alt/text gambar

Senin, 14 April 2025

Topik Pilihan:

MENCABUT TAP NO XXV/MPRS/1966?


Oleh: Franz Magnis Suseno

(Kompas, 14 April 2000)


Sejak Presiden Abdurrachman Wahid menyerukan pencabutan Ketetapan (Tap) No XXV/MPRS/1966, de-bat pro dan kontra tidak pernah berhenti. Hal itu dapat dimengerti. Selama 34 tahun larangan terhadap partai komunis dan ajarannya telah menjadi patokan sentral bagi medan orientasi ideologi bangsa. Tap No XXV/ MPRS/1966 sudah menjadi tabu yang tidak boleh dipertanyakan.


Di belakang tabu itu, sebuah trauma besar sejarah bangsa terkunci dalam kegelapan: permasalahan sekitar "G30S/ PKI". Mungkin saja budaya kekerasan yang saat ini melanda masyarakat kita berkaitan dengan trauma itu. Seruan presiden untuk mencabut Tap No XXV/MPRS/1966 kiranya harus dilihat dalam rangka usaha untuk mengatasi trauma itu.


Mengakhiri stigmatisasi

Akibat trauma itu, terjadi stigmatisasi pada ratusan ribu, bahkan jutaan saudara sebangsa, yang pernah dicap "terlibat GS0S/PKI". Mereka bukan sekadar harus mengalami, 34 tahun lalu, bahwa orientasi politik mereka--yang, betapa pun kita menolaknya, pada waktu itu sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku--dilarang dan dinyatakan tidak berhak berada lagi di bumi Indonesia. Melainkan, tanpa proses pengadilan, mereka dicabut hak-haknya sebagai warga negara. Banyak diantara mereka yang tanpa kesalahan hukum apa pun--yang secara hukum bersalah, memang diadili dan dihukum,--ditahan secara kejam selama, kadang-kadang, lebih dari 10 tahun. Mereka dicap sebagai orang yang berbahaya, dicap seperti orang kusta yang harus dijauhi bak penyakit berbahaya, baik yang langsung terlibat maupun para keluarga, anak, cucu dan cicit mereka (penegasan seorang Panglima Kopkamtib di tahun 1980-an). Mereka dihancurkan dasar kehidupan sosial dan ekonominya, terus dicurigai, dibatasi kebebasannya, dibikin tidak bisa hidup biasa. Ribuan yang tidak berani pulang dari luar negeri, 35 tahun lamanya.


Apakah perasaan saya benar bahwa mulai terbangun sebuah konsensus bangsa--yang juga termasuk mereka yang dengan paling keras melawan komunisme--bahwa stigmatiasi itu harus diakhiri? Bahwa 35 tahun sesudah peristiwa G30S mereka itu, para "terlibat" perlu diterima kembali sebagai saudara dan warga sebangsa, bahwa kecenderungan politik mereka waktu itu, yang barangkali tetap akan kita lawan dengan keras, bukan alasan untuk terus mengucilkan mereka dari cakupan solidaritas bangsa? Alhamdullilah kalau begitu.


Sulit disangkal bahwa stigmatisasi itu keterlaluan tidak adil, keterlaluan melawan perasaan kemanusiaan. Stigmatisasi itu menjadi unsur paling penting dalam legitimasi kekuasaan Orde Baru, padahal kekuasaan itulah yang dengan kekejaman dan korupsinya membawa bangsa Indonesia ke pinggir kehancuran.


Alangkah baiknya kalau kita semua, kiri dan kanan, agamawan--dari agama mana pun--dan budayawan, tokoh agama dan tokoh intelektual, politisi dan militer, bisa menyepakati pengakhiran stigmatisasi itu, bisa membangun tekad untuk menutup sebuah bab gelap dalam sejarah bangsa. Sebagai orang yang takut akan Allah, kita tentunya sadar bahwa manusia tidak berwenang untuk secara definitif mengucilkan seorang manusia lain yang juga diciptakan sebagai manusia oleh Allah, dari lingkup persaudaraan kita! Kalaupun kita tidak dapat meniadakan segala penderitaan dan ketidakadilan yang telah menimpa mereka, yang dapat kita lakukan adalah kita akhiri situasi itu. Undangan kepada mereka yang masih takut di luar negeri untuk pulang merupakan langkah penting ke arah yang tepat.


Tap No XXV/MPRS/1966

Akan tetapi, apakah mengakhiri stigmatisasi berarti Tap No XXV/MPRS/1966 perlu dicabut? Tap yang melarang PKI (dengan organisasi-organisasinya) dan penyebaran ajarannya, komunisme/marxisme-leninisme? Tentang hal itu, jelas tidak ada konsensus dan belum tentu bisa dapat mencapainya. Yang dapat diharapkan, kita bersedia untuk memperhatikan dan mempertimbangkan dasar sikap masing-masing.


Satu hal memang harus dilihat dengan jelas: sebuah partai politik yang mendasarkan perjuangannya pada marxisme-leninisme tidak mempunyai tempat di bumi Pancasila. Pertama, karena marxisme-leninisme secara resmi memuat ateisme. Kedua, karena marxisme-leninisme tidak mengakui demokrasi. Itulah sebabnya partai-partai komunis, di mana pun mereka merebut kekuasaan, tidak pernah mengizinkan mengadakan pemilihan umum lagi yang bebas.


Hak asasi demokratis dan kebebasan membentuk organisasi politik menemukan batasnya pada prinsip demokrasi sendiri. Demokrasi terbuka bagi segenap gerakan politik, kecuali yang mau membongkar demokrasi sendiri. Berdasarkan argumentasi itu Mahkamah Konstitusi Republik Federal Jerman (RFJ) 1954 menyatakan, Partai Komunis Jerman (KPD) adalah organisasi terlarang. Baru 20 tahun kemudian, sebuah partai komunis baru diberi lisensi, tetapi dengan nama baru (DKP), dan hanya sesudah ia menyatakan menerima undang-undang dasar RFJ.


Bahaya komunis kembali? 

Akan tetapi, dengan demikian, hal pencabutan Tap No XXV/ MPRS/1966 belum terjawab. Melarang sebuah ideolo- gi sebenarnya tidak masuk akal. Yang bisa dilarang adalah sebuah gerakan, bukan sebuah pemikiran. Sebuah ideologi harus dilawan dan dikalahkan di tingkat intelektual (hal mana juga tidak sulit). Apalagi, menurut hampir semua ahli, komunisme sebagai kekuatan politik dan ideologi internasional sudah aus. Termasuk di Indonesia, di mana sejak tahun 1970-an Kopkamtib maupun Bakorstanas sekalipun tidak menemukan sebuah konspirasi, apalagi ancaman konkret komunis lagi. Dengan ancaman nyata komunisme tidak ada lagi, ideologi komunisme marxisme-leninisme jangan terus ditabukan, kalau tidak justru mau dijadikan sebuah mitos yang lalu menarik lagi.


Sedangkan pencabutan larangan terhadap partai komunis, apakah memang begitu berbahaya? Siapa yang bisa terancam olehnya? Tentu, larangan itu harus bersyaratkan bahwa partai itu menyatakan dengan resmi bahwa ia menolak marxisme-leninisme sebagai landasan (seperti yang dilakukan oleh Partai Komunis Italia 1976). Namun, bisa saja kehadiran sebuah partai komunis, sebaiknya dengan nama yang tidak persis sama dengan PKI dulu, meskipun mengagetkan, tidak tanpa manfaat. Kehadirannya sekurang-kurangnya akan memaksa partal-partai lain, dan pemerintah, untuk secara lebih serius memperhatikan orang kecil.


Akan tetapi, mengapa tidak kita biarkan saja Tap No XXV/ MPRS/1966? Alasan paling kuat untuk mempertimbangkan pencabutannya adalah bahwa Tap itulah legitimasi atas stigmati- sasi itu tadi. Selama Tap ini tidak dicabut, stigmatisasi tidak akan habis. Andaikata tidak. pernah ada Tap No XXV/ MPRS/1966, PKI juga habis, karena di bulan Juli 1966 memang sudah habis. Lalu, sesudah banjir darah dan kekejaman mengerikan yang menyusul pembunuhan enam orang jenderal dan Letnan Tendean tanggal 1 Oktober 1965 itu, komu- nisme sudah terpukul habis. Akan tetapi, orang-orang yang kebanyakan bukan komunis dalam arti sungguh-sungguh akan bisa recovery mental dan sosial.


Baru dengan Tap No XXV/ MPRS/1966 peristiwa tragis itu menjadi sebuah tragedi berkepanjangan. Atas dasar Tap itu, orang-orang diuber-uber, ditahan, dicap, dilitsus, dan teror terhadap para lawan rezim dikembangkan. Karena Tap itu, jutaan saudara kita bersama keluarga dan keturunan mereka, yang secara individual tidak bersalah, menjadi "terlarang" untuk selamanya. Dendam kesumat Orde Baru itulah--yang nota bene juga diarahkan kepada "Islam politik" dan lain sebagainya--menjadi benih kerusakan masyarakat yang kita alami sekarang. Karena itu, saya berpendapat, pencabutan Tap No XXV/MPRS/1966 merupakan salah satu langkah kunci ke arah penyembuhan kembali luka-luka jiwa masyarakat.


Maka, menurut hemat saya, presiden kita, Gus Dur, justru tidak sembrono dengan usulannya agar Tap No XXV/MPRS/1966 dicabut. Beliau tidak sekadar mau meramaikan suasana nasional. Beliau justru tidak naif. Beliau yakin bahwa tugas paling berat yang menunggu kita adalah pemulihan persatuan hati bangsa, dan tujuan ini hanya dapat dicapai apabila kita mengakhiri stigmatisasi sebagian banga kita. 


* Franz Magnis-Suseno, rohaniwan, guru besar filsafat (sosial) di Sekolah Tinggi Filsafat, Driyarkara, guru besar luar biasa di Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia.


Sumber: Kompas, 14 April 2000

0 komentar:

Posting Komentar