alt/text gambar

Rabu, 22 Januari 2025

Topik Pilihan:

TERIMA KASIH, PAK HARTO

Kalau ini, kelakuan salah satu tokoh angkatan 66,  jelas pendukung dan pemuja penguasa Orde Baru. Buku ini penting sebagai sumber sejarah, baik bagi sejarawan yang hendak menulis sejarah Orde Baru secara kritis maupun membuat semacam "buku putih" Orde Baru.


TERIMA KASIH, PAK HARTO

(TEMPO, No. 47, Tahun XVII, 23 Januari 1988)


Abdul Gafir menulis buku tentang kepemimpinan Pak Harto. Suara sumbang? “Biasa”, jawab sang penulis.

Acara itu berlangsung meriah. Banyak tokoh hadir, dari pejabat, seperti Menmud Sekkab Moerdiono dan Menpera Cosmas Batubara, bekas Menlu Mr. Soenario, sejumlah eks pimpinan Angkatan 66, serta para pimpinan media massa Ibu Kota. Tempatnya asyik, Ruang Andrawina Hotel Hyatt Aryaduta. Acara itu memang bukan main-main: memperkenalkan buku Pak Harto, Pandangan dan Harapannya tulisan Menpora Abdul Gafur.

Seorang menteri menulis buku setebal 537 halaman di akhir masa jabatannya memang jarang terjadi. Karena itulah acara yang berlangsung Kamis malam pekan lalu itu menarik. Banyak ucapan spontan yang terlontar.

Bekas rekan Gafur di Angkatan 66 yang kini menjadi pengusaha besar, Sugeng Saryadi, langsung menyatakan membeli 1.000 buku yang harganya Rp 20.000 (edisi luks) dan Rp 12.500 (edisi biasa) itu. Menmud Sekkab Moerdiono memuji keberanian Gafur menulis buku itu. "Keberanian Saudara Gafur itu tidak ada pada diri saya," katanya.

Menurut Gafur, sebenarnya sudah lama ia ingin menulis buku itu, sejak pertama kali ia diangkat sebagai menteri muda. Karena kesibukan pekerjaan, buku itu baru bisa dikerjakan akhir Oktober 1986. Niat itu baru benar-benar dilaksanakan setelah ia bertemu dengan O.G. Roeder biografi Pak Harto The Smiling General – penulis di Bonn, Jerman Barat, 1985. "Mulai saat itu saya merasa ditantang untuk cepat-cepat mulai menulis," ujarnya.

Tujuannya menulis buku tersebut terutama agar generasi muda mengenal pandangan-pandangan Presiden Soeharto, terutama kepemimpinannya yang menjangkau masa depan bangsa yang jauh. Pak Harto sendiri dalam kata sambutannya pada buku itu mengatakan, kaum muda Indonesia perlu sekali memahami nilai, cita-cita, dan perjuangan para pendahulunya. "Dalam rangka usaha untuk memahami nilai, cita-cita, dan pengalaman perjuangan bangsa kita tadi. buku ini dapat sangat membantu," tulis Presiden.

Menurut Gafur, ide dan gagasan menulis buku ini baru dilaporkan ke Pak Harto pada 3 Januari 1987. Sekaligus minta doa restu serta mohon petunjuk tentang kerangka tulisan yang akan dibuat. Dan Pak Harto menyambut baik gagasan ini. "Daripada orang asing, lebih baik putra bangsa sendiri yang menulis," kata Gafur, menirukan ucapan Pak Harto waktu itu.

"Semua bahan yang saya peroleh itu saya konfirmasikan lagi kepada Pak Harto. Sebab, ini ada kaitannya dengan sejarah," katanya. Begitu juga dengan hal-hal yang berkaitan erat dengan falsafah Jawa. "Saya 'kan bukan orang Jawa, jadi harus hati-hati menulisnya," kata Gafur. "Jadi, setiap selesai lapor kedinasan, saya minta waktu untuk menanyakan hal-hal yang belum saya mengerti dengan jelas.”

Bagi Abdul Gafur, menulis bukan suatu hal yang baru. Ia pernah menjadi penanggung jawab majalah SMA III Jakarta, Arena Remaja. Sewaktu dinas selama 10 tahun di RSAU Surabaya ia pernah menjadi Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Bangun selama dua tahun. Bukunya sebelum itu adalah Kebijaksanaan Nasional tentang Kepemudaan dan Strategi Pembinaan Pemuda.

Untuk menyelesaikan buku Pak Harto, Gafur meluangkan waktu sekitar 4-5 jam setiap hari. Penulisan dilakukan mulai pukul 20.00. Dalam perjalanan dinas pun ia menyempatkan diri untuk terus menulis.

Gafur menyelesaikan bukunya dalam satu tahun dua bulan. Buku itu diserahkannya kepada Presiden bersamaan dengan ketika ia melaporkan mengenai peringatan Tritura, 11 Januari lalu. Pak Harto, katanya, sangat senang dengan terbitnya buku ini.

Mengapa buku ini diterbitkan menjelang Sidang Umum MPR dan berakhirnya masa jabatan kabinet sekarang? "Ini hanya kebetulan saja. Kalau ada suara-suara sumbang mengenai hal ini adalah biasa. Untuk itu, saya tidak mau banyak komentar," ujar Gafur tegas. "Saya menerbitkan buku ini untuk mewujudkan rasa terima kasih saya kepada Pak Harto. Lain tidak. Dan ini saya lakukan dengan tulus dan ikhlas."

Rudy Novrianto


Sumber: TEMPO, 23 Januari 1988

0 komentar:

Posting Komentar