rezim atau otoritas. Ada juga otoritas tradisi yang berdasarkan norma-norma adat-istiadat dalam masyarakat. 

Orang akan terancam dikucilkan atau mendapatkan sanksi sosial jika berbicara sesuatu yang dianggap nyeleneh dan tak sesuai dengan tradisi yang berlaku secara mainstreamSelf-cencorship ini membuat orang berkomunikasi secara tak otentik. Bahasa agamanya: membuat orang terpaksa menjadi munafik atau bermanis-manis mulut (lain di mulut, lain di hati; lain yang diucapkan, lain kenyataannya).

Debat dan komunikasi tanpa sensor

Menurut Jurgen Habermas, dalam demokrasi radikal, orang harus bebas dalam berkomunikasi. Komunikasi tak boleh didominasi oleh kekuasaan atau otoritas-otoritas tertentu. Komunikasi dalam politik harus terbebas dari berbagai pengaruh yang tak rasional, seperti sopan santun (etiket), basa basi, bermanis-manis, adat-istiadat, ancaman politis, hukum, emosional, dan lain sebagainya. Komunikasi politis haruslah didasarkan atas rasionalitas. Kata Rocky Gerung, "Sopan santun itu bahasa tubuh. Pikiran tak memerlukan sopan santun. Dalam politik, pikiran yang disopan-santunkan adalah sebuah kemunafikan.

Dalam debat politik, semisal debat capres, para capres tak perlu lagi bicara dengan "menyensor" maksud hati dan akal sehat yang sebenarnya. Atau melunakkan-lunakkan bahasa yang digunakan (eufemistis). Apalagi menggunakan gramatika bahasa yang mengaburkan maksud yang sebenarnya. Sampaikanlah maksud yang sebenarnya sesuai nurani dan pikiran yang otentik. Tapi, yang saya lihat, para capres masih bersikap “tak otentik”. Masih berupaya bermanis-manis kata dan sikap.

Sebagai contoh, misalnya, boleh jadi, ada capres yang sebenarnya secara nurani tak menyetujui proyek IKN, tapi harus berpura-pura mendukung IKN agar mendapat simpati dari rezim dan para pendukung rezim. Padahal, menurut pribadinya secara otentik—sesuai hati nuraninya—ia sebenarnya tak mendukung proyek IKN. Ia terpaksa harus bersikap tak otentik demi mencapai kemenangan di pilpres saja. Itulah bentuk sikap tak otentik: selalu berupaya melakukan self-cencorship atau “menyensor” sikap yang sejati.

Di samping itu, menurut Budi Hardiman, self-cencorship itu juga bisa berlangsung tanpa sadar karena kuatnya pengaruh "sensor-sensor sosial". Sensor sosial itu bisa berupa ideologi-ideologi tertentu yang dianut masyarakat. Sehingga, ketika seseorang berbicara, alam bawah sadar seseorang berupaya mengendalikan pembicaraannya sedemikian rupa, sehingga ia selalu menyesuaikan diri dengan kehendak dan "kebiasaan umum". Jika keluar dari kebiasaan umum itu, ia secara alam bawah sadar “takut” dan terancam mendapatkan berbagai bentuk sanksi-sanksi, baik itu sanksi sosial, moral, politis, hukum, dan lain sebagainya. Termasuk sanksi elektoral (dalam konteks pemilu).

Dalam konteks debat capres, mestinya komunikasi para kandidat harus otentik: tak boleh terdistorsi oleh pengaruh-pengaruh otoritas tertentu, terutama di saat komunikasinya diarahkan kepada rezim atau pada otoritas. Para kandidat, dalam berbicara, tak perlu lagi melakukan sensor-sensor, baik itu self-cencorship maupun sensor-sensor sosial. Bicaralah secara otentik, bukan setting-an. Sehingga maksud yang sebenarnya tak terdistorsi. Dan keinginan serta pemikiran berdasarkan akal sehat para capres dapat tersampaikan apa adanya secara jujur dan otentik tanpa selubung-selubung simbolis.

Nani EfendiAlumnus HMI


0 komentar:

Posting Komentar