alt/text gambar

Senin, 15 Desember 2025

Topik Pilihan:

SANG KIAI




Cataan Pinggir Goenawan Mohamad

(TEMPO, No. 42, Thn. XIV, 15 Desember 1984)


Tak setiap orang punya kiai. Tak semua orang Indonesia, biarpun dia Muslim, hidup atau pernah hidup di bawah bayangan seorang tokoh yang – dengan serban dan jas tutup serta keahlian ilmu agama itu – hadir untuk sekitarnya.


Saya termasuk di antara mereka yang tak mengenal dekat figur semacam itu. Karena itulah saya terpesona akan lukisan yang disajikan Syu'bah Asa, ketika ia menulis kata pengantar untuk Kitab Usfuriah yang terbit Juli yang lalu. Uraian Syu'bah tidak sistematis, pengalimatannya kadang berkelok-kelok, tapi deskripsinya tentang tokoh kiai tak mudah saya lupakan.


Seorang kiai, kata Syu'bah Asa, "Adalah pertama kali seorang bapak." Ia bapak bagi pengikutnya. Ia juga bapak bagi, "Anak tetangga yang akan dielusnya kepalanya waktu bertemu atau ditanyainya siapa bapaknya." Ia tokoh yang bisa galak waktu mengajar, tapi penuh belas kasih kepada hal sehari-hari. Ia, "Menyembelih ayam dengan pisau yang sangat tajam... agar si ayam tak tersiksa, seperti yang diajarkan Nabi." 


Tokoh ini jelas bukan "sekadar seorang ustad juru tablig"." Juga bukan cuma "ilmuwan agama yang jujur" yang bisa "bentrok dengan sekitarnya". Pada galibnya, ia bukan cuma pendatang di satu tempat; ia justru termasuk cikal bakal suatu lingkungan, dengan akar yang kukuh di sana.


Tema pokok dalam hidupnya, tulis Syu'bah pula, adalah "pemeliharaan". Ia melindungi daerah yang berada di bawah wibawanya – biasanya satu atau beberapa desa di sekitar kota – dari tekanan orang luar. la ibarat bemper. Ia punya umat, yang sekaligus, sering kali, tetangga. Ia punya komunitas. Ia mendapatkan rezeki bersama mereka, mempunyai sumber sosial ekonomi di antara mereka. Ia punya kepentingan dengan semua itu. Ia menjawab pertanyaan, menyelesaikan sengketa, dan mengajarkan agama serta kearifan. Ia memberikan suatu martabat kepada paguyubannya.


Dari lukisan seperti itu, saya bayangkan bahwa tipe ideal kiai yang ditampilkan Syu'bah Asa adalah tipe yang "membina ke dalam". Ia bukan pemimpin yang mencoba "menaklukkan" dunia di luar komunitasnya – biarpun komunitas itu bisa melebar. Di luar wilayahnya, ia toh tahu ada kiai lain. Atau, kalau tidak, suatu dunia yang – seperti dibuktikan sejarah berpuluh-puluh tahun – tak pernah berhenti jadi "beda": toko-toko pecinan, kantor polisi, asrama tentara, kabupaten, sekolah negeri, atau hotel serta bungalo tempat orang asing datang menginap.


Ia tak ingin mengusik dunia seperti itu, selama dunia itu tak mengusik dunianya. Saya teringat satu anekdot tentang K.H. Wahab Chasbullah almarhum, pendiri NU. Cerita ini dikisahkan seseorang yang pernah jadi mahasiswa di Amerika awal tahun 60- an. Waktu itu, sang kiai ikut rombongan muhibah Presiden Soekarno ke Washington D.C., dan sejumlah mahasiswa Indonesia di negeri jauh itu bertugas mengawalnya. Syahdan, pada suatu malam sehabis resepsi, ketika pulang ke hotel, Pak Kiai yang sudah sepuh dan capek itu tiba-tiba saja duduk nglemprak di lantai lift....


Mahasiswa Indonesia yang berada dalam lift itu merasa malu bahwa tamu agung dari tanah air mereka tampil seperti itu. Tapi Pak Kiai tidak: ia tak merasa minder. Ia begitu yakin, dan ia tak terusik. Seluruh sikapnya adalah sikap yang tak merasa risau oleh "Barat". Ia tak ingin seperti "Barat", sebagaimana ia juga tak hendak melabrak "Barat". Di dalam lift itu, dengan kain sarungnya, Pak Kiai menarik sebuah garis demarkasi.


Yang dinyatakannya sudah tentu bukan konfrontasi, melainkan koeksistensi. Barangkali ini pun mencerminkan tema pokok itu: "pemeliharaan". Tak ada sikap agresif, sebagaimana tak ada sikap defensif. Dalam hidup sehari-hari, seorang kiai sebagai yang dicitrakan kata pengantar Kitab Usfuriah adalah seorang yang melihat dunia dengan "sangka baik", dengan husnuzh zhann. Pelbagai hikayat, dalam lektur pesantren yang diterjemahkan oleh Musthafa Helmy ini, dengan memikat memang menyiratkan semangat harapan dan penghiburan.


Maka, sang kiai agaknya bukanlah tokoh yang, dari dalam dirinya, cenderung melontarkan paguyubannya ke dalam gejolak. Ia memang terkadang seperti orang yang gemar "cari selamat", dan menukar murninya ajaran dengan pelbagai kompromi. Tapi apa mau dikata: ia memang tak hendak mencelakakan komunitas tempat ia hidup dan jadi bapak – dan ia toh tak merasa perlu membuktikan kemurnian Islamnya.


Bila ia seorang ahli fiqih, ia umumnya tahu bahwa hukum Islam telah melintasi pelbagai abad, dan berkembang seraya meniti buih ke seberang sejarah. Murni atau tak murni adalah soal yang tak cuma diperdebatkan di zaman ini. Keputusan tentang itu bukan monopoli suatu masa, bukan pula monopoli suatu mazhab. Kitab-kitab kuning itu menunjukkan sederet yurisprudensi: kekayaan perbandingan yang tak ada taranya, dalam garis riwayat yang satu.


Barangkali kesadaran akan hadirnya sejarah yang luas itu lagi yang menyebabkan sang kiai bertambah arif: begitu banyak yang dicitakan manusia, begitu banyak yang ingin diperbaikinya, tapi Allahu Akbar dan kita hanya duli. Sejarah adalah kisah-kisah ketidaksempurnaan. Hanya dengan sangka baik kepada dunia kita tak akan putus asa kepada rahmat-Nya.


Goenawan Mohamad •


Sumber: TEMPO, No. 42, Thn. XIV, 15 Desember 1984

0 komentar:

Posting Komentar