![]() |
| Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003 |
"Tak ada orang di sampingnya, yang menunjukkan kepadanya pada yang indah, yang tinggi yang ada di dekat segala yang rendah dan hina dalam kehidupan ini. Kebiasaan Pribumi membuat sedemikian rupa, bahwa ada suatu jarak yang harus dipertahankan antara orangtua dan anak-anaknya. Memang mereka dapat bergaul akrab satu dengan yang lain, tapi sampai pada keakraban sebagaimana pada orangtua-orangtua Eropa, mereka tiada kan sampai. Ni mencintai Ayahnya, namun, sekalipun tidaklah bakal menyinggung hati orangtuanya, menyatakan pikirannya yang paling intim kepada mereka, ia tak dapat. Dingin dan adem saja etiket Jawa yang keras itu memisahkan mereka berdua. Ni melarikan diri sebanyak mungkin dari orang-orang yang melecehkannya dengan sinisme mereka. Dan di mana adat dan kebiasaan negerinya tak memberinya tempat pelarian di dalam tangan orangtua, di dalam hati orangtua, terhadap jiwanya yang berdukacita menderita itu, ia dapat hiburan pada sahabat-sahabatnya yang pendiam dan bisu: “buku”.
Selalu ia suka membaca, tapi kini kecintaannya pada pustaka telah menjadi candu. Segera setelah pekerjaan yang ditugaskan kepadanya selesai, tangannya pun menggapai buku, atau koran. Segala-galanya ia baca, apa saja yang jatuh di bawah matanya, ia menelan segala dengan lahapnya, mentah ataupun matang. Ada juga terjadi ia lemparkan buku yang berisikan penuh hal-hal menjijikkan. Tak perlu ia cari-cari di dalam buku, kalau hanya hendak mengetahui hal-hal menjijikkan dan kotor, kehidupan yang nyata ini sudah penuh dengannya, dan justru untuk menghindarkan diri daripadanya, ia masuk ke dalam dunia-dunia yang menciptakan kecerdasan manusia melalui realita atau fantasi.
Ada banyak buku-buku bagus, yang ini artinya yang membuat ia lupa pada kehidupan yang menjengkelkan ini. Tokoh-tokoh yang indah, pandangan hidup yang mulia, jiwa-jiwa dan pikiran-pikiran besar, membuat hatinya membara penuh semangat dan menggeletar takjub. Ia hidup bersama dengan segala yang dibacanya. Dan tentang bacaan ini ia tiada berkekurangan suatu apa, ia hanya harus mengulurkan tangan ke dalam leestrommel, yang setiap minggu membawakan perbekalan baru, dan Ayahnya sendiri suka dan sering melihat nafsu bacanya, dan dirusakkannya dia dengan hadiah buku-buku. Tak semua yang dibacanya dipahaminya, namun hal itu tak perlu mengecilkan hatinya. Apa yang kurang jelas pada pembacaan pertama, pada pembacaan kedua mulai menerawang, dan pada ketiga atau empat kalinya menjadi agak terfahami. Setiap kata asing yang ditemuinya, dicatatnya, agar kelak, kalau abang yang dicintainya datang, dapatlah ia minta mengartikannya. Dan abang itu selalu menolong adiknya dengan suka hati dan setianya. O! Betapa takjub ia, kalau lambat-laun ia mengetahui, bahwa bacaan itu bukan saja memberikannya kenikmatan, tapi juga pelajaran yang tiada habis-habisnya. O! Sekiranya tak ada padanya bapa yang dicintai, abangnya yang setia dan buku-bukunya, mungkinkah ia dapat lewatkan tahun-tahun gelap itu dengan selamat? Tentulah ia sudah tewas, tak tahan menderitakan tindasan berat kejengkelan yang begitu banyak di atas panggung hidupnya dan jiwanya yang masih begitu muda. Ayah dan abang mengisi hatinya yang menanggung lapar cinta, sedang buku-buku itu mengisi jiwanya yang lapar."
Sumber:
Kartini, "Surat Panjang, Agustus 1900", kepada Nyonya Abendanon, dalam Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003, h. 73-74.
***
Kartini, Feodalisme, dan Buku-buku Barat
Dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja, Pramoedya Ananta Toer, menulis tentang pemberontakan Kartini terhadap sistem masyarakat feodalistik Jawa. Kartini tercerahkan karena membacai banyak buku-buku Barat. Pram menulis:
Dalam tulisan-tulisannya Kartini memang tidak pernah menyebut kata “feodal” atau “feodalisme”. Ia hanya menyebut bangsawan, ningrat, belum sampai pada sistem yang mereka dukung. Tetapi mengapakah ia tidak pernah menyebut-nyebut feodalisme sebagai suatu sistem? Apakah ia belum sampai pada pengertian ini ataukah, demi ayahnya, ia sengaja tidak menyebut-nyebutnya? Apabila ia tidak memahami ini, ditambah dengan semangat kerakyatannya yang berapi-api, sebenarnya ia berada di dalam keruwetan, yang hanya dengan banyak luka-luka saja dapat melepaskan diri daripadanya. Tetapi, melihat dari cara ia memandang persoalan hampir tidak pernah meninggalkan kata Rakyat, memberikan kepada orang dugaan yang keras, bahwa sesungguhnya ia memahami feodalisme sebagai sistem, setidak-tidaknya, bila paham ini tidak didapatkannya dari bacaan tentulah dari intuisinya.
Secara intuitif ia pun tahu kedudukan ayahnya yang tidak bisa diganggu-gugat. Lapisan lebih luas, yang melingkungi Ayahnya, adalah Ibu tuanya, kemudian saudari-saudarinya yang lebih tua daripadanya. Baru kemudian dirinya dan semua adik-adiknya.
Lapisan yang lebih luas lagi terdiri atas sanak famili yang agak jauh, yang tinggal di kabupaten itu. Kemudian lapisan lebih luas, yang terdiri atas pembantu-pembantu rumahtangga, termasuk di dalamnya tukang jahit, tukang emas, tukang kebun, tukang masak, dan lain-lain.
Antara satu lapisan dengan yang lain, menganga jarak pemisah yang tak dapat diseberangi. Antara satu lapisan dengan yang lain terdapat hubungan perintah, jadi seperti dalam susunan kekuasaan militer. Karena itu simpati Kartini terhadap Rakyat, sebenarnya telah menyimpang dari kebiasaan, ia telah melawan tata hidup feodalisme Pribumi yang sangat keras.
Berabad-abad lamanya tata hidup ini dijalankan terus tanpa suatu protes. Orang tidak pernah merasa keberatan terhadap ini. Mengapa Kartini bisa bersimpati terhadap Rakyat, bukankah Rakyat itu termasuk kasta terbawah, dan sudah semestinya saja menderita? Ini tidak lain disebabkan bacaannya, yaitu buku-buku Barat, majalah dan koran yang ditulis buat semua pembaca, tidak peduli seorang feodal tinggi, menengah, rendah, atau Rakyat jelata. Pengetahuan dari dunia Barat bersifat demokratik, artinya dapat dimiliki oleh siapa saja tanpa memandang tinggi rendah kedudukannya dalam masyarakat ataupun kebangsawanannya. Dari bacaan yang demokratik ini ia dapat mengetahui, secara sadar atau intuitif, bahwa keadaan dunia Barat adalah lebih baik daripada keadaan tata hidup Pribumi. Dari perbandingan ini ia mengerti, bahwa tata hidup pribumi masih sangat terbelakang atau primitif.
Tata hidup Pribumi yang hanya mengenal atasan dan bawahan, tentu saja menyebabkan orang kurang menghargai perasaan orang lain: kekurangan perikemanusiaan. Dari bacaan itu pula Kartini mengetahui, bahwa dalam kehidupan Barat, manusia satu dengan yang lain berhubungan atau berhadapan sebagai manusia dengan manusia. Sedang di dunia Pribumi Jawa, hubungan semacam itu tidak ada. Yang ada cuma atasan dengan bawahan, yang satu memerintah, yang lain diperintah. Kalau yang diperintah kurang baik melakukannya, ia mendapat amarah atau hukuman. Tidak ada yang bisa melewati pelapisan-pelapisan itu, ada maha pengatur yang mempertahankannya dengan keras dan ganas. Bukan manusia maha pengatur yang sangat berkuasa ini, tetapi hukum, dan hukum itu pun tiada tertulis. Hukum ini biasanya dinamai adat.
Adat ini dipatuhi dari lapisan masyarakat paling atas sampai paling bawah. Setiap lapisan diperintah oleh adat tertentu. Hubungan antara lapisan yang satu dengan yang lainnya, pun diatur oleh hukum tertentu pula. Setiap tindakan yang diganjur dikendalikan olehnya, sampai-sampai pada hal-hal yang sekecil-kecilnya: cara bicara, berdiri, duduk, membuka mulut, mengulurkan tangan, bahkan cara bernafas pun!
Hanya orang yang mengenal tata hidup dunia lain, sekali pun hanya melalui bacaan, dapat menilai tata hidup dunianya sendiri. Memang “tidak sesuatu yang baru di bawah pancaran sang surya,” kata Kartini, tetapi tidak semua diketahui orang. Dengan pengetahuannya tentang dunia Barat, mulailah ia bisa menilai tata hidup sendiri. (lihat Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003, h. 88-89).
***
Kartini dan Kritik atas Feodalisme
Pramoedya Ananta Toer, dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja, menjelaskan dengan baik sekali tentang sikap Kartini terhadap tata hidup masyarakat “feodal".
Feodalisme, menurut Pram, tidak lain adalah "imperialisme Pribumi" yang hidup di dalam masyarakatnya sendiri.
Pram menulis:
Hubungan antara orang-orang feodal dalam lingkungan kecil semacam itu telah memenuhi hampir seluruh sastra tradisional Jawa, terutama di dalam kitab Babad Tanah Jawa, sebuah kronik raja-raja Jawa yang ditulis pada abad yang lalu. Hubungan yang kaku antara orang-orang feodal Jawa ini dapat ditemukan kembali di dalam drama (wayang) yang mengisahkan epos-epos Hindu Mahabharata dan Ramayana. Tetapi sampai sedemikian terperinci, baru Kartini yang menulis.
Dari kutipan-kutipan kecil itu nampaklah, bahwa kehormatan manusia terletak pada nilai kebangsawanannya, tak peduli orang itu bodoh atau tidak, beradab atau tidak, kejam atau tidak. Barangsiapa tinggi kebangsawanannya, dia berhak dihormati oleh siapapun yang kurang keningratannya, tak peduli orang itu lebih terpelajar, lebih berbudi, ataupun lebih bijaksana. Maka juga nilai manusia tidak terletak pada kemampuannya, kebisaannya, dan jasanya kepada masyarakatnya—semua itu tidak berarti dalam tata hidup feodalisme Pribumi Jawa.
Sebagaimana nampak pada surat-suratnya yang akan dikutip kemudian, Kartini tidak membenarkan tata hidup “feodalisme yang penyakitan” ini, karena dengan tata hidup demikian baik dan buruk tidak ada batasnya, bahkan tidak punya bentuk ataupun isi, karena semua itu tidak berarti. Yang menjadi ukuran hidup kemudian adalah anggukan atau gelengan kaum feodal. Kalau kaum feodal mengangguk, itulah ketentuan bahwa segala-galanya boleh diperbuat. Segala-galanya! Demikian pula sebaliknya kalau kaum feodal menggeleng. Ilmu pengetahuan sama sekali tidak berharga.
Tetapi apakah sebabnya tata hidup sedemikian dipertahankan terus? Dan mengapa dia bisa bertahan terus? Bukankah dia menunjukkan kurangnya kesusilaan, peradaban, dan tidak memungkinkan timbulnya setiakawan antarmanusia?
Menurut paham zaman modern dewasa ini, zaman yang sudah diresapi semangat demokrasi, tata hidup “feodalisme yang sakit” itu tidak lain daripada imperialisme Pribumi yang hidup di dalam masyarakatnya sendiri. Pada zamannya tata hidup ini memang memberi rahmat kepada masyarakat, karena hanya dengan pelapisan-pelapisan yang sangat keras itu masyarakat bisa diatur dan dibela terhadap serangan-serangan dari luarnya yang terlampau sering terjadi.
Dengan runtuhnya Majapahit, sebenarnya selesailah zaman feodalisme Pribumi ini. Zaman Islam di Jawa belum sempat melakukan perombakan tata hidup ini, karena tidak berapa lama kemudian masuklah penjajah Barat. Justru melalui kaum feodallah Rakyat Pribumi dikalahkan oleh penjajahan Barat. Kemudian penjajah itu mempertahankan terus berlangsungnya tata hidup itu, karena hanya dengan jalan demikian perikemanusiaan, ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, dan setiakawan dapat dihalang-halangi tumbuhnya.
Melalui kaum feodal, dalam tata hidup feodalisme, Rakyat Pribumi diperintah oleh penjajah (Belanda, Inggris, Portugis, Prancis), sehingga penjajah itu sendiri tidak perlu bekerja payah-payah.
Sudah tentulah, bahwa dalam tata hidup ini petani dan pekerjalah, yang sangat menderita, karena jasa mereka terhadap masyarakat tidak diakui, dan sementara itu mereka harus hidupi kaum feodal, yang tidak berbuat atau bekerja sesuatu pun. Maka "kerja" sama nilainya dengan kehinaan, dan tidak kerja sama nilainya dengan kemuliaan.
Kalau Kartini menyerukan “kerja!" apalagi buat Rakyatnya, malah ingin “disebut dengan satu nafas dengan Rakyat”, ini tidak lain daripada kata-kata lain yang menyatakan pemberontakannya terhadap seluruh tata hidup feodalisme Pribumi, suatu revolusi jiwa yang tidak kurang dahsyatnya daripada revolusi apapun. Ia bukan lagi menentang dan melawan perseorangan, ia telah perangi dan berantas suatu sistem, suatu tata hidup.
Tata hidup ini nampak oleh Kartini secara lebih intensif di dalam lingkungannya sendiri—lingkungan kabupaten yang terkurung oleh tembok tebal lagi tinggi. Pelapisan-pelapisan yang ada tidak lain daripada kerja berat dan rintihan pada lapisan yang lain. Lapisan yang bawah menderita karena lapisan yang di atasnya lagi, dan demikian seterusnya.
Permaduan adalah salah satu mata rantai penderitaan raksasa ini. Tidak ada seorang bawahan pun, apa lagi wanita, berani menolak perintah bangsawan untuk menjadi istrinya yang ke sekian atau ke sekian. Permaduan ini bukan berasal dari agama Islam, tetapi dari tata hidup feodalisme itu sendiri, jadi jauh sebelum masuknya Islam.
Dan di lingkungannya sendiri ini ia saban hari melihat permaduan itu beserta akibat-akibat yang ditimbulkannya. Ayahnya sendiri yang mempermadu wanita-wanita itu, dan ibu-ibunya sendiri yang dimadu itu. Dari lingkungannya sendiri ini Kartini memahami keburukan permaduan sebagai matarantai penderitaan raksasa. Kalau dalam perlawanannya terhadap tata hidup feodalisme ia dapatkan Ayahnya sendiri sebagai benteng yang melindungi musuhnya, juga dalam penolakannya terhadap permaduan, kembali ia dapatkan Ayahnya yang sangat dihormati dan dicintainya itu sebagai benteng yang melindungi musuhnya. Sedang Kartini sendiri dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah benteng musuh ini.
Dengan memahami posisinya ini, orang akan lebih mudah mengerti, betapa sulit sebenarnya hidup Kartini. Sedang sezarah pun ia tidak ingin melukai hati Ayahnya. Dan sikap ini pula, yang menyebabkan Kartini untuk selama-lamanya terbelah dalam perjuangannya. Dalam salah sebuah suratnya ia menyatakan, bahwa adat yang diturutnya itu tinggal hanya cintanya terhadap Ayahnya. Sekalipun demikian, hal itu tidak mengurangi keterbelahannya.
Pengetahuan Kartini tentang dunia Pribumi sebenarnya hanya perluasan daripada pengetahuannya tentang lingkungannya sendiri yang kecil, karena segala apa yang terjadi di luar, terjadi pula di dalam kabupaten. Yang berbeda hanyalah format dan variasinya, nilai dan warna dan macamnya.
Sudah sejak semula orang telah mengenal sikap Kartini terhadap lingkungannya, terhadap tata hidup feodal: ia melawan dan memeranginya, terkecuali ayahnya. Ia lebih bersimpati pada Rakyat jelata dengan penderitaannya. Kepada kaum feodal ia menyatakan proklamasinya: “Adeldom verplicht” atau: Kebangsawanan mewajibkan, artinya makin tinggi kebangsawanan seseorang, makin berat tugas dan kewajibannya terhadap Rakyat.
Ini berarti Kartini ingin menyembuhkan tata hidup “feodalisme Pribumi yang sakit” itu, dan mengembalikan tugasnya seperti pada zaman sebelum jatuhnya Majapahit. Bila kebangsawanan itu tidak sanggup memikul tugas dan kewajiban itu, dia pun tidak berarti sesuatu pun, dan hanya merupakan beban belaka bagi masyarakat (Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003, h. 91-93).
***
Kartini: Multatuli dan Berbagai Bacaannya
Dan karena Rakyat itu hidupnya sangat tergantung pada pertanian, dan pertanian pada gilirannya tergantung pada teraturnya musim, kalau musim tidak menepati janji seluruh Rakyat akan menerima bencana, seperti yang terjadi pada tahun 1901. Waktu itu musim kering melewati waktu yang semestinya, “Di mana-mana keadaan tidak sehat karena kekeringan besar itu. Kasihan negeri ini,” kata Kartini, “apalagi yang melayang-layang di atas kepalamu terkecuali penyakit-penyakit yang berbahaya itu?”
Kartini menulis:
"Oleh karena kekeringan besar ini hampir di seluruh negeri berbagai sawah rusak. Di Grobokan, bencana ini lebih-lebih lagi, di sana berjangkit bahaya kelaparan, dan dengan ngeri dan gigil orang di Demak dengan 26.000 bahu sawah gagal dan dalam pada itu mengamuk pula kolera, menghadapi musim hujan yang setiap tahun membenam daerahnya. Kasihan negeri ini, yang kekeringan di musim kering karena bencana air, dan di musim hujan terbenam karena bencana air pula."
Melihat kondisi yang serba buruk itu ia ingin membaktikan tenaganya kepada mereka. Kalau saja diijinkan ayahnya—dan ijin ini penting sekali; karena ia tak mau melewati ayahnya begitu saja—ia mau serahkan segala-galanya buat kepentingan Rakyatnya. Tetapi justru itulah yang ia tidak diperkenankan melakukannya. Karena itu ia tidak pernah hidup di tengah-tengah Rakyat Pribumi secara akrab dan wajar. Hanya simpati dan pikirannya yang hidup, berjuang, dan menderita bersama dengan Rakyat.
Pengenalannya terhadap Rakyatnya sebagian didapat dari bacaan Multatuli, dari koran dan majalah, serta dari diskusi-diskusinya dengan orang-orang terpelajar, terutama sekali dari Ayah dan Pamannya sendiri.
Hubungannya dengan Rakyat memang terbatas, tetapi mendalam, dan ia melihatnya dengan pandangan yang jernih, baik tentang kekurangannya maupun kelebihannya. Bacaan tentang Rakyatnya sendiri, selain yang berbahasa Belanda juga yang berbahasa Jawa.
Pada-suatu kali karena ia dianggap telah menjadi orang Belanda sedang ia sendiri tidak membenarkannya itu, sedang untuk membuktikan ketidakbenaran tuduhan umum itu, Kartini dengan tulus dan ikhlas mulai mempelajari buku-buku berbahasa Jawa, maka, Kartini menulis:
"Seseorang orang tua karena girangnya tentang itu, datang kepada kami menyerahkan koleksi bukunya, naskah-naskah Jawa tulisan tangan, di antaranya berhuruf Arab.... Barangkali kau sudah mengetahui, buku-buku Jawa sangat susah bisa didapatkan, karena masih tertulis dengan tangan, hanya beberapa di antaranya saja tercetak. Sekarang kami sedang membaca sajak-sajak indah, ajaran-ajaran yang bijaksana tertulis dalam bahasa bunga. Betapa inginku kau mengenal bahasa kami; o, ingin sekali aku berbagi kenikmatan dengan kau tentang bahasa ini membaca dari aslinya; dalam terjemahan tentu tiadalah seperti aslinya. Tiadakah hasratmu buat mempelajari bahasa Jawa? Bahasa itu sangat sukar, memang, tetapi duh betapa indahnya! Bahasa ini adalah bahasa perasaan penuh puisi dan... tajam. Sering takjublah kami, anak-anak negeri ini sendiri tentang ketajaman orang-orang sebangsa kami. Kau tiadalah dapat bayangkan, apapun mereka bisa lukiskan. Sebut saja sesuatu, sembarangan saja, tunjuklah sesuatu benda, dan seorang Jawa yang cerdas (geestig), yang terutama sekali banyak kau dapatkan di antara Rakyat yang sesungguhnya, tahu saja dengan segera untuk menyajakkannya, yang mentakjubkan oleh karena ketajamannya dan kecerdasannya (geestigheid). Itulah bakat pada orang Timur barangkali."
Di antara pustaka warisan nenek moyangnya sendiri yang dibacanya adalah Wulangreh, dan dengan sendirinya, sebagaimana biasanya pada anak-anak feodal pada masa itu juga buku Centini, dan sudah pasti hikayat-hikayat wayang, hikayat berantai Panji, hikayat berantai Menak yang berlaku di Asia Dekat. Kecintaannya pada bahasa dan sastra Jawa tidak lain daripada pernyataan dalam bentuk lain akan cintanya pada bangsa dan Rakyat serta negerinya. Hanya ia menyayangkan, bahwa sastra itu:
"... begitu banyak mengandung simbolik dalam bahasa yang tidak dapat dipahami oleh orang biasa. Dan ini pula lagi: orang Jawa menangkap buku-bukunya secara harfiah, dan karenanya pabila tidak semua maka banyak di antara nilai-nilainya yang praktis menjadi mubazir.
Dalam moral Jawa, misalnya, ada dipujikan mengurangi makan dan tidur sebagai jalan ke arah kesejahteraan kehidupan fana dan baqa.
Pikiran-pikiran indah yang menjadi dasar tulisan-tulisan tersebut luputlah bagi massa pembaca.
Maka orang pun berpuasa, berlapar diri, berjaga, dan berkhayal sedemikian rupa, sedang gagasan bagus itu tergelincir daripadanya. Tidak makan, minum, atau tidur menjadi tujuan hidup—dan—dengan jalan menderita (ikhtiar, penguasaan diri, dan pembatasan diri) akan mendapatkan kebahagiaan!
Dan demikianlah orang berbuat dalam banyak hal lagi."
Memang sastra Jawa yang telah tertulis, sampai sejauh itu adalah sastra feodal, yang bukan saja tidak terbaca oleh Rakyat jelata, tetapi memang pada mulanya tidak boleh dibaca sebagai akibat dari pengaruh Hinduismes yang tidak mengizinkan kasta sudra dan paria mendengar weda-weda mereka. Dalam hal ini sastra Jawa mempunyai wajah yang serba sebaliknya daripada sastra Melayu yang terus-menerus bersifat demokratik sekalipun dengan tema-tema feodal.
Dan apabila Kartini meninggalkan sastra feodal Jawa yang penuh retorik gagah, penuh kontras antara yang putih dan yang hitam, antara nilai-nilai moral tradisional dengan kepahlawanan-kepahlawanan satria-satria di dalam peperangan, kehalusan-kehalusan para wanitanya dan kemurnian-kemurnian para bhagawan, mendadak sontak Kartini berhadapan dengan pendapat umum dari kalangan orang-orang Belanda kolonial bahwa (Kartini menulis): "Orang Jawa adalah pembohong turunan yang sama sekali tidak bisa dipercaya." (Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003, 95-98).
***
Feodalisme: Memecahbelah Masyarakat dan Sikapnya di Hadapan Kekuasaan Kolonial
Terlalu banyak memang hubungan antara kaum feodal dengan bawahan terutama Rakyat jelata yang dirasai oleh Kartini mengganggu perasaan kemanusiaannya. Dan hubungan semacam itu tidak bakal menimbulkan persatuan di kalangan Pribumi. Feodalisme itu sendiri telah merupakan tata hidup yang memecah-belah masyarakat dalam lapisan dan susunan hamba-berhamba. Jangankan persamaan yang memang sudah ditentang oleh feodalisme itu, bahkan persaudaraan pun tidak ada—juga antara saudara seibu-sebapa. Tanggung jawab sosial yang ada hanya berasal dari bawah kepada kaum feodal, sebaliknya kaum feodal tidak bertanggung jawab sesuatu kepada bawahannya, apa lagi Rakyat. Kebebasan berbuat kaum feodal ini makin tinggi kefeodalannya, makin mutlak, terkecuali terhadap satu-satunya batasan yang tidak bakal diterjangnya tanpa mengalami kehancuran sendiri: pemerintah penjajahan Hindia Belanda. Dalam usahanya untuk memajukan Rakyat, siapa pun menghadapi pemerintah jajahan ini sebagai penghalang, tapi dalam pada itu terutama penghalang dari pihak Pribumi sendiri: kaum feodal. h. 104-105
***
Benar sekali, bahwa bidang penggarapan Kartini di sini cuma dibatasi sampai keamtenaran atau kepangrehprajaan semata. Tetapi pun tidak dapat dilupakan, bahwa pada masa itu bidang kesatriaan adalah bidang kepangrehprajaan ini, dan berabad-abad lamanya Dunia Pribumi rusak karena lapisan satria, yang memerintah ini, telah kehilangan pusatnya, yaitu Brahman atau konseptor, pencipta konsep-konsep yang semestinya lapisan satria itu yang mewujudkannya. Tanpa Brahman, tanpa konseptor, lapisan satria menjadi gelandangan tanpa pegangan, tidak tahu dengan tepat apa sesungguhnya mereka harus kerjakan, sehingga Bung Karno mempergunakan pencirian atas tata hidup mereka sebagai “feodalisme sakitan”. Justru dengan tulisannya tersebut, sekalipun cuma menggarap bidang kepangrehprajaan, bidang kesatriaan, tanpa disadarinya Kartini sebenarnya telah menduduki tempat sebagai Brahman, sebagai pemikir, sebagai konseptor. Paling sedikit ia telah meletakkan konsep, bahwa: kedudukan amtenar harus lebih banyak direbut oleh Pribumi terpelajar. h. 113
***
Pribumi yang Telah Maju
Kartini menggambarkan masyarakat Pribumi sebagai “rimba-belantara” yang gelap-gulita. Kalau ia banyak bicara tentang “terang”, itulah obor-obor yang diharapkannya jadi penerangan dalam “rimba-belantara” yang gelap-gulita. Tanpa malu-malu Kartini mengakui, bahwa obor-obor itu tidak lain daripada intelektualitas Eropa, yang belum lagi dikuasai oleh Pribumi. Dengan intelektualitas Eropa itulah “rimba-belantara” yang gelap-gulita itu akan menjadi padang luas yang terang benderang bagi setiap orang.
Kalau di sini dikatakan intelektualitas Eropa bukanlah berarti, bahwa di Timur tidak ada intelektualitas itu. Yang dimaksudkannya dengan intelektualitas Eropa tidak lain daripada ilmu pengetahuan yang ada pada waktu itu memang hanya Eropa saja yang menguasai. Pada masa itu Eropa itulah benua yang mengendalikan seluruh dunia, dan tidak ada kekuatan di luarnya yang tidak dapat dipatahkan olehnya.
Dalam “rimba-belantara” yang gelap-gulita ini di sana-sini muncul lelatu-lelatu kecil yang berasal dari terang yang dibawa oleh Eropa. Lelatu-lelatu kecil ini tidak lain daripada Pribumi yang telah maju. Sesuai dengan kelelatuannya, dia atau mereka ini baru dapat memberi terang pada kelilingnya yang kecil (Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003, h. 125).
***


0 komentar:
Posting Komentar