Oleh: Fitzerald Kennedy Sitorus
Siapakah filsuf yang secara khusus menjadikan peristiwa Natal sebagai bahan refleksinya? Tampaknya tidak ada.
Sang filsuf ateis, Jean-Paul Sartre, pernah menjadikan peristiwa kelahiran Yesus di Betlehem sebagai materi drama. Pada tahun 1940, ketika ia menjadi tahanan perang Jerman di Trier, rekannya sesama tahanan memintanya untuk menulis sesuatu mengenai Natal. Drama itu dipentaskan tiga kali, dan tahun 1976 naskah drama itu diterbitkan. Namun Sartre kemudian mengakui bahwa „kesalehan yang keliru“ (maklum, dia seorang ateis) agak memalukan.
Filsuf Hannah Arendt juga menulis mengenai natalitas, sebagai antipoda atas filsafat Heidegger yang menekankan hakikat manusia sebagai Sein zum Tode (Ada menuju kematian). Namun, fokus dan titik tolak Arendt bukanlah kelahiran bayi Yesus di Betlehem, melainkan kapasitas manusia untuk memulai sesuatu yang baru pada setiap saat dalam perjalanan hidupnya. Manusia dapat lahir setiap saat.
Bagaimana dengan Hegel? Bukankah dalam sistemnya filsafatnya yang disebut Idealisme Absolut itu Hegel mengklaim bahwa ia telah menjelaskan segala sesuatu secara logis dan rasional?
Hegel memang tidak pernah secara khusus merefleksikan peristiwa Natal. Tapi kehadiran makna peristiwa ini dalam filsafatnya sangat sentral. Bahkan melampaui sebuah refleksi khusus. Makna peristiwa Natal, yakni Allah yang menjadi manusia, adalah roh filsafat Hegel. Kerangka dasar filsafat Hegel adalah Trinitas.
Seluruh sistem filsafat Hegel mau menjelaskan dan mengeksplisitkan peristiwa „Allah menjadi manusia itu. Melalui tindakan untuk menjadi manusia itu, keallahan Allah menjadi konkret. Allah bukan lagi Allah yang abstrak yang berdiam pada diri-Nya sendiri. Ia masuk dalam dimensi historis. Allah itu menjadi konkret. Artinya, ia menegasi diri-Nya, menghasilkan perbedaan dari dan dalam dirinya sendiri. Ia menciptakan dunia. Ia menjadi manusia. Dunia adalah Allah dalam bentuk yang lain, dalam bentuk materi. Dunia dan manusia adalah yang-lain dari Allah.
Allah itu bukan materi. Ia roh. Tapi ia juga tampil dalam bentuk materi, yakni dunia. Allah itu bukan manusia, tapi ia juga tampil dalam bentuk manusia, yakni Yesus. Karena itu, Allah identik (dan sekaligus berbeda) dari dunia. Allah juga identik (sekaligus berbeda) dari Yesus. Itulah konsep dialektis mengenai Allah: Ia mengandung perbedaan dalam dirinya sendiri. Ia menghasilkan anti-tesis-Nya. Dan Ia tetap identik (sekaligus berbeda dari) antitesis-Nya itu. Begitulah Allah yang konkret.
Hans Küng menguraikan tema ini dalam bukunya Menschwerdung Gottes (Allah yang Menjadi-Manusia), diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi: The Incarnation of God. An Introduction to Hegel`s Theological Thought as Prolegomena to a Future Christology. Frase „Kristologi di masa depan“ ini sangat tepat kalau kita nanti melihat makna filosofis Natal dalam filsafat Hegel.
Karena itu pemahaman yang benar (konkret) mengenai Allah bukanlah pemahaman yang melihat Allah sama sekali abstrak, terasing dari dunia ini. Itu adalah konsep Allah dalam tradisi Yahudi, menurut Hegel. Dalam konsepsi tersebut, Allah dilihat saling terasing dengan manusia: Allah dan manusia beroposisi.
Hegel mengatakan, pemahaman yang benar mengenai Allah adalah pemahaman yang sekaligus merangkum dunia dan segala isinya dalam konsep Allah itu. Allah yang konkret adalah Allah plus dunia, plus manusia. Kalau kita menyebut Allah maka dalam kata Allah itu harus juga sekaligus dipahami dunia dan segala isinya, termasuk manusia. Semua itu terangkum dalam konsep Allah. Karena semua itu tidak lain dari negasi diri atau (dalam bahasa agama) ciptaan Allah.
Karena dunia dan segala isinya adalah Allah dalam bentuk yang lain, hasil manifestasi diri Allah, yang membuat keallahan Allah menjadi konkret, maka Hegel mengatakan bahwa „tanpa dunia, Tuhan bukanlah Tuhan“ (Ohne Welt ist Gott nicht Gott). Saya menulis mengenai hal ini dalam sebuah Festschrift untuk Romo Prof. J. Sudarminta (Dengan Nalar dan Nurani, Penerbit Buku Kompas, 2016).
Peristiwa dan makna „Allah menjadi manusia“ (Natal) itu memiliki implikasi sangat besar. Itu bisa menjadi titik tolak bagi sebuah interpretasi politis atas Natal.
Pertama, Natal mengatasi keterasingan antara Allah dan manusia. Manusia tidak lagi teralienasi dari Allah, sebagaimana dalam konsepsi Judaisme. Yesus adalah sintesa antara Allah dan manusia. Dengan menjadi manusia dalam diri Yesus, maka tidak ada lagi oposisi antara yang terbatas (manusia) dan yang tidak terbatas (Allah). Dalam diri Yesus, yang terbatas dan yang tidak-terbatas tersintesakan. Yesus adalah manusia sekaligus Allah. Ia memiliki kualitas-kualitas kemanusiaan dalam diri-Nya, dan juga kualitas-kualitas Keilahian.
Kedua, karena Allah telah menjadi manusia, maka manusia memiliki martabat Ilahi. Manusia bukan semata-mata makhluk organis duniawi hasil evolusi. Dalam dirinya juga terkandung kualitas Ilahi. Ada yang Ilahi dalam diri manusia karena Allah telah menjadi manusia. Dalam pandangan Hegel, kualitas ilahi dalam diri manusia itu berlaku untuk seluruh umat manusia. Manusia berpartisipasi dalam yang Ilahi.
Ketiga, kualitas keilahian ini membuat manusia memiliki martabat yang agung. Manusia memiliki nilai dan martabat absolut yang tidak dapat diganggu gugat. Ia bukan sekadar sebuah makhluk, sebagaimana makhluk-mahluk lainnya di dunia ini. Karena itu manusia, sebagai makhluk yang memiliki kualitas keilahian, tidak boleh dilecehkan, disiksa, diperkosa, dijajah, atau diperlakukan dengan tidak adil. Segala bentuk tindakan negatif kepada manusia adalah bentuk pelecehan terhadap yang Ilahi.
Keempat, berdasarkan ketiga pengertian di atas, maka: Natal itu politis. Dengan merayakan peristiwa „Allah menjadi manusia“ maka Natal harusnya menjadi momen untuk mengingatkan kembali kualitas keilahian manusia ini. Natal harus menjadi momen pemuliaan manusia, perjuangan untuk memanusiakan manusia. Natal menjadi momen pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan. Karena itu pesta Natal seharusnya pesta politis: pesta pembebasan manusia.
Ibadah Natal yang sesungguhnya bukanlah ibadah di mana jemaat diam tenang menikmati kedamaian tanpa terganggu oleh situasi kemanusiaan di sekitarnya. Ibadah Natal justru harus menyadarkan kita betapa masih banyak manusia yang hak-haknya belum dihormati. Belum diperlakukan sebagai mahluk yang mengandung kualitas Ilahi dalam dirinya. Gereja harusnya menyadari tugas dan tanggung jawab ini. Dan ini harusnya diingatkan dan disuarakan setiap gereja merayakan Natal. Itulah kristologi gereja masa kini, sebagaimana dulu disuarakan Küng.
Fitzerald Kennedy Sitorus, alumnus STF Driyarkara
0 komentar:
Posting Komentar