![]() |
Tulisan Mahbub Djunaidi di Majalah Tempo |
Oleh: H. Mahbub Djunaidi
Ada motto “Pemerintah yang bagus adalah yang paling sedikit memerintah”. Itu belum cukup, ujar pembangkang sosial Henry David Thoreau. Yang tidak memerintah sama sekali, itulah yang terbagus. Sekarang, khotbah kaum anarki rasanya janggal, bisa-bisa kriminil. Pemerintah zaman sekarang tak sudi dianggap sepele. Tidak sedungu nenek moyangnya. Mereka teliti, sigap lagi waspada. Nyaris tak ada yang lolos dari asuhan. Pamong 24 jam nonstop.
Begitulah. Tak peduli repot seperti apa, Pemerintah sekarang menggalakkan kerja sampingan: ganyang rambut gondrong. Bukan soal, kenapa baru ribut sekarang, walau anak-anak sudah mulai menggondrong tiga tahun yang lalu. Pokoknya: penguasa di Sumatera Utara, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan entah siapa menyusul, sudah tiup terompet perang. Beliau-beliau itu sudah sampai pada kongklusi harga mati bahwasanya di bawah yang gondrong itu pasti tergolek dorongan berbuat brengsek, bejat, onar, kurang senonoh. Paling sedikit bikin malas atau pandir.
Para gondrong boleh berdalih: Isa Al Masih gondrong. Lasykar Krawang-Bekasi gondrong. Einstein, Beethoven, bahkan Tagore pun gondrong. Sungguh mati, mereka itu tidak bejat. Dan coba-cobalah ingat bekas Menpen Budiardjo tempo hari, kalau bukan jadi Menteri gondrong betul-betulan dia. Juga Aspri Sudjono Humardani, diukur dari sudut pangkas tipis, jelas sudah berada di tubir proses kegondrongan. Apa nian hubungan rambut gondrong dengan akhlak? Dewan Mahasiswa ITB, Pajajaran, Parahiyangan sudah sama-sama bertekad “tolak” andaikata main paksa larang gondrong, entah dari penguasa atau pimpinan universitas. Toh ini mode, katanya. (Mahasiswa Indonesia, 9 September).
Terus terangnya saja, mode rambut bukan kesukaan awam belaka, melainkan juga pembesar-pembesar yang mulia, walau tak usah rambut kepala. Alkisah, para raja diraja Han dan Tang seanteronya berkumis yang ujungnya mencuat ke atas. Pendeta Budha seangkatannya pun terlibat pula. Dengan roman begini, mereka berharap bisa tampak lebih garang dari semestinya, sehingga penduduk yang bertabiat pelawan bisa sedikit ciut dibuatnya. Sebaliknya model kumis kalangan pengusa di zaman dinasti Yuang dan Ming: kedua ujung kumis menjuntai ke bawah. Tak salah lagi, tampang mereka pun beri kesan spesial: rasa-rasanya seperti orang yang amat prihatin, bijak-bestari, gampang terharu, campur sedikit sakti, tak doyan duniawi, memelas, kedukun-dukunan. Konon kabarnya, kumis pejabat model menjuntai ini berkat kemasukan pengaruh Mongol, walau cerdikpandai Tionghoa berani sumpah bahwa model ini pun asal muasalnya dari Tiongkok jua adanya.
Entah bagaimana ceritanya, para pembesar Jepang pun gemar berkumis, melintir kedua ujungnya kecil-kecil seperti tali senur, menudingkan pucuknya ke biji mata. Seperti layaknya jago Pasar Ikan dan “hamba wet” zaman baheula, roman macam begitu mudah bikin gentar khalayak. Lewat masa Restorasi Meiji 1868, berkat “modernisasi” dan kemasukan pengaruh Jerman, potongan kumis pun mengalami perobahan besar. Tidak mencuat ujungnya ke atas, melainkan lurus ke samping. Bukankah kumis Kaisar Wilhelm melintang paralel dengan lobang hidung? Hanya akibat teledor suatu hari, kumis belah kanannya kesambar api cerutu, terpaksa Kaisar Wilhelm memenggal belah kirinya agar simetris. Model darurat itu tak sempat ditiru Jepang.
Perihal “akhlak rusak”, selalu jadi renungan dari tahun ke tahun, dan orang sibuk mencari sebabnya. Prof. Slamet Imam Santoso di simposium “Kesulitan masa peralihan ditilik dari sudut ilmu jiwa” tahun 1952 menganggap sebab musabab kekalutan akibat “proses individualisasi yang anarkis melepaskan diri dari stadium kolektif, serta rasio yang berkembang lebih pesat ketimbang rohani”. Pendebatnya Moh. Said anggap kekalutan disebabkan “proses dissosiasi masyarakat, tak adanya daya-pengikat yang kuat seperti tradisi, kebudayaan dan gaya-hidup, belum ada kemampuan ciptakan daya-pengikat baru, tidak adanya pemimpin yang dapat mengembalikan kepercayaan rakyat kepada mereka dan diri sendiri”.
Tarohlah ada “simposium gondrong” sekarang. Hadir di situ rambut normal, keriting, potong pendek, gondrong, hasil semiran, dan botak samasekali atas kehendak alam. Pendapat Prof. Slamet Imam Santoso dari fraksi ubanan sudah jelas bisa terbaca lebih dulu di koran-koran “Gondrong sarang kutu, dan kutu bagus buat obat sakit kuning”. Ini jelas kelakar orang tua yang tak ambil peduli rambut gondrong atau bukan. Naga-naganya, tak sampai dihubung-hubungkan dengan “proses indvidualisasi yang anarkis melepaskan diri dari stadium kolektif”. Simposium yang aneh itu rasanya akan usai tanpa ada kesimpulan, atau ada berpuluh-puluh kesimpulan, yang sukar ditangkap ekornya. Mungkin ada resolusi “Mumpung belum terlanjur bejat, basmilah gondrong”. Mungkin ada resolusi “Rambut botak asosial, eksklusif”. Mungkin ada resolusi “Semir rambut tidak jujur, penipuan”. Dan kelompok moderat barangkali akan keluar dengan resolusi begini “Lebih baik lihat suasana. Kalau perlu menambah wibawa seperti hakim-hakim British, bergondrong-gondronglah lewat whig”. Sebagai pelengkap dari semuanya itu, sepucuk memorandum kepada Pemerintah “Asal isi kepala sehat, cukuplah”.
Tentu saja, jangan sampai kejadian simposium tetek-bengek seperti itu. Seperti halnya tak perlu sebuah kerja sampingan menghadapi rambut gondrong. Tak lebih soal dari mode musiman, serupa bulu mata atau pantat palsu. Orang AS yang modern punya takhayul: barangsiapa pangkas rambut, berarti usir roh jahat. Mereka yang gemar takhayul, dipersilakan pegang ini. Bagi mereka yang kurang subur rambut, ada takhayul penolong: Sering-seringlah potong, makin sering potong makin cepat tumbuh (padahal potong atau tidak, rambut tumbuh ½ inci per bulan). Tidak mau ubanan? Jangan cemas atau kagetan. Suka keriting? Makan roti cincang. Mau dianggap cukong atau intelektual? Botak sedikit, asal jangan kelewat batas. Supaya tampak romantik? Usap semir putih di pinggir-pinggirnya. Biar disangka pembesar? Rawat baik, pergi ke tukang pangkas dua kali sebulan. Jangan sampai lupa cabut bulu hidung dan sikat kuku di dua puluh jari. Dan lobang kuping.
Sumber:
TEMPO, 22 September 1973, Th. III, No. 29
0 komentar:
Posting Komentar