alt/text gambar

Minggu, 31 Agustus 2025

Topik Pilihan: ,

APA HUBUNGAN HUKUM DAN MORAL?


Hubungan "hukum" dan "moral" dapat dimengerti dalam skema hubungan antara "hukum positif"  dan "hukum kodrat", yaitu: moral haruslah meresapi hukum. Moral itu pertama-tama soal baik-buruk (soal nilai-nilai normatif). 

Hukum adalah soal perintah dan larangan. Hukum bukan soal nasihat, tapi soal perintah dan larangan, karena kalau tidak menjalankan perintah atau melanggar larangan akan dihukum. 

Hukum haruslah tunduk pada moral. Artinya, apa yang diperintahkan haruslah merupakan kebaikan, dan apa yang dilarang haruslah merupakan keburukan. 

Bukan sebaliknya, dilarang maka buruk, diperintahkan maka baik! Jika moral dipahami sebagai demikian (dilarang maka buruk, diperintahkan maka baik), maka moral tersebut sangat legalistis. Dan apabila hukum dipahami seperti itu, akan terjadi kemungkinan manipulasi positivisme hukum yang sangat hebat. 

F Budi Hardiman, dalam bukunya, Melampaui Positivisme dan Modernitas, menjelaskan, hukum tidak identik dengan moralitas. Hukum merupakan hasil konsensus yang dapat dilampaui kesadaran moral. Martin Luther King, misalnya, menegaskan perlunya melanggar hukum yang tidak adil demi moralitas itu sendiri. 

Hukum, Moral Ekstrinsik, dan Intrinsik

Moral ekstrinsik ialah penilaian baik-buruk yang didasarkan dalam konformitasnya atau kesesuaiannya dengan hukum positif atau perintah.

Contohnya: nilai moral yang difondasikan pada hukum positif atau hukum mutlak dari Tuhan. Jadi, moralitas ekstrinsik adalah soal tindakan manusia yang mendapat pertimbangan nilai moralnya karena didasarkan pada korespondensi (conformity) atau diskrepansinya (opposition-nya) dengan peraturan eksterior atau hukum atau aneka tata aturan lain yang dipandang legitimit. 

Problem moralitas ekstrinsik ialah dalam kaitannya dengan penyoalan mengenai ketaatan terhadap hukum itu sendiri. Agar korespondensi atau diskrepansi dengan hukum melahirkan nilai moral, diperlukan paling sedikit kenyataan bahwa taat kepada hukum merupakan sesuatu yang selaras dengan kodrat manusia. 

Tapi tak semua ketaatan terhadap hukum mengalirkan nilai moral. Ketaatan terhadap hukum hanya memiliki nilai moral jika hukum yang bersangkutan adalah hukum yang adil.

Dengan demikian, apa yang harus jelas dulu dalam moralitas ekstrinsik ialah soal apakah hukumnya adil atau tidak. 

Jika hukumnya itu sendiri tidak adil, sudah barang tentu ketidaktaatan terhadap hukum itu tidak bisa dikatakan sebagai tindakan yang menyalahi nilai moral. 

Lawan dari "moral ekstrinsik" adalah "moral intrinsik". "Moral intrinsik" ialah moral yang menegaskan bahwa tatanan moral manusia itu baik atau buruk, adil atau tidak adil, bukan karena ditentukan oleh keputusan atau pertimbangan manusia yang berkuasa atau instansi yang berkuasa, melainkan oleh kesadaran kita dalam arti yang sedalam-dalamnya sebagai manusia. 

Karena nilai moral tindakan manusia tidak hanya diturunkan dari sumber-sumber eksterior, moralitas manusia harus juga memiliki proprietas intrinsik. Moralitas intrinsik berarti bahwa penilaian baik buruk atas tindakan manusia difondasikan pada in se tindakannya, pada tindakannya sebagai demikian. Misalnya, tindakan melindungi orang yang dianggap oleh hukum negara telah melakukan hal-hal subversif (kasus menyembunyikan anggota kelompok PRD [Partai Rakyat Demokratik] dari kejaran pihak keamanan, misalnya), secara hukum jelas dianggap merupakan kejahatan, tapi tindakan itu terpuji (secara moral) karena in se merupakan tindakan menyelamatkan manusia dari bahaya. 

***

Hubungan langsung dan konkret antara politik dan moral dicetuskan dalam preferensi bukan kekuasaan atau pribadi para pemegang kekuasaannya, melainkan hukum. 

Intisari kodrat pengertian hukum yang esensial ialah bahwa hukum haruslah adil. Prinsip keadilan melekat dalam cara ada manusia yang bertindak menurut kodrat akal budinya. 

Hukum sebagai produk akal budi manusia harus adil. Sebab jika tidak, hukum itu menyalahi prinsip kodrati akal budi manusia. Hukum yang tidak adil, dari segi moral kehilangan daya ikatnya sebagaimana dimaksudkan oleh hukum. 

Jika suatu hukum tidak adil toh tetap diberlakukan, dan pelanggaran atas hukum itu dikenai sanksi, sanksi yang bersangkutan tidak ada sangkut pautnya dengan kesalahan moral, melainkan merupakan kesewenang-wenangan dari pihak yang memberi sanksi. 

Untuk memahami secara gampang hukum yang adil, barangkali perlu disimak lawannya, yakni hukum tidak adil. Contoh paling jelas hukum tidak adil adalah perintah membunuh orang yang tidak bersalah. Delik ketentuan hukum tertulisnya barangkali tidak eksplisit demikian, tetapi perintah Hitler untuk menghabisi semua orang Yahudi jelas memaksudkan pula—dari sendirinya—termasuk ketentuan membunuh mereka (orang Yahudi) yang tidak bersalah. 

Perintah Hitler atau bahkan pada waktu itu merupakan hukum, tidak bisa dibenarkan secara moral, sebab menjadikan sebagai orang yang bersalah yang pantas dibunuh. 

Ketentuan-ketentuan rasialis yang memojokkan orang-orang kulit hitam (atau kulit berwarna) sebagai bilangan orang-orang yang dipandang rendah juga merupakan contoh hukum tidak adil. Sebab rendah tidaknya martabat tidak ditentukan oleh warna kulit. 

Bisa disebut pula aneka perundang-undangan yang menyudutkan kelompok-kelompok minoritas, mulai dari minoritas dalam tingkat ekonomi, popularitas budaya, pertimbangan agama, maupun asal usul suku.


Referensi:

1. Dr. Agustinus W. Dewantara, Filsafat Moral: Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 2023, h. 40, 49-51, 85) 

2. Catatan kaki dalam F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, h. 128.



0 komentar:

Posting Komentar