Oleh: AS Laksana
Kadang saya membayangkan negara ini tumbuh dan berkembang dalam cara sebagaimana sebuah cerita digarap serta dikembangkan oleh penulisnya. Bukan cerita horor, saya tidak membayangkan negara ini sebuah cerita horor, baik dengan tokoh utama pocong ngesot atau suster keramas atau apa pun, tetapi mungkin cerita menegangkan atau thriller. Ada niat baik di dalamnya, ada juga niat buruk. Niat baik melahirkan masalah, niat buruk mendatangkan kesengsaraan bagi orang lain dan bagi diri sendiri.
Plot sebuah cerita juga seperti itu: niat baik maupun niat buruk sama-sama menimbulkan masalah dan upaya untuk menyelesaikannya justru memperbesar masalah. Dengan cara itu, intensitas konflik ditingkatkan dan situasi berkembang makin buruk hingga terjadi krisis.
Kita tahu bahwa cerita menjadi menarik untuk diikuti karena di dalamnya ada konflik, ada tokoh-tokoh yang terlibat di dalam konflik itu, ada situasi krisis, dan setelah krisis ada perubahan. Masalah-masalah harus diolah begitu rupa sehingga emosi pembaca teraduk-aduk. Tokoh utama coba menyelesaikan masalahnya, tetapi upayanya justru memunculkan masalah baru atau memperparah masalah sebelumnya. Terus seperti itu sampai akhirnya tokoh utama harus menghadapi puncak tertinggi atau titik krisis; pada saat itu dia harus melakukan sesuatu yang mungkin sangat radikal, dan mungkin itulah satu-satunya jalan yang harus ditempuhnya. Gagal berarti hancur selamanya dan mungkin dia harus mati. Dalam kisah spionase, kegagalan mengatasi situasi krisis berisiko hancurnya dunia.
Dalam cara yang lebih sederhana, plot bisa kita gambarkan seperti ini:
Anda bercakap-cakap dengan seseorang dan orang itu tersinggung oleh ucapan Anda. Lalu, Anda mencoba meluruskan masalah, orang itu salah paham. Anda mencoba cara lain untuk membuat orang itu memahami maksud Anda dan dia tambah marah. Begitu terus sampai hubungan Anda dan orang itu berada dalam situasi terburuk.
Negara kita juga tumbuh seperti itu. Segala niat baik dinyatakan, cita-cita mulia sudah diserukan, sebagian besar di antaranya tak terwujud. Banyak hal diadakan dengan niat untuk mempermudah orang-orang menjalani hidup, tetapi kehidupan justru terasa makin sulit dijalani. Rumah sakit didirikan, obat-obatan diproduksi dan makin mujarab, fasilitas-fasilitas kesehatan diperbaiki, dan semua itu tak bisa dinikmati oleh kebanyakan warga negara.
Fasilitas pendidikan umum juga seperti itu. Ada sekolah-sekolah yang memberikan pendidikan bagus, tapi siswa sepintar apa pun tak bisa masuk ke sana karena melarat. Sekolah-sekolah yang dibangun asal berdiri memberikan pendidikan ala kadarnya serta beberapa di antaranya melukai murid-murid dengan atap dan dinding yang roboh. Tetapi, jangan salah, sekolah yang sekadarnya dan mudah roboh ini juga diadakan dengan niat mulia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Hukum juga dirumuskan dengan niat baik dan negara menegaskan dirinya sebagai negara hukum. Lembaga-lembaga peradilan didirikan, tata tertib berperkara diatur, para hakim harus dijunjung tinggi dengan sebutan Yang Mulia, dan semuanya berakhir dengan fakta bahwa keadilan tetap sulit didapatkan.
Ironi yang lain adalah birokrasi. Birokrasi diadakan dengan tujuan melayani kebutuhan publik; ia diisi oleh orang-orang pilihan karena ada seleksi yang ketat bagi mereka yang ingin masuk ke dalamnya, tetapi birokrasi adalah makhluk yang ditakdirkan bergerak sangat lamban. Alih-alih memberikan kemudahan, ia cenderung menyuguhi kita masalah baru karena kelambanan geraknya.
Sebetulnya itu situasi yang menguntungkan bagi pengarang. Jika kita peka dalam menangkap berbagai ironi yang ada di sekeliling kita, kita akan menemukan masalah yang jumlahnya mungkin tak terbatas dan bisa menjadikannya bahan untuk cerita kita sendiri. Bangun pagi, Anda langsung bisa menjumpai masalah. Menghidupkan televisi, Anda tertumbuk masalah. Melintasi pintu pagar, Anda tersandung masalah. Kita tinggal menentukan tempat kejadian yang paling kita kenali—bisa desa, bisa kota. Mungkin Anda paham situasi desa dan tahu persis masalahnya. Bagus juga menulis cerita dengan latar belakang pedesaan, dengan sejumlah masalah dan ironinya. Saya tidak terlalu mengenal kehidupan desa dan tidak memahami masalah orang-orang yang tinggal di desa-desa. Saya hanya mengenal Semarang, Jogjakarta sebentar, dan paling lama bercokol di Jakarta.
Ibu kota negara, Anda tahu, adalah sebuah tempat di mana manusia hidup dikepung berbagai ironi. Di sana, orang-orang terus membangun fasilitas mewah, tetapi kebanyakan warganya hidup kumuh. Mobil-mobil canggih ada di jalan-jalan; mereka memiliki mesin yang mampu berlari hingga 300 kilometer per jam. Tetapi, dengan mobil secanggih apa pun, orang tetap harus menempuh jarak 20 kilometer dalam waktu dua jam atau lebih. Dengan kereta kuda, orang-orang di desa bisa menempuh jarak yang sama dalam waktu dua kali lebih cepat.
Ironi-ironi semacam itu membuat negara ini tumbuh menjadi cerita yang lebih menegangkan dengan keputusasaan yang lebih terasa dan kepedihan yang menusuk hingga putih tulang. Jadi negara kita adalah thriller yang bagus. Kelemahannya hanya satu: Tokoh-tokohnya membosankan.
Sulit bagi kita menjumpai tokoh yang mampu membuat kia bersimpati. Sesekali memang ada tokoh yang mampu menarik simpati orang banyak, untuk sementara waktu, tapi sebentar kemudian sudah membuat kita sebal. Ketiadaan tokoh simpatik, entah itu kandidat presiden atau calon gubernur atau penjual panci keliling, akan membuat kita cenderung abai terhadap perkembangan cerita. Kita tidak peduli apakah mereka mengalami nasib buruk atau nasib baik, kita enggan membantunya jika dia memerlukan bantuan, dan kita bahkan tidak ingin tahu apa pun tentang mereka.
Tahap berikutnya setelah simpati adalah empati. Ketika kita berempati kepada seseorang, kita bisa ikut merasa gembira ketika dia bergembira, ikut merasa sedih ketika dia mengalami nasib buruk, ikut senang jika dia berhasil mencapai apa yang diinginkannya. Dengan kata lain, kita bisa memahami perasaannya. Namun, jika tidak ada satu pun tokoh yang membuat kita bersimpati, kita tidak mungkin berempati, apalagi melakukan identifikasi diri.
Pak Jokowi pernah membuat orang banyak, terutama rakyat jelata, melakukan identifikasi diri dengannya—dia dianggap sebagai figur yang identik dengan kebanyakan warga negara ini serta mampu memahami perasaan dan kehendak rakyat jelata. Karena itu, orang-orang kecil sangat bergairah mendukungnya saat dia dicalonkan sebagai kandidat presiden pada pemilu lalu. Saya tidak tahu apakah masih melakukan identifikasi diri dengannya sekarang. (*)
Sumber: Jawa Pos, 16 Oktober 2016
0 komentar:
Posting Komentar