"Saintisme adalah suatu anggapan bahwa sains dapat menjadi juru selamat, dan mengandaikan bahwa nilai-nilai yang dianut komunitas ilmiah dapat menjadi sumber autoritatif bagi masyarakat luas. Asumsi ini oleh Tom Sorell disebut 'saintisme', yaitu suatu kepercayaan bahwa sains adalah satu-satunya proses belajar manusia yang paling bernilai karena sifat kegunaan, autoritatif, dan seriusnya. Saintisme adalah bentuk matang dari positivisme modern yang dirintis oleh Auguste Comte dan Lingkungan Wina. Basis epistemologisnya adalah doktrin fenomenalisme, yaitu sebuah penegasan bahwa fondasi terakhir pengetahuan adalah pengalaman indrawi, maka segala omongan mengenai sesuatu yang melampaui pengalaman adalah mustahil, misalnya diskusi dalam etika, metafisika, dan agama tentang Allah, Hakikat, Kebaikan dan seterusnya. Bary Hindess secara menarik menunjukkan rapuhnya basis itu. Pertama, tentu ada kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya pengalaman, dan positivisme mengelak untuk membicarakan hal itu, maka bersifat dogmatis. Kedua, dengan mengimani bahwa fenomen faktual adalah kenyataan sejati, maka program pembasmian metafisika yang dilakukan kaum positivis malah mengandung 'metafisika diam-diam'. Karena itu, tak mengherankan kalau dari perspektif pasca-modern, positivisme dan saintisme termasuk ke dalam metafisika, di samping netralismenya adalah sebuah putusan nilai untuk memelihara status quo sosial.
Banyak pemikir di abad kita ini telah menganggap bahwa saintisme telah mengalami kegagalan menerjemahkan 'asas-asas ilmiah' ke 'dunia manusiawi'. Rasionalisasi melalui sains bukannya mentransformasikan seluruh dunia-kehidupan sosial, melainkan malah meretakkannya ke dalam apa yang disebut C.P. Snow sebagai 'two cultures' yang saling bertentangan. Seperti dikatakan oleh Richards, memilih salah satu dari kutub antagonis itu bukanlah soal Kebenaran objektif, melainkan soal "putusan moral" dan kebebasan subjektif. Karena itu, rupanya tidak cukup alasan mengapa pola pikir sains harus mendominasi kehidupan bermasyarakat. Benturan kedua "kebudayaan" itu lebih mencolok lagi manakala sains dan teknologi memiliki tendensi imperialis untuk menundukkan dunia-kehidupan sosial, karena pertarungan keduanya bukanlah sekedar pencarian Kebenaran, melainkan pertarungan untuk mengklaim hak-hak hidupnya. Sains, sang protagonis Pencerahan—antagonisnya adalah mitos—ketika melampaui batas-batasnya dengan menerjang wilayah-wilayah manusiawi yang serba subtil (halus; lembut; tak kentara), kehilangan ciri netral dan sikap non-koersifnya. Narasi tentang sains bukan sekedar cerita tentang emansipasi dari fiksi, takhayul, metafisika, feodalisme, dan seterusnya, melainkan juga seperti ditunjukkan oleh Foucault, sebuah cerita tentang dominasi dan eliminasi." (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, h. 174). Saintisme dan positivisme dengan segala sisi-sisi negatifnya, itulah yang tentang oleh Teori Kritis, terutama Jurgen Habermas.
0 komentar:
Posting Komentar