Oleh: Eep Saufulloh Fatah *)
(TEMPO, No. 27/XXVIII/6-12 September 1999)
Apa persoalan genting yang muncul dari balik Rancangan Undang-Undang Keselamatan Negara? Jawabanya: terfasilitasinya kembali terorisme negara.
Dalam model terorisme negara, negara bukanlah tempat semua orang atau kelompok terayomi serta merasa tenteram, bebas, dan teramankan di bawah kontrak sosial antara negara dan masyarakat yang pasti. Negara justru menjadi pengancam dan penekan, semacam pengawal masyarakat yang galak. Terorisme negara bekerja di bawah—meminjam istilah Herbert Marcuse—kekuasaan yang menindas, bukan kekuasaan yang membebaskan.
Orde Baru adalah cerita “sukses” proyek terorisme negara. Bahkan, Orde Baru berhasil mengembangbiakkan perilaku teroris melewati batas-batas negara. Selama Orde Baru, teror dilembagakan sehingga para teroris merasa gagah. Sebaliknya, mereka yang tak bisa menjadi teroris tersisihkan. Jadi, terbentuklah semacam negara teroris.
Mereka yang ingin gagah di dunia perbankan, misalnya, berlomba-lomba menjadi teroris. Dunia perbankan pun menjadi ladang terorisme, tempat para bankir menjadi teror bagi orang banyak sambil mereka merampas harta rakyat banyak. Yang kita tuai kemudian adalah krisis perbankan yang luar biasa menyusahkan rakyat. Kasus Bank Bali hanya sebuah contoh kecil dalam konteks ini.
Para konglomerat pun merasa lebih gagah ketika kemampuan teror mereka semakin tinggi, sejalan dengan peningkatan akumulasi kapital yang mereka raih. Pun para pejabat birokrasi. Mereka menjadi teroris sambil diam-diam memaksa masyarakat untuk meneladani terorisme negara.
Para politisi tentu saja tak ketinggalan. Bagi mereka, kemampuan teror, alih-alih menjadi cacat, justru merupakan modal untuk menumpuk kekuasaan dan keuntungan politik semakin besar. Sisa-sisa perilaku teror dan para teroris itulah yang belakangan ini terlihat gentayangan di Komisi Pemilihan Umum.
UU Keselamatan Negara memfasilitasi kembalinya mekanisme terorisme negara ala Orde Baru itu. Dalam rancangan undang-undang (RUU) ini keamanan dan keselamatan negara didefinisikan secara fisik dan militeristik. Definisi keterancaman negara dibuat secara sentralistis di tangan aparatur keamanan. Potensi dinamika sosial-politik didefinisikan sebagai ancaman bagi negara. Senjata diposisikan sebagai alat pengaman, sekalipun pada hakikatnya ia adalah alat pembunuh. Dari balik itu, terorisme negara sangat mudah untuk kembali tumbuh setelah terselang sebentar oleh jeda reformasi.
Pertanyaannya, mengapa ada keinginan untuk membangkitkan kembali negara teror? Ada empat kemungkinan jawaban. Pertama, rezim kurang percaya diri dan merasa kehilangan perlengkapan manusiawi untuk mengefektifkan kekuasaan dan penguasaan atas rakyat. RUU Keselamatan Negara merefleksikan krisis rezim yang sedang mencari instrumen untuk bisa mengamuk secara legal.
Kedua, rezim dihantui oleh ketakutan semu. Mereka mengidap semacama paranoia; negara merasa terancam oleh ancaman yang ia definisikan sendiri yang celakanya keliru. Rakyat, gerakan sosial, gejolak di tingkat lokal, oposisi, dan pembangkangan dianggap sebagai ancaman oleh rezim. RUU Keselamatan Negara dibayangkan rezim sebagai alat tumpas yang mumpuni.
Ketiga, rezim, terutama aparat keamanan, justru surplus percaya diri. Mereka merasa bahwa rakyat “benci tapi rindu” pada aparatur keamanan. Menurut mereka, rakyat memang benci pada dosa-dosa aparat pada masa lampau dan kini, tapi rakyat juga rindu aparat ketika ketidakpastian, ketidakamanan, dan instabilitas terlalu lama berlangsung, seolah tak berkesudahan.
Dengan kata lain, rakyat juga pada hakikatnya, adalah teroris. RUU Keselamatan Negara menjadi alat untuk memanfaatkan kembali tabiat teror yang sudah dimiliki rakyat secara massal. Saya menduga dengan keras, cara berpikir seperti ini keliru. Sebagai korban dari terorisme Orde Baru, rakyat sangat mudah bertobat dari seolah-olah proteror menjadi antiteror. Dalam konteks ini, RUU Keselamatan Negara boleh jadi bakal menepis angin.
Keempat, rezim berniat baik untuk menyelesaikan secara cepat berbagai krisis sosial-politik—terutama yang berkaitan dengan konflik, kekerasan, dan disintegrasi—yang sudah begitu akumulatif sekarang. Dengan kata lain, RUU Keselamatan Negara diniatkan sebagai alat penyelesai krisis dan stabilitas secara cepat.
Namun, menurut hemat saya, cara kerja itu seperti mengobati sakit mata dengan meneteskan cairan obat batuk—alias sia-sia bahkan malah mengembangbiakkan sakitnya. Bukankah terorisme negara—sekarang ingin dilegalisasi oleh RUU Keselamatan Negara—yang menjadi sumber dari krisis-krisis sosial-politik itu? Bukankah terorisme negara ala RUU Keselamatan Negara adalah sebab dari krisis, bukan jalan keluar?
Dan, yang penting, apakah mungkin kita menyelesaikan masalah dengan teror? Dengan sedikit saja membaca sejarah, jawabannya sangat tegas: Tidak! Dan tak pernah ada negara teroris yang bisa bernapas terlampau panjang.
*) Pengamat politik dari FISIP-UI
Sumber: TEMPO, No. 27/XXVIII/6-12 September 1999
0 komentar:
Posting Komentar