alt/text gambar

Selasa, 11 November 2025

Topik Pilihan:

PENGAKUAN POLITIK TANPA PENGAKUAN SOSIAL ADALAH PALSU

Oleh: Fitzerald Kennedy Sitorus


Dalam filsafat, pengakuan (recognition, Anerkennung) termasuk salah satu tema penting. Hegel adalah filsuf pertama yang merenungkan tema ini dengan mendalam. Tema ini muncul sebagai salah satu momen dalam proses realisasi diri Roh (Spirit, Geist). Hegel menjelaskan kompleksitas tema ini dalam bukunya Fenomenologi Roh (Phänomenologie des Geistes), khususnya dalam bab mengenai Dialektika Tuan dan Budak. Dialektika tersebut berakar dari kehendak untuk memperoleh pengakuan. 

Hegel mengatakan bahwa pengakuan adalah salah satu kebutuhan mendasar manusia. Bahkan anak kecil pun, secara intuitif, sudah memiliki kebutuhan itu. 

Dalam usaha memperoleh pengakuan itu, pihak yang berani mempertaruhkan hidupnya demi pengakuan disebut Tuan, sementara pihak yang tidak berani disebut Budak. Dialektika pengakuan bermula dari sini. Tuan memaksa Budak bekerja. Budak, karena takut akan kematian, bekerja melayani Tuan. 

Dalam proses tersebut, akhirnya Tuan tergantung pada Budak. Tuan hidup berdasarkan hasil kerja dan pelayanan Budak. Budak sebaliknya. Ia bebas, tidak tergantung siapa-siapa. Demi pelayanannya kepada Tuan, ia mengembangkan dirinya. Keterampilannya berkembang. 

Relasi tersebut pada akhirnya menciptakan dunia dialektis yang terbalik a la Hegel: Tuan tergantung sepenuhnya pada Budak. Tanpa Budak, Tuan tidak dapat berbuat apa-apa. Kemampuannya tidak berkembang. Akhirnya Tuan menjadi budak dari Budak, sementara Budak menjadi tuan dari Tuan. Disiplin kerja keras, takut akan kematian pada akhirnya mendorong Budak untuk mengembangkan dirinya. Takut akan Tu(h)an adalah permulaan pengetahuan, kata Hegel. Budak menjadi sokoguru kebudayaan. Filsafat pekerjaan Marx bertolak dari dialektika Tuan Budak Hegel ini. Budak itu adalah proletariat. 

Dialektika Tuan Budak ini sangat terkenal dan ditafsirkan dengan berbagai cara. Masyarakat berkembang karena kedua karakter ini bekerja sekaligus: ada dimensi produktif (Budak) dan konsumtif (Tuan). Tafsiran psikologis mengatakan bahwa dalam diri setiap orang selalu dorongan untuk menikmati (Tuan) dan bekerja (Budak). Kapitalisme hidup juga karena kehadiran kedua karakter tersebut.

Hegel mengatakan bahwa pengakuan yang bermutu hanya dapat diperoleh dari pihak yang juga diakui. Pengakuan dari pihak yang tidak diakui bukanlah pengakuan yang bermutu. Itu bisa dibuktikan dari pengalaman: kita misalnya akan merasa lebih terhormat atau diakui jika pengakuan itu datang dari orang yang juga diakui, atau terhormat.

Axel Honneth, filsuf generasi ketiga dari Mazhab Frankfurt, kemudian mengangkat tema pengakuan ini sebagai tema utama filsafatnya. Ia mengatakan bahwa konflik-konflik sosial itu dimotivasi oleh perjuangan untuk pengakuan (struggle for recognition, Kampf um Anerkennung). Dalam sejarah, banyak konflik sosial terjadi dengan motif yang sama. Masyarakat adat, kaum buruh, LGBT, kaum perempuan, kaum tertindas, kelompok fundamentalis, kelompok separatis, dan lain-lain berjuang untuk memperoleh pengakuan.

Kelompok-kelompok ini berjuang dalam waktu yang lama hingga berhasil memperoleh pengakuan. Perjuangan politik kaum buruh hingga tingkat tertentu dapat dikatakan berhasil karena hak-hak mereka semakin dihargai. Perjuangan perempuan untuk pengakuan sudah berlangsung raturan tahun hingga memperoleh pengakuan seperti sekarang. Dalam banyak hal, laki-laki dan perempuan sekarang sudah dianggap sama. 

Di masyarakat kita, kita juga melihat keberhasilan kelompok masyarakat adat yang sudah berjuang lama untuk pengakuan. Demikian juga perjuangan penganut kepercayaan. Juga kaum difabel. Kaum LGBTQ sekarang sedang berjuang untuk memperoleh pengakuan. Saya telah membahas tema ini dalam beberapa rekaman video berikut: https://www.youtube.com/watch?v=7r8p9nMSneg; https://www.youtube.com/watch?v=QOH43G4MM5U.

Apa yang bisa kita pelajari dari sini? Perjuangan politis untuk pengakuan itu membutuhkan proses. Sebagaimana dikatakan Hegel, pengakuan yang bermutu adalah pengakuan dari pihak yang juga diakui. Dalam konteks sebuah masyarakat, maka pengakuan yang bermutu adalah pengakuan yang diberikan dan berasal dari masyarakat. 

Perjuangan politis untuk memperoleh pengakuan itu, sebagaimana kelompok-kelompok yang disebut di atas, dimaksudkan untuk meyakinkan publik bahwa kelompok tersebut layak memperoleh pengakuan. Jika perjuangan itu berhasil, artinya diterima oleh publik, maka pengakuan itu dilegitimasikan atau disahkan secara politis formal. 

Pengakuan politis untuk kaum penganut kepercayaan misalnya ditunjukkan melalui pencantuman kepercayaan mereka dalam kartu identitas. Pengakuan politis untuk kaum perempuan ditunjukkan melalui penetapan kuota caleg perempuan hingga 30 persen dalam daftar caleg. Pengakuan politis untuk kaum buruh terlihat misalnya melalui penetapan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional. Pengakuan politis untuk masyarakat adat ditunjukkan dengan ketentuan hukum yang menjamin hak mereka untuk mengatur dan mengelola sumber daya alam di wilayah mereka. 

(Mungkin dalam praktik pelaksanaan hak-hak tersebut belum cukup terjamin, tetapi yang mau dikatakan di sini adalah bahwa perjuangan untuk pengakuan itu dapat dikatakan, hingga tingkat tertentu, berhasil). 

Pengakuan politis adalah konkretisasi atau legitimasi dari pengakuan sosial itu. Jika perjuangan politis untuk pengakuan itu berhasil, maka pengakuan itu dikonkretkan menjadi pengakuan politis. Karena itu, dalam perjuangan untuk pengakuan, berlakulah formula berikut: pertama-tama pengakuan sosial, pengakuan dari publik, baru pengakuan politis.

Karena itu kalau ada orang tiba-tiba memperoleh pengakuan politis tetapi minus pengakuan sosial, maka sesungguhnya pengakuan yang diperolehnya itu adalah pengakuan palsu, tidak bermutu.

Fitzerald Kennedy Sitorus, pengajar filsafat


0 komentar:

Posting Komentar