Oleh: Aswab Mahasin
Seorang dedengkot bajak laut ditangkap. Barangkali karena kalibernya, maka kali ini Iskandar Agung sendiri yang melakukan interogasi. Tetapi ketika ditanya tentang apa haknya menjarah lautan, dedengkot itu menempelak: “Hak hamba menjarah lautan sama dengan hak paduka menjarah dunia. Hanya karena hamba melakukannya dengan sampan kecil, orang menyebut hamba bajak laut. Sedangkan paduka yang melakukannya dengan armada besar, disebut orang sang Maharaja.”
Anekdot itu dikisahkah oleh St. Agustinus, tetapi sangat tepat menggambarkan argumentasi tentang kuasa yang mengesahkan diri dengan kekuatan belaka. Negara imperial hadir dengan dalih ini, suatu argumentasi de facto. Kuasa dijaga dengan pedang, mesiu dan sejumlah alat pembasmi, untuk melenyapkan mereka yang menolaknya, atau untuk menerbitkan gentar. Pendeknya, kuasa ditegakkan dengan teror dan pengelolaan kengerian.
Akan tetapi kuasa demikian pada akhirnya termakan oleh logikanya sendiri. Yang menang karena kekuatan, dikalahkan oleh kekuatan pula. Sebab kekuatan akan menerbitkan kekuatan tandingan, dan kekerasan akan menggandakan kekerasan balasan. Logika inilah yang mengakhiri para jagoan seperti Napoleon, Hitler, atau Tojo. Logika ini pula yang mengakhiri kuasa imperial di tanah air kita.
Mujurlah ketika negara kebangsaan dilahirkan dari reruntuhan kolonial itu, logika negara-kekuatan (machstaat) resmi ditampik. Negara kebangsaan muncul dengan gagasan keabsahan yang lebih beradab: daulat rakyat, daulat hukum. Hanya sayangnya, argumentasi de jure seperti itu acapkali dibangun di atas fiksi yuridis. Daulat rakyat pada akhirnya adalah soal perwakilan, dan bagaimana hal itu disusun, senantiasa bisa direka-reka. Sedangkan daulat hukum, sepanjang alur positivisme, adalah apa yang dinyatakan sebagai hukum oleh yang berwenang. Maka di balik fiksi yuridis ini, apa yang berlangsung acapkali masih juga mengikuti lika-liku argumentasi kekuatan. Dalam bahasa kaum realis politik, kuasa lantas dilihat sebagai tolak tarik kepentingan, pengaruh atau kontrol—suatu varian yang lebih beradab dari might dan macht. Negara kemudian menjadi pentas tolak tarik itu, dan siapa yang unggul akan menggunakan negara sebagai sarananya sendiri. Tentu saja ini mengingatkan kita kepada pandangan instrumentalis terhadap negara. Dalam membahas gejala itu, lantas diperkenalkan kepada kita beberapa istilah kunci seperti aliran, ikatan induk-semang, kelompok kepentingan dan kelas-kelas yang bermain di balik fiksi yuridis itu. Muncul pula beberapa model telaah seperti rezim neo-patrimonial, politi-birokratik, negara birokratik-otoritarian, dan belakangan ini, negara korporatis.
Aspek yang lain adalah tolak tarik antara negara dan masyarakat, karena negara kemudian dilihat sebagai memiliki logika pertumbuhannya sendiri–suatu hal yang mengingatkan kita kepada pandangan organis. Dan sejalan dengan argumentasi kekuatan, orang lantas menghitung-hitung, di pihak mana terjadi surplus. Pada masa awal negara kebangsaan misalnya, ia sangat lemah. Ia nyaris menjadi bayang-bayang di balik hura-hura rakyat waktu revolusi, di balik kasak-kusuk oligarki partai di masa parlementer, dan di belakang arak-arakan massa si masa Sukarno.
Baru belakangan ini negara menjadi kuat karena keunggulan kekuatan organiknya sendiri, yang disusul dengan pengukuhan, perluasan, dan penganekacabangan officialdom.
Dari segi pandangan instrumentalis, pertanyaan yang timbul kemudian adalah untuk siapa semuanya ini, karena pada akhirnya negara hanyalah sebuah sarana. Sedangkan dari pandangan organis, pertanyaannya adalah apakah negara mampu menyerap masyarakat atau justru menepiskan dan membuatnya tanpa daya. Tetapi keduanya adalah pertanyaan orang-orang pintar belaka. Buat orang awam, soalnya barangkali lebih sederhana. Seperti bajak laut di hadapan Iskandar, ia mungkin hanya sekedar bertanya-tanya, apakah di balik negara itu, tak ada dalil lain kecuali argumentasi kekuatan kekuatan belaka. Sebab, di sanalah, pada akhirnya, akan ditentukan harganya sebagai warga negara.*
PRISMA, No. 8, 1984
__________________
***
(Harusnya) Bukan Negara Kekuasaan
Analisis Politik oleh: Bivitri Susanti
KOMPAS, 8 Juni 2023
Alkisah, Alexander Agung bertanya kepada seorang perompak, mengapa ia melakukan berbagai kejahatan yang telah ia lakukan selama ini? Si perompak menjawab, yang saya lakukan sama saja dengan Anda yang merusak seluruh dunia; tetapi karena saya melakukan itu semua dengan armada kecil, saya disebut perompak dan karena Anda melakukannya dengan armada besar, Anda disebut penguasa. Demikianlah dikisahkan Santo Agustinus lebih dari 1.500 tahun yang lalu untuk menyoal kekuasaan.
Catatan Agustinus itu masih berlanjut dengan pertanyaan sebaliknya: bukankah sarang penyamun sebenarnya adalah suatu kerajaan kecil? Gerombolan penyamun adalah organisasi, diperintah pemimpinnya, dan diikat perjanjian sehingga hasil perompakan dibagi menurut aturan main yang disepakati. Maka, yang seharusnya membedakan antara perompak dan penguasa adalah keadilan. Bukan hukum dalam arti peraturan dan aparat penegak hukum, melainkan keadilan dan etik.
Diskusi belakang ini dipenuhi gambaran nyata kekuasaan yang sedang diperebutkan; atau dipertahankan. Ada dua fenomena yang harus dibincangkan dalam masa-masa transisi kekuasaan. Pertama, kecenderungan pemilik kekuasaan mempertahankan kekuasaannya, atau setidak-tidaknya memelihara agar kekuasaan tetap ada pada lingkaran keluarganya atau penerus yang ia percayai. Kedua, pemilik kekuasaan yang tak paham keadilan dan tak memiliki etika politik juga tidak akan membuka akses politik yang besar bagi nilai-nilai kebajikan yang penting, seperti hak asasi manusia dan anti-korupsi.
Hal inilah yang saat ini sedang kita lihat. Dari level paling atas, kita diributkan soal “cawe-cawe’ yang dilontarkan oleh Presiden Joko Widodo. Kata ini memang multimakna. Ia bisa berarti pemerintah akan melaksanakan perintah konstitusional untuk memastikan pemilu diselenggarakan dengan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-jurdil) seperti dinyatakan dalam Pasal 22E, ayat (1) UUD 1945.
Namun, bukankah amanat konstitusi ini tak perlu dinyatakan dalam sebuah pertemuan dengan media massa dan kongres partai? Amanat ini tinggal dijalankan saja dengan aksi konkret, yaitu dengan memastikan pemilu yang luber-jurdil melalui berbagai forum koordinasi formal dan nonformal yang dimiliki seluruh penyelenggara negara. Salah satunya dengan memastikan tidak ditetapkannya berbagai aturan main teknis penyelenggaraan pemilu yang ternyata merugikan keterwakilan perempuan, membuka kemudahan bagi koruptor untuk menjadi calon anggota legislatif lagi meskipun sebelumnya sudah dibatasi oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dan melonggarkan pelaporan dana kampanye.
Rekam jejak
“Cawe-cawe” juga bisa bermakna kebalikannya, yaitu untuk aktif terjun mengatur jalannya pemilu bukan dengan tujuan keadilan. Bisa jadi tujuannya adalah memastikan adanya pemimpin baru yang bisa melanjutkan program pembangunan.
Tentu saja, dalam sebuah demokrasi, tak haram bagi presiden petahana mendukung calon dari partainya, seperti Barack Obama mendukung Joe Biden di Amerika Serikat. Yang jadi persoalan, bagaimana dukungan ini diberikan? Apakah dengan menyokong gagasan dalam masa kampanye? Atau dengan menggunakan kekuasaannya? Kita perlu membicangkan hal ini secara terbuka sejak sekarang. Bukan untuk memupuk ketidakpercayaan, melainkan karena otoritas memang mudah digunakan untuk kepentingan sang pemilik kekuasaan.
Masalahnya, kita juga sudah melihat rekam jejak dan tanda-tanda kebobrokan lembaga-lembaga yang terkait dengan pemilu dari ke(tidak)bijakan yang dihasilkannya. Misalnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan peraturan KPU yang merugikan calon legislatif perempuan dan melonggarkan pencalonan koruptor. Bahkan juga MK yang independensinya sedang diserang dan telah mengeluarkan putusan yang kontroversial mengenai perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Belakangan ini relasi penguasa dan warga semakin jomplang. Penguasa tengah berunding di antara mereka sendiri untuk menentukan penerus pembangunan yang sebenarnya tak adil dan merusak lingkungan. Sementara sebagian warga sedang berupaya membuat kompetisi politik tahun depan adil, misalnya upaya Koalisi Peduli Keterwakilan Perempuan mengajukan permohonan pengujian peraturan KPU ke Mahkamah Agung. Warga terengah-engah, penguasa bernegoisasi.*
0 komentar:
Posting Komentar