alt/text gambar

Sabtu, 06 Januari 2024

Topik Pilihan: , ,

Konflik STIA NUSA: Belajar dari Arief Budiman

 

Oleh: Nani Efendi

 

Konflik internal di kampus STIA Nusa Sungai Penuh sepertinya belum menemukan titik terang. Pihak Yayasan Pendidikan Tinggi Sakti Alam Kerinci (YPTSA) yang menaungi perguruan tinggi tersebut tetap bersikukuh dengan aturan yang mereka miliki, yakni Ketua STIA Nusa tak boleh terlibat politik praktis. Di sisi lain, Ketua STIA Nusa yang diberhentikan, tak mau mengundurkan diri dari jabatannya. Persoalan yang sebenarnya sederhana, tapi seakan tak mampu diselesaikan secara jernih.

Padahal, menurut saya, ini persoalan yang tak terlalu rumit: tinggal dikembalikan kepada peraturan yang berlaku serta sikap yang bijaksana. Di samping aturan formal—mulai dari UU tentang Yayasan, peraturan yayasan, statuta STIA Nusa, dan lain sebagainya—juga dituntut jiwa besar dari pihak-pihak yang berkonflik. Karena STIA Nusa itu adalah lembaga akademis, maka setiap persoalan mestinya juga bisa diselesaikan dalam nuansa akademis.

Kembali ke aturan yang berlaku

Insan akademis itu salah satu cirinya adalah selalu berpikir kritis, objektif, ilmiah, bukan "adu kuat", apalagi "ngotot-ngototan". “Seorang terpelajar sudah harus berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan,” kata Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Bumi Manusia (1980). Kalau ada yang benar-benar bersalah, yang secara akal sehat bisa diterima berdasarkan fakta-fakta yang ada, ya sudah, tinggal diikuti aturan main yang berlaku. Dalam konteks ini, STIA Nusa sebagai perguruan tinggi di bidang administrasi, sebenarnya ditantang dan diuji kualitasnya oleh masyarakat: apakah perguruan tinggi ini mampu menyesaikan konflik—yang pada hakikatnya adalah urusan administrasi—atau malah sebaliknya.

Berdasarkan sumber yang saya dapat dari Jambiupdate.co, konflik berawal dari pemberhentian Ketua STIA Nusa oleh pihak Yayasan. Hal itu dilakukan Yayasan karena Ketua STIA Nusa ikut berkompetisi sebagai calon legislatif untuk DPRD pada pemilu 2024. Artinya, dengan begitu, ia sudah bergabung dengan partai politik. Secara aturan, sebagaimana dijelaskan dari Jambiupdate.co, pimpinan STIA Nusa tak boleh terlibat partai politik.[1] Dan tak hanya memberhentikan dari posisi Ketua, Yayasan juga memberhentikannya sebagai dosen di kampus STIA Nusa.[2]

Tapi, di sisi lain, pengangkatan Plt. Ketua yang baru, juga menuai kontroversi. Proses itu dianggap cacat aturan, karena dinilai tak dilakukan melalui rapat senat.[3] Pertanyaannya, siapa yang salah dan yang benar dalam persoalan ini? Diperlukan analisis secara jernih dalam sikap akademis. Secara hukum positif, yang berwewenang memutus siapa yang benar-salah adalah pengadilan. Tapi, sebagai perguruan tinggi, STIA Nusa saya pikir sudah seharusnya bisa lebih dewasa menyelesaikan persoalan. Terlebih jika ada dasar aturan yang sudah mengatur secara jelas. Tinggal dipatuhi saja. 

STIA Nusa adalah perguruan tinggi yang berada di bawah naungan yayasan. Terhadap kebijakan strategis kampus, saya pikir, yayasanlah yang punya wewenang untuk mengatur. Tapi, yayasan pun harus tetap berdasarkan peraturan yang berlaku. Tak boleh juga mengambil keputusan sewenang-wenang. Itulah hakikatnya bernegara hukum. Intinya, semua pihak kembali ke peraturan dan mematuhi aturan secara sportif.

Belajar dari Arief Budiman

Persoalan STIA Nusa ini mengingatkan saya pada konflik yang pernah terjadi di internal kampus Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Jawa Tengah, di era Orde Baru pada 1993-1995. Peristiwa itu diulas secara mendalam di Majalah Lentera, Nomor 4/November 2016. Konflik diawali oleh pemilihan rektor yang dianggap tak demokratis dan curang. Ujung konflik di UKSW itu adalah dipecatnya Arief Budiman—aktivis Angkatan ’66 yang sangat legendaris itu yang juga merupakan sosiolog jebolan Harvard University—sebagai dosen, karena sikap kritisnya.[4] Arief dipecat oleh pihak Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana (YPTKSW) karena dianggap berseberangan dengan pihak yayasan.[5] Dosen-dosen para pendukung Arief pun diskors dengan status tak jelas.[6]

Tapi, meski mendapat simpati dan dukungan dari banyak civitas academica, Arief Budiman yang terkenal kritis dan vokal terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru itu pun akhirnya menerima keputusan yayasan terhadap pemecatan dirinya. Arief berjiwa besar. Ia sadar: bukan di kampus UKSW saja tempat ia bisa hidup. Karena itu, Arief punya tekad membuktikan kehebatannya: ia memutuskan hijrah ke Australia dan mengajar di Negara Kanguru itu hingga menjadi profesor di University of Melbourne, Australia. Jiwa besar seorang Arief Budiman, dalam konteks ini perlu dicontoh, bahwa kampus adalah lembaga terhormat yang tak perlu dikotori dengan "perebutan kekuasaan".

Intinya, konflik saling klaim pihak Yayasan dan pihak akademik di kampus STIA Nusa mesti segera diakhiri. Masa depan STIA Nusa menjadi taruhannya. Karena, di atas konflik antara pihak yayasan dan pihak akademik, ada kepentingan yang lebih besar: kepentingan masyarakat Kerinci dan Sungai Penuh terhadap pendidikan tinggi yang bermutu. Mahasiswa dan dosen, dalam konteks ini, menurut saya adalah pihak yang paling dirugikan dari konflik internal kampus. Itu yang mesti disadari. Artinya, jika konflik terus berlanjut, dampak jangka panjang adalah timbulnya ketidakpercayaan masyarakat (public distrust) terhadap lembaga pendidikan STIA Nusa itu sendiri.

Pada gilirannya nanti, minat masyarakat untuk kuliah di kampus itu pun akan menurun. Jika itu terus berlanjut, kampus bisa tutup. Semua dosen pun terancam kehilangan tempat mengajar. Oleh karenanya, para dosen yang masih punya akal sehat, harus terlibat aktif menjernihkan persoalan. Dan yang tak kalah penting adalah peran mahasiswa itu sendiri. Tak etis mahasiswa STIA Nusa itu sendiri menjadi pendukung salah satu pihak yang berkonflik. Mahasiswa, dalam konteks ini, mestinya menjadi penengah: tugasnya adalah meminta pada kedua belah pihak agar tegak lurus pada peraturan yang berlaku. Lakukan kajian dan bedah peraturan yang ada. Karena itu menyangkut kepentingan yang lebih besar: hak atas pendidikan tinggi yang berkualitas.[7]

NANI EFENDI, Alumnus HMI

Rujukan:

1. https://www.jambiupdate.co/read/2023/11/15/109935/elyusnadi-dan-mat-ramawi-saling-klaim-kisruh-dualisme-ketua-stia#:~:text=Hal%20ini%20setelah%20Plt%20Ketua,Daftar%20Calon%20Legislatif%20(DCT)

 

2. Eliyusnadi Diberhentikan dari Dosen Tetap STIA Nusa Kerinci – Kerinci Time

 

3. https://jambilink.com/bikin-gaduh-sri-eliyanti-akan-dipolisikan/)

 

 4. Majalah Lentera, Nomor 4/November 2016.

 

 5. Sambut Tahun Yobel, UKSW Minta Maaf ke Arief Budiman, dalam www.satuharapan.com

 

6. https://www.rri.co.id/daerah/451016/demo-mahasiswa-stia-nusa-sungai-penuh-kerinci-belangsung-tertib-ini-isi-tuntutan-mahasiswa

 

 7. Kenangan Ariel Heryanto Untuk Sahabatnya Intelektual Politik Arief Budiman - ABC News


8. Toer, Pramoedya Ananta, Bumi Manusia, Jakarta: Lentera Dipantara, 2006.

 

Catatan kaki:


[1] lihat "Elyusnadi dan Mat Ramawi Saling Klaim, Kisruh Dualisme Ketua STIA Nusa" dalam https://www.jambiupdate.co/read/2023/11/15/109935/elyusnadi-dan-mat-ramawi-saling-klaim-kisruh-dualisme-ketua-stia#:~:text=Hal%20ini%20setelah%20Plt%20Ketua,Daftar%20Calon%20Legislatif%20(DCT)

[2] Lihat, Eliyusnadi Diberhentikan dari Dosen Tetap STIA Nusa Kerinci – Kerinci Time

[3] lihat https://jambilink.com/bikin-gaduh-sri-eliyanti-akan-dipolisikan/)

[4] Arief Budiman adalah kakak kandung aktivis Soe Hok Gie. Ia mendapat gelar Ph.D dari Harvard University pada 1980. Arief ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan pada  1963 dalam upaya menentang LEKRA. LEKRA dianggap memasung kreativitas kaum seniman. Arief adalah aktivis yang sudah aktif dalam politik Indonesia sejak ia menjadi mahasiswa pada tahun 60-an.

[5] Lihat Majalah Lentera, Nomor 4/November 2016.

[6] Sambut Tahun Yobel, UKSW Minta Maaf ke Arief Budiman - Satu Harapan

[7] https://www.rri.co.id/daerah/451016/demo-mahasiswa-stia-nusa-sungai-penuh-kerinci-belangsung-tertib-ini-isi-tuntutan-mahasiswa

0 komentar:

Posting Komentar