alt/text gambar

Kamis, 13 November 2025

Topik Pilihan:

MASYUMI


Oleh: M. DAWAM RAHARDJO

(UMMAT, No. 10, Thn. I, 13 November 1995, Rubrik “Perspektif”)


Bagi generasi muda sekarang, barangkali Masyumi sudah menjadi sebuah gambaran yang kabur di masa lalu. Dalam bacaan sejarah mereka di sekolah, nama Masyumi mungkin terletak di lembaran yang hitam. Paling tidak, kelabu. Masyumi kira-kira diasosiasikan dengan kelompok ekstrem, golongan fundamentalis seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir atau Jami'at Islami di Pakistan—seandainya itu termasuk dalam bacaan mereka. Dan, yang lebih jelas. Masyumi tergambar sebagai kekuatan politik dalam Dewan Konstituate hasil Pemilu 1955, yang memperjuangkan ide Negara Islam dan kemudian terlibat dalam "pemberontakan" PRRI/Permesta.


Masyumi memang telah dibubarkan dan distatuskan sebagai "partai terlarang" di masa Demokrasi Terpimpin. Namun, orang barangkali kurang menyadari bahwa tidak sebuah partai pun yang seangkatan Masyumi yang kini masih hidup. Semua sudah dibubarkan. Hampir semua dianggap telah terlibat dalam "dosa-dosa politik". Bahkan yang terlibat dalam PRRI/Permesta dan yang dianggap pemberontakan bersenjata tidak hanya partai-partai politik, tetapi juga unsur-unsur ABRI.


Di lain pihak, partai-partai itu pun mempunyai jasa-jasa tersendiri. Sebagai sebuah partai politik, Masyumi mempunyai beberapa keistimewaan. Masyumi adalah sebuah partai yang bersifat benar-benar nasional dan memenangkan Pemilu di hampir semua propinsi di Indonesia. Dalam aspek ini, PNI, NU, dan PKI, hanya pantas disebut sebagai "partai-nya orang Jawa", bahkan PNI hanya menang di Jawa Tengah dan NU di Jawa Timur. Kemenangan seperti itu hanya bisa dicapai dan dilampaui oleh Golkar, tetapi hal itu antara lain karena dukungan kalangan yang dulu memilih Masyumi.


Masyumi memang sebuah partai yang pertama berdiri sesudah diumumkannya Maklumat Wakil Presiden No. X. Dan Masyumi tampil sebagai sebuah partai berwawasan modern, yang—sebelum pecah, mula-mula PSII (1947) memisahkan diri dan kemudian NU (1951)—berusaha mempersatukan semua golongan Islam. Masyumi adalah sebuah partai yang non-sektarian dan dibandingkan dengan NU, PSII, PSI, bahkan juga PNI dan PKI, paling tidak bersifat dan bersikap primordial, yang dipimpin oleh priyayi religius dan kiai intelek.


Partisipasi Masyumi dalam kabinet-kabinet parlementer, meningkat setapak demi setapak. Pada 1948, Sjafruddin Prawiranegara sempat sejenak menjabat sebagai Pejabat Presiden dalam Pemerintahan Darurat RI di Bukittinggi. Dalam dasawarsa 50-an, beberapa tokoh Masyumi berhasil memegang posisi Perdana Menteri, yakni Mohammad Natsir. Dr Sukiman Wirjosandjojo, dan Mr Burhanuddin Harahap.


Sumbangan Masyumi dalam karya politik juga tidak sedikit. Mohammad Roem memimpin perundingan yang menghasilkan perjanjian Roem-Royen, yang merupakan langkah pasti menuju perundingan KMB yang akhirnya menghasilkan Pengakuan Kedaulatan RI pada 27 Desember 1949. Segera setelah itu Natsir mengajukan Mosi Integral yang menghasilkan terbentuknya Negara Kesatuan RI, menggantikan sistem Negara Federal. Dan Masyumi, dengan rekan terdekatnya, PSI dan Partai Katolik, adalah penganjur utama sistem Zaken Kabinet, yaitu kabinet yang disusun berdasarkan kriteria keahlian dan bukannya atas dasar "dagang sapi" atau dukungan kekuatan politik di parlemen. Sistem itulah yang dianut oleh Orde Baru dalam pembentukan Kabinet Pembangunan dari I hingga VI. Reputasi Kabinet Burhanuddin Harahap (sering dipelesetkan menjadi Kabinet BH) dalam menyelenggarakan Pemilu (pertama di Indonesia) yang LUBER dan JURDIL, belum bisa disamai oleh kabinet-kabinet Orde Baru.


Di bidang ekonomi, Sjafruddin berperan sentral, baik dalam pengusulan ide maupun pelaksana pengeluaran "Oeang Kertas RI" atau uang "ORI". Muktamar Masyumi 1949 mengusulkan tindakan nasionalisasi De Javaschebank, sebuah bank swasta asing yang oleh KMB ditetapkan sebagai Bank Sirkulasi. Dan keputusan itu pun dilaksanakan oleh Kabinet Sukiman lewat tindakan Menteri Keuangan Yusuf Wibisono. Nasionalisasi itu menghasilkan berdirinya Bank Indonesia, yaitu Bank Sentral Indonesia. Orang yang dipercaya menduduki jabatan Gubernur Bank Sentral yang pertama adalah Sjafruddin Prawiranegara.


Kabinet-kebinet yang dipimpin orang-orang Masyumi adalah model "kabinet ahli" yang berorientasi pada pemba- ngunan ekonomi yang pragmatis dan pro deregulasi. Model inilah yang dilaksanakan di masa Orde Baru. Berbagai kebijakan ekonomi utama yang dilaksanakan Pemerintah Orde Baru—jika tidak bisa dikatakan mengikuti—adalah yang menjadi pandangan jurubicara Masyumi di bidang ekonomi, yaitu Sjafruddin Prawiranegara, misalnya kebijakan moneter yang anti-inflasi, pengundangan modal asing yang diatur dengan UU Penanaman Modal Asing, strategi pembangunan yang memprioritaskan sektor pertanian dan pencapaian swasembada pangan, industrialisasi dan pembangunan pertanian yang mendasarkan diri pada prinsip keunggulan komparatif, prioritas pemberian kredit kepada sektor pertanian dan industri kecil, dan sistem anggaran berimbang.


Dalam percaturan politik, Masyumi mempunyai sahabat-sahabat, dan yang terdekat adalah Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Katolik. Menurut Frans Seda, dalam setiap pengambilan keputusan politik yang mendasar dan strategis, Masyumi selalu berkonsultasi, dan hampir tidak pernah meninggalkan Partai Katolik yang pada waktu itu dipimpin oleh I.J. Kasimo. Tokoh-tokoh Masyumi, khususnya Roem dan Sjafruddin, sangat dekat dengan tokoh-tokoh Katolik dan Kristen. Pimpinan Partai Katolik sendiri, menurut keterangan Frans Seda lagi, paling percaya kepada kejujuran dan ketulusan tokoh-tokoh Masyumi, lebih dari kepada orang-orang PSI. Ada tiga faktor yang menyatukan Masyumi: PSI, dan Partai Katolik: ide demokrasi, sikap antikomunis. dan orientasi kepada pembangunan ekonomi.


Sumber: UMMAT, No. 10, Thn. I, 13 November 1995

0 komentar:

Posting Komentar