alt/text gambar

Selasa, 18 Maret 2025

Topik Pilihan:

Abu Hasan, Gus Dur, dan Masyarakat Madani

 

Abu Hasan, M.P.A.

Oleh Fachry Ali


Dilihat dari satu segi, Abdurrahman Wahid—Gus Dur—mungkin telah membuat kekeliruan dengan melaksanakan politik non-akomodasi terhadap Abu Hasan di dalam kepengurusan PBNU. Sebagai akibatnya, Abu Hasan—tokoh yang hampir tak pernah dikenal publik bukan Nahdliyin, bahkan beberapa saat pra-muktamar NU di Cipasung—tiba-tiba mencuat sebagai tokoh publik “nasional”. Artinya, secara tidak langsung dengan politik non-akomodasinya, Wahid telah ikut membesarkan “lawan”. 

Dari satu sisi, sebagai seorang politisi dengan instink politik yang tajam “kelalaian” Wahid ini agak mengherankan. Bagaimana mungkin politisi sekaliber Abdurrahman Wahid—yang begitu pandai berimprovisasi dan menari-nari di atas pentas politik nasional selama ini—bisa tidak menyadari munculnya “ancaman” terhadap kepemimpinan dari Abu Hasan? 

Betapapun Wahid mempunyai keyakinan diri dan dukungan media massa, namun hasil muktamar Cipasung menunjukkan dengan gamblang bahwa selisih suara yang diperolehnya tidak terlalu besar dibandingkan dengan tokoh yang sebelumnya tak dikenal? 

Di atas segala-galanya, “kelalaian” itu mempunyai pengaruh yang lebih mendalam: perpecahan NU dalam skala yang lebih besar dan tidak berpreseden. Kini khalayak menyaksikan tumbuhnya dua kekuatan pokok di dalam tubuh NU yang bersifat antagonistis di bawah kepemimpinan Wahid dan Hasan. Antagonisme ini mungkin bisa semakin berkepanjangan karena pemerintah—dengan pernyataan terakhir melalui Menteri Agama—bersifat tidak memihak.

Seruan agar kedua kelompok itu melakukan islah (perdamaian) menunjukkan bahwa PBNU tandingan di bawah Hasan tidak dinyatakan salah—walau juga tidak dinyatakan benar. Tradisi dan budaya yang berlaku di Indonesia akan cenderung menyatakan bahwa pernyataan yang tak tegas, samar-samar dan “amat netral” itu menunjukkan ada hal yang harus “dikoreksi” dari kelompok penentang. Jika dugaan ini benar, maka kelahiran PBNU tandingan itu tidaklah didesain “bernafas pendek”.

Maka, jika kembali diizinkan untuk bertanya, bukankah gejala tradisi politik semacam ini telah lama dikunyah-kunyah Abdurrahman Wahid? Tetapi mengapa perkiraan-perkiraan dan kecenderungan tradisi politik semacam ini tidak ditangkap oleh Wahid sejak awal? Bukankah dengan mengakomodasikan Hasan, Wahid dengan mudah bisa menyelesaikan persoalan intern NU? Bukankah pula keputusan semacam itu telah menjadi tradisi di dalam komunitas yang dipimpinnya—menghindari konflik dan mencari persamaan-persamaan dalam perbedaan? 

Tapi mungkin juga Wahid sangat menyadari semua persoalan di atas Di sini kita sampai pada spekulasi kedua: bahwa politik non-akomodasi terhadap Abu Hasan bukan hanya refleksi bawah sadarnya, melainkan sesuatu yang harus dilaksanakan secara konsisten oleh Wahid.

Logikanya adalah, Wahid sangat sadar akan kekuatan “pendatang baru” itu. Walau pada mulanya mungkin ia memandang sebelah mata kepada Abu Hasan di arena Cipasung—karena konsentrasi penuh ditujukan kepada dua saingannya, Fahmi Syaifuddin dan Chalid Mawardi—namun dalam kenyataannya justru “pendatang baru” inilah yang mendapat dukungan besar kaum Nahdliyin luar Jawa. Relatif mempunyai akses terhadap sumber-sumber dana, memiliki pengalaman kewiraswastaan, Abu Hasan menjadi sangat potensial sebagai pemimpin alternatif di dalam NU.

Wahid bagaimanapun menyadari bahwa kekuatannya terletak pada “darah biru” ke-NU-an yang memberikan kesempatan untuk mengontrol jaringan makna di dalam komunitas kaum Nahdliyin—dan basis intelektualnya yang memberikan akar pengaruhnya di kalangan kaum intelektual kota. Tapi kepemimpinan ini sangat bersifat simbolis. Padahal massa NU, terutama dari luar Jawa (yang belum bersentuhan betul dengan persoalan-persoalan abstrak), menginginkan sesuatu yang kongkret. 

Rumor yang membiak yang menyatakan bahwa NU telah terlalu berpolitik dan “jauh dari pemerintah” di bawah kepemimpinannya, semakin memperkukuh Abu Hasan sebagai alternative leader—yang produktif secara ekonomis dan politically acceptable di hadapan pemerintah. 

Oleh karenanya, satu-satunya jalan untuk membendung kekuatan itu adalah melaksanakan politik non-akomodasi secara konsisten. Jadi, dalam perspektif ini, Wahid justru dengan sengaja mengambil jalan non-akomodasi ini. Mengapa? Karena dengan itu, Hasan dan kelompoknya tidak mempunyai kesempatan sedikit pun memperoleh pijakan resmi di dalam kepengurusan. 

Sebab, dengan pengaruh dan kekuatan yang telah didemonstrasikan di Cipasung, Hasan dan kelompoknya akan dengan mudah memanfaatkan status keresmiannya sebagai pengurus untuk semakin memperbesar eksistensi. Dan jika pijakan keresmian ini bisa diperoleh, maka lambat-laun pengaruh Abdurrahman Wahid bisa terancam. 

Sumber finansial independen di bawah kontrol Abu Hasan (sebagai seorang pengusaha) akan dengan mudah memfasilitasi penyebaran pengaruh Hasan ke dalam seluruh lekuk-lekuk organisasi. Di mana pun, organisasi besar seperti NU akan sangat “haus” terhadap suntikan-suntikan dana, karena beragamnya kegiatan yang diamanatkan oleh muktamar. Maka, jika Hasan masuk sebagai pengurus, bukankah untuk sebagian dana yang dibutuhkan bisa ditutupi oleh Abu Hasan? 

Maka, dengan perhitungan-perhitungan semacam inilah politik non-akomodasi merupakan imperatif bagi Wahid. Dengan ini Wahid berhasil memposisikan Hasan dan kelompoknya di luar pagar tidak akan bisa mengembangkan kekuatannya walau secara informal tokoh dan kelompok itu mempunyai pengaruh besar. Dalam spekulasi ini, Wahid berharap—seperti yang pernah dinyatakan sendiri sesaat setelah KPP-NU didirikan Hasan—kelompok disiden itu akan mati sendiri. 

Dalam realitas, setidak-tidaknya untuk sementara, spekulasi kedua ini kurang menggambarkan kenyataan. Bukan saja Abu Hasan, secara pribadi, telah muncul sebagai tokoh publik yang harus diperhitungkan—siapa sih tokoh NU lainnya yang bisa menandingi kepiawaian politik Abdurrahman Wahid selama 10 tahun belakangan ini? 

Melainkan juga KPP-NU yang sebelumnya dicoba dilihat dengan sebelah mata telah menjadi kekuatan riil sebagai tandingan PBNU yang dipimpin Wahid. Terdesak oleh gerakan-gerakan dari paman-pamannya sendiri dari dalam kalangan pesantren, terhimpit oleh kemunculan PBNU tandingan dan bayangan samar-samar acceptability pemerintah terhadap kelompok terakhir ini, akan timbul pengaruh yang luas terhadap keleluasaan Wahid.

Gejala yang terjadi belakangan ini di dalam NU seakan-akan merupakan langkah sistematis untuk mengisolasi pengaruh Wahid hanya sampai di Jawa Timur—ketika disadari pengaruh Wahid di luar Jawa semakin merosot, sementara pendukung-pendukungnya di Jawa Barat dan Jawa Tengah tidak mendemonstrasikan pembelaan yang militan. Tak mengherankan, Wahid lebih mengonsentrasikan usaha konsolidasi kekuatannya di daerah Jawa Timur. 

Apa arti kesemuanya ini bagi kesadaran politik (masyarakat) Indonesia? Wahid dan kelompoknya, bagaimanapun harus dilihat sebagai eksperimen dari kedigdayaan masyarakat madani (civil society). Walau sebelumnya muncul dengan kekuatan “eksternal”—setidak-tidaknya berupa bantuan teknikal dari peralatan ABRI dalam muktamar Situbondo dan Krapyak—ketika mengambil alih kepemimpinan NU dari tangan Idham Chalid, Wahid secara lambat-laun mematrikan diri sebagai kelompok “merdeka” dari jangkauan-jangkauan intervensi politik negara. Simbol sebagai kelompok “merdeka” ini semakin dipatrikan ketika ia lulus ujian dari kawah candradimukanya arena pertarungan Cipasung. 

Khalayak sadar politik kota yang selama ini mengalami krisis kepemimpinan—antara lain, karena absennya Buyung Nasution selama beberapa tahun dari Indonesia—menemukan figur panutan pada diri Wahid. Antara lain, dengan alasan inilah kita memahami kegandrungan media massa meliput hampir semua kegiatannya. Wahid, dengan sedikit mendramatisasikan, telah menjadi satu-satunya politisi Indonesia yang mempunyai pengaruh ke dalam masyarakat desa—melalui NU—dan masyarakat kota sadar politik, melalui jaringan dan kerja intelektual. Dari konteks ini, hampir bisa dipastikan, tak ada orang yang bisa menandinginya—bahkan oleh partai-partai politik sekalipun.

Dilihat dari perspektif ini, maka perkembangan yang hampir-hampif sistematis mengisolasi pengaruh Wahid dalam NU hanya sampai di wilayah Jawa Timur adalah berarti pelemahan masyarakat madani. Sebab, meskipun Wahid secara pribadi bisa dan telah tertransformasikan menjadi institusi, secara politik ia masih sangat membutuhkan organisasi massa untuk memberikan bobot dan wibawa terhadap suara-suara “pembebasan”. 

Sekali lagi dalam konteks politik hanya dengan latar belakang jutaan massa, suara Wahid memberikan kekuatan politik bagi perjuangan penciptaan suasana keterbukaan bagi khalayak sadar politik kota. Dalam arti kata lain, walau “sengau” terdengar di telinga suara-suara dan sikap pribadi Wahid secara simbolis atau langsung menyentak kesadaran kita: Betapa semangat pluralisme, yang tidak harus selalu seragam, perlu diwujudkan ke dalam realita. Agar bangsa ini menjadi dewasa menjelang abad ke-21. 

Fachry Ali, intelektual Muslim Indonesia


Sumber: Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi dalam IsIam Indonesia, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm. 123-127) 

0 komentar:

Posting Komentar