Oleh: AS Laksana
Seorang mahasiswi ITB mengunggah meme Jokowi dan Prabowo berciuman, dan ia ditangkap polisi tak lama kemudian. Alasan penangkapan, yang disampaikan dalam bahasa kepolisian, dan dikutip oleh wartawan yang malas mencari tahu artinya, saya jamin membingungkan anda:
"Tersangka SSS melanggar Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat (1) dan/atau Pasal 51 ayat (1) jo Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik."
Baiklah, kita terjemahkan dulu bahasa Babilonia Kuno itu ke dalam bahasa Indonesia agar bisa dipahami:
1. Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE
Pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Kata kuncinya: melanggar kesusilaan.
Pasal 45 ayat (1) menetapkan sanksi pidana bagi pelanggaran tersebut, yaitu pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
2. Pasal 35 jo Pasal 51 ayat (1) UU ITE
Pasal 35 mengatur bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, atau pengrusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar dianggap seolah-olah data yang otentik.
Kata kuncinya: melakukan manipulasi ... agar dianggap seolah-olah data yang otentik.
Pasal 51 ayat (1) menetapkan sanksi pidana bagi pelanggaran tersebut, yaitu pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp12 miliar.
Jadi, mahasiswi tersebut diciduk polisi karena diduga telah mengunggah meme yang “melanggar kesusilaan” dan “memanipulasi informasi elektronik sehingga dianggap seolah-olah data yang otentik.”
Menurut kalimat dalam pasal 51 ayat (1), ia terancam sanksi pidana dengan tiga kemungkinan:
(1) penjara maksimal 12 tahun, atau
(2) membayar denda maksimal Rp12 miliar, atau
(3) dua-duanya, yaitu penjara maksimal 12 tahun dan denda maksimal Rp12 miliar.
*
Apakah benar meme itu melanggar kesusilaan dan memanipulasi informasi elektronik sehingga dianggap seolah-olah data yang otentik? Kekuasaan menafsirkannya begitu. Karena itulah si mahasiswi ditangkap polisi.
Apakah itu hanya satu-satunya tafsir? Iya, menurut pemerintah. Kekuasaan ingin menjadi penafsir tunggal, dan mengunci makna meme itu, dan tidak mau tahu ada banyak penafsir lain yang memaknainya secara berbeda.
Apa saja makna lain yang disingkirkan oleh kekuasaan yang memaksakan tafsir tunggal itu? Banyak. Ada yang memaknainya sebagai gambar yang jenaka. Ada yang memaknainya sebagai kritik terhadap kekuasaan. Ada yang memaknainya sebagai ekspresi kesenian terhadap situasi sosial-politik. Ada yang memaknainya sebagai keberanian si mahasiswi. Ada yang memaknainya sebagai cermin bagi situasi kita. Ada yang memaknainya sebagai upaya membongkar harmoni palsu yang dipertontonkan oleh elite. Ada juga yang melihatnya sebagai percintaan yang berupaya membunuh demokrasi.
Bahkan ada yang membaca gambar itu sebagai satire terhadap kepasrahan rakyat: Tidak ada yang mengejutkan dengan meme itu; kita sudah sangat biasa melihat dua kubu yang dulunya bermusuhan kini bersekutu tanpa penjelasan, tanpa pertanggungjawaban.
Yang diabaikan oleh kekuasaan adalah fakta bahwa tiap-tiap individu warga negara membaca realitas dari tempat masing-masing, dari luka masing-masing, dari keresahan masing-masing, dan dari cara mereka menertawai kehidupan masing-masing. Dan dengan latar yang berbeda-beda itulah masing-masing dari kita memaknai segala sesuatu, termasuk meme itu.
Meme ciuman itu terbuka untuk dimaknai seluas-luasnya. Tapi kekuasaan memaksakan satu arti, yaitu ia cabul, melanggar susila, memanipulasi data. Kekuasaan ingin agar hanya ada satu cara melihat dunia, ialah cara mereka. Itu menakutkan karena kekuasaan memiliki tentara dan polisi yang dilengkapi persenjataan dan bisa menggunakan kekerasan dan hukum untuk meneror warga negara yang tidak menyetujui pemaknaan tunggal versi mereka.
*
Gambar Jokowi dan Prabowo berciuman itu menggelisahkan bukan karena mereka benar-benar berciuman, lalu ada paparazzi yang diam-diam memotret mereka, lalu juru foto itu menyebar-nyebarkannya di media sosial. Saya juga tidak yakin ada satu warga negara, yang cukup waras, yang akan memaknai Jokowi dan Prabowo berciuman betulan, sehingga unggahan gambar itu bisa ditafsirkan sebagai melanggar kesusilaan. Tidak orang waras yang akan memaknai adegan dalam gambar itu otentik.
Saya pribadi memaknai gambar itu sekadar lelucon. Dan saya paham juga bahwa lelucon kadang bisa menyinggung, bisa menjengkelkan, bisa mengguncang.
Tapi, apa yang membuat gambar itu berbahaya sehingga ancaman sanksi pidananya melebihi rata-rata vonis bagi para koruptor? Apakah Pak Jokowi dan Pak Prabowo sedang merasa dipermalukan atau ditelanjangi oleh gambar itu?
Saya tidak yakin mereka merasa malu.
Gambar itu membuat gelisah mungkin bukan karena ia telah mempermalukan seseorang, tetapi karena ia memperlihatkan sesuatu yang selama ini ditekan dalam benak orang banyak, ialah hubungan Jokowi dan Prabowo yang penuh drama. Mereka dulunya lawan, dengan pendukung masing-masing yang saling mencemooh. Lalu mereka menjadi pasangan, lalu berangkulan, berbagi panggung, menekuk konstitusi, meremehkan kritik. Lalu mereka bergandeng tangan di depan rakyat.
Dalam bentuk simbolik, mereka sudah lama "berciuman". Meme itu hanya menaruh cermin di depan wajah kekuasaan.
Apakah cermin mengandung dosa? Tidak. Ia hanya membuat orang merasa malu melihat wajahnya sendiri.
Dan karena ia membuat orang merasa malu, dan orang itu menggenggam kekuasaan, hukum memaknai cermin sebagai kecabulan, dan si pembuat cermin ditafsirkan sebagai pelanggar kesusilaan.
Demi perlakuan yang adil terhadap semua warga negara, kenapa hukum tidak menafsirkan tindakan-tindakan yang mengilhami kemunculan meme itu sebagai perbuatan asusila juga?
Jika hukum hanya digunakan sebagai alat penundukan untuk rakyat, dengan memberlakukan tafsir tunggal, saya menduga ia gagal. Tidak akan pernah ada kekuasaan yang sanggup memaksakan satu pemaknaan. Orde Baru pernah memaksakan tafsir tunggal bahwa PKI dan anak cucu dari mereka yang dulunya anggota partai tersebut adalah setan yang tidak boleh diberi tempat, tetapi dengan tekanan sekeras apa pun, upaya itu gagal. Akan selalu ada bentuk-bentuk perlawanan terhadap pemaksaan tafsir tunggal.
Jadi, saya menduga akan banyak bermunculan meme setelah ini, dengan cara lebih hati-hati, lebih lucu, dan lebih kreatif, agar luput dari jerat pemaknaan tunggal oleh kekuasaan.[]
0 komentar:
Posting Komentar