alt/text gambar
Tampilkan postingan dengan label Tulisan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tulisan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 24 Agustus 2024

FILSAFAT MESTINYA JADI PELAJARAN WAJIB SEMENJAK SMA

 


Oleh: Nani Efendi


Dalam salah satu dialog, Franz Magnis-Suseno, menjelaskan, filsafat di Indonesia belum mendapat tempat yang semestinya. Hanya sedikit pelajaran filsafat yang diberikan di perguruan tinggi di Indonesia. "Hampir tidak ada," kata Magnis. Kecuali Katolik: karena filsafat termasuk pendidikan bagi para Pastor dan Imam, kata Magnis. 

Di negara maju—semisal Prancis, Jerman, Italia, Spanyol, Swiss, dan Swedia—filsafat sudah diajarkan semenjak SMA. Bahkan, Prancis mewajibkan ujian nasional filsafat untuk semua pelajar SMA. Wajarlah banyak pemikir-pemikir besar lahir dari sana. 

Di Prancis, siswa dalam ujiannya—sebagaimana dikutip dari Tempo.co (Di Negara Ini, Pelajar SMA Wajib Ujian Nasional Filsafat)—sudah harus bisa menulis esai pendek untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan filsafat. Bahkan, siswa SMA sudah bisa mengomentari karangan beberapa filsuf semisal Karl Popper, Rene Descartes, dan Hannah Arendt.

Sekolah di Prancis tak melatih orang untuk mendapat pekerjaan, tapi melatih orang untuk menjadi warga negara, yang akan menentukan nasib negaranya di masa depan. Karena itu, bagi mereka, filsafat penting diajarkan. 

Nah, kondisi itu berkebalikan dengan di Indonesia. Di Indonesia, masih banyak yang salah kaprah dengan filsafat. Bahkan sekelas dosen sekali pun. 

Saya ingat, waktu kuliah dulu—sebut saja namanya Pak Abdul Muluk—salah seorang dosen saya, mengatakan kira-kira seperti ini: jangan orang sudah sampai di bulan, kita masih juga berfilsafat. 

Waktu itu saya amini juga kata-kata dosen itu. Sekarang baru saya tersadar: betapa kelirunya Pak Dosen itu. Kok memahami filsafat seperti itu. Nampak bahwa ia sebenarnya tak mengerti betul apa itu filsafat. 

Padahal, filsafat adalah fondasi dan bekal berpikir kritis, logis, sistematis. Dan itu berguna untuk setiap orang, terlepas apapun profesinya. Filsafat membuat manusia jadi bijak. 

Banyak tokoh-tokoh di Indonesia yang punya kemampuan berpikir kritis luar biasa karena mereka memang mempelajari filsafat. Salah satu misalnya Yusril Ihza Mahendra. Yusril itu hanya S1-nya saja di bidang hukum, dan itu pun sembari ia ambil S1 filsafat juga. S2-nya filsafat juga. S3-nya Ilmu Politik. Dan terakhir ia mengambil S3 filsafat lagi di UI. 

Berikut ini beberapa contoh tokoh-tokoh kritis karena mereka mempelajari filsafat. Mereka itu antara lain: Bung Hatta, Tan Malaka, D.N. Aidit, Daoed Joesoef, Franz Magnis-Suseno, K. Bertens, Goenawan Mohamad, Ignas Kleden, A.M. Hendropriyono, Rocky Gerung, Nurcholish Madjid, Fazlur Rahman (profesor filsafat di Chicago, gurunya Cak Nur), Gus Dur, Luthfi Assyaukanie, Komaruddin Hidayat, Simon Petrus Lili Tjahjadi, F. Budi Hardiman, A. Setyo Wibowo, Fuad Hassan, Dian Sastrowardoyo, Budhy Munawar Rachman, Sujiwo Tejo, A. Sonny Keraf, Ayu Utami, F.X. Mudji Sutrisno, Sindhunata, Rieke Diah Pitaloka, Robertus Robert, Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi Misrawi, Karlina Supeli, Fahruddin Faiz, Yahya Waloni, Gadis Arivia, Donny Gahral Adian, Lucius Karus, Ahmad Syafi'i Maarif, Nezar Patria, Ali Syariati, Arief Budiman, dan banyak tokoh hebat lainnya.

Filsafat mengajarkan kita kecakapan berpikir kritis. Franz Magnis-Suseno menyebutnya sebagai ilmu kritis. "Filsafat mengajar kita untuk kritis terhadap segala pendapat. Kritis tidak berarti pokoknya menolak, tetapi melihat apa yang hanya merupakan 'half truth' atau 'post truth'," kata Prof Magnis (lihat https://youtu.be/A4gZe_rXD3E?si=TSzI0qt3LJfaIrNC). 

Hari ini banyak yang memaksakan sesuatu menurut tafsirnya sendiri, misalnya, adalah bentuk nyata, bahwa mereka tak memiliki bekal filsafat yang baik. 

Jadi, menurut saya, filsafat memang sudah harus dimasukkan ke kurikulum sekolah menengah secara nasional dan menjadi mata pelajaran wajib di SMA, apalagi di perguruan tinggi.

Nani Efendi, kritikus sosial



Kamis, 25 Januari 2024

, , , , , , ,

PROBLEM HASIL TES PPPK: ANTARA LEGALITAS DAN MORALITAS

 


Oleh: NANI EFENDI

 

Kisruh tentang hasil tes PPPK sepertinya belum menemukan titik terang. Peserta tes yang merasa dizalimi masih terus berjuang untuk mendapatkan haknya. Mereka telah melakukan berbagai upaya, mulai dari menggelar demonstrasi, melaporkan ke Ombudsman, sampai kepada menyurati Presiden. Tapi, di sisi lain, pemerintah daerah sepertinya sangat percaya diri menyatakan bahwa tak ada prosedur yang dilanggar. 

Dan DPRD—yang merupakan penyambung lidah masyarakat—juga tak banyak bicara terkait problem PPPK. Mestinya DPRD, dalam menjalankan fungsi pengawasan, harus kritis mempersoalkannya. Tapi nampaknya semua bergeming (tak bersuara). Mungkin akan menjadi catatan penilaian juga bagi masyarakat untuk tak memilih mereka kembali pada pemilu 2024 ini.

Kepmendikbud 298 memberi peluang "bermain"?

Problem hasil tes PPPK yang bisa berbeda dengan perolehan CAT peserta ternyata disebabkan oleh pelaksanaan Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan (SKTT). Padahal, SKTT itu sifatnya tidak wajib. Bisa dilaksanakan, bisa juga tidak. Tergantung daerah. Untuk menjaga objektivitas, sebaiknya SKTT tak usah dilaksanakan. Biarlah peserta bersaing secara fair melalui CAT. Ada yang mengatakan: tapi SKTT tak pernah dilaksanakan? Nah, itu yang mesti dipahami melalui Kepmendikbud Nomor 298 Tahun 2023 tentang Pedoman Pelaksanaan Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan bagi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja untuk Jabatan Fungsional Guru pada Instansi Daerah Tahun 2023. 

Jadi, dalam Kepmendikbud Nomor 298, SKTT itu memang tak dilaksanakan seperti pelaksanaan tes formal semisal CAT maupun wawancara, yakni dikumpulkan dalam suatu tempat. Tidak. SKTT itu hanya penilaian yang bersifat subjektif saja. Yang bersifat “pencermatan” saja. Dan pelaksanaan seperti itu diatur, memang, dalam Kepmendikbud Nomor 298.

Kepmendikbud inilah yang kita sayangkan. Mengapa Menteri Pendidikan, melalui Kepmendikbud Nomor 298 itu, memberikan peluang lagi bagi daerah-daerah untuk melakukan penilaian secara subjektif. Padahal, esensi CAT itu adalah transparansi untuk menghindarkan subjektivitas dalam penilaian. Dan, sialnya lagi, SKTT itu terjadi hanya di kalangan PPPK untuk guru saja. Oleh karena itulah, nilai CAT yang banyak berubah itu adalah kalangan peserta PPPK guru. Karena, pelaksanaan SKTT itu didasarkan pada Kepmendikbud Nomor 298.

Jadi, Kepmendikbud inilah yang memberikan celah pada pejabat di daerah-daerah untuk "mengubah" nilai peserta melalui mekanisme yang namanya "SKTT". Artinya, secara hukum, perubahan itu “legal” atau sah secara hukum positif. Karena ada dasar hukumnya. Karena itulah mungkin pejabat daerah percaya diri menyatakan tak ada prosedur yang dilanggar. Ya, secara prosedural, mungkin ya. Tapi secara moral, Kepmendikbud ini memberi peluang bagi pejabat bisa mengubah perolehan nilai CAT peserta yang telah diperoleh dengan susah payah. Itulah yang sering dikatakan: “Dalam sistem yang baik, orang jahat bisa dipaksa menjadi baik. Tapi dalam sistem yang buruk, orang yang baik pun bisa menjadi jahat.”

Untuk lebih jelas secara teknis bagaimana bisa hasil nilai CAT berkurang atau bertambah, silakan masyarakat bisa baca sendiri Kepmendikbud 298 Tahun 2023. Bisa di-download di internet. Yang jelas saya ingin mengatakan begini: pelaksanaan tes PPPK maupun CPNS melalui CAT pada dasarnya adalah untuk menghindarkan peluang pejabat atau instansi maupun panitia seleksi untuk mengobok-obok nilai peserta. Kita tidak ingin lagi pelaksanaan tes CPNS hanya formalitas saja seperti di zaman Orde Baru. Dengan adanya sistem CAT, masyarakat puas berkompetensi secara jujur dan fair.

Lah, ini pemerintah pusat—melalui Kepmendikbud Nomor 298—kok menerapkan lagi cara-cara lama: memberikan wewenang lagi pada daerah untuk melakukan perubahan nilai CAT melalui mekanisme yang namanya “SKTT”? Ini yang kita sesalkan. Ini tak sesuai dengan semangat Reformasi ’98. 

Kepmendikbud ini memberi peluang 'moral hazard' (bahaya moral). Kepmendikbud ini, atau aturan sejenis, mesti dicabut atau direvisi agar kedepannya tak ada lagi celah pejabat di daerah untuk “mengubah” nilai peserta tes PPPK maupun CPNS. Artinya, problem PPPK guru saat ini bersumber dari dasar hukumnya itu sendiri. Padahal, menurut Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (1987, h. 85), hukum itu mempunyai fungsi untuk memanusiakan penggunaan kekuasaan. Karena adanya hukum, kata Magnis, kehidupan bersama masyarakat tidak ditentukan semata-mata oleh kepentingan mereka yang kuat, melainkan oleh suatu aturan rasional yang seoptimal mungkin menjamin kepentingan semua pihak. Tetapi, hukum hanya dapat menjalankan fungsi ini apabila aturan yang ditetapkan memang baik. Dengan kata lain, hukum harus adil.

Antara legalitas dan moralitas

Sekarang kita coba memahami perbedaan legalitas dan moralitas-etis. Jadi, secara prosedural (legalitas), perubahan nilai peserta tes PPPK khusus untuk guru, mungkin legal. Karena ada Kepmendikbud yang menjadi dasar hukumnya. Tapi secara etika-moral, banyak publik, hingga hari ini, tak percaya kalau penilaian itu benar-benar jujur dan adil. Di situlah terkadang sering bertentangan antara hukum positif (legalitas) dan etika (moralitas). Tak semua yang berdasarkan hukum adalah benar secara moral. Karena Nazi membantai jutaan orang Yahudi juga berdasarkan undang-undang. 

Singkatnya begini saja: beranikah pejabat terkait, mengangkat sumpah, semisal mubahalah, bahwa mereka memberi penilaian secara jujur dan adil bukan karena ada permainan uang di belakangnya? Kalau pejabat terkait berani melakukan itu, mungkin masyarakat percaya. Tapi kalau tidak, sampai kapan pun masyarakat tak akan percaya bahwa penilaian benar-benar jujur dan fair.

Saya pikir lebih adil mengabaikan SKTT yang hanya bersifat legal-formal itu demi sesuatu yang lebih tinggi, yakni moralitas dan etika publik. Dan sebagai penutup, saya ingin mengutip kata-kata filsuf Yunani kuno, Plato. Kata ini, saya pikir, sangat relevan dengan problem PPPK hari ini. Kata Plato, "Orang-orang baik tidak memerlukan hukum untuk bertindak secara bertanggungjawab, sementara orang jahat selalu mencari-cari celah di dalam hukum." Maksud Plato ini: kalau seseorang memang sudah beritikad baik, ada tidaknya hukum yang mengatur, tetap ia berusaha berbuat baik; tapi sebaliknya, bagi orang yang berkarakter jahat, sekalipun sudah ada hukum yang mengatur, tetap ia berusaha mencari-cari celah di dalam hukum itu agar tujuannya bisa tercapai.

NANI EFENDIAlumnus HMI


Sabtu, 06 Januari 2024

, ,

Konflik STIA NUSA: Belajar dari Arief Budiman

 

Oleh: Nani Efendi

 

Konflik internal di kampus STIA Nusa Sungai Penuh sepertinya belum menemukan titik terang. Pihak Yayasan Pendidikan Tinggi Sakti Alam Kerinci (YPTSA) yang menaungi perguruan tinggi tersebut tetap bersikukuh dengan aturan yang mereka miliki, yakni Ketua STIA Nusa tak boleh terlibat politik praktis. Di sisi lain, Ketua STIA Nusa yang diberhentikan, tak mau mengundurkan diri dari jabatannya. Persoalan yang sebenarnya sederhana, tapi seakan tak mampu diselesaikan secara jernih.

Padahal, menurut saya, ini persoalan yang tak terlalu rumit: tinggal dikembalikan kepada peraturan yang berlaku serta sikap yang bijaksana. Di samping aturan formal—mulai dari UU tentang Yayasan, peraturan yayasan, statuta STIA Nusa, dan lain sebagainya—juga dituntut jiwa besar dari pihak-pihak yang berkonflik. Karena STIA Nusa itu adalah lembaga akademis, maka setiap persoalan mestinya juga bisa diselesaikan dalam nuansa akademis.

Kembali ke aturan yang berlaku

Insan akademis itu salah satu cirinya adalah selalu berpikir kritis, objektif, ilmiah, bukan "adu kuat", apalagi "ngotot-ngototan". “Seorang terpelajar sudah harus berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan,” kata Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Bumi Manusia (1980). Kalau ada yang benar-benar bersalah, yang secara akal sehat bisa diterima berdasarkan fakta-fakta yang ada, ya sudah, tinggal diikuti aturan main yang berlaku. Dalam konteks ini, STIA Nusa sebagai perguruan tinggi di bidang administrasi, sebenarnya ditantang dan diuji kualitasnya oleh masyarakat: apakah perguruan tinggi ini mampu menyesaikan konflik—yang pada hakikatnya adalah urusan administrasi—atau malah sebaliknya.

Berdasarkan sumber yang saya dapat dari Jambiupdate.co, konflik berawal dari pemberhentian Ketua STIA Nusa oleh pihak Yayasan. Hal itu dilakukan Yayasan karena Ketua STIA Nusa ikut berkompetisi sebagai calon legislatif untuk DPRD pada pemilu 2024. Artinya, dengan begitu, ia sudah bergabung dengan partai politik. Secara aturan, sebagaimana dijelaskan dari Jambiupdate.co, pimpinan STIA Nusa tak boleh terlibat partai politik.[1] Dan tak hanya memberhentikan dari posisi Ketua, Yayasan juga memberhentikannya sebagai dosen di kampus STIA Nusa.[2]

Tapi, di sisi lain, pengangkatan Plt. Ketua yang baru, juga menuai kontroversi. Proses itu dianggap cacat aturan, karena dinilai tak dilakukan melalui rapat senat.[3] Pertanyaannya, siapa yang salah dan yang benar dalam persoalan ini? Diperlukan analisis secara jernih dalam sikap akademis. Secara hukum positif, yang berwewenang memutus siapa yang benar-salah adalah pengadilan. Tapi, sebagai perguruan tinggi, STIA Nusa saya pikir sudah seharusnya bisa lebih dewasa menyelesaikan persoalan. Terlebih jika ada dasar aturan yang sudah mengatur secara jelas. Tinggal dipatuhi saja. 

STIA Nusa adalah perguruan tinggi yang berada di bawah naungan yayasan. Terhadap kebijakan strategis kampus, saya pikir, yayasanlah yang punya wewenang untuk mengatur. Tapi, yayasan pun harus tetap berdasarkan peraturan yang berlaku. Tak boleh juga mengambil keputusan sewenang-wenang. Itulah hakikatnya bernegara hukum. Intinya, semua pihak kembali ke peraturan dan mematuhi aturan secara sportif.

Belajar dari Arief Budiman

Persoalan STIA Nusa ini mengingatkan saya pada konflik yang pernah terjadi di internal kampus Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Jawa Tengah, di era Orde Baru pada 1993-1995. Peristiwa itu diulas secara mendalam di Majalah Lentera, Nomor 4/November 2016. Konflik diawali oleh pemilihan rektor yang dianggap tak demokratis dan curang. Ujung konflik di UKSW itu adalah dipecatnya Arief Budiman—aktivis Angkatan ’66 yang sangat legendaris itu yang juga merupakan sosiolog jebolan Harvard University—sebagai dosen, karena sikap kritisnya.[4] Arief dipecat oleh pihak Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana (YPTKSW) karena dianggap berseberangan dengan pihak yayasan.[5] Dosen-dosen para pendukung Arief pun diskors dengan status tak jelas.[6]

Tapi, meski mendapat simpati dan dukungan dari banyak civitas academica, Arief Budiman yang terkenal kritis dan vokal terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru itu pun akhirnya menerima keputusan yayasan terhadap pemecatan dirinya. Arief berjiwa besar. Ia sadar: bukan di kampus UKSW saja tempat ia bisa hidup. Karena itu, Arief punya tekad membuktikan kehebatannya: ia memutuskan hijrah ke Australia dan mengajar di Negara Kanguru itu hingga menjadi profesor di University of Melbourne, Australia. Jiwa besar seorang Arief Budiman, dalam konteks ini perlu dicontoh, bahwa kampus adalah lembaga terhormat yang tak perlu dikotori dengan "perebutan kekuasaan".

Intinya, konflik saling klaim pihak Yayasan dan pihak akademik di kampus STIA Nusa mesti segera diakhiri. Masa depan STIA Nusa menjadi taruhannya. Karena, di atas konflik antara pihak yayasan dan pihak akademik, ada kepentingan yang lebih besar: kepentingan masyarakat Kerinci dan Sungai Penuh terhadap pendidikan tinggi yang bermutu. Mahasiswa dan dosen, dalam konteks ini, menurut saya adalah pihak yang paling dirugikan dari konflik internal kampus. Itu yang mesti disadari. Artinya, jika konflik terus berlanjut, dampak jangka panjang adalah timbulnya ketidakpercayaan masyarakat (public distrust) terhadap lembaga pendidikan STIA Nusa itu sendiri.

Pada gilirannya nanti, minat masyarakat untuk kuliah di kampus itu pun akan menurun. Jika itu terus berlanjut, kampus bisa tutup. Semua dosen pun terancam kehilangan tempat mengajar. Oleh karenanya, para dosen yang masih punya akal sehat, harus terlibat aktif menjernihkan persoalan. Dan yang tak kalah penting adalah peran mahasiswa itu sendiri. Tak etis mahasiswa STIA Nusa itu sendiri menjadi pendukung salah satu pihak yang berkonflik. Mahasiswa, dalam konteks ini, mestinya menjadi penengah: tugasnya adalah meminta pada kedua belah pihak agar tegak lurus pada peraturan yang berlaku. Lakukan kajian dan bedah peraturan yang ada. Karena itu menyangkut kepentingan yang lebih besar: hak atas pendidikan tinggi yang berkualitas.[7]

NANI EFENDI, Alumnus HMI

Rujukan:

1. https://www.jambiupdate.co/read/2023/11/15/109935/elyusnadi-dan-mat-ramawi-saling-klaim-kisruh-dualisme-ketua-stia#:~:text=Hal%20ini%20setelah%20Plt%20Ketua,Daftar%20Calon%20Legislatif%20(DCT)

 

2. Eliyusnadi Diberhentikan dari Dosen Tetap STIA Nusa Kerinci – Kerinci Time

 

3. https://jambilink.com/bikin-gaduh-sri-eliyanti-akan-dipolisikan/)

 

 4. Majalah Lentera, Nomor 4/November 2016.

 

 5. Sambut Tahun Yobel, UKSW Minta Maaf ke Arief Budiman, dalam www.satuharapan.com

 

6. https://www.rri.co.id/daerah/451016/demo-mahasiswa-stia-nusa-sungai-penuh-kerinci-belangsung-tertib-ini-isi-tuntutan-mahasiswa

 

 7. Kenangan Ariel Heryanto Untuk Sahabatnya Intelektual Politik Arief Budiman - ABC News


8. Toer, Pramoedya Ananta, Bumi Manusia, Jakarta: Lentera Dipantara, 2006.

 

Catatan kaki:


[1] lihat "Elyusnadi dan Mat Ramawi Saling Klaim, Kisruh Dualisme Ketua STIA Nusa" dalam https://www.jambiupdate.co/read/2023/11/15/109935/elyusnadi-dan-mat-ramawi-saling-klaim-kisruh-dualisme-ketua-stia#:~:text=Hal%20ini%20setelah%20Plt%20Ketua,Daftar%20Calon%20Legislatif%20(DCT)

[2] Lihat, Eliyusnadi Diberhentikan dari Dosen Tetap STIA Nusa Kerinci – Kerinci Time

[3] lihat https://jambilink.com/bikin-gaduh-sri-eliyanti-akan-dipolisikan/)

[4] Arief Budiman adalah kakak kandung aktivis Soe Hok Gie. Ia mendapat gelar Ph.D dari Harvard University pada 1980. Arief ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan pada  1963 dalam upaya menentang LEKRA. LEKRA dianggap memasung kreativitas kaum seniman. Arief adalah aktivis yang sudah aktif dalam politik Indonesia sejak ia menjadi mahasiswa pada tahun 60-an.

[5] Lihat Majalah Lentera, Nomor 4/November 2016.

[6] Sambut Tahun Yobel, UKSW Minta Maaf ke Arief Budiman - Satu Harapan

[7] https://www.rri.co.id/daerah/451016/demo-mahasiswa-stia-nusa-sungai-penuh-kerinci-belangsung-tertib-ini-isi-tuntutan-mahasiswa

Jumat, 15 Desember 2023

, , , , ,

PSEUDO-KOMUNIKASI: SEBUAH CATATAN UNTUK DEBAT CAPRES



Oleh: Nani Efendi

 

Apakah debat capres bisa jadi ukuran untuk menilai seorang capres? Saya pikir tak bisa dijawab dengan simpel. Karena terlalu banyak faktor lain yang mempengaruhi kebijakan seorang capres ketika ia berhasil jadi presiden kedepannya. Mereka yang dinilai hebat dalam acara debat hari ini, bisa jadi kepemimpinannya lebih bobrok. Begitu pun sebaliknya. Kata Abraham Lincoln, "Kalau ingin mengetahui karakter seseorang, berilah dia kekuasaan."

Dalam berdebat, orang bisa saja berpenampilan sebaik mungkin agar dianggap hebat. Padahal, itu terkadang sebagai penipuan diri saja. Terlebih, acara debat telah diatur dan di-setting sedemikian rupa oleh KPU. Sehingga komunikasi antar capres yang berlangsung selama debat pun bukanlah komunikasi yang otentik. 

Meminjam istilah Jurgen Habermas, bukan "komunikasi bebas dominasi". Tapi komunikasi yang dibatasi oleh berbagai rambu-rambu percakapan: komunikasi yang penuh dengan sensor-sensor, baik sensor sosial maupun "self cencorship". Dalam filsafat, dikenal dengan istilah "pseudo-komunikasi". Oleh karenanya, ada yang menilai debat capres itu bukan debat yang sebenarnya, tapi cuma "debat-debatan".

Apa itu pseudo-komunikasi?

Menurut F. Budi Hardiman, guru besar filsafat di Universitas Pelita Harapan, dalam bukunya Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003, h. 113-116), pseudo-komunikasi adalah komunikasi yang terdistorsi secara sistematis. Pseudo-komunikasi dapat menciptakan suatu "konsensus semu" yang dihasilkan dari proses komunikasi dengan paksaan-paksaan otoritas, baik itu otoritas tradisi, otoritas politik, dan lain sebagainya.

Dalam sebuah komunikasi dengan paksaan otoritas, lanjut Hardiman, terjadi distorsi-distorsi sistematis yang membuat maksud-maksud komunikasi tak tersampaikan secara otentik. Sehingga, apa yang diungkapkan (baik dalam tuturan maupun tindakan) tak menampilkan maksudnya secara langsung. 

Jadi, ada semacam self-cencorship, atau "menyensor maksud diri sendiri" dari berkata yang sebenarnya. Self-cencorship (menyensor maksud diri sendiri) ini adalah dalam upaya survival atau melindungi diri agar tetap bisa bertahan hidup. Atau dalam bahasa sederhana: agar selamat, aman, tak apalah berbohong atau bersikap munafik. Padahal, secara otentik, ia sendiri sadar bahwa ia telah mengingkari nuraninya sendiri.

Self-cencorship ini banyak terjadi dalam komunikasi masyarakat sehari-hari. Self-cencorship dilakukan karena adanya ketakutan pada otoritas-otoritas dalam masyarakat, semisal otoritas politik yang memiliki perangkat hukum atau undang-undang yang dapat menjerat seseorang jika berbicara "tak sejalan" dengan kepentingan rezim atau otoritas. Ada juga otoritas tradisi yang berdasarkan norma-norma adat-istiadat dalam masyarakat. 

Orang akan terancam dikucilkan atau mendapatkan sanksi sosial jika berbicara sesuatu yang dianggap nyeleneh dan tak sesuai dengan tradisi yang berlaku secara mainstreamSelf-cencorship ini membuat orang berkomunikasi secara tak otentik. Bahasa agamanya: membuat orang terpaksa menjadi munafik atau bermanis-manis mulut (lain di mulut, lain di hati; lain yang diucapkan, lain kenyataannya).

Debat dan komunikasi tanpa sensor

Menurut Jurgen Habermas, dalam demokrasi radikal, orang harus bebas dalam berkomunikasi. Komunikasi tak boleh didominasi oleh kekuasaan atau otoritas-otoritas tertentu. Komunikasi dalam politik harus terbebas dari berbagai pengaruh yang tak rasional, seperti sopan santun (etiket), basa basi, bermanis-manis, adat-istiadat, ancaman politis, hukum, emosional, dan lain sebagainya. Komunikasi politis haruslah didasarkan atas rasionalitas. Kata Rocky Gerung, "Sopan santun itu bahasa tubuh. Pikiran tak memerlukan sopan santun. Dalam politik, pikiran yang disopan-santunkan adalah sebuah kemunafikan.

Dalam debat politik, semisal debat capres, para capres tak perlu lagi bicara dengan "menyensor" maksud hati dan akal sehat yang sebenarnya. Atau melunakkan-lunakkan bahasa yang digunakan (eufemistis). Apalagi menggunakan gramatika bahasa yang mengaburkan maksud yang sebenarnya. Sampaikanlah maksud yang sebenarnya sesuai nurani dan pikiran yang otentik. Tapi, yang saya lihat, para capres masih bersikap “tak otentik”. Masih berupaya bermanis-manis kata dan sikap.

Sebagai contoh, misalnya, boleh jadi, ada capres yang sebenarnya secara nurani tak menyetujui proyek IKN, tapi harus berpura-pura mendukung IKN agar mendapat simpati dari rezim dan para pendukung rezim. Padahal, menurut pribadinya secara otentik—sesuai hati nuraninya—ia sebenarnya tak mendukung proyek IKN. Ia terpaksa harus bersikap tak otentik demi mencapai kemenangan di pilpres saja. Itulah bentuk sikap tak otentik: selalu berupaya melakukan self-cencorship atau “menyensor” sikap yang sejati.

Di samping itu, menurut Budi Hardiman, self-cencorship itu juga bisa berlangsung tanpa sadar karena kuatnya pengaruh "sensor-sensor sosial". Sensor sosial itu bisa berupa ideologi-ideologi tertentu yang dianut masyarakat. Sehingga, ketika seseorang berbicara, alam bawah sadar seseorang berupaya mengendalikan pembicaraannya sedemikian rupa, sehingga ia selalu menyesuaikan diri dengan kehendak dan "kebiasaan umum". Jika keluar dari kebiasaan umum itu, ia secara alam bawah sadar “takut” dan terancam mendapatkan berbagai bentuk sanksi-sanksi, baik itu sanksi sosial, moral, politis, hukum, dan lain sebagainya. Termasuk sanksi elektoral (dalam konteks pemilu).

Dalam konteks debat capres, mestinya komunikasi para kandidat harus otentik: tak boleh terdistorsi oleh pengaruh-pengaruh otoritas tertentu, terutama di saat komunikasinya diarahkan kepada rezim atau pada otoritas. Para kandidat, dalam berbicara, tak perlu lagi melakukan sensor-sensor, baik itu self-cencorship maupun sensor-sensor sosial. Bicaralah secara otentik, bukan setting-an. Sehingga maksud yang sebenarnya tak terdistorsi. Dan keinginan serta pemikiran berdasarkan akal sehat para capres dapat tersampaikan apa adanya secara jujur dan otentik tanpa selubung-selubung simbolis.

Nani EfendiAlumnus HMI


Rabu, 22 November 2023

, ,

KONGRES HMI 2023: MENCEGAH DISORIENTASI HMI


Oleh: NANI EFENDI

 

Sekitar pukul 20.00 WIB, 18 Februari 2022 lalu, saya mengikuti acara “Malam Puncak Dies Natalis HMI ke-75” yang diselenggarakan oleh PB-HMI di Jakarta. Saya mengikutinya melalui zoom metting. Acara itu juga ditayangkan secara live streaming di YouTube. Semestinya, judul tulisan ini adalah “Quo Vadis PB-HMI di Bawah Kepemimpinan Raihan Ariatama?” Memang, sudah lama saya ingin menulis tentang orientasi kebijakan organisasi HMI saat ini. Tapi selalu tertunda. Setelah mengikuti acara itu, saya jadi semangat lagi untuk menulis tentang HMI sekarang—kondisi yang, dalam pengamatan saya, agak mulai mengalami “disorientasi”.

HMI pencetak kader umat dan kader bangsa

Akhir-akhir ini, sering sekali saya dengar HMI harus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Terutama dengan era yang serba digital saat ini. Ada lagi istilah “4.0”, “5.0”, dan lain-lain. HMI juga, akhir-akhir ini, sering saya dengar akan mengarahkan kader untuk berwirausaha atau entrepreneur. Saya akhirnya jadi bertanya-tanya: ini organisasi perjuangan atau yayasan, atau koperasi, atau perusahaan? Atau HMI sudah berubah menjadi lembaga yang fungsinya men-training atau mencetak calon pengusaha (entrepreneur)? Bukankah tugas HMI jauh lebih besar dari itu?

HMI tugasnya adalah menyiapkan kader umat dan kader bangsa. Mencetak manusia handal (intelektual-profesional) dan berintegritas moral. Jangan disempitkan ke persoalan wirausaha. Jika kader ingin berwirausaha, silakan saja. Itu pilihan bakat dan minat masing-masing kader. Sah-sah saja dan itu baik-baik saja. Tapi menjadikan “entrepreneur atau kewirausahaan” sebagai orientasi “kebijakan umum organisasi” HMI, dengan alasan menyesuaikan dengan kemajuan zaman, saya pikir ini sudah keliru dan mulai menyimpang dari khitah dan eksistensi HMI sebagai organisasi perjuangan yang mewarisi semangat tradisi intelektual semenjak Lafran Pane.

Kalau kita katakan zaman sudah berubah, ya saya sepakat. Tapi perubahan itu kan hanya pada kemajuan peralatan dan cara. Manusia tetap tidak berubah. Di mana-mana, semodern apa pun zaman, selalu ada yang namanya penindasan. Selalu ada praktik ketidakadilan sosial. Selalu ada penyalahgunaan kekuasaan. Senantiasa ada perkosaan terhadap hak-hak asasi manusia. Apa peran HMI sebagai organisasi perjuangan dalam menghadapi persoalan-persoalan ini? Di mana suara kritis HMI saat ini ketika terjadi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, atau ketika terjadi ketidakadilan sosial?

Untuk bahan renungan, saya kutip kata-kata sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer—yang saya tidak tahu apakah kader-kader HMI pernah membacanya atau tidak: “Lambat tapi pasti sorak-soraiku sendiri dan dunia akan datangnya jaman modern hanya satu kesia-siaan semata. Yang modern memang hanya alat-alatnya, kata Mama, dan caranya. Manusia tetap, tidak berubah, di laut, darat, di kutub, dalam kekayaan dan kemiskinan bikinan manusia sendiri." (Anak Semua Bangsa, h. 338-339).

Di halaman lain Pram menulis, "Beda pula dari Mama, seorang manusia bebas-merdeka seperti termaktub dalam mata semboyan Kebebasan dari Revolusi Prancis, namun menganggap jaman modern tidak mengandung berkah sesuatu pun kecuali dalam kemajuan peralatan dan cara." (Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, h. 278-279)

Kata-kata Pram ini harus direnungkan baik-baik dan betul-betul dipahami oleh kader HMI. Yang maju sekarang ini adalah: “peralatan” dan “cara”. Sekali lagi: “peralatan” dan “cara”. Watak dan tabiat manusia tetap seperti dulu. Berpikir dan merasa. Tetap ada yang menindas dan tertindas. Yang kaya dan miskin. Yang zalim dan yang terzalimi. Yang adil dan yang tidak adil. Yang benar dan tidak benar. Yang baik dan yang jahat. Nah, tugas HMI adalah menjadi dan membentuk manusia yang baik dan adil, dan melawan ketidakadilan dan manusia jahat. Melawan kezaliman dan membantu yang terzalimi.

Kalau begitu, teknologi yang canggih dalam konteks saat ini fungsinya apa bagi HMI? Fungsinya: sebagai “alat dan cara” dalam melawan kekuatan jahat itu. HMI sebagai kekuatan moral. Teknologi sebagai alat; Islam sebagai spirit. Itu baru benar. Jadi, bukan dengan adanya kemajuan teknologi saat ini dunia dan manusianya juga ikut-ikutan “maju dan benar” dalam hal moral. Tidak. Manusia tetaplah sama: ada potensi baik dan potensi jahat dalam dirinya. Manusia tetaplah makhluk berpikir dan berperasaan. Dan teknologi—secanggih apa pun itu—tak pernah mampu menyentuh domain pikiran dan perasaan manusia.

Kembalilah ke khitah

Jadi, ini yang harus didudukkan kembali. Fungsi kritik dan kontrol sosial HMI harus tetap jalan. Tradisi keilmuan dan intelektual harus terus ditingkatkan. Saya khawatir, jika HMI sudah berorientasi usaha (bisnis), perhatian kader pada masalah keislaman dan keindonesiaan, tradisi intelektual, bisa menghilang—kader menjadi berpikir borjuis-pragmatis. 

Padahal, tugas profetik kader dalam mengontrol jalannya kehidupan sosial-politik masyarakat agar berkeadilan, sebagaimana tertuang dalam NDP HMI, adalah tanggung jawab HMI sebagai organisasi perjuangan. Aksi-aksi protes sosial dalam berbagai bentuk tidak bisa ditinggalkan. Demonstrasi tetap perlu. Menurut Gabriel Almond, ilmuwan politik Amerika, dalam keadaan sistem politik totaliter, di mana saluran-saluran demokrasi ditutup, maka demonstrasi adalah salah satu cara yang efektif untuk menyuarakan aspirasi.

Ingat, watak dasar kekuasaan, kata Lord Acton (1833-1902), cenderung korup. “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely; Kekuasaan itu cenderung korup. Dan kekuasaan yang absolut sudah pasti korup.” Jadi, secanggih apa pun teknologi, watak kekuasaan—seperti kata Lord Acton itu—tetaplah sama. Bahkan, dengan cara dan bentuk yang lebih canggih lagi. Oleh karenanya, perlu ada kontrol sosial.

Jadi, berwirausaha cukup sebagai aktivitas pribadi kader-kader yang berminat saja. Bukan cara berjuang. Jangan dijadikan orientasi utama HMI. Apalagi sampai merombak pola training agar HMI berorientasi kewirausahaan. Ini jelas keliru. Pola training dan kurikulum HMI yang sudah ada sekarang sudah bagus. Tidak perlu dirombak lagi. Di kurikulum LK juga sudah ada materi “Kepemimpinan, Manajemen, dan Organisasi”.

Materi KMO itu sudah merupakan dasar umum. Ia bisa berguna untuk apa saja: bisa di bidang politik, entrepreneur, bisnis, birokrasi, dan lain sebagainya. Tidak perlu ada materi khusus kewirausahaan. Yang namanya pengkaderan itu ialah memberikan bekal dasar. Untuk pengembangan selanjutnya, serahkanlah kepada bakat-minat masing-masing kader. Tidak perlu ada kebijakan organisasi agar HMI berorientasi entrepreneurship.

Jadi, kembalilah ke khitah dan semangat dasar HMI: “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah swt.” Dalam upaya mewujudkan masyarakat adil makmur itu tentu tidak cukup mengandalkan peran pengusaha saja. 

HMI membutuhkan juga kader yang jadi cendekiawan, pemikir (filsuf), ulama, politisi, intelektual, penulis, sastrawan, budayawan, akademisi, ilmuwan (dalam berbagai bidang), ahli agama, ahli hukum, ahli ekonomi, birokrat, dan lain-lain. Problem kebangsaan kita sangat ruwet. Tak bisa hanya mengandalkan peran pengusaha saja. Dan memang, ini yang harus dipahami, tugas HMI bukan mencetak pengusaha, tapi mencetak kader umat dan kader bangsa. Semoga Kongres kali ini dapat membuat HMI tetap pada khittah perjuangannya dan tak mengalami disorientasi. Selamat melaksanakan Kongres HMI ke XXXII, tahun 2023 di Pontianak. Yakin usaha sampai dan usaha sampai yakin. 

NANI EFENDIAlumnus LK III HMI (Advance Training) Badko HMI Sumbagsel, dan mantan Sekretaris Umum HMI Cabang Kerinci 2006-2007


Senin, 20 November 2023

, ,

ALBERT CAMUS DAN PRAM: SIKAP DI HADAPAN KEBATHILAN ABSURD


Oleh: NANI EFENDI


Aku memberontak, maka kita ada, kata Albert Camus. Apa maksudnya? Dalam artikelnya berjudul "Terlibat di Sisi Korban Menghadapi Kebathilan Absurd: Etika Politik Albert Camus", A. Setyo Wibowomenjelaskan bagaimana sikap Albert Camus terhadap Kebathilan. Camus tidak hanya berontak (secara individual), pada absurditas (semisal nilai-nilai ciptaan orang lain, yang digambarkan dalam tokoh Mersault dalam novel L'etranger), tapi juga ia berontak (secara kolektif), terhadap Kebathilan (seperti bencana maupun kejahatan dari tindakan bathil manusia). 

Terhadap Kebathilan, Camus tidak tinggal diam. Menurut Camus, manusia harus bertindak melawan segala bentuk Kebathilan. Tapi perlawanan itu bukan bentuk mengharapkan sesuatu manfaat atau ganjaran (semisal pahala) di masa depan. Bukan. Perlawanan terhadap Kebathilan itu dilakukan hanya semata-mata dalam rangka melaksanakan "tugas kemanusian" demi hidup ini, hari ini, dan di sini. Dalam melakukan tugas kemanusiaan itulah manusia benar-benar menunjukkan bahwa ia ada (bereksistensi) di hadapan absurditas.  

Dalam konteks politik, Camus memberontak terhadap Kebathilan. Albert Camus adalah sastrawan, moralis, dan filsuf—walaupun ia lebih suka menyebut dirinya senimanPrancis kelahiran Aljazair yang aktif secara politik dan termasuk seorang sayap kiri yang menentang totalitarianisme Uni Soviet. Lahir pada 1913. Mendapat Hadiah Nobel Sastra pada 1957. 

Camus melawan Kebathilan (pendudukan Nazi Jerman atas Prancis dan kolonialisme Prancis atas Aljazair). "Aku memberontak, maka kita ada," kata Camus, sebagaimana dikutip Setyo Wibowo, dari karya Camus L'homme revolte (hlm.38). Manusia tak boleh menghindar terhadap Kebathilan. Manusia harus terlibat. "Moral keterlibatan Camusian adalah bertempur di sisi korban tanpa berharap akan kemenangan absolut," tulis Setyo Wibowo. "Yang bisa kita buat adalah 'mencegah supaya korban tidak jatuh lebih banyak lagi'."

Jadi, yang penting, menurut Camus, adalah: melawan Kebathilan, bertindak kongkret membela manusia. Itu yang penting. Bukan kemenangan. Terhadap Kebathilan, di sinilah kita melihat kesamaan prinsip Camus dengan sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Menurut Pram, orang harus melawan terhadap segala bentuk ketidakadilan, meskipun hanya dalam hati. Kata Pram, "Setiap ketidakadilan harus dilawan, walaupun hanya dalam hati." Sikap itu ditunjukkan oleh Pram melalui tokoh Nyai Ontosoroh—dalam akhir cerita novel Bumi Manusiadi hadapan pengadilan kolonial Belanda: "Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya." Walaupun Nyai Ontosoroh kalah, tapi ia melawan. 

Jadi, melawan atau memberontak itulah sikap yang seharusnya dimiliki manusia di hadapan Kebathilan absurd. Dalam sisi ini, Camus memiliki kesamaan dengan Pram. Mungkin karena kesamaan sikap perlawanan terhadap Kebathilan itulah, Pram dijuluki "Albert Camus Indonesia".  "Saya di dalam pandangan saya hanya berpihak pada yang adil, benar! Itu saja. Berkemanusiaan. Kalau yang ini yang lebih adil, saya bantu, saya sokong dia. Lebih dari itu, tidak," kata Pramoedya Ananta Toer.

Apakah Pram adalah juga seorang "absurdis" seperti Camus? Sulit untuk menyimpulkan. Tapi ada satu kutipan dari novel Bukan Pasarmalam karya Pram yang bernada absurd: "Hidup ini, Anakku, hidup ini tak ada harganya sama sekali. Tunggulah saatnya, dan kelak engkau akan berpikir, bahwa sia-sia saja Tuhan menciptakan manusia di dunia ini." (Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasarmalam, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003, h. 48).

Kembali ke Camus. "Cara Camus menjelaskan absurditas (sesuatu yang tanpa alasan dan tujuan, namun hadir begitu saja)," tulis Setyo Wibowo, "melanjutkan intuisi Nietzsche tentang realitas mentah dunia ini yang mesti kita terima apa adanya tanpa lari mencari-cari 'pegangan' (dalam bentuk ide-ide fixed entah itu Tuhan atau being itself)." Sikap Camus di hadapan absurditas, merupakan bentuk sikap seorang eksistensialis sejati.

Dalam kehidupan seksual (asmara), Camus dan Pram punya kesamaan, tapi juga perbedaan. Persamaannya: Camus dan Pram sama-sama pernah menikah dua kali. Tapi mereka berbeda dalam urusan hubungan asmara di luar nikah. Sepanjang catatan sejarah yang ada, Pram tak punya hubungan dengan banyak wanita di luar nikah. Tapi Camus lain. Camus memiliki banyak hubungan di luar nikah. Mungkin, menjalin hubungan asmara dengan banyak wanita, adalah bentuk ekspresi kebebasan yang dijunjung tinggi oleh Albert Camus. 

NANI EFENDIAlumnus HMI

REFERENSI:

Camus, Albert, Orang Asing (Judul asli: L’Etranger). Penerjemah: Apsanti Djokosujatno. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013.

Toer, Pramoedya Ananta, Bukan Pasarmalam, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003.

Toer, Pramoedya Ananta, Bumi Manusia, Jakarta: Lentera Dipantara, 2006.

Wibowo, A. Setyo, "Terlibat di Sisi Korban Menghadapi Kebathilan Absurd: Etika Politik Albert Camus" dalam F. Budi Hardiman dkk, Empat Esai Etika Politik, Jakarta: Penerbit www.srimulyani.net, bekerjasama dengan Komunitas Salihara, 2011.


Sabtu, 18 November 2023

, , , , ,

CAPRES, PILIHAN RAKYAT ATAU ELITE?


 Oleh: NANI EFENDI

Pemilu dilaksanakan 14 Februari 2024. Pasca penetapan paslon, gonjang-ganjing politik terus memanas. Terlebih, karena MK membuat putusan kontroversial yang membuat Gibran (anak Jokowi) bisa melenggang jadi cawapres. Para pendukung masing-masing capres pun menjadi saling "serang", mengunggulkan jagoannya masing-masing, sekaligus juga merendahkan serendah-rendahnya capres lain, sampai sedatar tanah kalau perlu. 

Seakan-akan, kalau jagoannya terpilih, kehidupan bisa menjadi sempurna seperti yang mereka khayalkan. Padahal, mereka tak sadar, bahwa capres yang ada itu bukanlah benar-benar pilihan rakyat, tapi pilihan para elite. Mereka hanya "disuruh" memilih saja. 

Demokrasi hanya utopia?

Menurut Joseph A. Schumpeter (ahli ekonomi-politik Austria yang menjadi profesor di Harvard University pada 1932), demokrasi yang dipraktikkan dalam kenyataan adalah "demokrasi elitis". Artinya, kelompok elite-lah yang berperan menentukan pemimpin, bukan rakyat banyak. Dengan kata lain, demokrasi yang selama ini dianggap sebagai kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, pada realitasnya—setidaknya dalam praktik politik nasional saat initidaklah pernah ada. Yang ada dalam praktik: dari elite, oleh elite, dan untuk elite.

Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, ternyata hanyalah utopis. Utopis atau utopia artinya “khayalan”, “imajiner”, atau sesuatu yang tidak pernah terjadi di alam nyata. Ia semacam cita-cita atau konsep ideal saja. (Sama seperti teori "perjanjian masyarakat" atau teori "kontrak sosial"-nya J.J. Rousseau). Jadi, ia hanya suatu pengandaian saja. Karena, pertanyaannya, bagaimana kongkretnya rakyat memerintah?

Jadi, pengorganisasian kekuasaan dalam sistem demokrasi saat ini, ialah dilakukan oleh para eliteterutama oleh mereka yang menguasai ekonomi. Itulah yang diistilahkan "demokrasi elitis". Artinya, yang berperan dalam memilih dan menentukan pemimpin adalah kelas elite. Rakyat banyak cuma dihadapkan sebagai pemilih saja. Dihadapkan untuk memilih calon-calon yang sudah "dipilihkan" oleh elite terlebih dahulu.

Senada dengan Schumpeter, Jeffrey A. Winters—profesor ilmu politik dari Universitas Northwestern, Amerika Serikat—juga menjelaskan tentang kenyataan praktik demokrasi saat ini. Menurut Winters, yang benar-benar berkuasa menentukan pemimpin politik dalam sistem demokrasi adalah para oligarki (segelintir orang-orang kaya). Para oligark inilah yang "memilihkan" terlebih dahulu orang-orang yang akan dipilih oleh rakyat. Jadi, rakyat bukan murni menjadi penentu atau memilihnya dari awal. Rakyat hanya memilih orang-orang yang sudah dipilihkan terlebih dahulu oleh oligark (istilah Winters) atau oleh elite (istilah Schumpeter). 

Jadi, tidak murni berasal dari pengorganisasian rakyat, tapi oleh elite. Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) juga pernah menjelaskan hal yang sama. Kata Cak Nun, “Fakta paling mendasar yaitu: kita tidak pernah memilih pemimpin. Sebaliknya, kita hanya ‘dipaksa’ memilih yang sudah ‘dipilihkan’. Dan tak pernah benar-benar memilih secara mandiri.”

Saya mencontohkan: ibarat kita menginginkan sebuah barang, kita tidak membuatnya sendiri sesuai keinginan kita. Kita hanya “dipaksa” memilih barang-barang yang sudah jadi dan sudah disediakan atau dijual oleh para penjual atau penyedia (baca: elite atau oligark) di pasar. Oleh karena itu, jika hari ini masyarakat selalu mengeluhkan dan tidak puas dengan pemimpin-pemimpin yang sudah dipilih (melalui prosedur demokrasi), ya masuk akal saja. Karena yang memilih dari awalnya sesungguhnya bukan masyarakat. Masyarakat hanya memilih “paket-paket pilihan” yang "sudah jadi”. Masyarakat tidak ikut menentukan dari awal. Masyarakat tidak lebih sebagai “alat” untuk melegitimasi pilihan-pilihan para elite atau para oligarki. 

Jadi, pemilihan (pemilu, pilkada, dsb) tidak lebih sebagai sarana atau cara meminta “persetujuan” rakyat saja. "Sejatinya, lembaga pemilihan umum—termasuk pilkada—tidak lebih hanya merupakan suatu strategi untuk menuai legitimasi para elite pengambil keputusan melalui mekanisme partisipasi politik masyarakat." (Weber, 1947; Schumpeter, 1976).
Schumpeter—sebagaimana saya kutip dari etd.repository.ugm.ac.id—beranggapan bahwa demokrasi, hanyalah sebuah metode politik untuk memilih pemimpin atau singkatnya sebagai kompetisi kepemimpinan. Artinya demokrasi tidak menyentuh tataran esensi yang selama ini dicita-citakan, namun cenderung hal yang sifatnya prosedural saja. Jadi, doktrin demokrasi klasik seperti “kehendak bersama” atau “kebaikan umum” tidaklah pernah ada (lihat: http://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/168278)

Absurditas

Filsuf Prancis, Albert Camus, mengatakan, hidup ini absurd. Bahasa sederhananya: hidup ini enggak jelas. Artinya, dalam konteks politik, jangankan karena dipilihkan oleh elite, pemimpin dipilih oleh rakyat secara langsung pun tak ada jaminan kehidupan bisa sempurna seperti yang diimpikan. Bisa jadi yang  dipilih langsung itu lebih buruk, dalam praktiknya, dari yang dibayangkan. Sejarah telah banyak mengajarkan tentang itu. Belajarlah dari sejarah. 

Tak ada kesempurnaan dalam kehidupan manusia. Itulah bentuk "absurditas". Oleh karena itu, terutama para pendukung fanatik masing-masing capres, tak  perlulah memuja-memuja setinggi langit dan berharap terlalu tinggi terhadap para capres. Bersikaplah rasional dan wajar. Capres itu bukan untuk dipuja-puja, tapi dibongkar secara kritis sisi-sisi baik maupun buruknya dalam kerangka akal sehat. Oleh karena itu, diperlukan komunikasi antar masyarakat dalam ruang-ruang publik. Yang diperlukan dalam demokrasi itu adalah komunikasi bebas dominasi yang landasannya adalah rasionalitas. Kekuasaan itu bukan sekedar dilegitimasi, tapi juga dirasionalisasi. 

Hidup ini absurd (tak jelas). Itu yang perlu dipahami. Takutnya, nanti rakyat terlalu kecewa ketika harapan tak sesuai kenyataan. Sekali lagi, saya sampaikan melalui tulisan ini: demokrasi kita, terutama dalam konteks pilpres saat ini, adalah demokrasi elitis. Artinya, para elite-lah yang telah memilihkan apa yang akan dipilih oleh rakyat melalui mekanisme politik yang bernama "pemilu". Pilihan tak murni berasal dari bawah. Capres sudah dipilih terlebih dahulu dari atas (baca: elite). Rakyat tak lebih sebagai "alat" untuk melegitimasi kekuasaan dan kepentingan kelompok elite saja.

Tapi, meskipun demikian, tak menggunakan hak pilih pun juga bukan sikap yang tepat saat iniwalaupun rakyat punya hak untuk 'golput'. Karena, dengan mengikuti pemilu dan menggunakan hak pilih, setidaknya, rakyat bisa berperan memilih capres yang sedikit buruknya di antara capres-capres yang ada. Kata Profesor Franz Magnis Suseno (salah seorang ahli filsafat politik di Indonesia), "Pemilu bukan untuk memilih yg terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa." Jadi, dalam kondisi demokrasi seperti sekarang iniyang sangat elitis dan oligarkisrakyat setidaknya dapat berperan, melalui pemilu, mencegah agar capres yang buruk tak mendapat kesempatan untuk berkuasa. 

NANI EFENDIAlumnus HMI, Pemikir, Penulis, dan Kritikus Sosial


Kamis, 09 November 2023

, , , , ,

PROBLEM TERJEMAHAN

 

Oleh: NANI EFENDI

 

Proses menerjemahkan suatu bahasa ke dalam bahasa lain tak sesimpel seperti proses memfotokopi atau meng-copy paste sebuah dokumen tertulis di lembaran kertas. Mengapa? Karena, dalam menerjemah, banyak faktor yang dapat mempengaruhi maksud sebenarnya dari teks awal. Artinya, dalam proses menerjemah, banyak sedikit, dapat terjadi semacam perbedaan makna atau pengertian. Ia bisa bersifat mempersempit atau menyederhanakan pengertian, bisa juga memperluas maksud yang sebenarnya, sehingga maksud yang sebenarnya menjadi kabur. Itu bisa terjadi terutama dalam terjemahan seperti kitab suci dan buku-buku atau tulisan yang kontennya berat semisal filsafat, ilmu pengetahuan, maupun sastra, dan lain sebagainya. Termasuk KUHP di Indonesia yang aslinya berbahasa Belanda, sebagaimana pernah disampaikan oleh Andi Hamzah terkait penerjemahan istilah "pembunuhan berencana".

Mungkin, bisa jadi juga, karena problem terjemahan itulah, Pramoedya Ananta Toer gagal memenangkan Hadiah Nobel Sastra. Karena bisa jadi novel-novel Pram yang sudah mengalami proses penerjemahan ke dalam bahasa lain—Inggris misalnyatak hebat dan tak menggigit lagi seperti teks aslinya. Lantaran ada pilihan-pilihan kata atau ungkapan yang tak pas lagi dengan pemaknaan yang sebenarnya yang dimaksud Pram. Karena bahasa dipengaruhi oleh banyak faktor: seperti faktor psikologis, sosiologis, historis, dan lain-lain. Sehingga orang yang membacanya pun tak bisa menghayati dan memaknainya dengan sempurna seperti maksud Pram. Karena itu, novelnya jadi tak "gereget" lagi lantaran dialihbahasakan. 

Persoalan terjemahan

Komaruddin Hidayat dalam bukunya Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik menjelaskan dengan cukup mendalam mengenai problem terjemahan. Terjemahan dan penafsiran merupakan masalah pokok dalam hermeneutika. Hal itu dikarenakan berbeda-bedanya bahasa manusia. Setiap bahasa mencerminkan pola budaya tertentu. Karena itu, problem hermeneutika selalu berkaitan dengan proses pemahaman, penafsiran, dan penerjemahan atas sebuah pesan (lisan maupun tulisan) untuk selanjutnya disampaikan kepada masyarakat yang hidup dalam dunia yang berbeda.

Bisakah, lanjut Komaruddin, sebuah gagasan disampaikan kepada masyarakat yang hidup dalam kultur yang berbeda tanpa mengalami distorsi dan penyimpangan makna? Apa jaminannya sebuah gagasan yang dimuat dalam sebuah bahasa bisa diterjemahkan secara persis ke dalam bahasa lain? Bukankah setiap bahasa berkaitan atau selalu lekat dengan kultur sebuah masyarakat pemakainya? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan problem hermeneutik yang selalu muncul dalam kritik sastra dan tafsir atas teks-teks kitab suci (Komaruddin Hidayat, 1996:14). Artinya, pemaknaan dan pengertian suatu bahasa berkaitan erat dengan ruang (tempat) dan waktu (zaman).

Komaruddin memberikan Al Quran sebagai contoh. Dari apresiasi makna dan gaya bahasa terdapat jarak yang begitu lebar antara mayoritas umat Islam Indonesia dengan Al Quran yang menggunakan bahasa Arab. Ketika kitab suci diterjemahkan dan ditafsirkan, dua kemungkinan segera muncul: positif dan negatif. Positifnya, kata Komaruddin, posisi dan pesan sebuah kitab suci menjadi terbebas dari kurungan bahasa dan tradisi lokal di mana ia diturunkan. Negatifnya, setiap penerjemahan dan penafsiran selalu diikuti bahaya distorsi, deviasi, dan pengkhianatan pesan.

Bisakah Al Quran diterjemahkan?

Pertanyaannya, bagaimana dengan terjemahan Al Quran? Bagaimana dinamika pemahaman masyarakat Indonesia tentang kandungan Al Quran yang dikajinya, yang sudah melalui karya-karya terjemahan dan melalui ceramah-ceramah keagamaan oleh para ustadz, kiai, dosen, dan lain sebagainya? Ada pendapat bahwa Al Quran tak bisa diterjemahkan. Ia hanya bisa diterangkan dan ditafsirkan saja. Begitupun dengan hadits. Teks hadits akan melahirkan perbedaan paham antar sesama pembaca. Dan sangat mungkin terjadi pemahaman yang sebaliknya karena pengetahuan dan kesan orang yang membaca teks akan berbeda dengan pemahaman dan kesan orang yang hadir dan mendengarkan serta melihat langsung dari pembicara sendiri (Komaruddin Hidayat, 1996:108).

Bahkan, kata Komaruddin, apa yang disebut terjemah sesungguhnya juga sebuah penafsiran terpendek yang dilakukan oleh penerjemahnya yang kadang kala tidak cukup jelas mengungkapkan makna yang dikandungnya karena setiap terjemahan selalu dibarengi bahaya reduksi dan simplifikasi kandungan makna dan kultur bahasanya yang khas, yang tidak mudah dipindah ke dalam bahasa dan kultur yang berbeda (Komaruddin Hidayat, 1996:145).

Contoh lain adalah judul buku karya Bennedict Anderson, Imagined Comunities. Judul itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "komunitas-komunitas terbayang". Tepatkah judul itu diterjemahkan menjadi “komunitas terbayang”? Bukankah lebih pas diterjemahkan menjadi “masyarakat-masyarakat yang diimajinasikan”? Nah, dari judulnya saja sudah terjadi distorsi makna, apalagi dari sisi kontennya. Kata “terbayang” bisa saja membuat orang berimajinasi ke hal-hal lain. Bisa diartikan dengan sebuah kain perempuan yang transparan, misalnya. Bisa juga sesuatu hal yang terbayang-bayang dalam memori, dan lain sebagainya.

Itulah sedikit contoh problem terjemahan. Oleh karena itu, penting juga diperhatikan siapa yang menerjemahkan sebuah teks. Karena kualitas terjemahan sangat bergantung dari penerjemahnya. Orang yang tak paham masalah politik, misalnya, menerjemahkan buku politik, tentu banyak sedikit akan terjadi penyimpangan-penyimpangan pengertian dan makna dari yang semestinya. Kata yang sama bisa diartikan berbeda-beda. Sesuai pemahaman penerjemah. Mereka yang memahami “filsafat bahasa” tentu mengerti persoalan ini.

Dan problem terjemahan juga terjadi dalam komunikasi lisan. Penerjemah selalu memilih “kosa kata” yang sesuai dengan kapasitas pemahaman yang berhubungan dengan pengalamannya. Dari situ, penerjemah sebenarnya sudah “menafsir”. Sekedar contoh saja, saya jadi teringat dengan acara TVOne ketika mengundang narasumber, seorang pengamat Timur Tengah, untuk menerjemahkan berita yang disiarkan langsung dari TV Al Jazeera terkait kondisi peperangan di Jalur Gaza. Saya yakin, dalam menerjemahkan itu, tak sepenuhnya tepat. Apalagi berita itu disampaikan dengan pengucapan yang cepat dari reporter. Pasti, banyak sedikit, terjadi penyempitan maupun perluasan makna dari maksud reporter Al Jazeera yang sesungguhnya. Artinya, ada kata atau ungkapan-ungkapan yang tak bisa dengan persis dialihkan dari suatu bahasa ke bahasa lain. 

Sebuah kata dapat mengalami perkembangan makna. Terpengaruh kondisi sosiologis, psikologis, historis, dan lain sebagainya. Komaruddin Hidayat mencontohkan kata "umat". Di Madinah, adakalanya kata "umat" juga meliputi orang Yahudi dan Nasrani yang membuat perjanjian damai dan kerjasama dengan Rasulullah. Di Indonesia, kata "umat" juga mempunyai konotasi yang berbeda-beda. "Umat" bisa berarti anggota suatu partai atau jamaah tertentu. Bisa juga umat Islam secara keseluruhan. Dan bisa juga untuk menunjukkan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Itu jika dilihat dari perspektif kita orang Islam. Dari perspektif orang non-muslim, bisa jadi, ketika mereka mendengar kata "umat", secara psikologis mereka mengasosiasikannya dengan umat Islam saja. Sehingga muncul sentimen. Padahal, bisa jadi kata "umat" yang diucapkan seorang tokoh politik dalam sebuah pidato, misalnya, itu juga termasuk mereka. Contoh kalimat pidatonya: "Kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan golongan". Kata ini bisa ditafsirkan berbeda oleh orang non-muslim. Nah, itu sekedar satu contoh saja. 

Karena sebuah kata mengalami perkembangan makna, terang Komaruddin, maka untuk memperoleh pemahaman yang benar, yang dikehendaki oleh pembicara, hermeneutik tak cukup mendasarkan pada teks Al Quran maupun pemahaman semantikal, melainkan perlu melibatkan faktor psikologis dan sosiologis agar tak terkecoh oleh teks semata. Kata Wittgenstein, "Jangan tanyakan apa makna sebuah kata, tapi perhatikan bagaimana ia difungsikan." (Komaruddin Hidayat, 1996:148). Jadi, proses menerjemahkan tidaklah selalu gampang. 

Meskipun demikian, aktivitas menerjemah tetap sangat penting dilakukan. Alangkah terbatasnya perkembangan ilmu dan peradaban manusia jika tak ada aktivitas penerjemahan. Tanpa terjemahan, maka sirkulasi dan komunikasi ilmu akan bersifat lokal. Kita bisa mengetahui kebudayaan dan warisan intelektual dari berbagai belahan dunia adalah berkat adanya jasa-jasa penerjemahan.

Demikian juga pemahaman terhadap Al Quran. Dengan adanya jasa penerjemahan, maka pesan Al Quran yang aslinya berbahasa Arab bisa dipahami oleh orang yang tak mengerti bahasa Arab. Meskipun hanya dengan modal bisa berbahasa Arab tak menjamin seseorang bisa menggali kandungan Al Quran. Sama halnya dengan orang Indonesia yang memahami bahasa Indonesia, belum tentu ia mampu memahami buku ilmu pengetahuan yang bukan bidang kajiannya (Komaruddin Hidayat, 1996:172). Dan sekedar hafal saja pun tak menjamin seseorang itu lebih paham terhadap kandungan Al Quran. 

Bahasa, kata Komaruddin, selalu berkaitan dengan dinamika pengetahuan masyarakat. Oleh karenanya, sebuah karya tulis yang diterbitkan oleh suatu masyarakat yang lebih maju akan sulit diterjemahkan ke dalam bahasa yang tumbuh dalam masyarakat primitif. Alam pikiran dan bahasa yang tumbuh dalam masyarakat agraris, lanjut Komaruddin, pasti berbeda dengan alam pikiran serta bahasa yang berkembang subur dalam masyarakat informasi yang sudah jauh menggunakan bahasa komputer. Contoh sederhana misalnya adalah bahasa dalam kalangan profesi. Istilah-istilah yang biasa digunakan para praktisi atau ahli ekonomi, misalnya, tentu tak mudah dipahami oleh mereka dari kalangan ahli hukum. Demikian pula sebaliknya. 

Oleh karenanya, yang namanya terjemahan bagaimanapun juga, kata Komaruddin, mempunyai titik-titik lemah yang bisa jadi malah menutupi pesan dasar yang diterjemahkan. Karena, kekayaan bahasa dan tradisi berpikir suatu masyarakat tak selalu sama dengan masyarakat yang lain. “Terjemahan sesungguhnya juga penafsiran,” kata Komaruddin, “karena penerjemah, dalam memilih kata dan menyusun kalimat juga melakukan ijtihad, terlebih menyangkut masalah keilmuan atau fakta historis yang bersifat debatable.” Al Quran juga mengalami hal yang sama. 

Karena itulah, satu catatan yang harus diingat, kata Komaruddin, bahwa penerjemahan selalu memiliki dua segi: positif dan negatif (penghubung dan penghalang). Karena bahasa memiliki akar serta lingkungan kultural yang spesifik, maka karya tulis apa pun, terutama Al Quran, ketika diterjemahkan sudah pasti mengalami perubahan makna, baik bersifat pengembangan maupun penyempitan. 

NANI EFENDI, Alumnus HMI


RUJUKAN

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996.