alt/text gambar

Kamis, 04 Desember 2025

Topik Pilihan:

SANG EMPU DAN KEBEBASAN

MATRA, Desember 1994, Rubrik “Intermeso”


Oleh: Mohamad Sobary


Apa sebenarnya yang diinginkan seorang penyair, sebutlah juga seorang empu, saat membacakan sajak-sajaknya di sebuah taman terbuka? Adakah di sana ia sedang beragitasi sambil mengumpulkan massa buat melakukan gerakan-gerakan mengacau keamanan untuk mengganggu stabilitas nasional yang kita dambakan bersama? 

Alhamdulillah, tidak! Para malaekat, nabi-nabi, dan segenap orang suci serentak bersaksi bahwa penyair seperti itu juga berjalan di jalan lempang. Isi pikiran dan jiwanya juga penuh impian damai. Dambaan hidupnya pun jelas: masyarakat adil dan makmur dalam citra kita bersama. 

Benarkah kalau begitu bahwa pada saat pembacaan sajak di taman pagi itu ia tak sedang menyulut kebencian massa pada suatu kekuatan dalam masyarakat kita? Benar. 

Ia bukan remaja yang berkata bahwa sesuatu disebut perjuangan, dan tindakan tertentu dianggap heroik, hanya bila ia sudah berani menantang. Orang dewasa tak mungkin bicara dalam bahasa menantang. 

Dapatkah kalau begitu dibuktikan agar ada kesaksian konkret, hitam di atas putih? Dapat. 

Ketika ia ditendang dari belakang tanpa aba-aba, tanpa peringatan, ia pun merasa sakit. Rasa sakit itu bukan terutama karena ditendang, melainkan karena ia merasa dihina. Ia saat itu diperlakukan seperti maling. Hatinya perih melebihi perihnya bekas tendangan itu. Karenanya wajar bila ia kemudian berkesimpulan bahwa kebebasan memang tidak ada! Dan bahwa sebuah perjuangan tanpa kekerasan dilawan dengan kekerasan.

Tapi adakah ia membalas? Tidak. 

Bukankah wajar tak membalas sebab ia, tentu saja, takut.

Mungkin. Tapi jangan lupa bahwa penyair ini juga pendekar. Ia tahu strategi mengayunkan kepalan tangan. Dan di perguruan Bangau Putih ia belajar pula mengangkat lutut buat menyodok perut lawan. Tapi semua itu toh tak dilakukannya. Ia ke sana pagi itu bukan untuk berkelahi, melainkan untuk menciptakan dengan cara dan gayanya sendiri sebuah “taman” kebebasan. 

“Taman” kebebasan yang hendak diciptakannya ialah “taman” dalam jiwa kolektif bangsa kita, suatu bentukan sadar, terencana dan disengaja karena memang tertulis dalam landasan struktural maupun ideologis hidup kenegaraan kita. Ia, sebagai intelektual, bermimpi secara konstitusional. Ia bermimpi dalam kerangka yang bukan saja tak dilarang, melainkan malah sebuah keharusan bagi tiap warga negara yang memiliki komitmen moral pada persoalan bangsanya. 

Ia tak bakal dituntut–karena memang tak bisa–secara hukum bila ia tak berbuat sesuatu. Tendangan juga tak bakal didapatkannya bila ia mau tinggal dipadepokan dengan rasa tenang. Tapi ia tahu, nuraninya sendiri akan menuntut. Dan itu yang membuatnya takut. 

Renungan ini perlu ditulis karena gugatan nurani pada komunitas intelektual yang cenderungan diam seribu bahasa melihat sebuah ketertindasan. Dan siapa yang masih peduli mempertimbangkan soal-soal semacam itu, tindakannya perlu digarisbawahi sebagai teladan laku. 

Kita telah merenung. Dan dalam beberapa hari akhir-akhir ini sikap mawas diri sebagaimana dianjurkan dari atas juga telah dilakukan. Tapi lalu apa? 

Jika segenap renungan dan imbauan–yang disampaikan dengan baik-baik dan tetap terbungkus suba sita Jawa sebagaimana dikehendaki budaya politik kita–akhirnya cuma membentur meja birokrasi dan tercabik oleh kepentingan politik praktis, imbauan mawas diri pun jadinya bakal bertemu sebuah lorong buntu. 

Kita semua mandeg. Kita cuma akan saling memandang dengan cara tak saling memahami. Komunikasi kita berlangsung dalam kebisuan. Dan dalam situasi seperti itu biasanya keputusan yang diambil pun jelas: jalan kekuasaan. 

Saya pribadi masih tetap percaya pada “good will”. Dengan landasan itu lalu bisa dibangun sebuah asumsi bahwa tanggung jawab “nasional”: kepedulian menjaga persatuan dan kesatuan, dan berusaha menjauhkan diri dari rongrongan yang memperlemah hidup kenegaraan kita, masih menyebar luas dalam semua sekmen sosial kita. 

Lebih lanjut saya pun berani bertaruh bahwa sangat banyak pihak, juga kalangan pejabat dan birokrasi (sipil maupun militer), yang amat sadar bahwa hidup kenegaraan kita ini sudah dewasa. Setengah abad (tahun depan) adalah usia yang cukup matang, cukup bisa senantiasa bertindak arif dalam tiap-tiap kali menata corak kehidupan kita bersama. 

Di tengah kearifan macam inilah, pada hemat saya telah tiba saatnya buat sungguh-sungguh melanjutkan usaha kita bersama membangun sebuah “taman” kebebasan sebagaimana kita kehendaki bersama. 

Baik, juga kita tegaskan dari awal bahwa kata “kebebasan” di sini tak lain dari “bebas” dan bertanggung jawab juga. Dengan begitu, tentu saja sebuah jembatan dialog telah kita tegakkan bersama. Dan persepsi coba kita samakan. Langkah lebih lanjut kemudian bisa kita ayunkan bersama menuju “taman” kebebasan tadi. 

Apa yang tampak di sana? Bisa kejelasan “rules of the game” dalam bidang apa saja. Bisa kesederajatan posisi tiap warga negara, yang memang telah dijamin dalam gagasan “rules of law” kita. Dan selanjutnya masih banyak hal yang bisa dikemukakan. Tapi satu ini agaknya perlu diutamakan: bagaimana membangun “manusia mahardika” di masyarakat kita, agar gagasan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi–juga di depan hukum dan dalam politik–mengejawantah dalam alam kesadaran sosiologis kita dan bukan cuma dalam alam ideal. 

Memang benar bahwa mewujudkan ini semua diperlukan taktik, strategi, dan cara-cara pendekatan politis tertentu, dan bahwa ia tak bisa disabda dengan “kun fa ya kun”. Kita perlu proses. Kita perlu tenggang laku. Juga tenggang rasa. Dalam hidup saling menenggang rasa itu tentu saja di antara kita tak boleh muncul apa yang dalam kerangka orang asing disebut “the dominator” dan “the dominated”, atau “the dominated, atau “the oppressor” dan “the oppresed

Saya juga masih percaya di kalangan mereka yang sekarang berada dalam posisi di atas pun hasrat membangun “taman” kebebasan tadi tetap menyala meskipun ada yang redup.

Usaha ke arah itu, dengan kata lain, merupakan usaha kita semua. Tiap pihak merasa  bertanggungjawab untuk itu. Dan kita perlu melaksanakannya sekarang. Kita tak ingin melanggar tugas sejarah agar kelak terhindar dari kutukan sejarah juga. 

Para empu (kaum intelektual), seksi “melek-nurani dalam tiap masyarakat dan negara,  memikul tanggungjawab moral lebih besar dari warga masyarakat biasa. Karena itu, maka tiap empu kehidupan, juga empu di bidang seni, harus menugaskan dirinya sendiri untuk senantiasa merasa wajib–dengan sabar, sopan, ketimuran, bebas, dan bertanggungjawab– mengimbau, atau mengingatkan tiap pihak yang lalai terhadap tugas nasionalnya. 

Para empu, para intelektual, memang manusia biasa. Mereka tak bebas dari kepentingan dan pamrih. Dan meski tiap diri di antara mereka sadar bahwa pamrih itu harus diperangi, toh tak semua berhasil melakukannya. 

Maka, bila banyak di antara mereka gagal menghayati– apalagi melaksanakan–peran keempuan mereka, artinya dalam situasi yang begitu “wajib” bersuara tapi mereka tetap diam seribu bahasa, maka soalnya kian jelas bagi kita: “internal conflicts” pada diri mereka sendiri belum lagi terakomodasi, belum ada rasa damai. Mereka masih belum selesai mengatasi soal dalam diri sendiri. 

Dengan begitu mereka belum menjadi manusia mahardika.

Mustahil manusia yang terjerat jiwanya sendiri akan bisa membangun kebebasan bagi orang lain. Dan juga mustahil birokrasi yang dipimpin manusia-manusia yang terjerat kepentingan politis akan bisa menjadi wahana membangun kebebasan jiwa. 

Mohamad Sobary

Sumber: MATRA, Desember 1994



0 komentar:

Posting Komentar