alt/text gambar

Kamis, 18 Desember 2025

Topik Pilihan:

BISAKAH KITA . . .?

(TEMPO, 18 Desember 1976, Th. VI, No. 42)


Oleh: Ignas Kleden

“Bila sekali anda teringat padaku, kenanglah aku sebagai orang yang berbahagia”. Itulah kalimat Goethe yang paling menyenangkan, semenjak saya membaca riwayatnya beberapa tahun lalu. Ucapan itu baru-baru ini menjadi hidup lagi dalam kepalaku. Bagaimana tidak?


Hari itu siang bolong, hari amat panas dengan suhu Jakarta pada maximum. Kantor redaksi majalah itu sepi-sepi saja. Hampir semua reporter tugas-luar. Dengan ragu-ragu, teman diskusi, seorang wartawan mengajukan pertanyaan yang sejak tadi hilang-timbul di sudut matanya. Dalam nada yang aneh: “Bung, menurut bung, adakah kemungkinan manusia berbahagia?” Saya juga pernah risau dengan soal tersebut, tetapi segera lupa begitu saja. Kesibukan mencari duit dan sesuap nasi merenggut saya keluar dari renungan semuskil itu. Apalagi tanpa duit, agak bingung rasanya bagaimana akan berbahagia di Jakarta. 


Tetapi teman wartawan itu nampak bertekun. “Saya kok obsesi benar! Seandainya kita tak mungkin berbahagia, buat apa harus begitu banyak berkorban?” Dan dia mulai berbicara tentang Mao. Tokoh almarhum ini kabarnya mencita-citakan lahirnya Manusia Baru, suatu ungkapan yang sering juga saya dengar dalam pelajaran agama di Sekolah Menengah. Menurut Mao, rakyat RRC harus dididik untuk tidak mudah tergoda oleh materialisme – atau menurut teman saya – tidak mudah terpancing oleh keinginan-keinginan daging. Seingat saya, cita-cita itu pernah dianjurkan oleh Gandhi dan Kristus, dan saya tak tahu – mungkin juga oleh beberapa penganjur lain dalam sejarah. Dan sahabat saya berbisik risau setiap kali: “Mungkinkah ada masa di manusia tak begitu serakah, tidak dilanda banjir kerakusan yang bukan-bukan?” Mao misalnya mendidik rakyatnya bekerja keras sekali tanpa suatu hak milik atas tanah. Rasanya rada kelewatan. Tapi demikianlah titah sang Maha-Pemimpin, dan Tiongkok seperti mengalami hari penciptaan kedua. Kelaparan pupus- menyingkir dari daratan Cina.


Bagaimanapun pokok soal tinggal yang sama. Mao ternyata sukses, seperti juga Firaun Mesir sukses membangun Piramide di Giza. Hanya tidakkah rakyat harus berkorban terlalu banyak?


                                             ***

Bagi banyak orang, Mao menimbulkan kegemparan besar, baik dalam keyakinan maupun dalam cara-fikir. Bisa timbul kesan: manusia ternyata selalu dapat menyesuaikan diri, tanpa batas, tanpa sisa. Kalau seorang anak Semarang belajar teknik ke Jerman Barat, maka dia akan butuh beberapa hari untuk menyesuaikan diri dengan hawa di sana, beberapa minggu untuk menyesuaikan perutnya dengan makanan di sana, beberapa bulan untuk menguasai bahasa percakapan di sana dan beberapa tahun untuk bisa faham cara-fikir dan adat-istiadatnya. Jadi apa yang disusahkan? 


Kalau sekelompok rakyat harus diharuskan takluk pada suatu sistim politik, mereka juga niscaya akan sanggup menyesuaikan dirinya dengan sistim itu – atau sistim apa saja – asal pemerintahnya cukup kuat untuk meng-enforce-kan pelaksanaan sistim itu. Dan selesailah soalnya: masuk kandang kambing mengembik. 


                                                  ***   

Pada tahap penjelasan dan reasoning ini, perasaan saya jadi repot. Kalau benar misalnya bahwa manusia semata-mata mahluk yang adaptik dalam seluruh seginya, maka apa yang bernama kodrat, martabat, human condition, das Sollen dan sebagainya, hanya dusta dan bual orang-orang pintar. Menurut jalan fikiran di atas, apa yang dinamakan kodrat manusia – dari mana berasal hak-hak azasi manusia – sebenarnya omongkosong. Kalaupun ada kodrat, maka kodrat manusia adalah adaptasi. Karena itu kita sebetulnya tak punya alasan sungguhan yang benar-benar asasi untuk menentang kolonialisme. Kita hanya harus menyesuaikan, dan cepat atau lambat kita akan betah juga berada di bawah sayap penjajahan asing. Lalu mengapa perang kemerdekaan? Dan 10 Nopember di Surabaya? Barangkali karena pemerintah Belanda dan Sekutu pada waktu itu kurang kuat memaksakan sistim dan kehendak politiknya? 


Amerika Serikat kiranya boleh dipandang sebagai “orang kuat”. Kuat juga dalam seluruh perlengkapan yang mendukung sistim politiknya: komunikasi, senjata, dollar, diplomasi, logidtik bahkan persuasi dan pengalaman. Ternyata dia tumbang di Vietnam. Dan Rusia, mengapa dia tak cukup kuat memaksakan seorang Solzhenitsyn menyesuaikan diri dengan kehendak partai Komunis? 


Bagi saya segi praktis yang membuat bergidik adalah: kalau kita tak punya suatu apa yang bernama kodrat, martabat (atau apalah namanya), kita niscaya tak mempunyai alasan dasar untuk menolak, bila sekali kelak akan ada (semoga dihindarkan kiranya!) suatu sistim yang lalil yang hendak dipaksakan ke atas Indonesia. 


                                          ***

Kembali ke soal Mao: dengan dasar manakah Mao berhak memaksakan 800 juta manusia bertekuk lutut di depan kehendaknya? Bukankah hanya karena de facto dia berkuasa dan amat berkuasa? Rakyat seakan mengorbankan segala sesuatunya (hak, kegembiraan, kebebasan dan lain-lain) demi mewujudkan cita-cita sang Pemimpin, sementara dunia dengan rasa kagum menyampaikan salut karena 800 juta perut tidak lagi diancam rasa lapar. Namun saya tak dapat membayangkan bagaimana bisa berhitung dengan kelaparan jiwa yang dikorbankan. Demi apa ya sebetulnya? Sistim Mao kukuh seperti Tembok Besar yang melindungi RRC dari luar. Tetapi siapa bisa memastikan bahwa sistim itu bisa menjadi baluarti untuk meringkus hati nurani yang bebas dan menaklukan yang bernama martabat? 


Dalam percakapan pribadi dengan Prof. De Vries – rektor pertama IPB, sekarang mahaguru universita Pittsburg – baru-baru ini, dia membicarakan tentang perlunya Indonesia memperhatikan juga suatu rencana kebudayaan, yang memikirkan bagaimana secara kongkrit dijaga, dikembangkan dan diperluas nilai-nilai yang menunjang martabat manusia. Saya tak menjamin bahwa saya faham sekalian yang dikatakannya, tetapi rasanya tertangkap juga beberapa bayangan maksudnya, yang masih memerlukan waktu dan pengalaman untuk disingkapkan lebih jelas. Di hati saya berfikir, persoalan kebudayaan kita dari segi ini mungkin berarti: bagaimana mengusahakan agar supaya sambil berikhtiar memperbaiki seluruh nasibnya, tiap orang bisa berbahagia dengan keadaannya masing-masing, karena terjaga martabatnya. 


Ada teman lain alumnus pesantren Pondok Gontor berkunjung ke tempat saya. Setelah percakapan jadi asyik, saya akhirnya bertanya apa kiranya yang menurut dia paling khas diberikan Pondok Gontor bagi perkembangan dirinya. “Ada satu utang budi” dia menjawab tanpa pikir, “sekarang saya merasa mampu untuk hidup di mana saja dengan rasa senang. Di pesantren saya belajar menghargai dan dihargai orang”. Dengan pasti saya dapat meraba bahwa di balik penghargaan yang disebutnya itu adalah martabat manusia. 


                                               ***


Ada sebuah ucapan Mao yang amat terkenal: “Politik keluar dari laras senapan”. Seorang pengagumnya baru-baru ini di Amerika Serikat bahkan menyatakan: “Moral keluar dari laras senapan”. Dalam khayal saya, muncul kantor majalah itu. Terdengar suara setengah memberontak: mungkinkah kita berbahagia? Hari ini tak dapat saya bayangkan untuk menjawabnya dengan parafrase lain dari ucapan Mao: kebahagiaan keluar dari laras senapan. 


Bagi saya Goethe lebih menyenangkan, dan barangkali lebih benar. “Bila sekali anda teringat padaku, kenanglah aku sebagai orang yang berbahagia”. Dan Goethe menurut kisahnya sendiri merasakan kebahagiaan yang sepenuhnya, ketika dia diam-diam melarikan diri dari istana Weimar, turun dari negeri utara ke Italia dan mengadakan pengembaraan di sana di negeri “kebebasan dan penemuan”. 


Sumber: TEMPO, 18 Desember 1976, Th. VI, No. 42

0 komentar:

Posting Komentar