alt/text gambar

Selasa, 02 Desember 2025

Topik Pilihan:

VERBALISME & LOGIKA



Oleh: Ignas Kleden

(TEMPO, 3 Desember 1977, Th. VII, No. 40)


Seorang teman yang meneliti humor, pernah menjelaskan begini. Humor Indonesia seperti yang kita kenal sekarang, memang tinggi nilai humornya tapi agak terbatas daya komunikasinya. Humor kita terlalu terikat pada suatu lingkungan, pada bahasa setempat dan pada simbol-simbol setempat. Akibatnya hanya orang yang kenal dan dekat dengan simbol dan bahasa setempatlah yang akan merasakan humor itu.


Misalnya ini.

A: "Siapa sih yang sebetulnya menemukan dan melahirkan Inem? Yang melahirkan Inem sebagai bintang, 'kan Nya Abbas Acub?"

B: "Setahu saya, yang melahirkan Inem adalah Nyak-nya Inem. Bukan Nyak-nyak yang lain, bukan pula Nya Abbas Acub!"


Humor ini hanya menggelitik mereka yang mengerti bahwa kata Nyak berarti ibu. Bagi orang lain tidak terasa apa-apa. Padahal, kalau kita baca anekdote mengenai humor antara Winston Churchill dan Bernard Shaw, rasanya amat bisa dinikmati. Kita akan tergelitik habis-habisan asal bahasa Inggeris kita bisa lumayan saja. Humor mereka mudah dikomunikasikan. Kenapa?


Sekedar melayani minat dia, saya pun pura-pura tercenung, lalu menjawab sekenanya saja. Menurut saya, humor kita kebanyakan humor yang verbal. Artinya, humor itu lebih banyak berupa permainan kata, Wortspiel, kata orang Jerman.


Coba lihat dagelan Bagio dan kawan-kawannya di televisi. Kemampuan mereka hanya terbatas pada mengkutak-katik kata-kata, ke arah yang sering sudah bisa diduga, sehingga jadinya tanpa surprise sama sekali.


Lelucon Churchill dan Bernard Shaw lebih banyak berupa permainan pikiran. Jadi yang dibolak-balik adalah logika, dan bukan hanya asosiasi kata-kata.

Dalam permainan kata, kita digelitik oleh kekonyolan dan kesan dungu. Misalnya, kata mental sebagai lawan dari kata fisik, diartikan sebagai "mental" yang berarti terpelanting. Dalam permainan pikiran, kita justru tergelitik oleh suatu kecerdasan. Misalnya, If you lend a friend ten dollars, you lose either a friend or ten dollars.


                                          ***


Verbalisme seperti itu nampak juga dalam retorik yang digunakan. Kebiasaan kita dalam retorik adalah berikhtiar menimbulkan efek, dengan kata-kata yang sebanyak dan sehebat mungkin. Suatu maksud diperbagus dengan rangkaian kata- kata yang indah dan royal.


Sebaliknya, jarang orang secara sengaja memberi harga kepada kata-katanya dengan kandungan isi pikiran yang cerdas dan tajam. Seakan-akan rumus kita untuk retorik adalah: pertama kata, lalu pikiran. Padahal, jago-jago retorik dari zaman Romawi sudah yakin bahwa yang pertama adalah penguasaan isi, lalu kata-kata akan menyusul. Dalam bahasa mereka: rem tene et verba sequuntur.


Itu pula kiranya sebabnya mengapa dalam suatu diskusi kita lebih sering mendengar berbagai statement yang besar, dan bukan reasoning ("penalaran") yang jernih dan kukuh.


Ketiadaan reasoning seperti itu juga menyebabkan timbulnya jawaban yang aneh-aneh dari sementara pejabat. Kenapa sekarang Indonesia mengimpor kopra? Jawabannya: Karena sekarang Indonesia mengekspor kelapa sawit. Coba!


                                               ***


Seorang teman lain hendak menulis tentang pers mahasiswa. Iseng-iseng dia membolak-balik beberapa majalah kampus dan membaca editorialnya. Dia temukan bahwa kebanyakan berisi pernyataan besar yang serba imperatif. Rata-rata satu editorial memuat 12 keharusan (pemerintah harus..., DPR harus..., mahasiswa harus..., Pers harus..., dosen harus dll).


Jarang ada yang menguraikan sebuah soal kecil secara terang, jernih dan tuntas. Yang sering ditemui adalah penjejalan secara paralel (juxtaposition) berbagai konsep besar, yang tak jelas hubungannya satu sama lain. Misalnya: hati nurani bangsa, konstelasi nilai-nilai, masa depan kaum muda, tanggungjawab dan martabat manusia dan lain-lain.


Tampak juga kecenderungan menggunakan bentuk-bentuk abstrak secara royal tapi tidak fungsionil. Untuk mengatakan SIT dicabut, orang lebih suka menggunakan bentuk: Pencabutan SIT. Untuk mengatakan: kami tak berada di tempat, orang lebih suka menggunakan bentuk: ketidak-beradaan kami di tempat. Kenapa sih orang suka meniru-niru Heidegger secara tanggung begitu?


Yang amat kurang dalam editorial-editorial itu adalah reasoning. Yaitu bagaimana alasan-alasan diajukan selangkah demi selangkah, dalam urutan logis. Bagaimana sebuah kerangka pemikiran dibangun dengan susunan pikiran-pikiran yang saling menjulang, sehingga berkembang secara tenang, jernih dan kokoh – tanpa bantuan setumpuk besar retorik yang kembung dan meledak seperti balon.


                                               ***


Besar kemungkinan, siapa pun yang sekarang bekerja sebagai editor pada sebuah penerbitan, akan segera berhadapan dengan satu masalah yang tetap. Naskah-naskah cenderung penuh-sesak dengan kembang-kembang stylistik, tetapi kacau-balau dalam struktur kalimatnya.


Saya tak tahu, apakah susunan subyek-predikat-obyek menurut penjelasan buku Tatabahasa Pak Takdir Alisyahbana, semata-mata kerangka sintaksis barat. Tapi tanpa menunjuk apa yang diterangkan dan apa yang menerangkan, amat sulit membayangkan bagaimana suatu kalimat (dan suatu pikiran) dapat dibangun.


Demikianlah, setelah memburu sebuah kalimat panjang – sampai 6-7 baris – yang penuh bunga kata-kata, sang editor boleh jungkir-balik mencari di mana awal sebuah kalimat dan dimana akhirnya – bak ucapan jin dari negeri antah-berantah.


Dapatkah orang berpikir tanpa bahasa? Tidak bisa!! Begitu mungkin jawaban Wittgenstein bersama penganut-penganut faham Wiener Schule atau Cambridge School. Dapatkah orang berbahasa tanpa berpikir? Dapat, oh dapat! Begitu kata Kaskopkamtib Sudomo. Dan dia menamakannya asbun, singkatan dari asal bunyi. 

Agak sayang bahwa sampai saat ini kita belum memakai istilah astaga sebagai singkatan dari asal statement gagah yaitu ucapan yang berisikan 1000 statement dan 0 argumen.

                                               

                                            ***


Nah, sekarang giliran anda bertanya: untuk apa membu at uraian yang bertele-tele begini? Apa maksud dan apa gunanya?


Sebetulnya uraian ini cuma kata pendahuluan bagi sebuah pertanyaan kepada Menteri Syarif Thayeb dan Prof. Winarno Surachmad: cukup beralasankah meniadakan wajib skripsi di universitas?


Sumber:TEMPO, 3 Desember 1977, Th. VII, No. 40

0 komentar:

Posting Komentar