![]() |
| BS dan PS |
Oleh: Made Supriatma
Demokratik dan Sosialis: Yang satu adalah mantan ketua Partai Rakyat Demokratik. Yang lain adalah walikota terpilih di jantung kota paling kapitalis namun tidak pernah malu mengakui dirinya adalah seorang demokratik-sosialis.
Yang satu kemudian menjadi pegawai dari seorang bos yang pernah menculik kawan-kawannya separtai. Bahkan beberapa masih hilang sampai sekarang. Dan, sekarang, dia tampaknya percaya bahwa bos-nya adalah seorang sosialis. Atau, setidaknya itulah justifikasinya untuk mengabdi pada pemerintahan yang seharusnya berseberangan dengan keyakinan politiknya.
Yang satunya lagi, memobilisasi sebuah koalisi besar -- koalisi anak muda, buruh, para penyewa (renters), serta berbagai warna kulit. Koalisi pelangi ini cukup kokoh untuk memberinya mandat untuk berkuasa.
Ketika menyadari ini, saya bertanya pada diri saya sendiri: Layakkah mereka berdua dibandingkan? Atau mungkin pertanyaanya yang harus diubah: Mengapa negeri ini tidak menghasilkan politisi seperti Zohran Mamdani?
Argumen bahwa kelas oligarki di Indonesia sulit dilawan dan dihancurkan, itu sama sekali tidak relevan. Kapitalis dan orang-orang superkaya di kota New York itu kurang apa? Jutaan dollar dicurahkan untuk melawan Zohran namun tidak berhasil. Dengan kata lain, oligarki hidup dan kuat di New York. Bahkan jauh lebih kuat daripada disini.
Ada argumen lain juga. Bahwa rakyat New York itu lebih berpendidikan. Sementara di negeri ini, yang seringkali direndahkan dan dihina karena kabarnya IQ rata-ratanya 78, orang lebih tertarik pada bansos dan bantuan-bantuan lain dari penguasa. Sulit menghimpun kekuatan dari orang-orang bodoh dan miskin.
Argumen ini jelas rasis. Para pemilih Zohran banyak yang miskin juga. Kalau Anda pernah hidup di New York, Anda pasti tahu bahwa kemiskinan hidup berdampingan dengan segmen maha kaya. Orang-orang lebih pintar? Jelas tidak. Cukup banyak penduduk New York City yang berpendidikan rendah.
Namun mereka lebih perhatian pada masa depan -- bahwa kestabilan pekerjaan jauh lebih berharga dari terima beras 10 kg hari ini. Atau, kebutuhan pokok yang terjangkau jauh lebih penting ketimbang menunggu bantuan dari pemerintah.
Mengapa di negeri ini orang lebih tertarik pada kekuasaan untuk kemuliaan dan kemakmuran sendiri ketimbang berhimpun untuk maju bersama? Mengapa setiap orang selalu ingin mendapat lebih banyak -- dengan segala macam cara kotor maupun bersih -- tanpa menghiraukan hidup bersama?
Terus terang, saya punya lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Yang saya tahu, rakyat Indonesia tidak sebodoh yang selama ini dihinakan kepada mereka. Rakyat Indonesia tidak semalas yang dituduhkan elitnya.
Kemarin Prabowo baru saja memuji-muji orang Korea sebagai pekerja keras. Dia tidak tahu rakyatnya bekerja 18 jam dan tidak pernah kaya dan bahkan tidak pernah bisa mencukupi kebutuhannya. Mengapa itu bisa terjadi?
Apa yang salah? Saya sangat yakin bahwa para elit -- dan juga para mantan aktiivis yang sekarang menjadi elit -- tahu persis masalahnya. Mereka sangat mampu mendiagnosa. Lalu mengapa mereka tidak seperti Zohran?
Ini pertanyaan berat sekali untuk dijawab. Saya kira, untuk kepentingannya sendiri, para elit sengaja membuat rakyat untuk tidak percaya pada demokrasi. Tidak percaya pada kekuatan berhimpun dan bertindak secara kolektif. Bukannya mereka tidak pernah mencoba. Mereka pernah mencoba dan hasilnya mereka dibantai! Dihajar babak belur hingga ke dasar lantai.
Lalu, rakyat yang tidak percaya pada sistem kolektif yang bisa memajukan mereka bersama-sama itu, kemudian mengambil jalan pintas. Ambil saja apa yang bisa diambil. Terima saja yang besok mungkin tidak akan datang lagi.
Bansos beras 10 kg hari ini? Ambil saja. Toh besok tidak akan ada beras 10 kg datang lagi. Milih dapat duit 100 ribu? Ambil saja. Karena besok belum tentu ada.
Setelah berkuasa, para elit kemudian berpesta pora. Menjarah apa yang bisa dijarah. Sambil tentu saja, seperti si Sahroni itu, bilang bahwa rakyat tolol! Mereka tertawa-tawa melihat ketololan orang-orang yang hanya mampu menyelamatkan hidupnya sepanjang yang bisa diselamatkan dengan beras 10kg atau duit 100 ribu.
Dan, para elit Sosialis kita ini? Mereka juga persis sama seperti rakyat yang mereka wakili. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Toh sistem ini tidak akan berubah -- paling tidak semasa saya masih hidup. Mereka pun rupanya tidak percaya pada apa yang mereka ajarkan.
Kalau pun mereka percaya, itu hanya menjadi olah raga otak saja. Si Anu kurang Marxis; si Ana Leninis; Si Ini Trotskyist! Mereka mengutuk-ngutuk sambil melihat-lihat kitab untuk membenarkan kutukannya.
Kita tidak akan pernah punya Zohran. Bagaimana dengan orang seperti Tan Malaka? Oh, dia hanya ada dalam laci sejarah. Yang ada sekarang adalah Prabowo. Dan kaum Kiri kita berusaha keras menyiarkan pada dunia bahwa dia itu sosialis.
Kodok menyanyi di sawah. Karena ini musim hujan!
![]() |
| Zohran |
Sumber: https://www.facebook.com/share/p/1JVrnvBM5c/



0 komentar:
Posting Komentar