alt/text gambar

Kamis, 25 Januari 2024

Topik Pilihan: ,

DEMO SOPAN DAN DEMO KASAR

 


Oleh: Arief Budiman

 

Kurun 1993 ditandai dengan maraknya demonstrasi atau demo, yang dilakukan oleh para mahasiswa dan atau rakyat yang tergusur proyek “pembangunan” atau oleh anggota-anggota partai politik yang dilecehkan hak politiknya. Demo-demo itu ada yang relatif berhasil, tapi juga banyak yang belum. Demo terjadi di daerah-daerah, juga di Jakarta. Demo itu ada yang sopan, ada pula yang dianggap kasar. Akhirnya, sampai ada demo yang dituduh memakai cara-cara PKI.

Apakah demo-demo akan berlanjut pada 1994 dan tahun-tahun mendatang? Banyak orang beranggapan bahwa, untuk sebuh demo, yang dibutuhkan hanya sejumlah pemuda yang berani dan sedikit dana untuk poster dan transportasi. Tetapi, masalah demo sebenarnya tidak sesederhana itu. Demo yang berhasil, artinya mendapat perhatian dan simpati dari masyarakat, termasuk pers, membutuhkan kondisi sosial-politik tertentu. Pertama, demo membutuhkan isu yang tepat, yang populer, tapi isu itu dalam keadaan tersumbat, sementara lembaga-lembaga politik yang ada, seperti partai politik ataupun parlemen, tidak mampu menyalurkannya. Demo yang menjadi marak pada 1993 merupakan demo dengan isu populer yang mendapat banyak simpati. Demo itu bukan sekedar berita.

Kedua, demo membutuhkan sikap toleran dari aparat keamanan. Demo yang terjadi pada 1993 jelas mendapat toleransi yang cukup besar dari aparat keamanan. Itu mungkin karena aparat keamanan merasa, kondisi kehidupan politik di Indonesia sudah sangat stabil, sehingga keterbukaan bisa diberikan sedemikian jauh. Tapi, mungkin juga muncul kekuatan-kekuatan baru di kalangan aktor-aktor politik tingkat nasional, yang mau mengubah status quo politik yang ada, yang menginginkan perubahan perimbangan kekuatan politik sekarang, dan demo-demo yang terjadi merupakan manifestasi dinamika itu.

Versi resmi menyatakan, hal itu disebabkan karena pemerintah sekarang memang lebih terbuka. Tapi, pengamat politik yang jeli mengatakan, kemunculan kekuatan-kekuatan politik baru secara makin terbuka sejak Sidang MPR 1988-lah yang menjadi faktornya. Sekali lagi, apa pun penyebabnya, yang jelas, demo-demo yang muncul pada 1993 memperoleh toleransi yang besar dari aparat keamanan.

Bagaimana nasib demo di masa mendatang? Itu semua tergantung dari ketiga faktor di atas: ada pemuda-pemuda yang berani, ada isu populer yang tersendat, dan ada toleransi dari parat keamanan. Pemuda yang berani, meskipun jumlahnya tidak besar, selalu ada, kapan pun dan di mana pun. Isu-isu populer yang tersendat, tampaknya, akan semakin banyak akibat pembangunan kita yang bersifat kapitalistis, dan akibat kolusi antara pengusaha dan penguasa untuk mendapatkan keuntungan. Selain itu, ada UU Kepartaian dan Keormasan, serta UU Pemilihan Umum, yang demokratis, belum bisa diharapkan, sehingga lembaga-lembaga itu tetap akan tersumbat bagi penyaluran isu-isu populer. Konflik-konflik di tingkat atas antara kekuatan-kekuatan yang mau mempertahankan dan mengubah status quo, tampaknya juga belum akan mereda di tahun-tahun mendatang. Semua itu merupakan kondisi sosial-politik, yang akan melahirkan demo-demo.

Bagaimana dengan tuduhan bahwa demo sekarang bersifat kasar, dan sudah melanggar etika demokrasi Pancasila, bahkan sudah menggunakan cara-cara PKI? Kalau kita simak ingatan kita ke sekitar 1965, baik sebelum maupun sesudah itu, tampak, selalu ada demo yang besifat kasar. Itu terjadi di kubu PKI maupun yang bukan PKI. Pada 1966, para demonstran membawa poster bergambar anjing berkacamata dengan tulisan “Subandrio Anjing Peking”. Padahal, waktu itu, Dr. Subandrio masih menjabat menteri luar negeri. Atau juga, poster dan lagu-lagu yang liriknya menyatakan  “Tukang Copet Jadi Menteri”, yang ditujukan kepada Syafei, seorang tokoh “jagoan” Senen, Jakarta, waktu itu, yang diangkat sebagai menteri untuk menjaga keamanan dan ketertiban.

Waktu itu pun, para petinggi negara menuduh demo-demo tersebut ditunggangi, telah melanggar etika bangsa, dan sebagainya. Kalau saja, pada waktu itu, para pemuda dan mahasiswa mematuhi apa yang dikatakan para pejabat, Orde Baru mungkin tidak pernah akan hadir.

Begitulah. Tampaknya, sudah menjadi sifat para demonstran untuk menjadi kasar, dan sudah menjadi kebiasaan para pejabat negara untuk menghalangi demo atau menyatakan bahwa demo harus sopan. Tetapi, demo akan terus berjalan selama faktor-faktor yang mendukungnya masih ada. Dan, kekasaran yang sudah menjadi sifat demo akan terus ada, apakah itu dilakukan PKI atau bukan PKI.

Arief Budiman, Eks Pemimpin Demonstrasi

Sumber: FORUM KEADILAN No 20 Tahun II 20 Januari 1994

0 komentar:

Posting Komentar