![]() |
Referensi |
Aristoteles berpendapat bahwa filsafat dan kehidupan politik merupakan kegiatan yang membahagiakan manusia. Filsafat dan politik adalah kegiatan khas manusia, mengapa? Filsafat adalah kegiatan orang yang ber-theoria. Tapi bagi Aristoteles, seperti juga Plato, kata theoria bukanlah teori dalam arti modern, sebagai pandangan "teoretis" tentang salah satu masalah, seperti teori evolusi adalah pandangan tersusun tentang evolusi, melainkan bagi orang Yunani theoria berarti "memandang', merenungkan realitas yang abadi, dan realitas yang tak berubah, realitas ilahi.
Jadi, dalam theoria manusia mengarahkan diri ke realitas yang abadi, realitas yang mengatasinya. Dengan ber-theoria manusia memperoleh sophia, kebijaksanaan. Jadi, manusia yang ber-theoria mencintai (philei) kebijaksanaan, karena itu ia adalah seorang philo-sophos, seorang pencinta kebijaksanaan, seorang filsuf. Jadi, filsafat adalah kegiatan memandang penuh kagum hal yang abadi-ilahi.
Mengapa memandang yang abadi adalah khas bagi manusia? Karena manusia, beda dari binatang, memiliki logos, akal budi, yang terungkap dalam bahasa. Logos itu adalah unsur ilahi dalam manusia. Dalam bagian terakhir bukunya Etika Nikomacheia, Aristoteles menjelaskan mengapa orang menjadi bahagia dalam filsafat.
Filsafat adalah tempat di mana manusia mengangkat rohnya di atas alam yang berubah, melampaui wilayah keniscayaan fisik, jadi mengatasi keterbatasannya sebagai makhluk di waktu dan tempat tertentu. Orang yang berfilsafat, yang merenungkan yang abadi-tak berubah, amat bahagia karena ia membuat nyata unsur ilahi yang ada di dalamnya.
Bagi Aristoteles, dan masih lebih bagi gurunya, Plato, filsafat memenuhi fungsi yang sekarang kita berikan kepada agama. Tapi perlu diperhatikan bahwa filsafat Timur, Zoroaster, India, Buddhisme, Tionghoa, dan spekulasi mistik Jawa tidak mengenal perpisahan tajam antara agama dan filsafat. Kesatuan itu memang pecah karena munculnya agama monoteis—Yahudi, Kristen, dan Islam—di panggung dunia.
Terhadap wahyu Allah, spekulasi filosofis manusia terpandai pun kalah. Maka, bagi manusia Barat (Yahudi dan Kristiani) dan di dunia Islam, renungan filosofis tentang yang ilahi tergeser oleh ketaatan yang mengarahkan seluruh hidup pada wahyu yang diberikan Allah kepada manusia. Apalagi, monoteisme membuka perspektif yang sama sekali baru dengan penegasan bahwa hidup tidak selesai dengan kemarian, melainkan masing-masing orang beda dari binatang—diciptakan untuk mencapai eksistensi yang mantap dan definitif sesudah kematian, entah di surga, entah di neraka.
Maka, seperti dicatat oleh Jurgen Habermas, munculnya agama monoteis secara definitif memotong sebagian dari fungsi filsafat. Dalam tradisi monoteis, orang tidak lagi lari ke filsafat untuk mencari makna hidupnya maupun penjelasan tentang tujuan manusia pada umumnya. Ia merasa telah menemukannya dalam agama. Filsafat sudah sejak ratusan tahun menerima keterbatasannya itu dan sekarang tidak lagi mengklaim bisa memberikan arahan dasar bagi manusia dalam mencari makna hidupnya.
Apakah itu berarti bahwa tekanan Aristoteles pada filsafat sudah usang? Kesimpulan ini terlalu dini.
Karena yang dimaksud Aristoteles dengan filsafat tentu lebih daripada renungan hal-hal ilahi. Filsafat berarti—seperti dilakukan Aristoteles sendiri—usaha roh manusia untuk memahami eksistensi, dunia, dan untuk menjalani kehidupannya tidak seperti kerbau, tano tahu dan peduli, melainkan dengan peduli, kritis, bermoral, cerdas. Dimengerti begitu penegasan filsafat oleh Aristoteles tetap aktual.
Manusia hanya manusia apabila ia merefleksikan eksistensinya, apabila ia menghadapi kuasa yang ada—baik kuasa politik maupun kuasa agama, ideologi, ilmu pengetahuan dan lain-lain—secara dewasa, rasional, kritis, dalam perspektif penegakan keadilan dan pemanusiaan kondisi masyarakat. Seluruh alam ilmu pengetahuan, lalu komunikasi tentang kehidupan dalam semua dimensi (keluarga, kampung, negara, dan dunia) seperti terjadi, antara lain, dalam media (pers, radio, TV, dan internet) merupakan dimensi khas manusia.
Maka bagi kita di abad ke-21, penegasan Aristoteles bahwa filsafat adalah kegiatan tertinggi barangkali boleh kita artikan sebagai penegasan bahwa kita harus hidup dengan sadar—binatang pun mempunyai kesadaran, tetapi hanya manusia menyadari bahwa ia berkesadaran—dengan rasional-masuk akal, kritis, reflektif, dialogal, dan dalam diskursus.
Bisa dikatakan bahwa Aristoteles memberikan wawasan yang menolak segala fundamentalisme—fundamentalisme dalam arti bahwa orang atau sekelompok orang yakin bahwa mereka tahu semua yang bisa diketahui, karena itu tidak perlu belajar dan tidak perlu memperhatikan lagi apa yang terjadi di luar diri mereka.
Sikap filosofis Aristoteles menuntut kererbukaan, keinginan untuk belajar terus dan tak pernah berhenti ingin tahu, sikap kritis, sikap diskursif yang menguji gagasannya sendiri dalam diskursus dengan semua yang terlibat, dan sikap rendah hati karena seorang ”filsuf” selalu akan tahu bahwa banyak sekali yang belum dipahaminya.
Sumber: Franz Magnis-Suseno, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles, Yogyakarta: Kanisius, 2020, h. 26-29.
0 komentar:
Posting Komentar