alt/text gambar
Tampilkan postingan dengan label Profil. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Profil. Tampilkan semua postingan

Rabu, 31 Januari 2024

Profil Nani Efendi



Nani Efendi, lahir di Koto Datuk, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, pada 8 Juni 1979. Ia adalah seorang intelektual, pemikir, penulis, aktivis organisasi, dan aktivis pergerakan yang multi talenta. Aktif menulis di berbagai media massa dan blog pribadi, dengan tema yang beragam, mulai dari persoalan politik, kebangsaan, filsafat, sosial, keislaman, pendidikan, ekonomi, hukum, kebudayaan, dll. Ia menaruh minat pada bidang-bidang yang luas tersebut setelah mendapatkan pengkaderan di HMI pada 2003. HMI, baginya, adalah ladang pergulatan intelektual. 

Jenjang perkaderan formal di HMI semuanya telah ia ikuti, mulai dari LK I (Basic Training), LK II (Intermiediate Training), dan LK III (Advance Training). LK adalah singkatan dari Latihan Kader di HMI. Di HMI-lah keintelektualannya berkembang, tertempa, dan terasah.

"Di HMI-lah saya mendapatkan banyak keterampilan kepemimpinan (leadership), kemampuan manajerial, dan organisasi," katanya. Nani Efendi menjabat sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi periode 2018-2023.

Menjadi aktivis HMI telah memberikan kesempatan kepadanya untuk mempelajari banyak hal, di antaranya: wawasan kemahasiswaan, keislaman, kebangsaan, keindonesiaan, filsafat, sosial-politik, kebudayaan, hukum, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Sewaktu aktif di HMI, ia tidak hanya sebagai pembaca buku yang rajin, tapi juga merupakan aktivis pergerakan yang consent memperjuangkan amanat penderitaan rakyat, dalam rangka melakukan transformasi sosial. Ia aktivis anti kemapanan. Ia aktif menulis dalam rangka memberikan pencerahan-pencerahan mengenai berbagai persoalan. "Karena begitulah semestinya tugas-tugas kaum intelektual dan cendekiawan," katanya. 

Hingga kini, ia terus aktif menuliskan pemikirannya tentang kritik-kritik sosial. Tapi, di samping aktivitas intelektual, anak keempat dari pasangan Buya Irhamna Benu dan Ibu Warnis ini ternyata juga menyukai seni semenjak kecil: ia menyukai musik dan pintar melukis. Menurutnya, menulis—di samping merupakan aktivitas intelektual—juga ada kaitannya dengan seni. Tanpa seni, katanya, orang tak mungkin mampu membuat tulisan yang indah dan enak dibaca. 

Sebagai pecinta filsafat dan dunia pemikiran, ia telah banyak belajar filsafat, terutama filsafat Barat. Beberapa tokoh filsafat Barat—beserta pemikiran-pemikiran mereka—yang ia pelajari, di antaranya adalah: Karl Marx, Nietzsche, Albert Camus, Jurgen Habermas, Derrida, Antonio Gramsci, Soren Kierkegaard, Sartre, dll. Sebagai aktivis, ia juga terpengaruh pemikiran Ali Syariati (filsuf, intelektual, yang juga merupakan arsitek Revolusi Iran). 

Nani Efendi juga menyukai sastra. Menurut pengakuannya, ia mulai mencintai sastra setelah berkenalan dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Karya Pram yang sangat berkesan, katanya, adalah tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca). Pram mengajarinya menjadi manusia merdeka. Nani Efendi juga pengagum banyak tokoh, di antaranya: Gus Dur, Nurcholish Madjid, Goenawan Mohamad, Franz Magnis-Suseno, Arief Budiman, Ariel Heryanto, F. Budi Hardiman, Ignas Kleden, Ulil Abshar Abdalla, Jaya Suprana, Fachry Ali, Emha Ainun Nadjib, Sudjiwo Tedjo, Ridwan Saidi, Rocky Gerung, Th. Sumartana, dan masih banyak lagi. 

Kamis, 25 Januari 2024

, , , , , , ,

PROBLEM HASIL TES PPPK: ANTARA LEGALITAS DAN MORALITAS

 


Oleh: NANI EFENDI

 

Kisruh tentang hasil tes PPPK sepertinya belum menemukan titik terang. Peserta tes yang merasa dizalimi masih terus berjuang untuk mendapatkan haknya. Mereka telah melakukan berbagai upaya, mulai dari menggelar demonstrasi, melaporkan ke Ombudsman, sampai kepada menyurati Presiden. Tapi, di sisi lain, pemerintah daerah sepertinya sangat percaya diri menyatakan bahwa tak ada prosedur yang dilanggar. 

Dan DPRD—yang merupakan penyambung lidah masyarakat—juga tak banyak bicara terkait problem PPPK. Mestinya DPRD, dalam menjalankan fungsi pengawasan, harus kritis mempersoalkannya. Tapi nampaknya semua bergeming (tak bersuara). Mungkin akan menjadi catatan penilaian juga bagi masyarakat untuk tak memilih mereka kembali pada pemilu 2024 ini.

Kepmendikbud 298 memberi peluang "bermain"?

Problem hasil tes PPPK yang bisa berbeda dengan perolehan CAT peserta ternyata disebabkan oleh pelaksanaan Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan (SKTT). Padahal, SKTT itu sifatnya tidak wajib. Bisa dilaksanakan, bisa juga tidak. Tergantung daerah. Untuk menjaga objektivitas, sebaiknya SKTT tak usah dilaksanakan. Biarlah peserta bersaing secara fair melalui CAT. Ada yang mengatakan: tapi SKTT tak pernah dilaksanakan? Nah, itu yang mesti dipahami melalui Kepmendikbud Nomor 298 Tahun 2023 tentang Pedoman Pelaksanaan Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan bagi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja untuk Jabatan Fungsional Guru pada Instansi Daerah Tahun 2023. 

Jadi, dalam Kepmendikbud Nomor 298, SKTT itu memang tak dilaksanakan seperti pelaksanaan tes formal semisal CAT maupun wawancara, yakni dikumpulkan dalam suatu tempat. Tidak. SKTT itu hanya penilaian yang bersifat subjektif saja. Yang bersifat “pencermatan” saja. Dan pelaksanaan seperti itu diatur, memang, dalam Kepmendikbud Nomor 298.

Kepmendikbud inilah yang kita sayangkan. Mengapa Menteri Pendidikan, melalui Kepmendikbud Nomor 298 itu, memberikan peluang lagi bagi daerah-daerah untuk melakukan penilaian secara subjektif. Padahal, esensi CAT itu adalah transparansi untuk menghindarkan subjektivitas dalam penilaian. Dan, sialnya lagi, SKTT itu terjadi hanya di kalangan PPPK untuk guru saja. Oleh karena itulah, nilai CAT yang banyak berubah itu adalah kalangan peserta PPPK guru. Karena, pelaksanaan SKTT itu didasarkan pada Kepmendikbud Nomor 298.

Jadi, Kepmendikbud inilah yang memberikan celah pada pejabat di daerah-daerah untuk "mengubah" nilai peserta melalui mekanisme yang namanya "SKTT". Artinya, secara hukum, perubahan itu “legal” atau sah secara hukum positif. Karena ada dasar hukumnya. Karena itulah mungkin pejabat daerah percaya diri menyatakan tak ada prosedur yang dilanggar. Ya, secara prosedural, mungkin ya. Tapi secara moral, Kepmendikbud ini memberi peluang bagi pejabat bisa mengubah perolehan nilai CAT peserta yang telah diperoleh dengan susah payah. Itulah yang sering dikatakan: “Dalam sistem yang baik, orang jahat bisa dipaksa menjadi baik. Tapi dalam sistem yang buruk, orang yang baik pun bisa menjadi jahat.”

Untuk lebih jelas secara teknis bagaimana bisa hasil nilai CAT berkurang atau bertambah, silakan masyarakat bisa baca sendiri Kepmendikbud 298 Tahun 2023. Bisa di-download di internet. Yang jelas saya ingin mengatakan begini: pelaksanaan tes PPPK maupun CPNS melalui CAT pada dasarnya adalah untuk menghindarkan peluang pejabat atau instansi maupun panitia seleksi untuk mengobok-obok nilai peserta. Kita tidak ingin lagi pelaksanaan tes CPNS hanya formalitas saja seperti di zaman Orde Baru. Dengan adanya sistem CAT, masyarakat puas berkompetensi secara jujur dan fair.

Lah, ini pemerintah pusat—melalui Kepmendikbud Nomor 298—kok menerapkan lagi cara-cara lama: memberikan wewenang lagi pada daerah untuk melakukan perubahan nilai CAT melalui mekanisme yang namanya “SKTT”? Ini yang kita sesalkan. Ini tak sesuai dengan semangat Reformasi ’98. 

Kepmendikbud ini memberi peluang 'moral hazard' (bahaya moral). Kepmendikbud ini, atau aturan sejenis, mesti dicabut atau direvisi agar kedepannya tak ada lagi celah pejabat di daerah untuk “mengubah” nilai peserta tes PPPK maupun CPNS. Artinya, problem PPPK guru saat ini bersumber dari dasar hukumnya itu sendiri. Padahal, menurut Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (1987, h. 85), hukum itu mempunyai fungsi untuk memanusiakan penggunaan kekuasaan. Karena adanya hukum, kata Magnis, kehidupan bersama masyarakat tidak ditentukan semata-mata oleh kepentingan mereka yang kuat, melainkan oleh suatu aturan rasional yang seoptimal mungkin menjamin kepentingan semua pihak. Tetapi, hukum hanya dapat menjalankan fungsi ini apabila aturan yang ditetapkan memang baik. Dengan kata lain, hukum harus adil.

Antara legalitas dan moralitas

Sekarang kita coba memahami perbedaan legalitas dan moralitas-etis. Jadi, secara prosedural (legalitas), perubahan nilai peserta tes PPPK khusus untuk guru, mungkin legal. Karena ada Kepmendikbud yang menjadi dasar hukumnya. Tapi secara etika-moral, banyak publik, hingga hari ini, tak percaya kalau penilaian itu benar-benar jujur dan adil. Di situlah terkadang sering bertentangan antara hukum positif (legalitas) dan etika (moralitas). Tak semua yang berdasarkan hukum adalah benar secara moral. Karena Nazi membantai jutaan orang Yahudi juga berdasarkan undang-undang. 

Singkatnya begini saja: beranikah pejabat terkait, mengangkat sumpah, semisal mubahalah, bahwa mereka memberi penilaian secara jujur dan adil bukan karena ada permainan uang di belakangnya? Kalau pejabat terkait berani melakukan itu, mungkin masyarakat percaya. Tapi kalau tidak, sampai kapan pun masyarakat tak akan percaya bahwa penilaian benar-benar jujur dan fair.

Saya pikir lebih adil mengabaikan SKTT yang hanya bersifat legal-formal itu demi sesuatu yang lebih tinggi, yakni moralitas dan etika publik. Dan sebagai penutup, saya ingin mengutip kata-kata filsuf Yunani kuno, Plato. Kata ini, saya pikir, sangat relevan dengan problem PPPK hari ini. Kata Plato, "Orang-orang baik tidak memerlukan hukum untuk bertindak secara bertanggungjawab, sementara orang jahat selalu mencari-cari celah di dalam hukum." Maksud Plato ini: kalau seseorang memang sudah beritikad baik, ada tidaknya hukum yang mengatur, tetap ia berusaha berbuat baik; tapi sebaliknya, bagi orang yang berkarakter jahat, sekalipun sudah ada hukum yang mengatur, tetap ia berusaha mencari-cari celah di dalam hukum itu agar tujuannya bisa tercapai.

NANI EFENDIAlumnus HMI


Minggu, 08 Oktober 2023

, , , , , , , , ,

PENGANGKATAN PJ BUPATI: HARUSKAH MEMPERHATIKAN ASPIRASI MASYARAKAT?

Oleh: NANI EFENDI


Pilkada serentak di seluruh Indonesia masih relatif lama: 27 November 2024. Oleh karena itu, bagi daerah yang masa jabatan bupatinya telah berakhir sebelum pilkada, akan ditunjuk Pj Bupati sampai terpilihnya bupati definitif. Di beberapa daerah, persoalan penentuan Pj Bupati sudah menjadi isu politik yang krusial. Bahkan, di daerah tertentu, terjadi penolakan oleh sekelompok masyarakat terhadap nama-nama calon Pj Bupati yang diusulkan oleh DPRD Kabupaten. 

Sekelompok masyarakat menolak beberapa nama calon Pj Bupati karena dianggap tak mencerminkan aspirasi masyarakat. Pertanyaannya, apakah pengangkatan Pj Bupati suatu daerah mesti memperhatikan aspirasi masyarakat? Bukankah Pj itu hanyalah sebatas jabatan administratif ASN, yang bersifat penugasan, bukan jabatan politik yang dipilih melalui mekanisme pemilihan umum?

Apa itu Pj Bupati?

Pj adalah singkatan dari "Penjabat", bukan "Pejabat". Harus dibedakan istilah "penjabat" dan "pejabat". “Penjabat” artinya orang yang menjabat untuk sementara, menunggu terpilihnya pejabat definitif. Pj Bupati bukanlah jabatan politik yang dipilih oleh masyarakat secara langsung melalui mekanisme demokrasi, yakni pilbup. Ia hanyalah “jabatan administratif” pemerintahan yang berasal dari ASN. Karena itu, untuk menjadi Pj, syaratnya haruslah seorang ASN aktif.

Karena bukan jabatan politik, maka Pj tak memiliki wewenang seluas wewenang bupati definitif. Salah satu contoh, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Pj Bupati dilarang melakukan mutasi ASN. Ia juga dilarang membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan oleh pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan bupati sebelumnya.

Pj Bupati dilarang membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan bupati sebelumnya. Juga Pj Bupati tak boleh membuat kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan bupati sebelumnya. Ini artinya apa? Artinya, Pj tak lebih sebagai "pelaksana tugas (plt)" administratif pemerintahan daerah menunggu dipilihnya bupati melalui pilbup.

Tapi, dan ini yang harus dipahami, meskipun wewenangnya terbatas, dalam praktiknya, Pj Bupati saat ini sudah bisa disebut "setengah bupati". Bahkan, di daerah tertentu, Pj sudah "rasa bupati", bergaya bupati, dan dipanggil sebagai "Pak Bupati". Saya terkadang merasa lucu juga mendengar orang memanggil seorang Pj dengan sebutan "Pak Bupati". “Sejak kapan ia dipilih oleh masyarakat,” pikirku. Bukankah ia hanya seorang pegawai ASN, tak ubahnya seorang sekda, kepala dinas, kepala instansi, dan semacamnya? Mestinya Pj dipanggil "Pj" saja, bukan "bupati". Karena ia memang bukan bupati. Pj itu hanyalah seorang ASN, bukan pejabat politik yang dipilih berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat dalam demokrasi.

Namun demikian, dalam praktik, Pj juga punya peran besar yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Bahkan, sebagaimana saya sebutkan di atas, ia seolah-olah menjadi "setengah bupati". Artinya, saat ini, Pj tak bisa juga dipandang sebagai ASN belaka. Pj memiliki tugas, kewenangan, kewajiban, dan larangan yang sama dengan tugas, wewenang, kewajiban, dan larangan bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah. Walaupun dalam hal-hal tertentu wewenangnya terbatas dan tak bisa bertindak layaknya bupati definitif sebagaimana yang saya jelaskan di atas.

Dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban, Pj Bupati juga memiliki hak keuangan dan hak protokoler yang setara dengan kepala daerah definitif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam perspektif negara hukum demokratis, ada benarnya juga Pj itu diangkat dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.

Masyarakat, dalam perspektif politik, menurut saya, idealnya memang harus didengarkan aspirasinya dalam pengangkatan Pj. Karena Pj tak bisa dipandang sebagai pegawai administratif ASN biasa. Pj punya akses luas dan pengaruh besar dalam memimpin administrasi pemerintahan daerah. Karena itulah mekanisme pengusulannya ke presiden tak murni dari menteri, maupun gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Pj juga diusulkan melalui mekanisme politik oleh DPRD Kabupaten. Nah, kalau sudah melibatkan DPRD, berarti Pj tak murni lagi jabatan ASN. Ia sudah bermuatan politik.

Kalau sudah bermuatan politis, maka masyarakat berhak ikut terlibat dalam penentuan Pj Bupati. Protes masyarakat dalam pengusulan Pj Bupati, menurut saya, tidaklah keliru. Oleh karena itu, dalam pengusulan nama-nama Pj Bupati, DPRD—yang merupakan wakil rakyat—mesti mendengarkan pertimbangan, masukan, dan aspirasi masyarakat. DPRD Kabupaten semestinya membuka ruang-ruang diskusi publik terkait nama-nama yang dinilai layak untuk menjabat Pj Bupati. Mesti ada transparansi dan penjelasan rasional: mengapa si A, mengapa tidak si B, si C, dan seterusnya.

Mekanisme pengangkatan Pj Bupati

Ada yang mengatakan wewenang itu ada pada gubernur. Ada juga yang mengatakan wewenang itu dimiliki oleh DPRD Kabupaten. Padahal, DPRD Kabupaten hanya sebatas punya kewenangan mengusulkan, bukan menetapkan. Yang punya kewenangan mengangkat dan menetapkan Pj Bupati adalah Presiden. Bagaimana mekanismenya? Mekanisme pengangkatan Pj Bupati diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Wali Kota.

Pengusulan Pj Bupati dilakukan oleh Menteri, gubernur, dan DPRD melalui ketua DPRD kabupaten. Menteri mengusulkan 3 (tiga) orang calon. Gubernur juga dapat mengusulkan 3 (tiga) orang calon. Dan DPRD melalui ketua DPRD kabupaten dapat juga mengusulkan 3 (tiga) orang calon Pj Bupati yang memenuhi persyaratan kepada Menteri. Nama yang diusulkan bisa berjumlah 9 (sembilan) orang. Kemudian dilakukan pembahasan oleh Mendagri dan mengerucut menjadi 3 (tiga) nama. Mendagri menyampaikan 3 (tiga) nama usulan calon Pj Bupati kepada Presiden melalui Mensesneg untuk dipilih satu di antara tiga nama. Pengangkatan Pj Bupati ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Jadi, kalau dilihat dari dasar hukumnya, yakni Permendagri Nomor 4 Tahun 2023, wewenang pengusulan itu ada pada Mendagri. Gubernur dan DPRD hanya sebatas “dapat” mengusulkan. Keputusan ada di tangan Presiden. Tapi, sebagaimana yang saya jelaskan di atas, karena Pj bisa menjadi “setengah bupati”, maka idealnya, pertimbangan dan aspirasi masyarakat kabupaten yang bersangkutan—yang diusulkan melalui DPRD Kabupaten—menjadi bahan pertimbangan yang harus diperhatikan. Bagaimanapun, Indonesia adalah negara demokrasi, yang kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat.

NANI EFENDI, Alumnus HMI


, , , ,

DPR MESTI OPOSISI DENGAN PEMERINTAH: PERSPEKTIF KONSTITUSI DAN TEORI TRIAS POLITICA


Oleh: NANI EFENDI


DPR itu tak etis berkoalisi apalagi jadi "humas" atau "jubir"-nya pemerintah. Meskipun ada anggota DPR yang berasal dari partai pendukung pemerintah, namun secara konstitusional, mereka tetap berkewajiban menjalankan fungsi pengawasan (control) terhadap rezim yang berkuasa. Karena begitulah amanat konstitusi UUD 1945. 

Beroposisi, bukan berkoalisi

Anggota DPR mesti tunduk pada konstitusi, bukan pada pimpinan partai. Begitulah konsep yang benar menurut konstitusi maupun teori Trias Politica. Trias Politica berasal dari bahasa Yunani yang artinya politik tiga serangkai. Trias Politica adalah konsep politik yang memisahkan tiga kekuasaan politik: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Apa tujuannya? 

Menurut Wahyu Eko Nugroho, dalam jurnalnya yang berjudul "Implementasi Trias Politica dalam Sistem Pemerintahan di Indonesia", sebuah pemerintahan yang berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas. Tujuan konsep Trias Politica adalah untuk mencegah terjadinya konsentrasi kekuasaan negara yang bersifat absolut pada satu orang atau satu lembaga. Dengan adanya pemisahan legislatif dengan eksekutif, maka bisa berjalan fungsi pengawasan oleh legislatif terhadap eksekutif bahkan terhadap yudikatif sekalipun.

Penggagas konsep Trias Politica ialah filsuf Inggris, John Locke. Kemudian, dikembangkan oleh Montesquieu seorang filsuf Prancis dalam bukunya yang berjudul L’Esprit des Lois (lihat Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H., "Makna Trias Politica dan Penerapannya di Indonesia" dalam Hukumonline.com). 

Bahwa DPR itu mesti "berposisi" dengan pemerintah, juga bisa kita lihat dari hak-hak yang dimiliki oleh DPR: hak angket, hak menyatakan pendapat, hak interpelasi. Hak angket ialah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air, maupun di kancah internasional. Sedangkan hak interpelasi ialah hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Di samping itu, ada pula fungsi pengawasan yang harus dilakukan oleh DPR terhadap seluruh proses penyelenggaraan negara, terutama terhadap lembaga eksekutif. Dari hak-hak dan fungsi tersebut, terlihat jelas bahwa DPR berdiri secara diametral (opposite) dengan pemerintah. Sangatlah keliru jika ada anggota DPR yang mati-matian membela rezim (tak peduli salah atau benar) hanya karena alasan bahwa ia berasal dari partai koalisi pemerintah.

Dari perspektif teori Trias Politica maupun dari aturan konstitusional, tak ada konsep yang membenarkan DPR bisa koalisi dengan pemerintah. Karena posisi kedua lembaga itu berbeda dalam hak dan kewajiban. Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (1987:231), menjelaskan, perpisahan antara eksekutif dan legislatif, atau kontrol pemerintah oleh dewan perwakilan rakyat, dan terutama oleh partai-partai oposisi, menutup pintu terhadap manipulasi undang-undang demi kepentingan pemerintah.

Tak ada konsep koalisi dalam konstitusi kita

Apa yang dilakukan oleh anggota-anggota DPR seperti Fadli Zon, Efendi Simbolon, misalnya, adalah benar jika dilihat dari perspektif Trias Politica, maupun konstitusi. Mereka selalu kritis dengan pemerintah karena mereka menjalankan tugas sebagai anggota DPR, meskipun partainya adalah pendukung rezim yang berkuasa.

Yang keliru itu, menurut saya, adalah anggota-anggota DPR yang urat lehernya itu tegang-tegang membela pemerintah. Terlebih jika yang dibela itu ialah sikap maupun kebijakan rezim yang tak adil terhadap rakyat. Dan yang tak kalah keliru dan membuat kesal rakyat ialah anggota DPR yang benar-benar "berpuasa" mengkritisi pemerintah lantaran ia anggota partai pendukung rezim.

Kata tokoh akademisi-intelektual papan atas di Indonesia saat ini, Ariel Heryanto, "Buat apa adu gagasan individu bacapres, jika yang bakal menentukan masa depan RI adalah adu kepentingan koalisi di belakang mereka." Ya, begitulah realita politik di Indonesia saat ini. Konsep koalisi dapat merusak ketatanegaraan Indonesia yang berdasarkan konstitusi. 

Konstitusi UUD 1945 tak mengenal istilah koalisi. Mestinya, untuk menghidupkan demokrasi, yang harus dibangun itu ialah konsep "oposisi", bukan koalisi. Oposisi yang kuat bisa mengontrol rezim agar bisa berjalan secara baik dan adil. Agar berjalan proses check and balances. Sedangkan koalisi itu akan berujung menjadi kekuatan oligarki yang pada akhirnya merugikan kepentingan rakyat banyak. 

Untuk tujuan konsensus, dalam politik, tak ada salahnya juga berkoalisi jika benar-benar untuk kemaslahatan rakyat. Tapi konsep koalisi saat inikan semacam upaya "cari selamat" saja para elite partai politik. Bukan benar-benar untuk kepentingan rakyat yang lebih besar. Koalisi terkadang identik dengan "koncoisme" dan "kolaborasi". Koalisi para elite politik lebih banyak membuat kecewa rakyat ketimbang membuat senang. Elite yang berkoalisi, rakyat yang kecewa. Karena aspirasi rakyat bisa terabaikan lantaran para elite sudah "saling terbahak-bahak" di meja koalisi menikmati kue kekuasaan. 

NANI EFENDI, Alumnus HMI dan Kritikus Sosial


Referensi:

1. Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H. "Makna Trias Politica dan Penerapannya di Indonesia" dalam Hukumonline.com

2. Franz Magnis-Suseno. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987.

3. UUD 1945 Amandemen




Jumat, 08 September 2023

, , , , , , , ,

BERBICARA, ITULAH HAKIKINYA TUGAS DPR


Oleh: Nani Efendi

 

Jargon "banyak kerja sedikit bicara" mungkin bagus untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu, tapi tidak berlaku untuk anggota DPR maupun DPRD. Karena tugas sebenarnya dari anggota DPR atau parlemen itu ialah "berbicara". Asal kata "parlemen" itu dari bahasa Prancis: "parler" yang artinya: "berbicara". Bahasa Inggrisnya: "speak". Istilah "watchdog" atau "anjing penggonggong" juga sering disematkan kepada tugas DPR. Mengapa? Karena ia bertugas mengawasi penyelenggaraan negara.

Dalam negara demokrasi, seperti Indonesia, misalnya, tidak ada satu lembaga negara pun yang dikecualikan dari pengawasan DPR. Bahkan, lembaga peradilan pun, yang bersifat independen dan bebas dari intervensi, tak bisa lepas dari pengawasan DPR. Jadi, jika ada yang tak benar, tak adil, yang dilakukan oleh pemerintah atau semua lembaga-lembaga negara, DPR harus "menggonggong" (mengkritisi, meluruskan dalam upaya mewujudkan cita-cita keadilan dan kesejahteraan rakyat). DPR berwenang membuat bahkan mengubah undang-undang sekalipun. Jadi, kalau ada yang tak suka anggota DPR banyak bicara, itu tanda ia tak paham hakikat tugas DPR. Atau, jika ada anggota DPR atau DPRD yang tak banyak bicara, yang kerjanya cuma diam, berarti ia tak paham arti keberadaannya sebagai anggota DPR maupun DPRD.

Kerja DPR itu bicara

Ada tiga fungsi DPR: fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Ketiga fungsi itu membutuhkan keharusan dan keberanian "berbicara" di dalamnya. Pertama, misalnya, dalam fungsi legislasi. Anggota DPR harus bicara. Menyuarakan keadilan dan kebenaran. Sehingga produk legislasi berupa peraturan perundang-undangan benar-benar menjadi landasan hukum dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. DPR dalam proses legislasi atau pembuatan hukum (peraturan perundang-undangan) tak boleh diam apalagi sekedar menjadi "tukang stempel" UU yang bersifat "pesanan". Bicara, bicara, bicara, begitulah tugas DPR! Bukan datang, duduk, diam, duit. 

Kedua, fungsi pengawasan. DPR mempunyai wewenang mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan mengawasi seluruh proses penyelenggaraan negara. Dalam tugas pengawasan, tentu anggota DPR harus bicara. Jika ada yang tak beres, anggota DPR harus berani bicara mengkritisi. Sekalipun ia dari anggota partai pendukung pemerintah. Karena, posisi DPR itu pada hakikatnya adalah "oposisi" dengan pemerintah. DPR tak boleh berkoalisi apalagi berkolaborasi dengan pemerintah. Begitulah konsep yang benar teori Trias Politica dari filsuf Inggris, John Locke. Legislatif mengawasi eksekutif. Dalam melakukan fungsi pengawasan, lagi-lagi DPR harus berbicara: berani mengatakan yang salah adalah salah; yang benar adalah benar.

Ketiga, fungsi anggaran. Sebelum APBN/APBD disahkan, dilakukan pembahasan terlebih dahulu. Di sini, tentu DPR mesti bicara. Ia harus menyampaikan segala persoalan terkait anggaran agar anggaran benar-benar adil, efektif, efisien, tepat sasaran, dan berkeadilan, demi terwujudnya kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya.

Selain tiga fungsi di atas, DPR juga punya hak-hak, di antaranya: hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Hak-hak itu juga dilaksanakan dalam bentuk keberanian berbicara dari Anggota DPR. Jika Anggota DPR takut bicara, hak-hak tersebut tak mungkin bisa dilaksanakan.

Karena tugasnya adalah "bicara", maka Anggota DPR diberi hak imunitas. Hak imunitas adalah hak DPR untuk membicarakan atau menyatakan secara tertulis segala hal (dalam tugasnya) tanpa boleh dituntut di muka pengadilan.

Hak imunitas membolehkan anggota parlemen untuk bebas berbicara dan mengekspresikan pendapat mereka tentang keadaan politik tertentu tanpa rasa khawatir akan mendapatkan tindakan balasan atas dasar motif politik pula, atau motif politik tertentu. 

Hak imunitas menjadikan anggota DPR dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam menyuarakan kepentingan rakyat. Hak imunitas diberikan kepada Anggota DPR agar ketika berhadapan dengan hukum ia bisa menjalankan kewajiban konstitusionalnya, yaitu memberikan pendapat dan "suara" terhadap putusan yang menyangkut kebijakan publik. 

Digaji untuk bicara dan berpikir

Jadi, sekali lagi, DPR itu tugasnya ialah berbicara. Berbicara menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Dan, tidak hanya sebagai penyampai aspirasi rakyat, tapi juga menyampaikan gagasan-gagasannya sendiri. Oleh karena itu, idealnya anggota DPR itu adalah juga seorang pemikir. Anggota DPR harus punya pemikiran-pemikiran cemerlang tentang kebaikan. 

Ada yang mengatakan bicara saja tak cukup, harus ada action. Saya jawab, “Ya, action-nya DPR itu ialah dalam bentuk berbicara.” Bicara dalam hal pengawasan, legislasi, dan budgeting. Fungsi-fungsi itu dilakukan dalam bentuk "bicara". Dalam proses legislasi dibutuhkan bicara: membuat UU, Perda, misalnya, butuh perdebatan, butuh adu argumen. Dan itu mesti dengan bicara. Kemudian, budgeting (anggaran) juga dibutuhkan bicara. Agar anggaran bisa tepat sasaran. Jadi, action DPR itu ya bicara dan bicara.

Anggota DPR itu harus bisa dan berani bicara (bersuara). Itulah tugasnya. Ia digaji dari uang rakyat ya untuk bicara. Kerjanya ya bicara: sebagai speaker. Jika ia tak bicara, tak ada artinya ia sebagai wakil rakyat: tak ubah seperti pekerjaan tukang yang bekerja dengan perkakas tanpa perlu bersuara. Fungsi DPR itu—meminjam istilah Bung Karno—ialah sebagai "penyambung lidah rakyat". Jadi, keliru jika ada yang meminta anggota DPR jangan banyak bersuara (gaduh) mengkritik kebijakan-kebijakan penguasa. Justru anggota DPR yang banyak diam itulah yang tak benar dan harus dipertanyakan kinerjanya.

NANI EFENDIKritikus Sosial


Minggu, 19 September 2021

, , , , ,

PRINSIP PERWAKILAN RAKYAT (PERWAKILAN IDE DAN PERWAKILAN FISIK)

Jimly Asshiddiqie, dalam bukunya, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (h. 145-146) membedakan antara pengertian perwakilan pemikiran atau keterwakilan aspirasi (representation in ideas) dan perwakilan fisik atau keterwakilan fisik (representation in presence). Keterwakilan fisik ini terwujud dalam bentuk terpilihnya seorang wakil menjadi anggota parlemen (DPR, DPD, dan juga DPRD). Namun, dalam praktek, sistem perwakilan fisik belum menjamin tersalurnya aspirasi rakyat sebagaimana yang diharapkan. Banyak faktor yang menjadi persoalannya: faktor pribadi para wakil rakyat, faktor pilihan sistem yang dipraktikkan, sistem pemilu yang dianut, sistem kepartaian, dsb. Oleh karena itu, mekanisme keterwakilan rakyat melalui fungsi MPR (DPR dan DPD) tidak boleh dipahami secara mutlak, seolah-olah menjadi satu-satunya saluran kedaulatan rakyat yang sah. Meskipun rakyat telah menyalurkan aspirasinya melalui pemilu dan wakil-wakil rakyat yang terpilih telah duduk dalam keanggotaan MPR (yang terdiri atas dua kamar: DPR dan DPD), rakyat secara sendiri-sendiri masih tetap memiliki hak-hak asasinya masing-masing. Setiap individu rakyat tetap memiliki media lain untuk menyalurkan aspirasinya setiap waktu yang dijamin dalam konstitusi, yaitu melalui kebebasan pers, kebebasan berekspresi atau menyatakan pendapat, baik lisan maupun tulisan, kebebasan berunjukrasa, hak untuk mogok kerja, dan lain-lain saluran aspirasi. Inilah demokrasi yang substansial. Proses pemilihan wakil rakyat hanyalah baru sebatas demokrasi prosedural.

Minggu, 16 Agustus 2015

Biasakan Melakukan 9 Hal Ini dan Anda Akan Sukses




1. Bangun lebih pagi

2. Membaca tiap hari (minimal 30 menit setiap hari)

3. Disiplin

4. Miliki jadwal istirahat yang tetap

5. Mendahulukan kepentingan keluarga

6. Bekerja keras dan cerdas

7. Rajin berolahraga

8. Keluarkan uang lebih banyak untuk mimpi pribadi

9. Selalu bersyukur setiap hari

Senin, 22 Juni 2015

Manusia Terbaik

"Khairunnas anfa'uhum linnas." (Manusia yang baik itu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia lain). (Hadits)


Publikasi Tulisan di Media Massa:



”Jalan Kerinci-Merangin di Bawah Kepemimpinan Empat Gubernur”,
(Harian Jambi Ekspres, Senin, 24/12/2012)

”Pilwako Jambi 2013 Hanya Sebatas Demokrasi Prosedural?”, (Harian Jambi Ekspres,
Selasa dan Rabu, 8 dan 9/01/2013)

“Pilkada Kerinci 2013 dan Primordialisme”, (Saktinews.com, Kamis, 10/1/2013)

”Refleksi 5 Tahun Pemekaran Kabupaten Kerinci”, (Harian Jambi Ekspres, Kamis, 17/01/2013)

”Jalan Kerinci-Bangko Menunggu Ratu Adil”, (Harian Jambi Independent, 22/01/2013)

“Perguruan Tinggi Pabrik Pengangguran?”, (Kerincisungaipenuh.com, Senin, 27/5/2013)

“Kerinci Memilih Pemimpin”, (Kerincisungaipenuh.com, Selasa, 18/6/2013)

“Pemilukada Kerinci 2013 Cacat Hukum?” (Kerincisungaipenuh.com, Rabu, 3/7/2013)

“Menyogok untuk Menjadi CPNS dalam Tinjauan Islam dan Hukum Positif”, (Harian
Jambi Independent, Rabu, 25/9/2013)

“Pemilukada dan Fenomena Pemutasian PNS”, (Kerincisungaipenuh.com, Selasa, 30/7/2013)

“Kerinci Memilih Pemimpin”, (Kerincisungaipenuh.com, Selasa, 18/6/2013)

“Tenaga Honorer: Antara Peraturan Perundang-undangan dan Kejelasan Karir”, (Kerincisungaipenuh.com, Minggu, 28/7/2013)

“Renungan 17 Agustus: Memahami Arti Kemerdekaan”, (Kerincisungaipenuh.com,
Sabtu, 17/8/2013)

“Pembatasan Usia CPNS dan Hak Konstitusional Warga Negara”, (Kerincisungaipenuh.com,
Minggu, 22/9/2013)

“Selamatkan Lahan Sawah di Kerinci”, (Kerincisungaipenuh.com, Sabtu, 30/7/2013)

“Mengapa Gugatan Emil Ditolak PTUN Jambi?”, (Kerincisungaipenuh.com, Minggu, 8/9/2013)
“Rombak Total Sistem Rekrutmen CPNS”, (Saktinews.com, Selasa, 31/12/2013)

“HMI: Komunitas Intelektual”, (Saktinews.com, Jumat, 11/1/2013)

“Pemilukada Langsung Jalan Menuju Kesejateraan? (Sebuah Catatan Menjelang Pemungutan Suara Ulang di Kerinci 2013”, (Harian Jambi Independent, Selasa, 26/11/2013)

“Politik Smabau”, (Saktinews.com, Selasa, 4/2/2014)

“Uniknya Gelar Sarjana di Indonesia”, (Saktinews.com, Minggu, 12/1/2014)

“Kebijakan Mutasi yang Meresahkan PNS”, (Saktinews.com, Sabtu, 11/1/2014)
“Politisi Kini Mesti Meneladani Bung Hatta”, Buletinjambi.com, 31 Oktober 2014

“PNS Harus Tinggalkan Mental Priyayi”, Jambi Independent, 30 Desember 2014

“Catatan Akhir Tahun: KLB Sepanjang 2014 Sudah Tinggal Slogan?”, Buletinjambi.com, 31 Desember 2014

“Pilgub dan Keadilan Pembangunan di Provinsi Jambi”, Jambi Independent, 02 Februari 2015

“Mengenang Bapak Pers Indonesia: Sebuah Catatan Kritis terhadap Idealisme Pers Saat Ini”, Jambi Independent, 20 April 2015

“Memimpin Adalah Jalan Menderita: Sebuah Catatan Menjelang Pilgub Jambi 2015”, Jambi Independent, 25 Mei 2015