Oleh: NANI EFENDI
Proses menerjemahkan suatu bahasa ke dalam bahasa lain tak sesimpel seperti proses memfotokopi atau meng-copy paste sebuah dokumen tertulis di lembaran kertas. Mengapa? Karena, dalam menerjemah, banyak faktor yang dapat mempengaruhi maksud sebenarnya dari teks awal. Artinya, dalam proses menerjemah, banyak sedikit, dapat terjadi semacam perbedaan makna atau pengertian. Ia bisa bersifat
mempersempit atau menyederhanakan pengertian, bisa juga memperluas maksud yang
sebenarnya, sehingga maksud yang sebenarnya menjadi kabur. Itu bisa terjadi terutama dalam terjemahan seperti kitab suci dan buku-buku atau tulisan yang kontennya berat semisal filsafat, ilmu pengetahuan, maupun sastra, dan lain sebagainya. Termasuk KUHP di Indonesia yang aslinya berbahasa Belanda, sebagaimana pernah disampaikan oleh Andi Hamzah terkait penerjemahan istilah "pembunuhan berencana".
Mungkin, bisa jadi juga, karena problem terjemahan itulah, Pramoedya
Ananta Toer gagal memenangkan Hadiah Nobel Sastra.
Karena bisa jadi novel-novel Pram yang sudah mengalami proses penerjemahan ke dalam
bahasa lain—Inggris misalnya—tak hebat dan tak menggigit lagi seperti teks aslinya. Lantaran ada
pilihan-pilihan kata atau ungkapan yang tak pas lagi dengan pemaknaan yang sebenarnya yang dimaksud Pram. Karena bahasa dipengaruhi oleh banyak faktor: seperti faktor psikologis, sosiologis, historis, dan lain-lain. Sehingga orang yang membacanya pun tak bisa menghayati dan memaknainya dengan
sempurna seperti maksud Pram. Karena itu, novelnya jadi tak "gereget" lagi lantaran dialihbahasakan.
Persoalan terjemahan
Komaruddin
Hidayat dalam bukunya Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik menjelaskan dengan cukup mendalam mengenai problem terjemahan. Terjemahan dan penafsiran merupakan masalah pokok dalam
hermeneutika. Hal itu dikarenakan berbeda-bedanya bahasa manusia. Setiap bahasa
mencerminkan pola budaya tertentu. Karena itu, problem hermeneutika selalu
berkaitan dengan proses pemahaman, penafsiran, dan penerjemahan atas sebuah
pesan (lisan maupun tulisan) untuk selanjutnya disampaikan kepada masyarakat
yang hidup dalam dunia yang berbeda.
Bisakah, lanjut Komaruddin,
sebuah gagasan disampaikan kepada masyarakat yang hidup dalam kultur yang
berbeda tanpa mengalami distorsi dan penyimpangan makna? Apa jaminannya sebuah
gagasan yang dimuat dalam sebuah bahasa bisa diterjemahkan secara persis ke
dalam bahasa lain? Bukankah setiap bahasa berkaitan atau selalu lekat dengan
kultur sebuah masyarakat pemakainya? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan problem
hermeneutik yang selalu muncul dalam kritik sastra dan tafsir atas teks-teks
kitab suci (Komaruddin Hidayat, 1996:14). Artinya, pemaknaan dan pengertian
suatu bahasa berkaitan erat dengan ruang (tempat) dan waktu (zaman).
Komaruddin memberikan Al Quran
sebagai contoh. Dari apresiasi makna dan gaya bahasa terdapat jarak yang begitu
lebar antara mayoritas umat Islam Indonesia dengan Al Quran yang menggunakan
bahasa Arab. Ketika kitab suci diterjemahkan dan ditafsirkan, dua kemungkinan
segera muncul: positif dan negatif. Positifnya, kata Komaruddin, posisi dan
pesan sebuah kitab suci menjadi terbebas dari kurungan bahasa dan tradisi lokal
di mana ia diturunkan. Negatifnya, setiap penerjemahan dan penafsiran selalu
diikuti bahaya distorsi, deviasi, dan pengkhianatan pesan.
Bisakah Al Quran
diterjemahkan?
Pertanyaannya, bagaimana dengan terjemahan Al Quran? Bagaimana dinamika pemahaman masyarakat Indonesia tentang kandungan Al Quran yang dikajinya, yang sudah melalui karya-karya terjemahan dan melalui ceramah-ceramah keagamaan oleh para ustadz, kiai, dosen, dan lain sebagainya? Ada pendapat
bahwa Al Quran tak bisa diterjemahkan. Ia hanya bisa diterangkan dan
ditafsirkan saja. Begitupun dengan hadits. Teks hadits akan melahirkan
perbedaan paham antar sesama pembaca. Dan sangat mungkin terjadi pemahaman yang
sebaliknya karena pengetahuan dan kesan orang yang membaca teks akan berbeda dengan
pemahaman dan kesan orang yang hadir dan mendengarkan serta melihat langsung
dari pembicara sendiri (Komaruddin Hidayat, 1996:108).
Bahkan, kata Komaruddin, apa yang
disebut terjemah sesungguhnya juga sebuah penafsiran terpendek yang dilakukan
oleh penerjemahnya yang kadang kala tidak cukup jelas mengungkapkan makna yang
dikandungnya karena setiap terjemahan selalu dibarengi bahaya reduksi dan
simplifikasi kandungan makna dan kultur bahasanya yang khas, yang tidak mudah
dipindah ke dalam bahasa dan kultur yang berbeda (Komaruddin Hidayat, 1996:145).
Contoh lain adalah judul buku karya
Bennedict Anderson, Imagined Comunities. Judul itu diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia menjadi "komunitas-komunitas terbayang". Tepatkah
judul itu diterjemahkan menjadi “komunitas terbayang”? Bukankah lebih pas diterjemahkan
menjadi “masyarakat-masyarakat yang diimajinasikan”? Nah, dari judulnya saja
sudah terjadi distorsi makna, apalagi dari sisi kontennya. Kata “terbayang”
bisa saja membuat orang berimajinasi ke hal-hal lain. Bisa diartikan dengan
sebuah kain perempuan yang transparan, misalnya. Bisa juga sesuatu hal yang
terbayang-bayang dalam memori, dan lain sebagainya.
Itulah sedikit contoh problem
terjemahan. Oleh karena itu, penting juga diperhatikan siapa yang menerjemahkan
sebuah teks. Karena kualitas terjemahan sangat bergantung dari penerjemahnya. Orang
yang tak paham masalah politik, misalnya, menerjemahkan buku politik, tentu banyak
sedikit akan terjadi penyimpangan-penyimpangan pengertian dan makna dari yang
semestinya. Kata yang sama bisa diartikan berbeda-beda. Sesuai pemahaman
penerjemah. Mereka yang memahami “filsafat bahasa” tentu mengerti persoalan
ini.
Dan problem terjemahan juga
terjadi dalam komunikasi lisan. Penerjemah selalu memilih “kosa kata” yang
sesuai dengan kapasitas pemahaman yang berhubungan dengan pengalamannya. Dari situ,
penerjemah sebenarnya sudah “menafsir”. Sekedar contoh saja, saya jadi teringat
dengan acara TVOne ketika mengundang narasumber, seorang pengamat Timur Tengah,
untuk menerjemahkan berita yang disiarkan langsung dari TV Al Jazeera terkait
kondisi peperangan di Jalur Gaza. Saya yakin, dalam menerjemahkan itu, tak
sepenuhnya tepat. Apalagi berita itu disampaikan dengan pengucapan yang cepat
dari reporter. Pasti, banyak sedikit, terjadi penyempitan maupun perluasan
makna dari maksud reporter Al Jazeera yang sesungguhnya. Artinya, ada kata atau ungkapan-ungkapan yang tak bisa dengan persis dialihkan dari suatu bahasa ke bahasa lain.
Sebuah kata dapat mengalami perkembangan makna. Terpengaruh kondisi sosiologis, psikologis, historis, dan lain sebagainya. Komaruddin Hidayat mencontohkan kata "umat". Di Madinah, adakalanya kata "umat" juga meliputi orang Yahudi dan Nasrani yang membuat perjanjian damai dan kerjasama dengan Rasulullah. Di Indonesia, kata "umat" juga mempunyai konotasi yang berbeda-beda. "Umat" bisa berarti anggota suatu partai atau jamaah tertentu. Bisa juga umat Islam secara keseluruhan. Dan bisa juga untuk menunjukkan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Itu jika dilihat dari perspektif kita orang Islam. Dari perspektif orang non-muslim, bisa jadi, ketika mereka mendengar kata "umat", secara psikologis mereka mengasosiasikannya dengan umat Islam saja. Sehingga muncul sentimen. Padahal, bisa jadi kata "umat" yang diucapkan seorang tokoh politik dalam sebuah pidato, misalnya, itu juga termasuk mereka. Contoh kalimat pidatonya: "Kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan golongan". Kata ini bisa ditafsirkan berbeda oleh orang non-muslim. Nah, itu sekedar satu contoh saja.
Karena sebuah kata mengalami perkembangan makna, terang Komaruddin, maka untuk memperoleh pemahaman yang benar, yang dikehendaki oleh pembicara, hermeneutik tak cukup mendasarkan pada teks Al Quran maupun pemahaman semantikal, melainkan perlu melibatkan faktor psikologis dan sosiologis agar tak terkecoh oleh teks semata. Kata Wittgenstein, "Jangan tanyakan apa makna sebuah kata, tapi perhatikan bagaimana ia difungsikan." (Komaruddin Hidayat, 1996:148). Jadi, proses menerjemahkan tidaklah selalu gampang.
Meskipun demikian, aktivitas menerjemah tetap sangat penting dilakukan. Alangkah terbatasnya perkembangan ilmu dan peradaban manusia jika tak ada aktivitas penerjemahan. Tanpa terjemahan, maka sirkulasi dan komunikasi ilmu akan bersifat lokal. Kita bisa mengetahui kebudayaan dan warisan intelektual dari berbagai belahan dunia adalah berkat adanya jasa-jasa penerjemahan.
Demikian juga pemahaman terhadap Al Quran. Dengan adanya jasa penerjemahan, maka pesan Al Quran yang aslinya berbahasa Arab bisa dipahami oleh orang yang tak mengerti bahasa Arab. Meskipun hanya dengan modal bisa berbahasa Arab tak menjamin seseorang bisa menggali kandungan Al Quran. Sama halnya dengan orang Indonesia yang memahami bahasa Indonesia, belum tentu ia mampu memahami buku ilmu pengetahuan yang bukan bidang kajiannya (Komaruddin Hidayat, 1996:172). Dan sekedar hafal saja pun tak menjamin seseorang itu lebih paham terhadap kandungan Al Quran.
Bahasa, kata Komaruddin, selalu
berkaitan dengan dinamika pengetahuan masyarakat. Oleh karenanya, sebuah karya
tulis yang diterbitkan oleh suatu masyarakat yang lebih maju akan sulit
diterjemahkan ke dalam bahasa yang tumbuh dalam masyarakat primitif. Alam pikiran
dan bahasa yang tumbuh dalam masyarakat agraris, lanjut Komaruddin, pasti
berbeda dengan alam pikiran serta bahasa yang berkembang subur dalam masyarakat
informasi yang sudah jauh menggunakan bahasa komputer. Contoh sederhana misalnya
adalah bahasa dalam kalangan profesi. Istilah-istilah yang biasa digunakan para
praktisi atau ahli ekonomi, misalnya, tentu tak mudah dipahami oleh mereka dari
kalangan ahli hukum. Demikian pula sebaliknya.
Oleh karenanya, yang namanya terjemahan
bagaimanapun juga, kata Komaruddin, mempunyai titik-titik lemah yang bisa jadi
malah menutupi pesan dasar yang diterjemahkan. Karena, kekayaan bahasa dan
tradisi berpikir suatu masyarakat tak selalu sama dengan masyarakat yang lain. “Terjemahan
sesungguhnya juga penafsiran,” kata Komaruddin, “karena penerjemah, dalam
memilih kata dan menyusun kalimat juga melakukan ijtihad, terlebih menyangkut
masalah keilmuan atau fakta historis yang bersifat debatable.” Al Quran
juga mengalami hal yang sama.
Karena itulah, satu catatan yang harus diingat, kata Komaruddin, bahwa penerjemahan selalu memiliki dua segi: positif dan negatif (penghubung dan penghalang). Karena bahasa memiliki akar serta lingkungan kultural yang spesifik, maka karya tulis apa pun, terutama Al Quran, ketika diterjemahkan sudah pasti mengalami perubahan makna, baik bersifat pengembangan maupun penyempitan.
NANI EFENDI, Alumnus
HMI
RUJUKAN
Hidayat, Komaruddin, Memahami
Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996.