alt/text gambar
Tampilkan postingan dengan label Catat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catat. Tampilkan semua postingan

Minggu, 15 Juni 2025

,

Bukan Bunda Salah Mengandung

Kota Solok di masa lalu


Oleh: Nani Efendi


"Bukan Bunda Salah Mengandung" adalah subjudul dalam novel Salah Asuhan, karya Abdoel Moeis (1928). Novel ini mengisahkan tentang seorang anak Pribumi yang diasuh dan dibesarkan dalam keluarga Belanda dan bersekolah di HBS—sebuah lembaga pendidikan paling bergengsi zaman kolonial Belanda: sekolah menengah atas yang hampir eksklusif buat anak-anak Eropa dan inlander kelas atas.

Anak itu adalah pemuda Solok, Sumatera Barat, bernama Hanafi. Pengasuhan dalam keluarga Belanda itulah yang membentuk kepribadian Hanafi. Ia jadi merasa rendah diri sebagai Pribumi dan ingin sekali lepas dari status ke-"pribumi"-annya itu. Ia sangat mengagumi bangsa Eropa dan memandang rendah bangsanya sendiri. Satu-satunya orang Pribumi yang dicintainya hanyalah ibu kandungnya sendiri. 

Membaca kembali novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, kata Goenawan Mohamad, adalah mengikuti kembali sebuah cerita pedih. 

Dalam Catatan Pinggir berjudul "Han", GM mengomentari novel ini dengan cukup menarik: prosa pengarang masa tahun 1920-an ini sekarang akan terasa kaku, alurnya alot, dan themanya tak terasa segar; tapi ia merekam sebuah suasana yang menyesakkan.

"Hanafi," kata GM, "mirip seorang pemuda Minang lain, Samsulbahri dalam novel Sitti Nurbaya: Belajar di sekolah Belanda, dengan penampilan seperti bukan orang Minang (“Jika dipandang dari jauh, tentulah akan disangka anak muda itu seorang anak Belanda...”), pemuda itu tak canggung berdansa dan minum anggur dan kelak ia jadi bagian tentara kolonial."

Hanafi sedikit lain: ia jadi pegawai administrasi di Departemen BB—(Binnenlands Bestuur ("pemerintahan dalam negeri", disingkat "BB"), atau disebut juga Gewestelijk Bestuur ("pemerintahan daerah"), salah satu bentuk birokrasi pemerintahan pada masa Hindia Belanda yang terdiri atas orang-orang Eropa.

Menceraikan isterinya, Rapiah, gadis Solok juga, dan melalui proses 'gelijkstelling', Hanafi berhasil dianggap setaraf dengan orang Belanda. Ia memakai nama 'Han Christiaan'. 

"Jadi engkau sekarang sudah menjadi orang Eropa! 'Christiaan', sungguh manis bunyinya...," kata Corrie (hlm. 141). 

Hanafi jatuh cinta pada gadis Indo dengan ayah Prancis, bernama Corrie du Busse. 

Karena ingin menikahi Corrie, Hanafi rela melepas status ke-“pribumi”-annya. Dan akhirnya berhasil dipersamakan statusnya setaraf orang Eropa dengan memakai nama “Christiaan". Proses itu, kata GM, dianggap seakan-akan hasil evolusi manusia.

Novel dari tahun 1928 ini, kata GM, mengingatkan: pernah pada suatu masa dalam sejarah Indonesia, ada kolonialisme—kekuasaan yang bukan cuma mengisap, tapi juga menampik manusia. 

Dua tokoh utamanya, Hanafi dan Corrie, gagal dalam perkawinan dan akhirnya mati, karena tersekat oleh perbedaan bangsa atau ras. Dalam novel itu diceritakan: tak pantaslah seorang wanita bangsa Eropa menikah dengan kaum pribumi yang mereka nilai "rendah". Eropa menganggap ras mereka superior dibanding ras Melayu atau Pribumi. 

Tapi, 'sistem gelijkstelling' membuka kemungkinan perpindahan status 'pribumi' ke status 'Eropa', tapi sebenarnya juga pengukuhan politik identitas masa itu, tulis GM. 

Tulis GM:

"Apa boleh buat. Kolonialisme Hindia Belanda: sebuah politik identitas yang dilembagakan secara brutal, yang menampik manusia sebagai manusia, sebagai proses.  

Seakan identitas dianggap 'jati diri'—rumusan tentang diri yang 'sejati'. Seakan-akan kita bisa mengetahui hakikat yang 100% pas dan tak berubah dalam diri kita. 

Kolonialisme berbasis pada desain itu. Politik identitas: pembekuan manusia. Orang dibekukan agar mudah didaftar dan dikuasai.

Ketika Hanafi mencoba jadi orang Eropa tak berarti ia menafikan pembekuan itu. Ia justru mengukuhkannya. Proses perubahan dalam 'gelijkstelling' bukannya penyetaraan; identitas baru itu, 'Eropa', diraih sebagai penegasan rendahnya derajat identitas lama, 'bumiputra'.  

Dalam dunia yang dibelah identitas itulah Hanafi dan Corrie tersekat. Corrie meninggal, Hanafi gagal. Pemuda ini, 'si Malin Kundang', kembali ke Solok. Ketika ia juga mati—dengan cara bunuh diri menggunakan pil sublimatia tak dimakamkan di kampungnya di Koto Anau, melainkan di Solok. Hanafi—sepanjang timbangan Tuanku Demangtiadalah boleh dimakamkan di kampung, harus di kuburan orang Eropa juga, karena ia sudah 'masuk Belanda'. Politik identitas merundungnya sampai kubur.

***

Novel Salah Asuhan benar-benar memperkaya jiwa dan memberi pencerahan luar biasa bagi saya. Tak dapat disangkal, ia merupakan—menurut saya—karya sastra yang wajib dibaca oleh anak bangsa untuk memperkaya pengetahuan sejarah dan bangsanya sendiri. Ia bukan sebatas kisah percintaan yang gagal antara dua anak manusia. (Nani Efendi


Referensi:

Abdoel Moeis, Salah Asuhan, Jakarta: Balai Pustaka, 2009

Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 13, Jakarta: Tempo Publishing, 2019, h. 427-430



Kamis, 25 Januari 2024

, , , , , , ,

PROBLEM HASIL TES PPPK: ANTARA LEGALITAS DAN MORALITAS

 


Oleh: NANI EFENDI

 

Kisruh tentang hasil tes PPPK sepertinya belum menemukan titik terang. Peserta tes yang merasa dizalimi masih terus berjuang untuk mendapatkan haknya. Mereka telah melakukan berbagai upaya, mulai dari menggelar demonstrasi, melaporkan ke Ombudsman, sampai kepada menyurati Presiden. Tapi, di sisi lain, pemerintah daerah sepertinya sangat percaya diri menyatakan bahwa tak ada prosedur yang dilanggar. 

Dan DPRD—yang merupakan penyambung lidah masyarakat—juga tak banyak bicara terkait problem PPPK. Mestinya DPRD, dalam menjalankan fungsi pengawasan, harus kritis mempersoalkannya. Tapi nampaknya semua bergeming (tak bersuara). Mungkin akan menjadi catatan penilaian juga bagi masyarakat untuk tak memilih mereka kembali pada pemilu 2024 ini.

Kepmendikbud 298 memberi peluang "bermain"?

Problem hasil tes PPPK yang bisa berbeda dengan perolehan CAT peserta ternyata disebabkan oleh pelaksanaan Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan (SKTT). Padahal, SKTT itu sifatnya tidak wajib. Bisa dilaksanakan, bisa juga tidak. Tergantung daerah. Untuk menjaga objektivitas, sebaiknya SKTT tak usah dilaksanakan. Biarlah peserta bersaing secara fair melalui CAT. Ada yang mengatakan: tapi SKTT tak pernah dilaksanakan? Nah, itu yang mesti dipahami melalui Kepmendikbud Nomor 298 Tahun 2023 tentang Pedoman Pelaksanaan Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan bagi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja untuk Jabatan Fungsional Guru pada Instansi Daerah Tahun 2023. 

Jadi, dalam Kepmendikbud Nomor 298, SKTT itu memang tak dilaksanakan seperti pelaksanaan tes formal semisal CAT maupun wawancara, yakni dikumpulkan dalam suatu tempat. Tidak. SKTT itu hanya penilaian yang bersifat subjektif saja. Yang bersifat “pencermatan” saja. Dan pelaksanaan seperti itu diatur, memang, dalam Kepmendikbud Nomor 298.

Kepmendikbud inilah yang kita sayangkan. Mengapa Menteri Pendidikan, melalui Kepmendikbud Nomor 298 itu, memberikan peluang lagi bagi daerah-daerah untuk melakukan penilaian secara subjektif. Padahal, esensi CAT itu adalah transparansi untuk menghindarkan subjektivitas dalam penilaian. Dan, sialnya lagi, SKTT itu terjadi hanya di kalangan PPPK untuk guru saja. Oleh karena itulah, nilai CAT yang banyak berubah itu adalah kalangan peserta PPPK guru. Karena, pelaksanaan SKTT itu didasarkan pada Kepmendikbud Nomor 298.

Jadi, Kepmendikbud inilah yang memberikan celah pada pejabat di daerah-daerah untuk "mengubah" nilai peserta melalui mekanisme yang namanya "SKTT". Artinya, secara hukum, perubahan itu “legal” atau sah secara hukum positif. Karena ada dasar hukumnya. Karena itulah mungkin pejabat daerah percaya diri menyatakan tak ada prosedur yang dilanggar. Ya, secara prosedural, mungkin ya. Tapi secara moral, Kepmendikbud ini memberi peluang bagi pejabat bisa mengubah perolehan nilai CAT peserta yang telah diperoleh dengan susah payah. Itulah yang sering dikatakan: “Dalam sistem yang baik, orang jahat bisa dipaksa menjadi baik. Tapi dalam sistem yang buruk, orang yang baik pun bisa menjadi jahat.”

Untuk lebih jelas secara teknis bagaimana bisa hasil nilai CAT berkurang atau bertambah, silakan masyarakat bisa baca sendiri Kepmendikbud 298 Tahun 2023. Bisa di-download di internet. Yang jelas saya ingin mengatakan begini: pelaksanaan tes PPPK maupun CPNS melalui CAT pada dasarnya adalah untuk menghindarkan peluang pejabat atau instansi maupun panitia seleksi untuk mengobok-obok nilai peserta. Kita tidak ingin lagi pelaksanaan tes CPNS hanya formalitas saja seperti di zaman Orde Baru. Dengan adanya sistem CAT, masyarakat puas berkompetensi secara jujur dan fair.

Lah, ini pemerintah pusat—melalui Kepmendikbud Nomor 298—kok menerapkan lagi cara-cara lama: memberikan wewenang lagi pada daerah untuk melakukan perubahan nilai CAT melalui mekanisme yang namanya “SKTT”? Ini yang kita sesalkan. Ini tak sesuai dengan semangat Reformasi ’98. 

Kepmendikbud ini memberi peluang 'moral hazard' (bahaya moral). Kepmendikbud ini, atau aturan sejenis, mesti dicabut atau direvisi agar kedepannya tak ada lagi celah pejabat di daerah untuk “mengubah” nilai peserta tes PPPK maupun CPNS. Artinya, problem PPPK guru saat ini bersumber dari dasar hukumnya itu sendiri. Padahal, menurut Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (1987, h. 85), hukum itu mempunyai fungsi untuk memanusiakan penggunaan kekuasaan. Karena adanya hukum, kata Magnis, kehidupan bersama masyarakat tidak ditentukan semata-mata oleh kepentingan mereka yang kuat, melainkan oleh suatu aturan rasional yang seoptimal mungkin menjamin kepentingan semua pihak. Tetapi, hukum hanya dapat menjalankan fungsi ini apabila aturan yang ditetapkan memang baik. Dengan kata lain, hukum harus adil.

Antara legalitas dan moralitas

Sekarang kita coba memahami perbedaan legalitas dan moralitas-etis. Jadi, secara prosedural (legalitas), perubahan nilai peserta tes PPPK khusus untuk guru, mungkin legal. Karena ada Kepmendikbud yang menjadi dasar hukumnya. Tapi secara etika-moral, banyak publik, hingga hari ini, tak percaya kalau penilaian itu benar-benar jujur dan adil. Di situlah terkadang sering bertentangan antara hukum positif (legalitas) dan etika (moralitas). Tak semua yang berdasarkan hukum adalah benar secara moral. Karena Nazi membantai jutaan orang Yahudi juga berdasarkan undang-undang. 

Singkatnya begini saja: beranikah pejabat terkait, mengangkat sumpah, semisal mubahalah, bahwa mereka memberi penilaian secara jujur dan adil bukan karena ada permainan uang di belakangnya? Kalau pejabat terkait berani melakukan itu, mungkin masyarakat percaya. Tapi kalau tidak, sampai kapan pun masyarakat tak akan percaya bahwa penilaian benar-benar jujur dan fair.

Saya pikir lebih adil mengabaikan SKTT yang hanya bersifat legal-formal itu demi sesuatu yang lebih tinggi, yakni moralitas dan etika publik. Dan sebagai penutup, saya ingin mengutip kata-kata filsuf Yunani kuno, Plato. Kata ini, saya pikir, sangat relevan dengan problem PPPK hari ini. Kata Plato, "Orang-orang baik tidak memerlukan hukum untuk bertindak secara bertanggungjawab, sementara orang jahat selalu mencari-cari celah di dalam hukum." Maksud Plato ini: kalau seseorang memang sudah beritikad baik, ada tidaknya hukum yang mengatur, tetap ia berusaha berbuat baik; tapi sebaliknya, bagi orang yang berkarakter jahat, sekalipun sudah ada hukum yang mengatur, tetap ia berusaha mencari-cari celah di dalam hukum itu agar tujuannya bisa tercapai.

NANI EFENDIAlumnus HMI


Minggu, 12 November 2023

,

ABSURDITAS: TIGA CARA MENGHADAPINYA MENURUT ALBERT CAMUS

Hidup itu absurd kata Albert Camus. Apa itu absurd? Kalau diartikan dengan bahasa sederhana: "enggak jelas", "susah dimengerti", "susah dipahami". Tapi, walau begitu, orang harus tetap bertahan menghadapi dan menjalaninya dengan "senang". Bukan menghindarinya. Ada tiga cara menghadapi absurditas menurut filsuf Albert Camus. 

1. Bunuh diri (fisik);

2. Bunuh diri filosofis (leap of faith). Lari ke agama atau ke keyakinan-keyakinan tertentu;

3. Bertahan dengan cara menjalani dan menyenangi kehidupan dengan gembira, dengan membuat nilai-nilai hidup versi kita sendiri dan hidup secara otentik. Cara ketiga ini disebut juga "memberontak". MemberontakGoenawan Mohamad mengartikan dengan "membangkang"terhadap semua nilai-nilai ciptaan orang lain atau masyarakat. Bahasa sederhana: hidup secara eksistensial (menjadi seorang eksistensialis). Membangkang artinya tak mau tunduk, tak mau patuh, dan tak mau ikut-ikutan pada cara hidup yang berlaku secara mainstream dalam kehidupan sosial masyarakat. Ia ingin hidup dengan versi sendiri secara otentik. Kalau saya menginterpretasikan secara bebas: jadilah diri sendiri. Hiduplah sesuai dengan kesukaan, bakat, dan minat kita sendiri: diri kita yang sebenarnyadiri yang sejati. Tak perlu ikut-ikutan sesuatu yang pada dasarnya tak kita sukai, tak kita minati. Walaupun orang banyak meminatinya. Sikap seperti itulah yang disebut "membangkang". Membangkang pada mainstream dan tren kehidupan masyarakat banyak. Tak ikut-ikutan pada apa kata orang atau tren orang (adat-istiadat, tradisi, cara dan gaya hidup orang kebanyakan, moralitas, dan lain sebagainya). Cara pertama dan kedua dimungkinkan dilakukan manusia dalam menghadapi kehidupan yang absurd. Tapi Camus tak menganjurkan orang melakukan itu. Yang diinginkan Camus ialah cara ketiga: memberontak (membangkang). Camus mencontohkan pada Sisifus. Walaupun yang dikerjakan Sisifusmendorong batu ke puncak bukit, kemudian setelah batu itu sampai di puncak bukit, jatuh lagi, di dorong lagi, begitu seterusnyaadalah suatu absurditas, tapi kita harus membayangkan bahwa Sisifus bahagia seperti itu. 

Kalau saya tafsirkan secara bebas: jadilah diri sendiri. Hidup sesuai dengan kesukaan, bakat, dan minat kita sendiri. Diri kita yang sebenarnya—diri yang sejati. Tak perlu ikut-ikutan sesuatu yang pada dasarnya tak kita sukai, tak kita minati. Walaupun orang banyak meminatinya. Sikap seperti itulah yang disebut "membangkang". Berani mengatakan ya dan mengatakan tidak. Membangkang pada mainstream dan tren kehidupan masyarakat secara umum—termasuk soal-soal sosial-politik. "Apa itu manusia pemberontak (pembangkang)? Seorang pria yang mengatakan tidak," kata Albert Camus

Menurut Martinus Suhartono, memberontak yang dimaksud Camus adalah memberontak terhadap setiap ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan manusia.  (lihat Martinus Suhartono, "Albert Camus: Dari yang Absurd ke Pemberontakan", dalam Tim Redaksi Driyarkara (peny), Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Jakarta: Gramedia, 1993, h.163-175). 

Martinus Suhartono menyebutkan: bahwa Camus menemukan satu-satunya tempat berpijak di tengah samudera absurditas, yaitu pemberontakan. Orang harus menghadapi absurditas dengan gagah berani, bertahan dengan tabah, dan memberontak dengan jalan melibatkan diri seutuhnya pada nasib sesamanya. Memberontak dengan menjadi pejuang yang menentang ketidakadilan. Orang harus berani berkorban diri bagi sesamanya, jelas Martinus, walaupun tanpa ganjaran surga. Menjadi "orang suci tanpa adanya Tuhan".

NANI EFENDI, Alumnus HMI