Oleh: Nani
Efendi
Konflik internal di kampus STIA Nusa
Sungai Penuh sepertinya belum menemukan titik terang. Pihak Yayasan Pendidikan
Tinggi Sakti Alam Kerinci (YPTSA) yang menaungi perguruan tinggi tersebut tetap
bersikukuh dengan aturan yang mereka miliki, yakni Ketua STIA Nusa tak boleh
terlibat politik praktis. Di sisi lain, Ketua STIA Nusa yang diberhentikan, tak
mau mengundurkan diri dari jabatannya. Persoalan yang sebenarnya sederhana,
tapi seakan tak mampu diselesaikan secara jernih.
Padahal, menurut saya, ini persoalan
yang tak terlalu rumit: tinggal dikembalikan kepada peraturan yang berlaku
serta sikap yang bijaksana. Di samping aturan formal—mulai dari UU tentang Yayasan, peraturan yayasan, statuta STIA Nusa,
dan lain sebagainya—juga dituntut jiwa besar dari pihak-pihak yang berkonflik.
Karena STIA Nusa itu adalah lembaga akademis, maka setiap persoalan mestinya
juga bisa diselesaikan dalam nuansa akademis.
Kembali ke aturan yang berlaku
Insan akademis itu salah satu cirinya adalah selalu berpikir kritis, objektif, ilmiah, bukan "adu kuat", apalagi "ngotot-ngototan". “Seorang terpelajar sudah harus berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan,” kata Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Bumi Manusia (1980). Kalau ada yang benar-benar bersalah, yang secara akal sehat bisa diterima berdasarkan fakta-fakta yang ada, ya sudah, tinggal diikuti aturan main yang berlaku. Dalam konteks ini, STIA Nusa sebagai perguruan tinggi di bidang administrasi, sebenarnya ditantang dan diuji kualitasnya oleh masyarakat: apakah perguruan tinggi ini mampu menyesaikan konflik—yang pada hakikatnya adalah urusan administrasi—atau malah sebaliknya.
Berdasarkan sumber yang saya dapat dari Jambiupdate.co, konflik berawal dari pemberhentian Ketua STIA Nusa oleh pihak Yayasan. Hal itu dilakukan Yayasan karena Ketua STIA Nusa ikut berkompetisi sebagai calon legislatif untuk DPRD pada pemilu 2024. Artinya, dengan begitu, ia sudah bergabung dengan partai politik. Secara aturan, sebagaimana dijelaskan dari Jambiupdate.co, pimpinan STIA Nusa tak boleh terlibat partai politik.[1] Dan tak hanya memberhentikan dari posisi Ketua, Yayasan juga memberhentikannya sebagai dosen di kampus STIA Nusa.[2]
Tapi, di sisi lain, pengangkatan Plt. Ketua yang baru, juga menuai kontroversi. Proses itu dianggap cacat aturan, karena dinilai tak dilakukan melalui rapat senat.[3] Pertanyaannya, siapa yang salah dan yang benar dalam persoalan ini? Diperlukan analisis secara jernih dalam sikap akademis. Secara hukum positif, yang berwewenang memutus siapa yang benar-salah adalah pengadilan. Tapi, sebagai perguruan tinggi, STIA Nusa saya pikir sudah seharusnya bisa lebih dewasa menyelesaikan persoalan. Terlebih jika ada dasar aturan yang sudah mengatur secara jelas. Tinggal dipatuhi saja.
STIA Nusa adalah perguruan tinggi yang berada di bawah naungan yayasan. Terhadap kebijakan strategis kampus, saya pikir, yayasanlah yang punya wewenang untuk mengatur. Tapi, yayasan pun harus tetap berdasarkan peraturan yang berlaku. Tak boleh juga mengambil keputusan sewenang-wenang. Itulah hakikatnya bernegara hukum. Intinya, semua pihak kembali ke peraturan dan mematuhi aturan secara sportif.
Belajar dari Arief Budiman
Persoalan STIA Nusa ini mengingatkan
saya pada konflik yang pernah terjadi di internal kampus Universitas Kristen
Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Jawa Tengah, di era Orde Baru pada 1993-1995.
Peristiwa itu diulas secara mendalam di Majalah Lentera, Nomor
4/November 2016. Konflik diawali oleh pemilihan rektor yang dianggap tak
demokratis dan curang. Ujung konflik di UKSW itu adalah dipecatnya Arief
Budiman—aktivis Angkatan ’66 yang sangat legendaris itu yang juga merupakan
sosiolog jebolan Harvard University—sebagai dosen, karena sikap kritisnya.[4]
Arief dipecat oleh pihak Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana (YPTKSW)
karena dianggap berseberangan dengan pihak yayasan.[5]
Dosen-dosen para pendukung Arief pun diskors dengan status tak jelas.[6]
Tapi, meski mendapat simpati dan
dukungan dari banyak civitas academica, Arief Budiman yang terkenal kritis dan
vokal terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru itu pun akhirnya menerima
keputusan yayasan terhadap pemecatan dirinya. Arief berjiwa besar. Ia sadar:
bukan di kampus UKSW saja tempat ia bisa hidup. Karena itu, Arief punya tekad membuktikan
kehebatannya: ia memutuskan hijrah ke Australia dan mengajar di Negara Kanguru
itu hingga menjadi profesor di University of Melbourne, Australia. Jiwa besar
seorang Arief Budiman, dalam konteks ini perlu dicontoh, bahwa kampus adalah
lembaga terhormat yang tak perlu dikotori dengan "perebutan
kekuasaan".
Intinya, konflik saling klaim pihak
Yayasan dan pihak akademik di kampus STIA Nusa mesti segera diakhiri. Masa
depan STIA Nusa menjadi taruhannya. Karena, di atas konflik antara pihak yayasan dan
pihak akademik, ada kepentingan yang lebih besar: kepentingan
masyarakat Kerinci dan Sungai Penuh terhadap pendidikan tinggi yang bermutu. Mahasiswa dan
dosen, dalam konteks ini, menurut saya adalah pihak yang paling dirugikan dari
konflik internal kampus. Itu yang mesti disadari. Artinya, jika konflik terus berlanjut,
dampak jangka panjang adalah timbulnya ketidakpercayaan masyarakat (public
distrust) terhadap lembaga pendidikan STIA Nusa itu sendiri.
Pada gilirannya nanti, minat
masyarakat untuk kuliah di kampus itu pun akan menurun. Jika itu terus berlanjut,
kampus bisa tutup. Semua dosen pun terancam kehilangan tempat mengajar. Oleh
karenanya, para dosen yang masih punya akal sehat, harus terlibat aktif
menjernihkan persoalan. Dan yang tak kalah penting adalah peran mahasiswa itu
sendiri. Tak etis mahasiswa STIA Nusa itu sendiri menjadi pendukung salah satu
pihak yang berkonflik. Mahasiswa, dalam konteks ini, mestinya menjadi penengah:
tugasnya adalah meminta pada kedua belah pihak agar tegak lurus pada peraturan
yang berlaku. Lakukan kajian dan bedah peraturan yang ada. Karena itu
menyangkut kepentingan yang lebih besar: hak atas pendidikan tinggi yang
berkualitas.[7]
NANI EFENDI, Alumnus HMI
Rujukan:
1.
https://www.jambiupdate.co/read/2023/11/15/109935/elyusnadi-dan-mat-ramawi-saling-klaim-kisruh-dualisme-ketua-stia#:~:text=Hal%20ini%20setelah%20Plt%20Ketua,Daftar%20Calon%20Legislatif%20(DCT)
2. Eliyusnadi Diberhentikan dari Dosen
Tetap STIA Nusa Kerinci – Kerinci Time
3.
https://jambilink.com/bikin-gaduh-sri-eliyanti-akan-dipolisikan/)
4. Majalah Lentera, Nomor 4/November 2016.
5. Sambut Tahun Yobel, UKSW Minta Maaf ke
Arief Budiman, dalam www.satuharapan.com
6. https://www.rri.co.id/daerah/451016/demo-mahasiswa-stia-nusa-sungai-penuh-kerinci-belangsung-tertib-ini-isi-tuntutan-mahasiswa
7. Kenangan Ariel Heryanto Untuk Sahabatnya
Intelektual Politik Arief Budiman - ABC News
8. Toer, Pramoedya Ananta, Bumi Manusia, Jakarta: Lentera Dipantara, 2006.
Catatan kaki:
[1] lihat "Elyusnadi dan Mat Ramawi Saling Klaim, Kisruh Dualisme Ketua STIA Nusa" dalam https://www.jambiupdate.co/read/2023/11/15/109935/elyusnadi-dan-mat-ramawi-saling-klaim-kisruh-dualisme-ketua-stia#:~:text=Hal%20ini%20setelah%20Plt%20Ketua,Daftar%20Calon%20Legislatif%20(DCT)
[2]
Lihat, Eliyusnadi Diberhentikan dari Dosen Tetap STIA Nusa Kerinci – Kerinci
Time
[3] lihat https://jambilink.com/bikin-gaduh-sri-eliyanti-akan-dipolisikan/)
[4] Arief Budiman adalah kakak kandung
aktivis Soe Hok Gie. Ia mendapat gelar Ph.D dari Harvard University pada 1980.
[5]
Lihat Majalah Lentera, Nomor 4/November 2016.
[6]
Sambut Tahun Yobel, UKSW Minta Maaf ke Arief Budiman - Satu Harapan
[7]
https://www.rri.co.id/daerah/451016/demo-mahasiswa-stia-nusa-sungai-penuh-kerinci-belangsung-tertib-ini-isi-tuntutan-mahasiswa
0 komentar:
Posting Komentar