alt/text gambar

Minggu, 10 November 2024

Topik Pilihan:

MENULIS PAHLAWAN: KEJUJURAN SEJARAH DAN KEJUJURAN BERBANGSA




Oleh: Arif Akhyat (Dosen Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada)

(Kompas, 10 November 2020)


Suatu ketika, ada permintaan untuk mengusulkan nama seorang tokoh sejarah yang hidup pada abad XVI sebagai pahlawan nasional. Permintaan itu dinilai sangat beralasan karena nama tokoh itu sangat terkenal dan sudah menjadi simbol salah satu “pahlawan” di daerah itu dan menjadi nama salah satu kecamatan. 


Permintaan usulan tersebut, bagi peneliti sejarah, tidak mudah untuk diterima. Alasan yang mendasar adalah persoalan sumber dan metodologi. Kedua persoalan tersebut paling tidak meminimalkan tercampurnya sejarah dan mitos dalam merekonstruksi sebuah kejujuran sejarah. 


Menulis kepahlawanan seseorang seharusnya menjadi akhir keputusan kebenaran dan kejujuran sejarah. Itu jika kita tidak ingin terjebak pada kaburnya batas-batas antara sejarah dan mitos sehingga hasil penulisan sejarah tersebut juga dapat menjadi kebanggaan kolektif dari suatu bangsa. 


Tulisan ini memberi catatan kecil dalam rangka menyambut Hari Pahlawan 10 November, sebagai refleksi kepahlawana dan kejujuran berbangsa. 


Kejujuran sejarah

Persoalan pokok dalam penelitian sejarah bukan hanya tentang membuka memori kolektif yang harus diungkap dengan teknik dan metodologi yang benar. Sering kali kita juga dihadapkan pada persoalan subyektivitas dan obyektivitas. 


Mengungkap fakta dengan subyektivitas dan obyektivitas sekaligus, menunjukkan ilmu sejarah telah melampaui batas-batas kediriannya sebagai suatu disiplin ilmu dan memasuki persoalan kemanusiaan, dalam hal ini, kejujuran sejarah. 


Tuntutan kejujuran sejarah dalam merekonstruksi suatu peristiwa menjadi penting, dikarenakan godaan faktual yang hidup dalam memori kolektif suatu masyarakat sering sangat subyektif dan simpang siur tanpa dibarengi dengan sudut pandang obyektif. 


Ketidakseimbangan subyektivitas dan obyektivitas itu dikarenakan antara peristiwa dan fakta sejarah memiliki penjarakan waktu dan situasi sosial yang berbeda. Di sini, fakta sejarah berpotensi memiliki daya pengulangan tanpa batas dengan keberagaman sudut pandang. Oleh karena itu, fakta memiliki potensi kerentanan ideologis, mistis, dan bahkan politis. 


Sejarah sebagai sebuah memori kolektif tidak akan pernah berhenti dibicarakan selama fakta-fakta masih kuat bekembang dan hidup di dalam memori kolektif. Fakta kemudian bergulir di bawah kesadaran dan kepentingan tertentu, dan bahkan menjauh dari peristiwa sejarah yang sesungguhnya. Penarasi sejarah hanya bermain di antara fakta-fakta sejarah yang tercecer yang dibumbui dengan opini-opini politis dan ideologis. 


Pada titik ini, penafsir sejarah hanya bermain-main di antara fakta-fakta yang “diyakini” kebenarannya. Sejarah tidak lagi menjadi “enlightment” (pencerahan) sebuah zaman dalam bentuk konstruksi kejujuran, tetapi lebih sebagai legitimasi sebuah opinim orientasi politik, ideologis, dan mitologis. 


Kekacauan dan hilangnya kejujuran sejarah dengan semakin meningkatnya mitologisasi fakta-fakta sejarah yang tak terhingga tersebut justru menjadi tantangan untuk mengembalikan sebuah kejujuran sejarah yang mulai menghilang. 


Menguatnya fakta-fakta yang berkembang dalam memori kolektif bangsa ini semakin absurd ketika fakta-fakta itu dikaitkan dengan isu-isu sejarah yang sensitif, seperti peristiwa 30 September, 1 Oktober, ataupun 10 November. 


Penanda tanggal itu adalah peristiwa-peristiwa sejarah, tetapi proses dan berjalannya peristiwa-peristiwa tersebut adalah fakta yang tidak hanya berupa fakta tunggal, tetapi juga fakta jamak dan bersifat multidimensi. Sampai di sini, kebenaran sejarah kemudian menjadi persoalan yang tak terbantahkan dan cenderung hanya berakhir dengan mitos-mitos baru. 


Tidak mudahnya membangun konstruksi sejarah yang memasukkan dua unsur sekaligus, subyektivitas dan obyektivitas, menjadikan kejujuran sejarah menjadi solusi rasional untuk memperoleh kebenaran sejarah. Sebuah konstruksi kebenaran tentang peristiwa sejarah yang dibangun dengan sebuah kejujuran, baik kejujuran akademik maupun publik. 


Kejujuran berbangsa

Akhir-akhir ini ada usulan untuk dilakukan penulisan ulang terhadap peristiwa 30 September 1965. Apresiasi perlu diberikan untuk sebuah ide yang diharapkan dapat membri jalan keluar. 


Tentu, tidak hanya peristiwa 30 September 1965 yang perlu direkonstruksi, tetapi keberanian menulis ulang sejarah Indonesia dan kepahlawanan merupakan keberanian untuk membuka kebenaran sejarah. 


Persoalannya, apakah ada kebenaran sejarah yang mau diungkap ketika publik sudah lelah dengan fakta-fakta yang masif, mistis, dan subyektif? Banyaknya fakta yang berkembang tanpa kendali membuat semakin dimungkinkan adanya argumen yang semakin memunculkan jaringan faktual yang rumit dan absurd. 


Fakta yang dibangun atas dasar opini semata, cenderung berpotensi menjadi mitos. Sayangnya, mitos terkadang juga dapat menjadi pembenar dan melampaui kebenaran sejarah itu sendiri sehingga mitos seolah menjadi sebuah kebenaran sejarah baru. 


Penerbitan buku-buku atas nama sejarah, dari masa klasik (pre-literacy era), Hindu, Buddha, Islam, sampai masa kontemporer ini, bukanlah soal kebenaran sejarah yang mengalami mitologisasi semata, tetapi lebih serius terkait dengan wajah kejujuran berbangsa dan bernegara. Bagaimana mitos-mitos dapat menjadi dan diyakini sebagai sebuah kebenaran sejarah? 


Minimnya tulisan sejarah dan tidak adanya kemauan akademik yang serius terkait rekonstruksi sejarah bangsa ini sangat memungkinkan menyebabkan munculnya tulisan-tulisan “pseudo-history”, bukan tulisan sejarah tetapi dianggap tulisan sejarah di mana di ranah publik justru menjadi kebenaran itu sendiri. Sementara itu, kajian sejarah serius hanya muncul di rak perpustakaan yang lusuh tanpa pembacaan ulang dan interpretasi baru. 


Ironi sebuah bangsa yang hidup dan berkembang di tengah-tengah mitos dan dibangun atas kesadaran mitologis. Tidak jarang, “pseudo history” yang mistis ini justru sering menjadi alat legitimasi yang absolut dan memberi daya paksa di atas kebenaran sejarah. 


Rekonstruksi “Sejarah”

Di sinilah merekonstruksi sejarah Indonesia, termasuk sejarah kepahlawanan, menjadi keharusan sejarah sebagai langkah membuka kebenaran dan kejujuran sejarah bangsa. Menulis sejarah adalah menulis kejujuran yang diperkuat dengan argumentasi dan narasi yang nalar dan rasional. 


Di sini sejarah tidak lagi hanya berkutat pada persoalan stigma pembenaran atau penidakbenaran sebuah peristiwa sejarah, tetapi menjadi wajah sebuah bangsa. 


Terkait penulisan dan pengungkapan sejarah kepahlawanan, paling tidak hal ini menjadi cermin bagaimana bangsa ini direkonstruksi. Artinya, penulisan dan kajian terhadap kepahlawanan tidak sekadar menulis sebuah biografi yang dianggap memiliki kemampuan melampaui sejarahnya, tetapi harga yang mahal yang namanya “menulis wajah sendiri” sebagai bangsa akan dpertaruhkan. 


Sejarah bukanlah kebenaran absolut untuk menghakimi sebuah peristiwa, tetapi sejarah, paling tidak, akan memberikan solusi karut-marutnya pemikiran faktual tentang bangsa. Demitologisasi kepahlawanan seharusnya sudah menjadi komitmen untuk sebuah harga diri bangsa melalui kejujuran sejarah. 


Dengan demikian, paling tidak penulisan ulang tidak justru menambah mitos-mitos baru, yang semakin menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang ahistoris. 


Sumber: Kompas, 10 November 2020

0 komentar:

Posting Komentar