Oleh: Arief Budiman
Tidak ada orang yang menyangka bahwa Gus Dur akan menjadi presiden. Termasuk Gus Dur sendiri barangkali. Peroleh suara partainya, PKB, relatif kecil dibandingkan dengan PDI Perjuangan, Golkar, dan bahkan PPP. Tapi kemudian muncul Poros Tengah, yang bertujuan mencegah terpilihnya Habibie dan Megawati. Tiba-tiba Gus Dur meluncur tanpa hambatan dan menjadi presiden. Luar biasa!
Bagi saya, memang duet Gus Dur-Mega merupakan kombinasi yang paling baik dari semua kemungkinan realistis yang ada. Dengan adanya kombinasi ini, wacana politik Indonesia terhindari dari polarisasi Islam kontra non-Islam. Kalau polarisasi ini yang terjadi, massa radikal PDI akan berhadapan dengan massa fanatik kelompok Islam, dan Indonesia akan masuk ke dalam konflik politik yang sukar diselesaikan. Konflik ini, dalam ukuran mini, sudah kita alami di Ambon.
Namun, setelah kombinasi unggul ini terjadi, muncul persoalan baru: pemerintah menjadi terlalu kuat. Apalagi Gus Dur dalam dalam menyusun kabinet melakukan superkompromi dengan hampir semua kekuatan yang ada di parlemen, yakni Golkar, PPP, PAN, Partai Keadilan, dan militer. Dalam komposisi kabinet seperti ini, praktis tidak ada oposisi yang efektif di parlemen.
Oposisi pasti akan datang dari kalangan intelektual dan pers berupa kritik-kritik. Tapi, oposisi seperti itu, meskipun bisa memengaruhi opini publik, tidak bisa menggantikan pemerintah. Dia hanya bisa merupakan kekuatan moral yang bermain di luar mekanisme politik dan lembaga-lembaga demokrasi yang ada.
***
Mengapa dibutuhkan oposisi efektif yang bisa menggantikan pemerintah? Sebab, seperti pernah dikatakan Goenawan Mohamad, kita membutuhkan dua mobil dalam menjalankan pemerintahan. Kalau mobil yang satu mogok, ada mobil lain yang siap jalan untuk menggantikan.
Pemerintahan Soeharto tidak pernah menyediakan mobil alternatif ini. Bagi Soeharto, mobil alternatif merupakan usaha untuk mendongkel dan menggulingkan pemerintah yang ada. Karena itu, mobil ini harus dihancurkan.
Tidak adanya mobil alternatif ini terasa akibatnya ketika Gus Dur tiba-tiba harus memimpin lembaga eksekutif tanpa persiapan. Lembaga eksekutif yang dibentuknya terkesan amburadul.
Pertama, dia tidak siap dengan menteri-menterinya. Banyak menteri yang ditunjuk hanyalah merupakan hasil improvisasi dan kompromi politik berdasarkan kedekatan pribadi dengan para penyusun kabinet. Dia bukan merupakan hasil suatu pemikiran yang lama dan matang tentang sebuah tim kabinet dengan program yang tajam dan jelas. Sangat tipikal jawaban Gus Dur ketika ditanya mengapa menteri ini atau itu yang didudukkan dalam kabinet. Dengan ringan dia menjawab: “Itu kan bawaan si Polan, dan dia menggaransi.” Belum sebulan umur kabinet tersebut, Gus Dur kemudian sudah mengintimidasi kabinetnya sendiri dengan mengatakan bahwa beberapa di antaranya terlibat KKN dan dia sudah siap dengan penggantinya. Apakah ini bukan yang namanya amburadul?
Kedua, ketika menyusun kabinetnya, mula-mula Gus Dur bilang akan memangkas jumlah departemen yang ada. Hasilnya, memang dia memangkas dua departemen, tapi membentuk departemen baru yang rasanya kurang diperlukan. Kedua departemen yang dihapuskan, yakni Departemen Penerangan dan Sosial, tidak lebih atau kurang pentingnya ketimbang departemen yang baru—bahkan ada desas-desus bahwa penghapusan Departemen Sosial disebabkan oleh kelupaan. Sekali lagi hal ini menunjukkan kerja yang tergopoh-gopoh dan kurang profesional.
Coba kalau sudah ada mobil alternatif tadi. Semua ini pasti tidak akan terjadi.
***
Dalam hal oposisi, di negara tempat demokrasi sudah menjadi tradisi politik, oposisi juga sudah menjadi sebuah lembaga. Partai yang beroposisi menyiapkan sebuah kabinet bayangan. Paling sedikit ada menteri-menteri bayangan untuk posisi yang dianggap penting. Tugas menteri bayangan ini adalah mempersiapkan sebuah kebijakan alternatif dan melontarkan kritik terhadap menteri yang sedang berfungsi. Dengan demikian, menteri bayangan ini tahu betul kekuatan dan kelemahan kebijakan yang dijalankan oleh menteri yang ada, dan menteri ini sudah punya konsep yang relatif matang untuk dilaksanakan begitu ada kesempatan bagi mereka untuk berkuasa.
Republik Indonesia sudah berumur lebih dari setengah abad. Hanya sekitar sepuluh tahun kita mengalami sistem politik yang demokratis, yakni pada 1950-an. Selanjutnya, kita berada di bawah sistem yang otoriter, baik sistem yang bernama Demokrasi Terpimpin maupun Demokrasi Pancasila. Baru di penghujung abad ini, pada 1998 ketika Soeharto dapat digulingkan kita kembali menata sistem yang demokratis.
Di bawah sistem politik yang otoriter, kita berdemokrasi dengan menyerang pemerintah yang menekan kebebasan. Tokoh-tokoh politik dan intelektual segera menjadi “pahlawan” pujaan masyarakat karena keberaniannya menyerang pemerintah. Tapi hanya sedikit, kalaupun masih ada, yang memikirkan sebuah pemerintah bayangan. Mungkin pada waktu itu sangat tidak terbayangkan ada kekuatan yang bisa menggantikan pemerintah militer yang ada, di samping pemikiran seperti ini akan mendapatkan ganjaran yang berat kalau diketahui oleh penguasa waktu itu.
Paling-paling yang ada hanyalah semacam gambaran bahwa pemerintah yang akan datang merupakan pemerintah demokratis yang menghormati hak asasi manusia. Visi umum inilah yang dimiliki Gus Dur ketika masuk ke lembaga eksekutif. Ini tentunya sangat baik, tapi memang belum cukup.
Kehidupan politik yang demokratis meminta syarat-syarat lain bagi “pahlawan-pahlawan”-nya. Yang dibutuhkan bukanlah sekadar keberanian mereka yang luar biasa dan visi umum yang baik, melainkan juga program operasional yang efektif. Juga harus ada kendaraan politik yang memadai untuk mendukung program ini.
Dengan perkataan lain, dibutuhkan sebuah mobil alternatif siap meluncur begitu mobil yang sedang dipakai mogok. Yakni, sebuah partai politik oposisi yang efektif.
***
Kita ketahui bahwa dalam sebuah sistem politik yang demokratis, kekuatan partai didasarkan kepopuleran partai itu di mata orang banyak. Dalam masyarakat yang masih setengah agraris dan tingkat pendidikan yang relatif masih rendah seperti halnya di Indonesia, kepopuleran seorang pemimpin masih didasarkan pada karisma yang ada pada pemimpinnya, bukan pada kualitas program partai tersebut. Karisma seorang pemimpin biasanya ada pada pemimpin kelompok tradisional.
Dari pemilihan umum yang baru lalu dapat kita lihat bahwa ada tiga kelompok tradisional yang kiranya akan menguasai Indonesia pada dasawarsa mendatang, yakni kelompok Sukarnois, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah. Pada dasawarsa pertama milenium kedua, sudah hampir dapat dipastikan bahwa akan sukar diharapkan adanya sebuah partai politik yang kuat di luar ketiga kelompok ini.
Sayangya, partai-partai yang bernaung di bawah ketiga kelompok ini sudah merupakan bagian dari pemerintah. Memang masih ada kemungkinan bahwa satu atau dua partai akan meninggalkan kabinet ini, tapi kemungkinan ini tampaknya kecil bisa terjadi dalam masa lima tahun mendatang. (Sebenarnya akan menarik kalau ketika Hamzah Haz mengundurkan diri, PPP kemudian menarik menteri-menterinya yang lain dan menyatakan dirinya menjadi partai oposisi. Sayang, hal ini tidak terjadi).
Apa yang bisa kita harapkan adalah oposisi dari kaum intelektual, akademisi, bersama beberapa NGO. Tapi, seperti dikatakan di atas, oposisi ini lebih merupakan oposisi moral karena tidak bisa menggantikan pemerintah. Dia hanya berfungsi sebagai sebuah model. Setelah hampir 40 tahun di bawah pemerintahan Sukarno dan Soeharto yang otoriter, nampaknya memang kita harus belajar berdemokrasi lagi dari aksara yang paling pertama.
Arief Budiman, Pengamat politik dan profesor di Universitas Melbourne
Sumber: TEMPO, Edisi Khusus Tahun 2000, 16 Januari 2000
0 komentar:
Posting Komentar