alt/text gambar
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan

Selasa, 27 Februari 2024

Islam dan Keindonesiaan: Keterbukaan, Toleransi, dan Pemenuhan Hak Azasi Manusia

 


Oleh: Lisa Riyanti


Apakah persoalan hubungan antara Islam dan keindonesiaan—dalam konteks berbangsa dan bernegara di Indonesia—sudah selesai? Bisa dijawab sudah, tapi bisa juga belum. Secara dasar negara, boleh dikata perdebatan itu sudah selesai. Dalam artian, perdebatan itu diakhiri dengan diterimanya—oleh semua pihak—Pancasila sebagai dasar negara kita, bukan Islam. Bagi mayoritas kaum muslim Indonesia, Pancasila dianggap tak bertentangan dengan Islam. Bahkan, nilai-nilai dalam Pancasila itu sudah terkandung dalam Islam itu sendiri.

Persoalannya menjadi lain, ketika Pancasila ditafsirkan secara monopolistik oleh rezim. Seakan-akan hanya tafsir pemerintah saja yang benar. Padahal, Pancasila adalah “teks terbuka” yang bisa ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai konteks. Tak ada tafsir resmi.

Bagi kalangan Islam di Indonesia, tafsir terhadap Pancasila bukan monopoli rezim. Umat Islam juga berhak menafsirkan Pancasila dalam tujuan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, Pancasila harus dijadikan pedoman umum dalam bernegara. Bukan ideologi sempit yang hanya benar berdasarkan tafsir rezim yang berkuasa. Jika persoalan tafsir terhadap Pancasila tak dimonopoli oleh kalangan tertentu, saya pikir tak ada persoalan antara Islam dan keindonesiaan.

Keterbukaan dan toleransi dalam Islam

Islam itu agama yang mencintai kedamaian. Islam adalah agama yang terbuka dan toleran. Toleransi dalam Islam telah diajarkan oleh Rasulullah dalam kehidupan masyarakat Madinah. Dari kata Madinah itulah tercipta istilah “masyarakat madani”.  

Tentang sikap toleransi dalam Islam, Allah berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9)

Ayat ini mengajarkan prinsip toleransi, yaitu, selama tidak ada sangkut pautnya dengan aqidah, hendaklah setiap muslim berbuat baik pada  sesama manusia. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang yang berbuat adil.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 247). Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah mengatakan bahwa bentuk berbuat baik dan adil di sini berlaku kepada setiap agama. Lihat Tafsir Ath Thobari, 14: 81.

Islam dan Hak Azasi Manusia

Sebelum isu “HAM” seperti yang kita kenal saat ini, Islam telah mengajarkan tentang perlindungan terhadap hak azasi manusia. Dalam khutbah terakhir Rasulullah—sebagaimana dijelaskan oleh KH Ahmad Chodri Romli melalui karyanya Ensiklopedia Haji & Umrah: Ensiklopedia Terlengkap Lintas-Mazhab Seputar Haji dan Umrah dari A sampai Z (2018)—beliau menyampaikan beberapa pesan penting. 

Pesan penting Rasulullah dalam Khutbah Haji Wada' itu antara lain: penegasan bahwa semua umat Islam bersaudara; larangan bagi umat Islam mengambil harta dan hak orang mukmin lainnya; wasiat Rasulullah agar umat Islam memegang teguh Al-Quran dan Sunnah Nabi; perintah bagi umat Islam agar menunaikan amanah; penghapusan segala macam amalan dan tradisi jahiliyah; pengampunan atas tuntutan "utang darah" di zaman jahiliyah; penegasan tentang haramnya riba; perintah agar suami-istri saling memenuhi hak masing-masing; dan lain-lain.

Dari pesan Rasulullah dalam Khutbah Haji Wada’, jelas bahwa beliau memerintahkan umat Islam untuk melindungi hak azasi manusia. Umat Islam diperintahkan untuk melindungi harta maupun nyawa setiap manusia. Perintah Rasulullah itu merupakan “deklarasi” terhadap perlindungan HAM bagi manusia di muka bumi.  

Lisa RiyantiPeserta LK III dari Badko Sumbar

 

 

 

Senin, 26 Februari 2024

Bonus Demografi: Peluang, Tantangan, dan Kesiapan Gen Z Membangun Peradaban

 


Oleh: Lisa Riyanti


Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Ada yang berpendapat, Indonesia bisa menjadi salah satu negara maju di dunia. Pendapat itu bukan tanpa alasan. Ada banyak potensi yang dimiliki oleh Indonesia untuk menjadi negara maju. Di antara potensi itu ialah: bonus demografi.

Bonus demografi adalah sesuatu yang sangat penting sebagai modal suatu negara untuk bangkit menguasai dunia, terutama sektor ekonomi.

Apa itu bonus demografi? Menurut United Nations Population Fund, bonus demografi adalah kondisi ketika masyarakat berusia produktif lebih banyak daripada masyarakat berusia nonproduktif. Kondisi ini, bagi semua negara, dialami sekali sepanjang sejarah.

Usia produktif yang dimaksud ialah 15-64 tahun. Sementara itu, masyarakat nonproduktif adalah mereka yang berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun.

Jumlah masyarakat berusia produktif ini menguasai 70% populasi suatu negara. Sedangkan jumlah masyarakat berusia nonproduktif hanya 30% di antaranya.

Seperti dikutip dari Tirto, di Indonesia, isu ini ditaksirkan terjadi pada 2020-2030. Puncaknya: pada 2028-2030, ketika 100 orang produktif menanggung 44 orang nonproduktif.

Setelah itu, perbandingan masyarakat produktif dengan nonproduktif diprediksikan akan kembali normal karena mereka yang berusia produktif sudah mulai memasuki umur nonproduktif.

Dilansir dari Detik, kondisi ini terjadi karena adanya perubahan struktur umur penduduk Indonesia yang disebabkan oleh dua hal: pertama, angka kematian bayi (infant mortality rate) menurun sehingga jumlah bayi yang tetap hidup hingga dewasa terus meningkat; dan kedua, angka kelahiran total (total fertility rate) menurun sehingga anak yang berusia di bawah 15 tahun pun berkurang.

Peluang

Terhadap tatanan sosial dan ekonomi suatu negara, kondisi terjadinya bonus demografi memiliki dampak yang sangat besar. Hal ini bisa menjadi sebuah peluang yang sangat menarik bagi Indonesia. Asalkan ia bisa dimanfaatkan sebaik mungkin. Tapi bonus demografi juga bisa menjadi hal buruk bagi sebuah negara jika tak dimanfaatkan dengan baik.

Oleh karena itu, HMI dalam kapasitasnya sebagai organisasi perjuangan, ia mesti menjalankan fungsi signifikan untuk memanfaatkan situasi ini. Dan, yang tak kalah penting adalah pemerintah RI sendiri. HMI harus memiliki peran dalam memanfaatkan bonus demografi ini dalam rangka membangun Indonesia yang adil makmur.

Tantangan

Selain peluang, kondisi dimaksud juga memiliki tantangan yang harus dihadapi. Artinya, selain memiliki banyak manfaat, bonus demografi juga memiliki berbagai tantangan.

Potensi penduduk usia produktif, jika tak mampu dikelola dengan baik, bisa saja terjadi banyak hal buruk yang akan mengganggu kondisi perekonomian negara. Beberapa tantangan dimaksud di antaranya: pertama, bonus demografi membutuhkan lapangan kerja yang luas. 

Artinya, jumlah masyarakat usia produktif yang banyak ini juga, pada saat yang sama, membutuhkan lapangan kerja yang luas pula. Jika lapangan kerja tidak memadai, bonus demografi justru akan menjadi penyebab ledakan pengangguran.

Seperti ditulis Detik, melihat pada Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), persaingan dalam mencari kerja di Indonesia akan semakin berat. Menurut laporan United Nations Development Programme (UNDP), peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masih berada di urutan ke-113 dari 188 negara di dunia. Peringkat tersebut menunjukkan Indonesia masih kalah dari beberapa negara di Asia Tenggara, semisal Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Singapura.

Tantangan kedua: dalam negara dengan bonus demografi, karena jumlah penduduk usia produktif yang besar, kebanyakan akan diisi oleh masyarakat dengan tingkat pendidikan menengah dan rendah, maka dibutuhkan skill yang memadai. Tanpa skill yang cukup, sulit masyarakat untuk bersaing. Dan pada gilirannya, jumlah penduduk usia produktif yang besar, justru akan menjadi sia-sia dan takkan memajukan perekonomian negara. Malah sebaliknya: ia bisa jadi beban negara. Solusi untuk mengatasi hal ini: negara—melalui pendidikan—harus berupaya meningkat ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kesiapan Gen Z Membangun Peradaban

Oleh karena itu, generasi Z harus siap menghadapi isu bonus demografi ini. Apa yang harus dilakukan? Tentu dengan terus meningkatkan kualitas SDM. Dengan cara apa? Belajar, belajar, dan belajar. Ada beberapa skill penting yang harus dipelajari dan dimiliki oleh generasai Z. Apa itu? 

Pertama, penguasaan terhadap bahasa asing, minimal bahasa Inggris. Kedua, keterampilan menulis. Tanpa memiliki skill menulis, bagaimana kita bisa mengembangkan ilmu pengetahuan dan pemikiran kita? Ketiga, penguasaan terhadap IT (information technology). Jaringan internet merupakan sumber informasi yang sangat besar dewasa ini. Bayangkan, satu informasi di Google, kalau dicetak, akan menghasilkan kertas setinggi 1 setengah mil. Suatu kemajuan yang menakjubkan. 

Keempat, communication skill. Communication skill atau keterampilan berkomunikasi, merupakan  salah satu keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh generasi Z. Kelima, kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, dan rasional. Kemampuan ini penting dimiliki sebagai bekal dalam hidup. Yang membedakan lulusan SLTA dengan lulusan perguruan tinggi adalah kemampuan berpikir ini. Keenam, kemampuan kepemimpinan dan manajerial. Kemampuan ini bisa didapat lewat aktivitas organisasi semisal organisasi HMI.

Lisa Riyanti, Peserta LK III dari Badko Sumbar

 

 

 

 

Gerakan Perubahan untuk Meningkatkan Ekonomi Nasional: Mengimplementasikan Nilai-nilai NDP


Oleh: Lisa Riyanti


NDP (Nilai-nilai Dasar Perjuangan) di lingkungan HMI merupakan landasan ideologis bagi seluruh perjuangan pengurus HMI, baik di internal pengurus HMI secara individu maupun di dalam organisasi secara keseluruhan. NDP HMI memuat nilai-nilai universal ajaran Al-Quran dan memberikan pedoman bagi para pengurus HMI agar lebih memahami Islam dan menerjemahkannya ke dalam dimensi ruang dan waktu.

NDP terdiri dari 8 Bab, yakni : Dasar-dasar Kepercayaan; Pengertian Dasar Tentang Kemanusiaan; Keharusan Universal (Takdir), Kemerdekaan Manusia (Ihktiar); Ketuhanan Yang Maha Esa dan Perikemanusiaan; Individu dan Masyarakat; Keadilan Sosial dan Ekonomi; Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan; Kesimpulan dan Penutup

Dari delapan bab itu, ada satu bab yang khusus berbicara tentang keadilan sosial dan ekonomi. Tapi, sayangnya, tak banyak dikaji oleh kader-kader HMI di setiap pelaksanaan Latihan Kader. Bab itu ialah Bab 8 tentang Keadilan Sosial dan Ekonomi. Padahal, dalam rangka perjuangan mewujudkan masyarakat adil makmur—sebagaimana tujuan HMI itu sendiri—kader HMI mesti memahami tentang hakikat keadilan sosial dan keadilan ekonomi.

Dewasa ini, terjadi—seperti yang dikatakan oleh Bung Karno—“penghisapan kelas atas yang kuat terhadap kelas masyarakat bawah yang lemah”. Jurang ketidakadilan sosial itu terlalu lebar antara orang-orang kaya (the haves) dan orang-orang miskin (the haves-not). Saat ini, kemiskinan dan pengangguran  menjadi problem besar negara yang berpenduduk hampir 300 juta ini. 

Tapi, kepedulian sosial makin dirasa kurang. Orang miskin semakin tertindas. Sementara kaum kaya, terutama yang punya akses pada kekuasaan dan modal, terus memperkaya diri dan menumpuk kekuasaan. Mereka ini diistilahkan sebagai kekuatan "oligarki".

Dalam bukunya Islam dan Teologi Pembebasan, Asghar Ali Engineer, sebagaimana juga inti Bab 6 NDP HMI (Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi), menyebutkan bahwa komitmen untuk mewujudkan tatanan sosial yang adil, nir eksploitasi, dan egaliter adalah semangat Islam yang sesungguhnya. Al Quran dengan tegas mendukung tatanan yang adil dan egaliter, tatanan sosial yang tidak menindas. Al Qur’an sangat menentang zulm (kezaliman, penindasan; kejahatan), dan konsentrasi kekayaan. Al Qur’an menginginkan adanya distribusi kekayaan secara merata dan membagikannya secara adil.

Dalam Al Quran, surat Al-Hasyr, ayat 7, Allah berfirman: "...agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya."

Keadilan sosial dan ekonomi itulah inti Bab 6 NDP HMI yang mesti dipahami dan dilaksanakan oleh kader-kader HMI. Jadi, Latihan kader di HMI, khususnya dalam materi NDP, harus lebih difokuskan ke Bab 6 tentang Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi. Dengan pemahaman yang baik terhadap NDP Bab 6 ini, diharapkan kader HMI mampu memperjuangkannya dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah bentuk gerakan perubahan dalam rangka meningkatkan ekonomi nasional yang maju dan berkeadilan—suatu kemajuan ekonomi yang harus bisa dinikmati oleh semua warga negara.

Lisa Riyanti, Kader HMI dari Badko HMI Sumbar 


Minggu, 25 Februari 2024

GENOSIDA ISRAEL-PALESTINA DAN PEMUDA INDONESIA


Oleh: LISA RIYANTI


Konflik Palestina-Israel dimulai sejak pendudukan Israel di wilayah Palestina. Dimulai dengan gerakan Zionis yang didirikan pada tahun 1895 oleh Theodor Herzl. Herzl adalah pemimpin komunitas Yahudi Inggris.

Gerakan Zionisme itu pun terus berlangsung. Konflik Palestina dengan Israel pun terus terjadi. Gerakan Zionis terus berusaha merampas daerah bangsa Palestina demi tujuan utamanya: berdirinya negara untuk kaum Yahudi. Hingga kini, dari waktu ke waktu, wilayah Palestina yang luas itu pun terus berkurang akibat pendudukan Israel.

Nah, bagaimana posisi atau sikap Indonesia, terutama di kalangan pemuda, terhadap konflik itu? Indonesia dan Palestina sudah menjalin hubungan diplomasi sebelum Indonesia merdeka. Salah satu buktinya, diadakannya Congres Al-Islam pertama di Surabaya pada 26 Februari – 1 Maret 1998. 

Sebaliknya, terhadap kehidupan bangsa Indonesia, Palestina mempunyai peran penting, di antaranya menyampaikan dukungan atas janji kemerdekaan yang dicetuskan sang Perdana Menteri Koiso. Hingga saat ini mulai dari Presiden Sukarno sampai Joko Widodo Indonesia terus berupaya dengan konsisten mendukung kemerdekaan Palestina. Salah satu bentuk dukungan Indonesia terhadap Palestina ialah: tidak dibangunnya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Israel. Artinya, Indonesia tak mengakui eksistensi negara Israel.

Terdapat pertarungan konsepsi dan perbedaan persepsi masyarakat terhadap konflik Palestina-Israel. Mayoritas menganggap bukan konflik agama. Ada perbedaan konsepsi antara kalangan pemuda muslim dan non muslim. Tapi, sebagian besar pemuda muslim memiliki konsepsi dan persepsi yang sama: bahwa mereka mengutuk tindakan Israel. Hanya saja, pemuda non muslim lebih bersikap moderat. 

Di kalangan generasi muda, khususnya umat Islam, puluhan organisasi mahasiswa mendukung pemerintah Indonesia dalam aktif membela Palestina. melihat konflik ini lebih dari sekedar konflik agama. Hal ini dimediasi melalui Aksi Solidaritas Indonesia untuk Kemerdekaan Palestina (Solid Palestine Action) yang dilakukan oleh Persatuan Mahasiswa dan Pemuda Indonesia (Kolaborasi) yang beranggotakan puluhan organisasi kemahasiswaan. Mereka berdemonstrasi di depan Kedutaan Besar Indonesia AS di Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat pada Jumat, 21 Mei 2021.

Artinya, kita walaupun ada banyak perbedaan konsepsi dan persepsi terhadap konflik Palestina dan Israel, pemuda Indonesia juga harus mengambil peran baik itu dengan cara yang sederhana seperti mengirimkan bantuan atau bahkan mengkaji lebih dalam terkait strategi yang dapat dilakukan untuk meredam atau bahkan menghentikan tindakan yang dilakukan oleh Israel kepada Palestina saat ini. 

Lisa Riyanti, Badko HMI Sumatera Barat

Peserta LK3 BADKO HMI Jambi


Selasa, 30 Januari 2024

, ,

Merayakan Kembalinya Sikap Kritis NU

 

Oleh: Ulil Abshar Abdalla

 

NU sering dicitrakan oportunistik pada kekuasaan, maka ketika suara penolakan UU Cipta Kerja muncul dari PBNU, sikap kritis ini patut dirayakan. Sikap Nahdlatul Ulama (NU) yang dengan tegas menolak UU Cipta Kerja cukup mengagetkan banyak kalangan. Maklum, dalam beberapa tahun terakhir, citra NU dan elit-elitnya cenderung identik dengan permainan “politik praktis”.

Keterlibatan elit-elit NU di dalam politik pilkada, misalnya, memicu munculnya kesan NU yang “politis” ini. Citra ini diperkuat lagi saat Kiai Ma’ruf Amin, mantan Rois ‘Aam PBNU, maju mendampingi Jokowi sebagai cawapres dalam pilpres lalu.

Faktor lain yang memperkuat citra politis ini adalah kuatnya pengaruh PKB selama kepemimpinan Ketua Umum PBNU yang sekarang, Kiai Sa’id Aqil Sirodj. Sekretaris Jenderal PBNU, misalnya, dijabat oleh seorang politisi PKB yang masih aktif hingga sekarang, yaitu Helmy Faishal Zaini.

Banyak kalangan di dalam NU yang melihat kuatnya pengaruh PKB dalam PBNU ini sebagai hal yang, jika memakai nomenklatur fiqh, “khiaful aula”, kurang sesuai dengan kondisi ideal yang dibayangkan.

Pengaruh ini, di mata sebagian kalangan NU, menyebabkan warna “politis” lebih mendominasi citra NU di mata publik. Walau NU bukanlah partai politik, tetapi sebagian orang melihat organisasi ini terkesan punya citra “semi-partai.”

Ketika Kiai Sa’id menolak dengan tegas UU Cipta Kerja, sebagian kalangan bertanya-tanya: What happens to NU? Kenapa NU sekarang mendadak “populis”?

Pertanyaan ini saya baca dalam sejumlah percakapan di media sosial, terutama di Twitter. Kiai Sa’id tidak saja menolak UU ini, tetapi juga menggunakan bahasa yang dari segi “komunikasi politik” lumayan keras.

Seperti dikutip di laman NU Online, Kiai Sa’id menegaskan bahwa UU ini, “Hanya menguntungkan konglomerat, kapitalis, investor. Tapi menindas dan menginjak kepentingan atau nasib para buruh, petani, dan rakyat kecil.”

Dilihat dari segi apapun, pernyataan Kiai Sa’id ini cukup keras, apalagi dilihat dari standar “sosio-linguistik” para kiai NU yang biasanya dikenal “kalem”.

Sejumlah pihak bertanya-tanya: kenapa NU tiba-tiba mengeras? Apakah NU telah menjadi oposan politik terhadap pemerintahan Jokowi? Bagaimana NU bersikap begitu keras sementara ada Kiai Ma’ruf Amin di dalam Pemerintahan? Pun dengan sejumlah kader PKB juga duduk di dalam kabinet Jokowi.

Saya ingin menyebut kembalinya sikap kritis ini sebagai “re-radikalisasi”. Istilah ini tak ada kaitannya sama sekali dengan pengertian umum yang digunakan hari-hari ini, seperti dalam frasa “Islam radikal.”

Radikal saya maknai sebagai “sikap yang keras” dan tegas vis-à-vis Pemerintah. Saya sengaja memakai istilah “re-radikalisasi” atau pengerasan kembali, karena momen “radikalisasi” dalam NU muncul dari waktu ke waktu.

Gambaran bahwa elit-elit NU selalu bersikap kompromistis, akomodatif, dan “lunak” pada kekuasaan jelas keliru; gambaran yang populer di kalangan Masyumi pada dekade 60-an.

Seorang sarjana Jepang yang bersahabat dekat dengan Gus Dur, Mitsuo Nakamura, pernah mengamati munculnya “tradisionalisme radikal” di dalam NU. Ini dia kemukakan setelah menghadiri Muktamar NU ke-26 di Semarang pada 1979. Apa yang Nakamura maksud dengan “tradisionalisme radikal” itu ialah sikap kritis pada pemerintah yang muncul sejak dekade 70-an.

Sikap kritis ini, kata Nakamura, disebabkan oleh munculnya generasi baru dengan pemikiran-pemikiran yang lebih segar. Mereka membawa visi pembangunan alternatif sebagai kritik atas pembangunan ala Orde Baru yang “top down.”

Generasi baru ini diwakili oleh dua sosok penting: Abdurrahman Wahid dan Mahbub Djunaidi.

Generasi baru yang kritis ini, bagi Nakamura, meng-ambyar-kan citra lama NU sebagai “a gerontocratic organization of opportunistic and unsophisticated rustic ulama”—organisasi para ulama sepuh yang oportunistik, tidak canggih, dan ndeso. Inilah gambaran tentang NU di kalangan Indonesianis lama, orang-orang seperti Harry Benda, Clifford Geertz, Herb Feith, dan Lance Castles.

Pandangan sinis tentang NU ini, walau sudah banyak ditinggalkan oleh para sarjana luar, anehnya masih bertahan di sejumlah kalangan. NU dianggap cenderung oportunistik dan lunak pada kekuasaan, dan hanya menjadi “alat legitimasi” bagi penguasa.

Berdasarkan pengamatan Nakamura atas dinamik dalam NU pada tahun 70-an, Nakamura berpendapat bahwa gambaran yang berbau “ngenyek” pada NU itu jelas keliru. Dia menggambarkan NU sebagai kelompok tradisionalis-radikal dalam pengertian yang positif: yaitu kritis pada Pemerintah.

Periode radikalisasi NU ini terjadi kembali pada tahun 90-an, terutama setelah berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada 7 Desember 1990.

Seperti kita tahu, organisasi ini menandai fase baru dalam hubungan Soeharto dengan umat Islam: dari antagonistik menjadi akomodatif—Pemerintah mengakomodasi kepentingan umat Islam, dan juga sebaliknya.

Menyikapi ini, Gus Dur justru mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) bersama tokoh-tokoh yang dikenal kritis pada pemerintahan Orba, seperti Bondan Gunawan, Rahman Tolleng, Marsillam Simandjuntak, dll.

Sementara elit-elit umat Islam di Jakarta sedang menikmati euforia kedekatan dengan Suharto, Gus Dur justru tampil sebagai pengkritik sang otokrat itu.

Periode kritis ini patut dicatat dalam sejarah NU. Inilah periode yang melahirkan sejumlah intelektual dan aktivis NU yang progresif-kritis. Mereka membawa gagasan-gagasan “kiri-Islam” (al-yasar al-Islami) yang dikenalkan oleh pemikir besar Mesir, Dr. Hassan Hanafi.

Gus Dur adalah orang yang pertama kali mengenalkan buku-buku Hanafi kepada anak-anak muda NU, terutama lima jilid bukunya yang terkenal: “Min al-‘Aqidah ila al-Tsaura” (Dari Teologi Menuju Revolusi).

Dari sana lahir para intelektual/aktivis NU yang aktif dalam gerakan advokasi sosial, pembelaan rakyat kecil, dialog antar-iman, dan pengembangan model pembangunan alternatif. Saya, terus terang, lahir dari generasi ini.

Sejak reformasi lahir, disusul dengan munculnya PKB sebagai partai yang mewadahi aspirasi politik warga nahdliyyin, semangat kritis “kiri Islam” yang dibawa Gus Dur pada tahun 90-an itu tenggelam, dikalahkan oleh “faksi politik” dalam NU. Apalagi Gus Dur kemudian juga terlibat aktif dalam pendirian partai.

Perkembangan ini menyebabkan arus “tradisionalisme radikal”, jika memakai istilah Nakamura, menjadi redup. Tetapi semangat radikal-kritis yang disemangati gagasan “kiri-Islam”-nya Hassan Hanafi itu sejatinya tidak pudar. Masih banyak kalangan anak-anak muda NU yang terus merawat semangat ini tanpa lelah.

Mereka ini, antara lain, berhimpun dalam sebuah gerakan Gusdurian yang bersemai di hampir seluruh daerah di Indonesia di bawah kepemimpinan puteri Gus Dur, Alissa Wahid. Mereka terus merawat pemikiran Gus Dur yang kritis, progresif, dan ekumenis (dalam pengertian membuka diri pada dialog-antar iman).

Saya memahami sikap NU yang menolak UU Cipta Kerja baru-baru ini sebagai bangkitnya kembali sikap kritis dalam tubuh NU. Arus kritis yang selama ini mengalami hibernasi muncul kembali ke permukaan, mengalami “resusitasi”.

Sebagian orang memandang perkembangan ini dengan skeptis, misalnya: ini disebabkan karena peminggiran NU dalam proses politik pasca-pilpres.

Saya tidak melihatnya demikian. Sikap kritis NU pada Pemerintah bukanlah hal yang hanya sekali-dua kali saja terjadi, melainkan selalu muncul dari waktu ke waktu. Sebagai “murid intelektual” Gus Dur, Kiai Sa’id tentu mewarisi sikap “tradisionalisme radikal” dari sosok yang terakhir itu.

Beberapa waktu lalu, sebelum mengkritik UU Cipta Kerja ini, PBNU juga menuntut ditundanya pilkada serentak pada Desember akhir tahun ini dengan alasan adanya pandemi. Sikap ini jelas bertolak belakang dengan kengototan Pemerintah untuk tetap melangsungkan perhelatan politik nasional itu.

Kembalinya sikap kritis NU pada Pemerintah ini, bagi saya, adalah hal positif. Sejak terpilihnya Jokowi untuk periode kedua, saya sudah mencemaskan adanya gejala “kartelisasi politik” yang lebih intensif lagi.

Kecemasan saya ini terbukti benar, ditandai dengan dirangkulnya hampir semua kekuatan politik besar ke dalam kekuasaan, dan menyisakan hanya dua partai kecil yang kurang signifikan.

Tindakan “merangkul semua kekuatan” (the politics of embracing all) ini jelas kurang baik, sebab melemahkan kekuatan pengimbang yang dibutuhkan dalam sebuah demokrasi yang sehat. Di dalam parlemen, kekuatan-kekuatan politik yang cukup kuat sudah “diserap” semua ke dalam status quo.

Dalam keadaan seperti ini, kita butuh kekuatan sipil di luar pemerintahan sebagai “pengimbang”. Dua ormas moderat Islam, NU dan Muhammadiyah mengmbil sikap politik yang “berseberangan” dengan Pemerintah dalam dua isu: pelaksanaan pilkada serentak dan pengesahan UU Cipta Kerja.

Bagi saya, sikap politik yang “berjarak” ini sangat baik, agar ada suara lain yang tidak semata-mata mengamini apapun yang menjadi kebijakan Pemerintah.

Sebab demokrasi hanya bisa tumbuh dengan sehat jika ruang-ruang untuk memeragakan posisi kritis dan berbeda tetap dimungkinkan. Dalam beberapa waktu terakhir ini, kita sudah melihat gejala politik yang kurang sehat: Pemerintah makin “self-contained”, menutup diri dan kurang mendengar aspirasi publik.

Bentuk politik-menutup-diri ini diperlihatkan secara vulgar dalam pengesahan UU Cipta Kerja. Makin “self-contained” kekuasaan, makin kita membutuhkan kekuatan-kekuatan kritis sebagai suara-imbangan.

Jika tidak, kita akan meluncur pelan-pelan menuju situasi yang kian otoriter. Situasi yang jelas tidak kita kehendaki bersama.

Ulil Abshar Abdalla, Cendekiawan Muslim

Sumber: Merayakan Kembalinya Sikap Kritis NU - Mojok.co

Jumat, 26 Januari 2024

PENEROBOSOAN ORANG-ORANG MELARAT


Oleh: Ignas Kleden


Judul buku: Dimenasi Manusia dalam Pembangunan

Pengarang: Soedjatmoko

Tahun terbit: 1983

Penerbit: LP3ES

Tebal: xxvii + 197 halaman


Menurut kata pengantar Aswab Mahasin, buku Dimensi Manusia dalam Pembangunan ini adalah jilid pertama dari kumpulan karangan Soedjatmoko, yang lengkapnya akan terbit dalam tiga jilid. Jilid kedua akan memuat karangan tentang kebudayaan, sastra, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Jilid ketiga akan merupakan kumpulan karangan tentang politik, diplomasi, dan masalah-masalah internasional. 

Persoalannya sekarang, apakah mungkin dan boleh memberikan gambaran alam pikiran Soedjatmoko, hanya berdasarkan jilid pertama ini dan berdasarkan gambaran tersebut menyusun beberapa kritik tentang bangun pikiran pengarang dan metode yang terlihat di dalamnya? 

Mungkin benar, seperti yang dinyatakan dalam kata pengantar, Soedjatmoko tidak bisa dimasukkan ke dalam suatu disiplin ilmu tertentu. Namun, hal ini tidak berkata banyak. Dilema yang dihadapi, khususnya oleh para ilmuwan sosial, sekarang ialah dilema antara pendekatan yang bersifat discipline-spesific dan pendekatan problem-oriented. Apakah yang lebih penting dilihat dari sudut tanggung jawab etis seorang ilmuwan sosial: setia dan berpegang teguh kepada metode disiplinnya yang ketat dan terbatas atau berusaha mendapatkan pengertian yang sejelas-jelasnya tentang masalah yang dihadapi.

Tampaknya ada keyakinan dan kesepakatan umum di antara ahli ilmu sosial sekarang bahwa metode sebuah disiplin ilmu sosial sering kali sangat terbatas. Misalnya, dalam pemilihan variabel-variabelnya. Karena itu, diperlukan keluwesan untuk dialog antar-metode agar pengertian kita tentang suatu realitas atau gejala sosial tidak terlampau fragmentaristis. 

Kita, misalnya, tak terlalu menghiraukan lagi apakah dalam menyelidiki gejala kemiskinan pada bangsa-bangsa Asia, Gunnar Myrdal berlaku sebagai ekonom, sosiolog, atau antropolog. Kita pun tak merasa penting apakah dalam mengkritik asumsi dasar ekonomi klasik, Myrdal adalah seorang teoritikus ekonomi atau ahli sejarah filsafat. 

Pertanyaan pertama yang timbul tatkala membaca karangan Soedjatmoko adalah persoalan dasar manakah  yang menjadi obyek pergulatan pemikirannya. Kata pengantar buku ini memberi jawaban: pembebasan manusia. Yaitu kebebasan bukan sebagai syarat untuk pertumbuhan dan perkembangan sepenuh-penuhnya seorang inividu, seperti yang diajarkan kaum liberal, tetapi kebebasan sebagai tugas sebagaimana yang diajarkan kaum eksistensialis. Yaitu tugas setiap orang untuk terus-menerus merumuskan diri dan membangun eksistensinya dengan pilihan bebas, tanpa didikte begitu saja oleh tiap jenis faktisitas (entah itu bernama latar belakang biografis, pengalaman pendidikan, kelas ekonomi, struktur politik, warisan sejarah ataupun ikatan ideologis). 

Dengan perkataan lain, manusia dengan subyektivitasnya yang bebas akan selalu diajukan oleh Soedjatmoko sebagai antitesis terhadap tiap jenis faktisitas yang menghalang manusia sebagai tesis yang tak bisa ditolak. Dan dalam memperlakukan subyektivitas manusia sebagai suatu kekuatan antitesis, Soedjatmoko adalah penganut dan penerap dialektik yang sempurna. Kalau Hegel telah membangun dialektik sejarahnya dengan bertumpu pada kekuatan roh mutlak yang menjelma dalam waktu, dan menjadikan individu atau kelompok manusia sebagai momen raltif penjelmaannya, maka dialektik Soedjatmoko bertumpu  di atas subyektivitas seorang individu atau subyektivitas suatu kelompok sosial dalam Blut und Boden. Dengan cara ini, dia memberi bobot historis kepada metode dialektik yang digunakannya. 

Begitulah, dengan mengambil jilid pertama kumpulan karangannya sebagai contoh, saya berharap dapat menunjukkan bagaimana dialektik ini diterjemahkan ke dalam berbagai tema ilmu sosial–khususnya tema-tema pembangunan. Contoh ini saya anggap cukup representatif karena dalam jilid ini digunakan begitu banyak asumsi tentang sejarah dan kebudayaan (pokok-pokok jilid 2) dan banyak informasi dan latar belakang perkembangan internasional (pokok-pokok jilid 3).

Pembangunan adalah suatu tahapan sejarah yang harus dilalui untuk mencapai kehidupan lebih baik yang dijanjikan oleh revolusi kemerdekaan. Seperti revolusi kemerdekaan adalah penerobosan sejarah orang-orang terjajah, maka pembangunan adalah penerobosan sejarah orang-orang miskin dan melarat. Dalam sejarah ada yang harus dilanjutkan tapi ada yang harus diakhiri. Sejarah dalam pengertian Soedjatmoko  adalah dialektik antara kontinuitas dan diskontinuitas. 

Dengan demikian, pembangunan adalah proses yang lebih dahsyat, dari sekedar pembangunan ekonomi saja – walaupun pembangunan ekonomi merupakan suatu syaratnya yang penting. Kalau diingat bahwa pembangunan ekonomi adalah salah satu penjelmaan kebudayaan yang weltbejahend (yang menganggap kehidupan di dunia fana ini adalah sesuatu yang harus diterima sebagai real), maka pembangunan yang sama sekaligus berarti runtuhnya susunan masyarakat dan kebudayaan lama yang bersifat weltverneinend (yang menganggap kehidupan di dunia fana ini harus ditolak sebagai sesuatu yang irreal). Kebudayaan adalah dialektik antara integrasi dan disintegrasi. Adapun diskontinuitas sejarah dan disintegrasi kebudayaan adalah penjebolan kungkungan faktisitas oleh kebebasan subyektif manusia. Unsur subyektif inilah yang akan selalu muncul sebagai suatu antitesis yang permanen. 

Hal yang sama terlihat pula pada pembicaraannya tentang bangsa dan kepribadian bangsa. Suatu bangsa tumbuh karena pengalaman sejarah yang sama, pembawaan antropologis yang sama, atau warisan kebudayaan yang sama. Konstituen lainnya ialah cita-cita bangsa itu mengenai masa depannya dan kemauan subyektifnya untuk menangani masalah-masalahnya atas cara tertentu (misalnya, dengan memilih jalan B dan bukan jalan A), serta gambaran mengenai wujud masyarakat yang hendak dibangunnya. Maka, bangsa dan kepribadian bangsa adalah suatu wujud yang dinamis yang diproses dalam dialektik antara sejarah dan cita-cita sekelompok orang. 

Dalam kerangka itu pembangunan dapat dilihat sebagai kemauan subyektif suatu bangsa untuk mencapai martabatnya. Di sini martabat itu tidak dengan sendirinya akan terjamin oleh pertumbuhan ekonomi. Maka, terhadap teori-teori yang menjagokan investasi produktif sebagai esensi pertumbuhan ekonomi, Soedjatmoko mengajukan antitesis teori pembangunan ekonomi sebagai pergerakan rakyat. 

Pembangunan ekonomi tak banyak artinya tanpa menghancurkan struktur kemiskinan yang membelenggu banyak orang. 

Pembangunan ekonomi yang berhasil harus disertai perubahan struktural. Namun, terhadap teori-teori perubahan struktural yang menempuh jalan revolusioner, diajukannya teori demokratik untuk perubahan struktural, yang juga dicoba diterapkannya pada masalah orde ekonomi internasional. 

Salah satu masalah besar pembangunan ialah kependudukan. Maka, lahirlah teori-teori kependudukan yang sibuk menghitung dan memproyeksikan rasio pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, serta imbangan jumlah sumber daya dan jumlah penduduk. Hantu yang mengancam di sini adalah keterbatasan fisik (misalnya ruang hidup) yang ternyata tidak elastis lagi. Menghadapi kenyataan itu, Soedjatmoko mengajukan antitesis: pembinaan ruang batin (inner space) dengan bantuan agama dan kesenian. Dan seperti kita tahu, batin adalah ruang dengan elastisitas tak terbatas. 

Pada tingkat yang lebih teknis, seperti dalam masalah manajemen, Soedjatmoko tampil dengan dialektik yang sama. Terhadap teori-teori manajemen yang mengunggulkan analytical capability (dengan variabel-variabel: planning, programming, budgeting), dia mengajukan antitesis: manajemen sebagai kemampuan improvisasi berdasarkan suatu general sense of direction yang tentu saja sangat mengandalkan kemampuan obyektif  seorang pemimpin. 

Dengan dialektik seperti itu, Soedjatmoko tidak mungkin akan termasuk ke dalam suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelompok ilmu sosial. Alasannya: setiap sistem pemikiran dan setiap teori ilmu sosial hanya akan diambilnya sebagai suatu tesis yang akan diperlawankannya dengan antitesis yang sama: subyektivitas manusia yang tak terkalahkan. 

Pertanyaan yang sangat fundamental untuk Soedjatmoko ialah: apakah dia akan mampu mengambil subyektivitas manusia itu tidak saja sebagai antitesis yang dapat ditembakkan  kepada berbagai masalah sosial, tapi juga sebagai tesis tersendiri yang akan dikembangkan menjadi suatu sistem pemikiran yang bulat dan utuh. Membangun suatu sistem pemikiran yang bulat atas dasar subyektivitas manusia bebas akan memberi dua manfaat penting, baik bagi Soedjatmoko maupun bagi orang yang mempelajari buan pemikirannya. 

Pertama, Soedjatmoko sendiri akan terhindar dari eklektisisme murah yang sering dilecehkannya. Saya tak bisa mengelakkan kesan eklektik seperti itu, misalnya, kalau berhadapan dengan teori demokratik untuk perubahan struktural yang ditawarkan oleh Soedjatmoko. Bukankah itu penggabungan yang sangat gampang dari resep-resep model sosialis yang memberikan teori perubahan struktural dan model kapitalis yang menurunkan teori perubahan perubahan secara demokratik? 

Kedua, dengan mengambil subyektivitas manusia sebagai tesis dasar untuk suatu sistem pemikiran, dialektik Soedjatmoko akan bertambah kuat kedudukannya. Karena, dalam suatu sistem yang bulat akan terlihat, misalnya, dengan syarat-syarat mana saja subyektivitas manusia itu mampu melakukan pembebasan diri terus-menerus dan dengan menggunakan mekanisme-mekanisme yang sama pula? Hanya atas cara ini dialektik tersebut akan menjadi suatu dialektik manusia, yang dapat dipelajari secara ilmiah, dan bukannya hanya mengulang cerita Hegel tentang dialektik kuasi-alamiah yang berlangsung secara niscaya dan otomatis. 

Pada titik ini Soedjatmoko akan diuji apakah dialektiknya akan menjadi suatu metode yang historis dan bukan sekadar suatu metode moral. Mudah-mudahan kita pun tidak hanya akan terpaksa memiilih di antara determinisme sejarah (kekuatan sejarah tertentu pasti menang) dan determinisme moral (subyektivitas manusia pasti menang). Sebab, yang lebih penting adalah mempelajari bagaimana manusia pernah menang atau dikalahkan. 

Catatan lain:penulis buku The Sleepwalkers, bukanlah Arthur Roestler, melanikan Arhur Kostler (halaman 43); penemu prinsip ketidakpastian (indeterminationsprinzip) bukanlah Eisenburg, melanikan Werner Heisenberg pemenang hadiah Nobel untuk fisika tahun 1932 (halaman 44); tokoh yang mewakili philosophical intuition dalam filsafatadalah Henri Bergson, bukannya Henri Serssoh (halaman 58)

Ignas Kleden, Sosiolog


Sumber: Tempo, 17 September 1983

Dari Herry Anggoro Djatmiko (Fb

Kamis, 25 Januari 2024

,

DEMO SOPAN DAN DEMO KASAR

 


Oleh: Arief Budiman

 

Kurun 1993 ditandai dengan maraknya demonstrasi atau demo, yang dilakukan oleh para mahasiswa dan atau rakyat yang tergusur proyek “pembangunan” atau oleh anggota-anggota partai politik yang dilecehkan hak politiknya. Demo-demo itu ada yang relatif berhasil, tapi juga banyak yang belum. Demo terjadi di daerah-daerah, juga di Jakarta. Demo itu ada yang sopan, ada pula yang dianggap kasar. Akhirnya, sampai ada demo yang dituduh memakai cara-cara PKI.

Apakah demo-demo akan berlanjut pada 1994 dan tahun-tahun mendatang? Banyak orang beranggapan bahwa, untuk sebuh demo, yang dibutuhkan hanya sejumlah pemuda yang berani dan sedikit dana untuk poster dan transportasi. Tetapi, masalah demo sebenarnya tidak sesederhana itu. Demo yang berhasil, artinya mendapat perhatian dan simpati dari masyarakat, termasuk pers, membutuhkan kondisi sosial-politik tertentu. Pertama, demo membutuhkan isu yang tepat, yang populer, tapi isu itu dalam keadaan tersumbat, sementara lembaga-lembaga politik yang ada, seperti partai politik ataupun parlemen, tidak mampu menyalurkannya. Demo yang menjadi marak pada 1993 merupakan demo dengan isu populer yang mendapat banyak simpati. Demo itu bukan sekedar berita.

Kedua, demo membutuhkan sikap toleran dari aparat keamanan. Demo yang terjadi pada 1993 jelas mendapat toleransi yang cukup besar dari aparat keamanan. Itu mungkin karena aparat keamanan merasa, kondisi kehidupan politik di Indonesia sudah sangat stabil, sehingga keterbukaan bisa diberikan sedemikian jauh. Tapi, mungkin juga muncul kekuatan-kekuatan baru di kalangan aktor-aktor politik tingkat nasional, yang mau mengubah status quo politik yang ada, yang menginginkan perubahan perimbangan kekuatan politik sekarang, dan demo-demo yang terjadi merupakan manifestasi dinamika itu.

Versi resmi menyatakan, hal itu disebabkan karena pemerintah sekarang memang lebih terbuka. Tapi, pengamat politik yang jeli mengatakan, kemunculan kekuatan-kekuatan politik baru secara makin terbuka sejak Sidang MPR 1988-lah yang menjadi faktornya. Sekali lagi, apa pun penyebabnya, yang jelas, demo-demo yang muncul pada 1993 memperoleh toleransi yang besar dari aparat keamanan.

Bagaimana nasib demo di masa mendatang? Itu semua tergantung dari ketiga faktor di atas: ada pemuda-pemuda yang berani, ada isu populer yang tersendat, dan ada toleransi dari parat keamanan. Pemuda yang berani, meskipun jumlahnya tidak besar, selalu ada, kapan pun dan di mana pun. Isu-isu populer yang tersendat, tampaknya, akan semakin banyak akibat pembangunan kita yang bersifat kapitalistis, dan akibat kolusi antara pengusaha dan penguasa untuk mendapatkan keuntungan. Selain itu, ada UU Kepartaian dan Keormasan, serta UU Pemilihan Umum, yang demokratis, belum bisa diharapkan, sehingga lembaga-lembaga itu tetap akan tersumbat bagi penyaluran isu-isu populer. Konflik-konflik di tingkat atas antara kekuatan-kekuatan yang mau mempertahankan dan mengubah status quo, tampaknya juga belum akan mereda di tahun-tahun mendatang. Semua itu merupakan kondisi sosial-politik, yang akan melahirkan demo-demo.

Bagaimana dengan tuduhan bahwa demo sekarang bersifat kasar, dan sudah melanggar etika demokrasi Pancasila, bahkan sudah menggunakan cara-cara PKI? Kalau kita simak ingatan kita ke sekitar 1965, baik sebelum maupun sesudah itu, tampak, selalu ada demo yang besifat kasar. Itu terjadi di kubu PKI maupun yang bukan PKI. Pada 1966, para demonstran membawa poster bergambar anjing berkacamata dengan tulisan “Subandrio Anjing Peking”. Padahal, waktu itu, Dr. Subandrio masih menjabat menteri luar negeri. Atau juga, poster dan lagu-lagu yang liriknya menyatakan  “Tukang Copet Jadi Menteri”, yang ditujukan kepada Syafei, seorang tokoh “jagoan” Senen, Jakarta, waktu itu, yang diangkat sebagai menteri untuk menjaga keamanan dan ketertiban.

Waktu itu pun, para petinggi negara menuduh demo-demo tersebut ditunggangi, telah melanggar etika bangsa, dan sebagainya. Kalau saja, pada waktu itu, para pemuda dan mahasiswa mematuhi apa yang dikatakan para pejabat, Orde Baru mungkin tidak pernah akan hadir.

Begitulah. Tampaknya, sudah menjadi sifat para demonstran untuk menjadi kasar, dan sudah menjadi kebiasaan para pejabat negara untuk menghalangi demo atau menyatakan bahwa demo harus sopan. Tetapi, demo akan terus berjalan selama faktor-faktor yang mendukungnya masih ada. Dan, kekasaran yang sudah menjadi sifat demo akan terus ada, apakah itu dilakukan PKI atau bukan PKI.

Arief Budiman, Eks Pemimpin Demonstrasi

Sumber: FORUM KEADILAN No 20 Tahun II 20 Januari 1994

, , , , , , ,

PROBLEM HASIL TES PPPK: ANTARA LEGALITAS DAN MORALITAS

 


Oleh: NANI EFENDI

 

Kisruh tentang hasil tes PPPK sepertinya belum menemukan titik terang. Peserta tes yang merasa dizalimi masih terus berjuang untuk mendapatkan haknya. Mereka telah melakukan berbagai upaya, mulai dari menggelar demonstrasi, melaporkan ke Ombudsman, sampai kepada menyurati Presiden. Tapi, di sisi lain, pemerintah daerah sepertinya sangat percaya diri menyatakan bahwa tak ada prosedur yang dilanggar. 

Dan DPRD—yang merupakan penyambung lidah masyarakat—juga tak banyak bicara terkait problem PPPK. Mestinya DPRD, dalam menjalankan fungsi pengawasan, harus kritis mempersoalkannya. Tapi nampaknya semua bergeming (tak bersuara). Mungkin akan menjadi catatan penilaian juga bagi masyarakat untuk tak memilih mereka kembali pada pemilu 2024 ini.

Kepmendikbud 298 memberi peluang "bermain"?

Problem hasil tes PPPK yang bisa berbeda dengan perolehan CAT peserta ternyata disebabkan oleh pelaksanaan Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan (SKTT). Padahal, SKTT itu sifatnya tidak wajib. Bisa dilaksanakan, bisa juga tidak. Tergantung daerah. Untuk menjaga objektivitas, sebaiknya SKTT tak usah dilaksanakan. Biarlah peserta bersaing secara fair melalui CAT. Ada yang mengatakan: tapi SKTT tak pernah dilaksanakan? Nah, itu yang mesti dipahami melalui Kepmendikbud Nomor 298 Tahun 2023 tentang Pedoman Pelaksanaan Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan bagi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja untuk Jabatan Fungsional Guru pada Instansi Daerah Tahun 2023. 

Jadi, dalam Kepmendikbud Nomor 298, SKTT itu memang tak dilaksanakan seperti pelaksanaan tes formal semisal CAT maupun wawancara, yakni dikumpulkan dalam suatu tempat. Tidak. SKTT itu hanya penilaian yang bersifat subjektif saja. Yang bersifat “pencermatan” saja. Dan pelaksanaan seperti itu diatur, memang, dalam Kepmendikbud Nomor 298.

Kepmendikbud inilah yang kita sayangkan. Mengapa Menteri Pendidikan, melalui Kepmendikbud Nomor 298 itu, memberikan peluang lagi bagi daerah-daerah untuk melakukan penilaian secara subjektif. Padahal, esensi CAT itu adalah transparansi untuk menghindarkan subjektivitas dalam penilaian. Dan, sialnya lagi, SKTT itu terjadi hanya di kalangan PPPK untuk guru saja. Oleh karena itulah, nilai CAT yang banyak berubah itu adalah kalangan peserta PPPK guru. Karena, pelaksanaan SKTT itu didasarkan pada Kepmendikbud Nomor 298.

Jadi, Kepmendikbud inilah yang memberikan celah pada pejabat di daerah-daerah untuk "mengubah" nilai peserta melalui mekanisme yang namanya "SKTT". Artinya, secara hukum, perubahan itu “legal” atau sah secara hukum positif. Karena ada dasar hukumnya. Karena itulah mungkin pejabat daerah percaya diri menyatakan tak ada prosedur yang dilanggar. Ya, secara prosedural, mungkin ya. Tapi secara moral, Kepmendikbud ini memberi peluang bagi pejabat bisa mengubah perolehan nilai CAT peserta yang telah diperoleh dengan susah payah. Itulah yang sering dikatakan: “Dalam sistem yang baik, orang jahat bisa dipaksa menjadi baik. Tapi dalam sistem yang buruk, orang yang baik pun bisa menjadi jahat.”

Untuk lebih jelas secara teknis bagaimana bisa hasil nilai CAT berkurang atau bertambah, silakan masyarakat bisa baca sendiri Kepmendikbud 298 Tahun 2023. Bisa di-download di internet. Yang jelas saya ingin mengatakan begini: pelaksanaan tes PPPK maupun CPNS melalui CAT pada dasarnya adalah untuk menghindarkan peluang pejabat atau instansi maupun panitia seleksi untuk mengobok-obok nilai peserta. Kita tidak ingin lagi pelaksanaan tes CPNS hanya formalitas saja seperti di zaman Orde Baru. Dengan adanya sistem CAT, masyarakat puas berkompetensi secara jujur dan fair.

Lah, ini pemerintah pusat—melalui Kepmendikbud Nomor 298—kok menerapkan lagi cara-cara lama: memberikan wewenang lagi pada daerah untuk melakukan perubahan nilai CAT melalui mekanisme yang namanya “SKTT”? Ini yang kita sesalkan. Ini tak sesuai dengan semangat Reformasi ’98. 

Kepmendikbud ini memberi peluang 'moral hazard' (bahaya moral). Kepmendikbud ini, atau aturan sejenis, mesti dicabut atau direvisi agar kedepannya tak ada lagi celah pejabat di daerah untuk “mengubah” nilai peserta tes PPPK maupun CPNS. Artinya, problem PPPK guru saat ini bersumber dari dasar hukumnya itu sendiri. Padahal, menurut Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (1987, h. 85), hukum itu mempunyai fungsi untuk memanusiakan penggunaan kekuasaan. Karena adanya hukum, kata Magnis, kehidupan bersama masyarakat tidak ditentukan semata-mata oleh kepentingan mereka yang kuat, melainkan oleh suatu aturan rasional yang seoptimal mungkin menjamin kepentingan semua pihak. Tetapi, hukum hanya dapat menjalankan fungsi ini apabila aturan yang ditetapkan memang baik. Dengan kata lain, hukum harus adil.

Antara legalitas dan moralitas

Sekarang kita coba memahami perbedaan legalitas dan moralitas-etis. Jadi, secara prosedural (legalitas), perubahan nilai peserta tes PPPK khusus untuk guru, mungkin legal. Karena ada Kepmendikbud yang menjadi dasar hukumnya. Tapi secara etika-moral, banyak publik, hingga hari ini, tak percaya kalau penilaian itu benar-benar jujur dan adil. Di situlah terkadang sering bertentangan antara hukum positif (legalitas) dan etika (moralitas). Tak semua yang berdasarkan hukum adalah benar secara moral. Karena Nazi membantai jutaan orang Yahudi juga berdasarkan undang-undang. 

Singkatnya begini saja: beranikah pejabat terkait, mengangkat sumpah, semisal mubahalah, bahwa mereka memberi penilaian secara jujur dan adil bukan karena ada permainan uang di belakangnya? Kalau pejabat terkait berani melakukan itu, mungkin masyarakat percaya. Tapi kalau tidak, sampai kapan pun masyarakat tak akan percaya bahwa penilaian benar-benar jujur dan fair.

Saya pikir lebih adil mengabaikan SKTT yang hanya bersifat legal-formal itu demi sesuatu yang lebih tinggi, yakni moralitas dan etika publik. Dan sebagai penutup, saya ingin mengutip kata-kata filsuf Yunani kuno, Plato. Kata ini, saya pikir, sangat relevan dengan problem PPPK hari ini. Kata Plato, "Orang-orang baik tidak memerlukan hukum untuk bertindak secara bertanggungjawab, sementara orang jahat selalu mencari-cari celah di dalam hukum." Maksud Plato ini: kalau seseorang memang sudah beritikad baik, ada tidaknya hukum yang mengatur, tetap ia berusaha berbuat baik; tapi sebaliknya, bagi orang yang berkarakter jahat, sekalipun sudah ada hukum yang mengatur, tetap ia berusaha mencari-cari celah di dalam hukum itu agar tujuannya bisa tercapai.

NANI EFENDIAlumnus HMI


Rabu, 24 Januari 2024

, ,

INTELIGENSIA INDONESIA

 


Oleh: Ignas Kleden

 

Dalam pengertian yang disederhanakan, inteligensia adalah kaum terpelajar dan terdidik yang berperan sebagai ujung tombak perubahan dan pembaruan masyarakatnya. Di pihak lain, kita mendapati kaum literati yang berperan sebagai benteng pertahanan nilai, norma, dan perilaku budaya. Mereka ini terpanggil merawat dan melestarikan nilai-nilai dan bentuk kebudayaan, khususnya dalam seni dan sastra, menurut pakem-pakem yang berlaku dalam tradisi. Sebaliknya, kaum inteligensia merasa terpanggil untuk menerobos batas-batas tradisi sebagai prasyarat bagi pembentukan masyarakat baru.

Ketika Sutan Takdir Alisjahbana (STA) berpolemik dengan guru-guru bahasa Melayu yang merasa harus setia kepada paramasastra Melayu, sementara STA membuka kemungkinan baru dalam pemakaian bahasa Indonesia, maka di sana terjadi polemik antara inteligensia dan literati. Sama halnya dalam debat dengan lawan-lawannya dalam Polemik Kebudayaan, dia bertindak sebagai inteligensia yang menganjurkan pembentukan kebudayaan Indonesia baru berdasarkan etos kebudayaan Barat, sambil mendesak agar kebudayaan lama dalam tradisi ditinggalkan saja sebagai kebudayaan pre-Indonesia. Sikap ini jelas memancing reaksi para literati yang melihat pentingnya tradisi dalam kebudayaan Indonesia, baik karena tradisi itu sudah berfungsi selama ratusan tahun maupun karena kebudayaan Barat memperlihatkan berbagai ekses yang dapat merugikan kebudayaan Indonesia.

STA hanya salah satu contoh. Kebangkitan gerakan kebangsaan di Hindia Belanda sejak dasawarsa pertama abad ke-20 telah digerakkan para inteligensia. Para Ibu dan Bapak Bangsa, seperti Kartini, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Cokroaminoto, Haji Agus Salim, ataupun Sam Ratulangi adalah kaum inteligensia yang lahir dari pendidikan Barat hasil Politik Etis pemerintah kolonial, yang kemudian mengambil jarak dari tradisi politik kolonial yang intinya menciptakan rust en orde, yaitu ketenangan dan ketertiban di seluruh koloni. Dengan segala cara, kaum inteligensia berusaha membuka mata bangsanya bahwa ideal masyarakat yang tenang dan tertib hanya opium yang membuat orang tak sadar lagi tentang demikian banyak penderitaan, ketidakadilan, pemerasan, dan kehinaan yang diterima begitu saja oleh penduduk pribumi, yang merasa harus ikut bertanggung jawab atas terciptanya ketenangan dan ketertiban.

Diperlihatkan diskriminasi dan ketidakadilan yang terwujud dalam berbagai sektor. Di bidang sosial diciptakan diskriminasi rasial dalam pembagian kerja antara penduduk Eropa, penduduk Timur Asing, dan penduduk pribumi, sementara orang banyak dibius dalam diskriminasi ini melalui penamaan ilmiah yang keren, seperti ethnically stratified division of labor atau pembagian kerja berdasarkan stratifikasi etnik. Dalam ekonomi diperkenalkan dualisme ekonomi, dengan penjelasan bahwa ekonomi kolonial yang berorientasi ekspor harus dipisahkan dari ekonomi penduduk yang subsisten, yang menjamin ketenangan penduduk di pedesaan, karena ekonomi pasar tidak boleh mengganggu kerukunan hidup penduduk.

Dalam bidang bahasa, diciptakan diskriminasi linguistik. Pribumi, khususnya anak-anak bangsawan lokal diberi kesempatan belajar bahasa Belanda, tetapi dalam pergaulan sehari-hari penduduk setempat dilarang bicara Belanda dengan tuan-tuan Belanda, dan hanya boleh mempergunakan bahasa Melayu, seakan bahasa Belanda terlalu mulia dipergunakan oleh para inlander. Dalam bidang politik dilancarkan secara gencar politik pecah-belah atau divide et impera melalaui konflik dan persaingan yang direkayasa dan didorong antara para raja di berbagai kerajaan Nusantara, dan antara para bangsawan dan rakyat jelata. Pendidikan dibatasi hanya untuk anak-anak bangsawan atau para pejabat pribumi yang bergaji cukup, sementara patriarki dalam tradisi kebudayaan lokal diperkuat dengan membatasi pendidikan kaum perempuan.

Kesadaran kebangsaan

Kesimpulan para inteligensia: semua ketidakadilan, diskriminasi, penderitaan, dan kehinaan itu telah lahir dari satu kenyataan yag sama, yaitu hilangnya hak-hak suatu bangsa untuk menentukan dan mengatur dirinya sendiri, dan menggantungkan nasibnya pada kekuasaan bangsa lain. Perlahan lahir kesadaran kebangsaan. Ahli politik Ben Anderson menjadi masyhur di antara ahli ilmu sosial di seluruh dunia dengan definisinya tentang bangsa sebagai komunitas politik yang hanya terbayangkan karena sebagian besar anggotanya tak pernah bertemu dan tak saling mengenal, tetapi sama-sama merasa anggota suatu komunitas politik yang sama. Namun, jauh sebelumnya, Soekarno bertolak dari paham lain dan berpegang pada definisi Otto Bauer: eine Nation ist eine aus Schicksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinshaft.

Soekarno menegaskan, bangsa lahir dari persatuan yang membawa persatuan perangai. Betapa pun menariknya argumen akademis dan teoritis yang diajukan Ben Anderson, suatu bangsa yang sedang bergolak tak dapat dikobarkan semangatnya jika kepada mereka dimaklumkan bangsa adalah an imagined political community. Dalam pengertian Soekarno, suatu bangsa tak lahir dari bayangan tentang suatu komunitas politik, tetapi dari pengalaman tentang penderitaan yang sama, nasib sama, yang akhirnya menghasilkan perangai sama disertai tekad sama.

Lahir kemudian berbagai inisiatif untuk pembebasan sekaligus dibangun kesadaran nasionalis tentang hak suatu bangsa untuk mengatur dirinya sendiri, dan dengan cara itu menciptakan martabat di antara bangsa-bangsa lain di dunia sebagai bangsa dan negara merdeka. Hatta dan Sjahrir memberikan kursus-kursus untuk mendidik kader agar menguasai kepandaian teknis dan administratif sehingga para kader ini kelak sanggup mengambil alih administrasi pemerintahaan dari tangan administrator kolonial. Soekarno, lewat pidato-pidato yang gempar, menekankan perlunya persatuan semua golongan sebagai sarana melumpuhkan tipu muslihat adu domba yang memecah-belah, dan sekaligus mengerahkan massa rakyat untuk bersatu padu dalam machtsvorming (pembentukan kekuatan politik).

Kartini, lewat surat-suratnya, membuka pintu emansipasi bagi kaum perempuan dan mendorong pendidikan politik untuk mereka. Tan Malaka mendirikan sekolah untuk anak-anak buruh perkebunan dan mengajarkan bahwa tenaga kerja adalah faktor produksi yang sama penting dengan modal tuan-tuan besar pemilik perkebunan sehingga mereka harus berani dan sanggup membela tenaga kerja mereka berdasar asas keadilan menurut hukum berlaku. Cokroaminoto dan Agus Salim mendidik umat bahwa Islam memuliakan persamaan dan keadilan dan dapat jadi tempat perlindungan bagi mereka yang terdiskriminasi dan tertindas, sementara agama adalah ruang suci yang tak bisa diterobos oleh kekuatan asing.

Tentu saja tak dapat dikatakan, kaum inteligensia Indonesia 1930-1940-an adalah satu-satunya pihak yang membawa Indonesia kepada kemerdekaan. Ada begitu banyak golongan yang terlibat dalam perjuangan itu: para pemuda revolusioner, pemimpin agama, para saudagar, khususnya saudagar Islam yang terorganisasi dalam Serikat Dagang Islam, para pejuang gerilya, serta para buruh dan tani. Namun, kaum inteligensia telah memberikan inspirasi pertama tentang kebangsaan dan kemerdekaan, dan memimpin perjuangan sepanjang jalan. Merekalah yang membuka mata rakyatnya terhadap perlunya kemerdekaan politik, kemerdekaan budaya, kemerdekaan ekonomi, kemerdekaan linguistis, serta kemerdekaan dalam pertahanan dan keamanan. Jenderal Sudirman adalah seorang guru, seorang inteligensia, yang kemudian bersinar sebagai idola bagi perjuangan bersenjata. 

Apa dan siap kaum inteligensia

Tak semua intelektual dan akademisi berperan sebagai inteligensia. Kelompok Mandarin dalam kekaisaran Tiongkok adalah intelektual yang terdidik dan terpelajar secara literer dan humanistis. Mereka punya pengetahuan mendalam tentang sastra dan kebudayaan, tetapi pengetahuan ini menjadi prasyarat agar mereka diterima dalam salah satu dari sembilan tingkat kepegawaian dalam birokrasi Tiongkok klasik. Mereka berperan sebagai literati, tetapi bukan inteligensia.

Dalam sejarah intelektual di Barat, di bawah pengaruh zaman Romantik, dengan Rousseau di Perancis sebagai eksponen utama, muncul kelompok yang bukan saja melepaskan diri dari rasionalisme masa Pencerahan, tetapi juga dari basis sosial borjuasi baru, dan menjadi apa yang oleh sosiolog Karl Mannheim dinamakan sozial freischwebende Intellektuelle yang diterjemahkannya sendiri ke bahasa Inggis sebagai socially unattached intellectuals atau yang boleh kita namakan free-floating intellectuals. Mereka bukanlah intelektual organik dalam pengertian Gramsci, yaitu mereka yang merumuskan aspirasi kelasnya dan menjadi juru bicara kelas.

Inteligensia yang hidup di masa Romantik hidup dengan pandangan yang romantis dalam kondisi ekonomis labil. Secara intelektual, mereka tak utamakan pengetahuan sistematis yang tersusun rapi tentang keadaan masyarakatnya, tetapi mengimpikan dan mendorong orang ke suatu susunan masyarakat lain yang baru. Untuk mereka, sikap romantis suatu kekuatan. Mannheim mengutip Novalis penyair Jerman yang hidup akhir abad ke-18 dan mewujudkan semangat romantik dalam sajak-sajaknya. Kata Novalis, “Bersikap dan berlaku romantis tak lain dari meningkatkan potensi seseorang secara kualitatif. Diri yang rendah diidentifikasikan sebagai diri yang lebih baik dalam sikap ini.... Karena tatkala melihat nilai yang tinggi dalam sesuatu yang banal, memberi wibawa yang penuh rahasia kepada pada yang remeh temeh, menemukan martabat dari sesuatu yang tak dikenal dalam apa yang dikenal, dan memandang yang fana seolah-olah suatu yang abadi, maka saya bertindak romantis.”

Intelektual yang berperan sebagai inteligensia tak menjadi tawanan masa sekarang, tetapi jadi perintis masa depan. Mengutip filosof Ernst Bloch, mereka bukanlah orang yang menikmati dan mempertahankan apa yang ada, tetapi mengambil risiko mewujudkan yang belum ada. Ini bukan ideal khayali. Soekarno tak membangun kantor konraktor bangunan, tetapi menceburkan diri dalam usaha pembangunan lain yang bernama nation building. Agus Salim sebagai polyglot yang mendekati genius, tak mendirikan sekolah bahasa asing atau jadi juru bahasa tingkat tinggi, tetapi bergiat sebagai pejuang yang mencerdaskan rakyat melalui berbagai tulisan. Hatta tak menyewakan tenaganya sebagai konsultan ekonomi atau bankir, tetapi memberi pendidikan untuk koperasi bagi rakyat, dan bersama Sjahrir mendidik para kader politik. Sam Ratulangi tak melamar jadi guru besar matematika, tetapi memimpin perjuangan politik di daerah.

Semua ini dikatakan tak untuk menafikan pentingnya profesionalisme, kepandaian teknis, atau keahlian para spesialis bagi kemajuan bangsa. Namun, perlu diingat kembali, Indonesia tak akan bangkit berdiri sebagai bangsa dan negara kalau kaum yang paling terpelajar dan terdidik pada suatu masa yang genting tak mengutamakan kemajuan diri mereka dan mantapnya basis ekonomi dan sosial yang dimungkinkan untuk mereka berkat keahlian yang dikuasai, tetapi memilih menjadi freischwebende Intellektuelle seperti kata sosiolog Mannheim, dan mencoba jadi inteligensia yang berenang dan mengambang di antara beberapa kemungkinan yang sempit, memperkenalkan ide baru tentang kebangsaan dan kemerdekaan, yang untuk bangsanya sendiri pada saat itu, barangkali merupakan gagasan asing yang dianggap hanya menggantang asap.

 

Dalam lintasan sejarah modern Indonesia, para inteligensia pada awal abad ke-20 adalah mereka yang terlibat dalam perjuangan politik dengan menjadi penggagas nasionalisme dan kemungkinan untuk merdeka. Pada tahun-tahun pertama setelah kemerdekaan, mereka merelakan diri menjadi statesmen, yaitu negarawan yang memimpin bangsa dan negaranya, hidup dalam keadaan ekonomi serba compang-camping bersama rakyatnya dan membangun kepercayaan diri bangsanya untuk tegak berdiri. Pada zaman Demokrasi Terpimpin dan sesudahnya, mereka jadi kelompok yang berjuang dalam partai-partai politik yang yakin bahwa ideologi masing-masing adalah jalan terbaik membawa Indonesia menuju kemajuan.

Pada zaman Orde Baru, kaum terpelajar amat dibutuhkan oleh administrasi pemerintahan Soeharto dan diserap dalam administrasi pemerintahan Orde Baru. Ideologi dianggap momok yang menghalangi pembangunan ekonomi. Pembangunan diterjemahkan jadi teknokrasi, ibarat mesin yang tiap bagiannya harus dijalankan oleh masing-masing insinyur berijazah khusus. Pada masa reformasi, kaum terpelajar memilih di antara tiga kemungkinan tersedia, jadi bagian dari administrasi pemerintahan, bergabung dengan kekuatan politik dalam parpol, atau mencari basis sosial dalam dunia industri dan bisnis sebagai tenaga ahli atau konsultan yang dibayar mahal. Inteligensia adalah bagian sejarah lahirnya suatu bangsa dan negara merdeka. Peran ini tak boleh hilang karena orang enggan hidup dengan mengambil risiko labilnya basis sosial-ekonomi yang jadi zona nyaman untuk hidupnya sendiri. Peran ini layak dipertahankan agar kita tak mengulang teriakan dan ratapan bangsa Jerman setelah kalah Perang Dunia II dengan menyanyikan elegi baru bagi negeri ini, noch ist Indonesien nicht verloren, Indonesia belum kalah dan belum hilang lenyap.

IGNAS KLEDEN, Sosiolog

Sumber: Kompas, 19 Februari 2016

Sabtu, 06 Januari 2024

, ,

Konflik STIA NUSA: Belajar dari Arief Budiman

 

Oleh: Nani Efendi

 

Konflik internal di kampus STIA Nusa Sungai Penuh sepertinya belum menemukan titik terang. Pihak Yayasan Pendidikan Tinggi Sakti Alam Kerinci (YPTSA) yang menaungi perguruan tinggi tersebut tetap bersikukuh dengan aturan yang mereka miliki, yakni Ketua STIA Nusa tak boleh terlibat politik praktis. Di sisi lain, Ketua STIA Nusa yang diberhentikan, tak mau mengundurkan diri dari jabatannya. Persoalan yang sebenarnya sederhana, tapi seakan tak mampu diselesaikan secara jernih.

Padahal, menurut saya, ini persoalan yang tak terlalu rumit: tinggal dikembalikan kepada peraturan yang berlaku serta sikap yang bijaksana. Di samping aturan formal—mulai dari UU tentang Yayasan, peraturan yayasan, statuta STIA Nusa, dan lain sebagainya—juga dituntut jiwa besar dari pihak-pihak yang berkonflik. Karena STIA Nusa itu adalah lembaga akademis, maka setiap persoalan mestinya juga bisa diselesaikan dalam nuansa akademis.

Kembali ke aturan yang berlaku

Insan akademis itu salah satu cirinya adalah selalu berpikir kritis, objektif, ilmiah, bukan "adu kuat", apalagi "ngotot-ngototan". “Seorang terpelajar sudah harus berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan,” kata Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Bumi Manusia (1980). Kalau ada yang benar-benar bersalah, yang secara akal sehat bisa diterima berdasarkan fakta-fakta yang ada, ya sudah, tinggal diikuti aturan main yang berlaku. Dalam konteks ini, STIA Nusa sebagai perguruan tinggi di bidang administrasi, sebenarnya ditantang dan diuji kualitasnya oleh masyarakat: apakah perguruan tinggi ini mampu menyesaikan konflik—yang pada hakikatnya adalah urusan administrasi—atau malah sebaliknya.

Berdasarkan sumber yang saya dapat dari Jambiupdate.co, konflik berawal dari pemberhentian Ketua STIA Nusa oleh pihak Yayasan. Hal itu dilakukan Yayasan karena Ketua STIA Nusa ikut berkompetisi sebagai calon legislatif untuk DPRD pada pemilu 2024. Artinya, dengan begitu, ia sudah bergabung dengan partai politik. Secara aturan, sebagaimana dijelaskan dari Jambiupdate.co, pimpinan STIA Nusa tak boleh terlibat partai politik.[1] Dan tak hanya memberhentikan dari posisi Ketua, Yayasan juga memberhentikannya sebagai dosen di kampus STIA Nusa.[2]

Tapi, di sisi lain, pengangkatan Plt. Ketua yang baru, juga menuai kontroversi. Proses itu dianggap cacat aturan, karena dinilai tak dilakukan melalui rapat senat.[3] Pertanyaannya, siapa yang salah dan yang benar dalam persoalan ini? Diperlukan analisis secara jernih dalam sikap akademis. Secara hukum positif, yang berwewenang memutus siapa yang benar-salah adalah pengadilan. Tapi, sebagai perguruan tinggi, STIA Nusa saya pikir sudah seharusnya bisa lebih dewasa menyelesaikan persoalan. Terlebih jika ada dasar aturan yang sudah mengatur secara jelas. Tinggal dipatuhi saja. 

STIA Nusa adalah perguruan tinggi yang berada di bawah naungan yayasan. Terhadap kebijakan strategis kampus, saya pikir, yayasanlah yang punya wewenang untuk mengatur. Tapi, yayasan pun harus tetap berdasarkan peraturan yang berlaku. Tak boleh juga mengambil keputusan sewenang-wenang. Itulah hakikatnya bernegara hukum. Intinya, semua pihak kembali ke peraturan dan mematuhi aturan secara sportif.

Belajar dari Arief Budiman

Persoalan STIA Nusa ini mengingatkan saya pada konflik yang pernah terjadi di internal kampus Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Jawa Tengah, di era Orde Baru pada 1993-1995. Peristiwa itu diulas secara mendalam di Majalah Lentera, Nomor 4/November 2016. Konflik diawali oleh pemilihan rektor yang dianggap tak demokratis dan curang. Ujung konflik di UKSW itu adalah dipecatnya Arief Budiman—aktivis Angkatan ’66 yang sangat legendaris itu yang juga merupakan sosiolog jebolan Harvard University—sebagai dosen, karena sikap kritisnya.[4] Arief dipecat oleh pihak Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana (YPTKSW) karena dianggap berseberangan dengan pihak yayasan.[5] Dosen-dosen para pendukung Arief pun diskors dengan status tak jelas.[6]

Tapi, meski mendapat simpati dan dukungan dari banyak civitas academica, Arief Budiman yang terkenal kritis dan vokal terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru itu pun akhirnya menerima keputusan yayasan terhadap pemecatan dirinya. Arief berjiwa besar. Ia sadar: bukan di kampus UKSW saja tempat ia bisa hidup. Karena itu, Arief punya tekad membuktikan kehebatannya: ia memutuskan hijrah ke Australia dan mengajar di Negara Kanguru itu hingga menjadi profesor di University of Melbourne, Australia. Jiwa besar seorang Arief Budiman, dalam konteks ini perlu dicontoh, bahwa kampus adalah lembaga terhormat yang tak perlu dikotori dengan "perebutan kekuasaan".

Intinya, konflik saling klaim pihak Yayasan dan pihak akademik di kampus STIA Nusa mesti segera diakhiri. Masa depan STIA Nusa menjadi taruhannya. Karena, di atas konflik antara pihak yayasan dan pihak akademik, ada kepentingan yang lebih besar: kepentingan masyarakat Kerinci dan Sungai Penuh terhadap pendidikan tinggi yang bermutu. Mahasiswa dan dosen, dalam konteks ini, menurut saya adalah pihak yang paling dirugikan dari konflik internal kampus. Itu yang mesti disadari. Artinya, jika konflik terus berlanjut, dampak jangka panjang adalah timbulnya ketidakpercayaan masyarakat (public distrust) terhadap lembaga pendidikan STIA Nusa itu sendiri.

Pada gilirannya nanti, minat masyarakat untuk kuliah di kampus itu pun akan menurun. Jika itu terus berlanjut, kampus bisa tutup. Semua dosen pun terancam kehilangan tempat mengajar. Oleh karenanya, para dosen yang masih punya akal sehat, harus terlibat aktif menjernihkan persoalan. Dan yang tak kalah penting adalah peran mahasiswa itu sendiri. Tak etis mahasiswa STIA Nusa itu sendiri menjadi pendukung salah satu pihak yang berkonflik. Mahasiswa, dalam konteks ini, mestinya menjadi penengah: tugasnya adalah meminta pada kedua belah pihak agar tegak lurus pada peraturan yang berlaku. Lakukan kajian dan bedah peraturan yang ada. Karena itu menyangkut kepentingan yang lebih besar: hak atas pendidikan tinggi yang berkualitas.[7]

NANI EFENDI, Alumnus HMI

Rujukan:

1. https://www.jambiupdate.co/read/2023/11/15/109935/elyusnadi-dan-mat-ramawi-saling-klaim-kisruh-dualisme-ketua-stia#:~:text=Hal%20ini%20setelah%20Plt%20Ketua,Daftar%20Calon%20Legislatif%20(DCT)

 

2. Eliyusnadi Diberhentikan dari Dosen Tetap STIA Nusa Kerinci – Kerinci Time

 

3. https://jambilink.com/bikin-gaduh-sri-eliyanti-akan-dipolisikan/)

 

 4. Majalah Lentera, Nomor 4/November 2016.

 

 5. Sambut Tahun Yobel, UKSW Minta Maaf ke Arief Budiman, dalam www.satuharapan.com

 

6. https://www.rri.co.id/daerah/451016/demo-mahasiswa-stia-nusa-sungai-penuh-kerinci-belangsung-tertib-ini-isi-tuntutan-mahasiswa

 

 7. Kenangan Ariel Heryanto Untuk Sahabatnya Intelektual Politik Arief Budiman - ABC News


8. Toer, Pramoedya Ananta, Bumi Manusia, Jakarta: Lentera Dipantara, 2006.

 

Catatan kaki:


[1] lihat "Elyusnadi dan Mat Ramawi Saling Klaim, Kisruh Dualisme Ketua STIA Nusa" dalam https://www.jambiupdate.co/read/2023/11/15/109935/elyusnadi-dan-mat-ramawi-saling-klaim-kisruh-dualisme-ketua-stia#:~:text=Hal%20ini%20setelah%20Plt%20Ketua,Daftar%20Calon%20Legislatif%20(DCT)

[2] Lihat, Eliyusnadi Diberhentikan dari Dosen Tetap STIA Nusa Kerinci – Kerinci Time

[3] lihat https://jambilink.com/bikin-gaduh-sri-eliyanti-akan-dipolisikan/)

[4] Arief Budiman adalah kakak kandung aktivis Soe Hok Gie. Ia mendapat gelar Ph.D dari Harvard University pada 1980. Arief ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan pada  1963 dalam upaya menentang LEKRA. LEKRA dianggap memasung kreativitas kaum seniman. Arief adalah aktivis yang sudah aktif dalam politik Indonesia sejak ia menjadi mahasiswa pada tahun 60-an.

[5] Lihat Majalah Lentera, Nomor 4/November 2016.

[6] Sambut Tahun Yobel, UKSW Minta Maaf ke Arief Budiman - Satu Harapan

[7] https://www.rri.co.id/daerah/451016/demo-mahasiswa-stia-nusa-sungai-penuh-kerinci-belangsung-tertib-ini-isi-tuntutan-mahasiswa