![]() |
Ariel Heryanto |
Oleh: Ariel Heryanto
Pada zaman primitif, adu kekuatan fisik dan senjata perang menjadi cara utama untuk mengatasi konflik. Hingga akhir abad ke-20 ini, unsur-unsur primitif tersebut masih menjadi bagian dari peradaban kita. Dengan mengatasnamakan keamanan, bahkan perdamaian, pasukan bersenjata masih dipertahankan di seluruh jagat raya. Persatuan, stabilitas, dan perundingan sering dicapai sebagai hasil adu kekuatan fisik dan penggunaan senjata perusak tubuh dan lingkungan hidup manusia.
Sementara sejarah mutakhir masih penuh borok kemanusiaan, peradaban modern berhasil mengembangkan sebuah teknologi baru untuk menghadapi konflik, yakni pemboikotan dan pemogokan. Walau keduanya dapat dibedakan dibedakan lebih rinci, untuk keperluan ulasan di sini perbedaan keduanya tidak terlalu penting. Maka, keduanya diperbincangkan sebagai tindakan sejenis.
Watak modern dari boikot dapat dipahami dari dua segi. Pertama, peradaban manusia secara fundamental dan universal memuliakan cara-cara non-kekerasan dalam membangun dan merawat hubungan sosial, termasuk dalam mengatasi konflik. Boikot merupakan salah satu bentuk tindakan non-kekerasan yang sesuai dengan ideal itu. Musyawarah dan mufakat merupakan bentuk lain.
Kedua, masyarakat modern secara normatif mengasumsikan hubungan sosial, kerja sama, dan pergaulan antarmanusia didasarkan pada sebuah kesepakatan suka-sama-suka. Semacam kontrak yang terbuka bagi tawar-menawar di antara mereka yang terlibat secara merdeka. Tak ada pemaksaan. Tidak ada sebuah kewajiban mutlak yang tak dapat diganggu-gugat.
Asumsi ini diperkuat oleh asumsi modern lain yang menilai setiap manusia punya harkat dan hak asasi yang sederajat. Boikot merupakan sebuah penegasan bahwa apabila kerja sama atau kesepakatan antarmanusia tidak tercapai, karena ketimpangan sosial-politik-ekonomi, tidak ada keharusan bagi pihak mana pun untuk melanjutkan kerja sama itu. Tidak ada hak bagi salah satu pihak untuk memaksa yang lain melanjutkan hubungan yang timpang itu.
Norma-norma modern itu masih jauh dari pengamalan yang nyata di dunia. Biarpun demikian, sulit untuk melakukan pokok-pokok pikiran mendasar yang dihasilkan modernitas di atas. Justru karena dunia masih penuh dengan kekerasan, penindasan, dan pemaksaan antarmanusia, relevansi norma-norma modern itu terasa semakin mencolok. Itu sebabnya boikot menjadi salah satu metode perlawanan kaum lemah yang paling terhormat dalam peradaban modern dan paling sulit dihadapi kaum berkuasa yang berniat memaksakan kehendak sendiri.
Walau pemboikotan cocok untuk sejarah modern, tidaklah berarti masyarakat pramodern tidak dapat membayangkan sosok dan nilainya. Dalam karya klasiknya berjudul Lysistrata, seniman Yunani Aristhophanes 2.000 tahun lalu berkisah tentang kehebatan kaum perempuan menaklukan kaum pria dari dua negara yang berperang. Caranya? Kaum hawa ini melakukan pemogokan seksual sampai kaum pria bersedia mengakhiri perang. Seperti yang dapat diperkirakan, pemogokan ini berhasil gemilang. Kisah ini berkali-kali disambut hangat oleh publik Indonesia ketika dipentaskan Bengkel Teater pimpinan Rendra.
Karena peradaban modern tidak sepenuhnya menghapuskan alam primitif pada zaman ini, tidak semua orang sanggup bertepuk tangan menyambut pemogokan atau boikot. Unsur-unsur primitif bukan saja bingung dan kelabakan menghadapinya. Mereka bisa menjadi takut oleh cahaya peradaban modern ini.
Tanpa rasa malu, tidak sedikit pihak yang mengutuk tindakan boikot sebagai sesuatu yang secara esensial tercela dalam dirinya sendiri. Tidak mengherankan bila sebagian dari sisa-sisa alam barbarisme melakukan tindakan secara sepihak kepada mereka yang melancarkan boikot atau pemogokan. Persis kekerasan pada pemerkosaan terhadap orang yang menolak bercinta.
Salah satu legenda terbesar dari abad ini, tentu saja, adalah kisah Mahatma Gandhi, bapak gerakan antikekerasan. Bukan sekadar karena alasan taktis (misalnya tak punya senapan) jika Gandhi melancarkan seruan pemboikotan nasional terhadap hukum kolonial maupun produk industri dari bangsa-bangsa tuan kolonial. Tindakan itu dilandasi oleh sebuah fondasi moral dan filsafat antikekerasan. Ini yang justru paling sulit dihadapi penjajah Inggris, yang terbiasa menyombongkan diri sebagai bangsa beradab dan modern. Akan lebih mudah bagi pasukan kolonial untuk menghadapi pemberontakan bersenjata atau kerusuhan massal warga terjajah.
Bukan sebuah kebetulan bila gerakan antikekerasan mendapatkan sambutan hangat di kalagan sarjana dan cendekiawan di Indonesia sendiri. Mogok makan dilakukan para aktivis prodemokrasi hampir setiap tahun. Selama hampir setahun (1995-1996) ribuan dosen dan mahasiwa di sebuah perguruan tinggi Kristen di Jawa Tengah melakukan boikot terhadap kegiatan akademik di kampus itu. Mereka melancarkan protes terhadap pemecatan sewenang-wenang terhadap seorang dosen. Ironisnya, sejumlah lembaga Kristen yang ikut bertanggung jawab atas kemelut di kampus itu malahan menyalahkan pemboikotan itu sendiri, “apa pun alasannya”. Sedangkan terhadap tindakan pemecatan dosen yang melawan hukum itu, mereaka bungkam seribu bahasa.
Tidak semua orang yang terdidik di perguruan tinggi dapat mengunyah nilai-nilai peradaban modern. Tidak semua orang yang hidup pada abad ke-20 ini mengecap kehidupan modern yang didasarkan oleh norma musyawarah, muafakat, dan kerja sama berdasarkan suka-sama-suka. Mereka terbenam dalam sebuah struktur hidup dan profesi yang didasarkanpada hukum memaksa atau dipaksa dengan senjata kekerasan.
Orang-orang seperti itu sulit memahami sosok insan modern seperti Gandhi, yang pernah bertutur bahwa penguasa yang lalim “bisa saja menyiksa aku, menghancurkan badanku. Mereka bisa membunuhku dan mendapatkan mayatku. Tetapi mereka tidak akan pernah mendapatkan kepatuhanku”.
Karena tidak banyak penguasa yang mampu memahami sikap ini, dari zaman ke zaman di berbagai masyarakat kita menyaksikan penyiksaan, teror, penculikan, pengadilan, dan prosekusi, serta pembunuhan terhadap orang-orang yang melakukan pembangkangan tanpa kekerasan. Korban bergelimpangan, tetapi pembangkangan terhadap kelaliman dan pelecehan harka manusia tak kunjung padam.
Ariel Heryanto, antropolog sosial
Sumber: FORUM KEADILAN, No. 26, Tahun V, 7 April 1997
0 komentar:
Posting Komentar