Oleh: Arief Budiman
Kurun 1993 ditandai dengan
maraknya demonstrasi atau demo, yang dilakukan oleh para mahasiswa dan atau
rakyat yang tergusur proyek “pembangunan” atau oleh anggota-anggota partai
politik yang dilecehkan hak politiknya. Demo-demo itu ada yang relatif
berhasil, tapi juga banyak yang belum. Demo terjadi di daerah-daerah, juga di
Jakarta. Demo itu ada yang sopan, ada pula yang dianggap kasar. Akhirnya,
sampai ada demo yang dituduh memakai cara-cara PKI.
Apakah demo-demo akan berlanjut
pada 1994 dan tahun-tahun mendatang? Banyak orang beranggapan bahwa, untuk
sebuh demo, yang dibutuhkan hanya sejumlah pemuda yang berani dan sedikit dana
untuk poster dan transportasi. Tetapi, masalah demo sebenarnya tidak
sesederhana itu. Demo yang berhasil, artinya mendapat perhatian dan simpati
dari masyarakat, termasuk pers, membutuhkan kondisi sosial-politik tertentu.
Pertama, demo membutuhkan isu yang tepat, yang populer, tapi isu itu dalam keadaan
tersumbat, sementara lembaga-lembaga politik yang ada, seperti partai politik
ataupun parlemen, tidak mampu menyalurkannya. Demo yang menjadi marak pada 1993
merupakan demo dengan isu populer yang mendapat banyak simpati. Demo itu bukan
sekedar berita.
Kedua, demo membutuhkan sikap
toleran dari aparat keamanan. Demo yang terjadi pada 1993 jelas mendapat
toleransi yang cukup besar dari aparat keamanan. Itu mungkin karena aparat
keamanan merasa, kondisi kehidupan politik di Indonesia sudah sangat stabil,
sehingga keterbukaan bisa diberikan sedemikian jauh. Tapi, mungkin juga muncul
kekuatan-kekuatan baru di kalangan aktor-aktor politik tingkat nasional, yang
mau mengubah status quo politik yang ada, yang menginginkan perubahan
perimbangan kekuatan politik sekarang, dan demo-demo yang terjadi merupakan
manifestasi dinamika itu.
Versi resmi menyatakan, hal itu
disebabkan karena pemerintah sekarang memang lebih terbuka. Tapi, pengamat
politik yang jeli mengatakan, kemunculan kekuatan-kekuatan politik baru secara
makin terbuka sejak Sidang MPR 1988-lah yang menjadi faktornya. Sekali lagi,
apa pun penyebabnya, yang jelas, demo-demo yang muncul pada 1993 memperoleh
toleransi yang besar dari aparat keamanan.
Bagaimana nasib demo di masa
mendatang? Itu semua tergantung dari ketiga faktor di atas: ada pemuda-pemuda
yang berani, ada isu populer yang tersendat, dan ada toleransi dari parat
keamanan. Pemuda yang berani, meskipun jumlahnya tidak besar, selalu ada, kapan
pun dan di mana pun. Isu-isu populer yang tersendat, tampaknya, akan semakin
banyak akibat pembangunan kita yang bersifat kapitalistis, dan akibat kolusi
antara pengusaha dan penguasa untuk mendapatkan keuntungan. Selain itu, ada UU
Kepartaian dan Keormasan, serta UU Pemilihan Umum, yang demokratis, belum bisa
diharapkan, sehingga lembaga-lembaga itu tetap akan tersumbat bagi penyaluran
isu-isu populer. Konflik-konflik di tingkat atas antara kekuatan-kekuatan yang
mau mempertahankan dan mengubah status quo, tampaknya juga belum akan mereda di
tahun-tahun mendatang. Semua itu merupakan kondisi sosial-politik, yang akan
melahirkan demo-demo.
Bagaimana dengan tuduhan bahwa
demo sekarang bersifat kasar, dan sudah melanggar etika demokrasi Pancasila,
bahkan sudah menggunakan cara-cara PKI? Kalau kita simak ingatan kita ke
sekitar 1965, baik sebelum maupun sesudah itu, tampak, selalu ada demo yang
besifat kasar. Itu terjadi di kubu PKI maupun yang bukan PKI. Pada 1966, para
demonstran membawa poster bergambar anjing berkacamata dengan tulisan “Subandrio
Anjing Peking”. Padahal, waktu itu, Dr. Subandrio masih menjabat menteri luar
negeri. Atau juga, poster dan lagu-lagu yang liriknya menyatakan “Tukang Copet Jadi Menteri”, yang ditujukan
kepada Syafei, seorang tokoh “jagoan” Senen, Jakarta, waktu itu, yang diangkat
sebagai menteri untuk menjaga keamanan dan ketertiban.
Waktu itu pun, para petinggi
negara menuduh demo-demo tersebut ditunggangi, telah melanggar etika bangsa,
dan sebagainya. Kalau saja, pada waktu itu, para pemuda dan mahasiswa mematuhi
apa yang dikatakan para pejabat, Orde Baru mungkin tidak pernah akan hadir.
Begitulah. Tampaknya, sudah
menjadi sifat para demonstran untuk menjadi kasar, dan sudah menjadi kebiasaan
para pejabat negara untuk menghalangi demo atau menyatakan bahwa demo harus
sopan. Tetapi, demo akan terus berjalan selama faktor-faktor yang mendukungnya
masih ada. Dan, kekasaran yang sudah menjadi sifat demo akan terus ada, apakah
itu dilakukan PKI atau bukan PKI.
Arief Budiman, Eks Pemimpin
Demonstrasi
Sumber: FORUM KEADILAN No 20
Tahun II 20 Januari 1994
0 komentar:
Posting Komentar