alt/text gambar
Tampilkan postingan dengan label Tokoh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 November 2023

, ,

Tokoh yang Belajar Filsafat

Filsafat menjadikan seseorang berpikir kritis. Berikut ini beberapa contoh orang-orang (tokoh) yang kritis karena mereka mempelajari filsafat. Berikut ini hanyalah sedikit contoh saja. Mereka itu antara lain:

Bung Hatta, 

Tan Malaka, 

D.N. Aidit, 

Daoed Joesoef (https://amp.kompas.com/ekonomi/read/2018/01/24/103352926/mengenang-daoed-joesoef-profesor-yang-pilih-kuliah-ke-perancis-ketimbang-as), 

Franz Magnis-Suseno, 

K. Bertens, 

Goenawan Mohamad, 

Yusril Ihza Mahendra (S1 Hukum, UI, berbarengan dg S1 Filsafat; S2 Filsafat, Pakistan; S3 Ilmu Politik, Malaysia; S3 Filsafat, UI https://vt.tiktok.com/ZSNjC9t97/), 

Ignas Kleden, 

A.M. Hendropriyono, 

Rocky Gerung, 

Nurcholish Madjid, 

Fazlur Rahman (profesor filsafat di Chicago, gurunya Cak Nur), 

Gus Dur (https://jabar.nu.or.id/ngalogat/persinggungan-gus-dur-dengan-filsafat-gFVY5), 

Luthfi Assyaukanie, 

Komaruddin Hidayat, 

F. Budi Hardiman, 

A. Setyo Wibowo, 

Fuad Hassan, 

Dian Sastrowardoyo, 

Sujiwo Tejo, 

A. Sonny Keraf, 

Manuel Kaisiepo, 

Ayu Utami, 

Budhy Munawar-Rachman (STF Driyarkara),

F.X. Mudji Sutrisno (S-1-nya di STF Driyarkara),

Simon Petrus Lili Tjahjadi (S1 di STF Driyarkara)

Sindhunata (S1 di STF Driyarkara), 

Alois A. Nugroho (S1 di STF Driyarkara), 

A. Sudiarja  (alumni STF Driyarkara), 

J. Sudarminta (S1 di STF Driyarkara), 

Rieke Diah Pitaloka (S1 Filsafat STF Driyarkara, S2 Filsafat UI), 

Ulil Abshar Abdalla (STF-Driyarkara),

Martin Suryajaya (STF Driyarkara) 

Robertus Robert, 

Zuhairi Misrawi, 

Karlina Supeli, 

Fahruddin Faiz, 

Yahya Waloni, 

Gadis Arivia, 

Donny Gahral Adian, 

Lucius Karus, 

Ahmad Syafi'i Maarif, 

Nezar Patria, 

Ali Syariati, 

Arief Budiman, 

Romo Benny Susetyo (Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi [STFT] Widya Sasana Malang), dan banyak tokoh hebat lainnya. Di Kerinci ada Emil Peria sebagai contoh.


Minggu, 08 Oktober 2023

, , , , , , , , ,

PENGANGKATAN PJ BUPATI: HARUSKAH MEMPERHATIKAN ASPIRASI MASYARAKAT?

Oleh: NANI EFENDI


Pilkada serentak di seluruh Indonesia masih relatif lama: 27 November 2024. Oleh karena itu, bagi daerah yang masa jabatan bupatinya telah berakhir sebelum pilkada, akan ditunjuk Pj Bupati sampai terpilihnya bupati definitif. Di beberapa daerah, persoalan penentuan Pj Bupati sudah menjadi isu politik yang krusial. Bahkan, di daerah tertentu, terjadi penolakan oleh sekelompok masyarakat terhadap nama-nama calon Pj Bupati yang diusulkan oleh DPRD Kabupaten. 

Sekelompok masyarakat menolak beberapa nama calon Pj Bupati karena dianggap tak mencerminkan aspirasi masyarakat. Pertanyaannya, apakah pengangkatan Pj Bupati suatu daerah mesti memperhatikan aspirasi masyarakat? Bukankah Pj itu hanyalah sebatas jabatan administratif ASN, yang bersifat penugasan, bukan jabatan politik yang dipilih melalui mekanisme pemilihan umum?

Apa itu Pj Bupati?

Pj adalah singkatan dari "Penjabat", bukan "Pejabat". Harus dibedakan istilah "penjabat" dan "pejabat". “Penjabat” artinya orang yang menjabat untuk sementara, menunggu terpilihnya pejabat definitif. Pj Bupati bukanlah jabatan politik yang dipilih oleh masyarakat secara langsung melalui mekanisme demokrasi, yakni pilbup. Ia hanyalah “jabatan administratif” pemerintahan yang berasal dari ASN. Karena itu, untuk menjadi Pj, syaratnya haruslah seorang ASN aktif.

Karena bukan jabatan politik, maka Pj tak memiliki wewenang seluas wewenang bupati definitif. Salah satu contoh, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Pj Bupati dilarang melakukan mutasi ASN. Ia juga dilarang membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan oleh pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan bupati sebelumnya.

Pj Bupati dilarang membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan bupati sebelumnya. Juga Pj Bupati tak boleh membuat kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan bupati sebelumnya. Ini artinya apa? Artinya, Pj tak lebih sebagai "pelaksana tugas (plt)" administratif pemerintahan daerah menunggu dipilihnya bupati melalui pilbup.

Tapi, dan ini yang harus dipahami, meskipun wewenangnya terbatas, dalam praktiknya, Pj Bupati saat ini sudah bisa disebut "setengah bupati". Bahkan, di daerah tertentu, Pj sudah "rasa bupati", bergaya bupati, dan dipanggil sebagai "Pak Bupati". Saya terkadang merasa lucu juga mendengar orang memanggil seorang Pj dengan sebutan "Pak Bupati". “Sejak kapan ia dipilih oleh masyarakat,” pikirku. Bukankah ia hanya seorang pegawai ASN, tak ubahnya seorang sekda, kepala dinas, kepala instansi, dan semacamnya? Mestinya Pj dipanggil "Pj" saja, bukan "bupati". Karena ia memang bukan bupati. Pj itu hanyalah seorang ASN, bukan pejabat politik yang dipilih berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat dalam demokrasi.

Namun demikian, dalam praktik, Pj juga punya peran besar yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Bahkan, sebagaimana saya sebutkan di atas, ia seolah-olah menjadi "setengah bupati". Artinya, saat ini, Pj tak bisa juga dipandang sebagai ASN belaka. Pj memiliki tugas, kewenangan, kewajiban, dan larangan yang sama dengan tugas, wewenang, kewajiban, dan larangan bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah. Walaupun dalam hal-hal tertentu wewenangnya terbatas dan tak bisa bertindak layaknya bupati definitif sebagaimana yang saya jelaskan di atas.

Dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban, Pj Bupati juga memiliki hak keuangan dan hak protokoler yang setara dengan kepala daerah definitif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam perspektif negara hukum demokratis, ada benarnya juga Pj itu diangkat dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.

Masyarakat, dalam perspektif politik, menurut saya, idealnya memang harus didengarkan aspirasinya dalam pengangkatan Pj. Karena Pj tak bisa dipandang sebagai pegawai administratif ASN biasa. Pj punya akses luas dan pengaruh besar dalam memimpin administrasi pemerintahan daerah. Karena itulah mekanisme pengusulannya ke presiden tak murni dari menteri, maupun gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Pj juga diusulkan melalui mekanisme politik oleh DPRD Kabupaten. Nah, kalau sudah melibatkan DPRD, berarti Pj tak murni lagi jabatan ASN. Ia sudah bermuatan politik.

Kalau sudah bermuatan politis, maka masyarakat berhak ikut terlibat dalam penentuan Pj Bupati. Protes masyarakat dalam pengusulan Pj Bupati, menurut saya, tidaklah keliru. Oleh karena itu, dalam pengusulan nama-nama Pj Bupati, DPRD—yang merupakan wakil rakyat—mesti mendengarkan pertimbangan, masukan, dan aspirasi masyarakat. DPRD Kabupaten semestinya membuka ruang-ruang diskusi publik terkait nama-nama yang dinilai layak untuk menjabat Pj Bupati. Mesti ada transparansi dan penjelasan rasional: mengapa si A, mengapa tidak si B, si C, dan seterusnya.

Mekanisme pengangkatan Pj Bupati

Ada yang mengatakan wewenang itu ada pada gubernur. Ada juga yang mengatakan wewenang itu dimiliki oleh DPRD Kabupaten. Padahal, DPRD Kabupaten hanya sebatas punya kewenangan mengusulkan, bukan menetapkan. Yang punya kewenangan mengangkat dan menetapkan Pj Bupati adalah Presiden. Bagaimana mekanismenya? Mekanisme pengangkatan Pj Bupati diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Wali Kota.

Pengusulan Pj Bupati dilakukan oleh Menteri, gubernur, dan DPRD melalui ketua DPRD kabupaten. Menteri mengusulkan 3 (tiga) orang calon. Gubernur juga dapat mengusulkan 3 (tiga) orang calon. Dan DPRD melalui ketua DPRD kabupaten dapat juga mengusulkan 3 (tiga) orang calon Pj Bupati yang memenuhi persyaratan kepada Menteri. Nama yang diusulkan bisa berjumlah 9 (sembilan) orang. Kemudian dilakukan pembahasan oleh Mendagri dan mengerucut menjadi 3 (tiga) nama. Mendagri menyampaikan 3 (tiga) nama usulan calon Pj Bupati kepada Presiden melalui Mensesneg untuk dipilih satu di antara tiga nama. Pengangkatan Pj Bupati ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Jadi, kalau dilihat dari dasar hukumnya, yakni Permendagri Nomor 4 Tahun 2023, wewenang pengusulan itu ada pada Mendagri. Gubernur dan DPRD hanya sebatas “dapat” mengusulkan. Keputusan ada di tangan Presiden. Tapi, sebagaimana yang saya jelaskan di atas, karena Pj bisa menjadi “setengah bupati”, maka idealnya, pertimbangan dan aspirasi masyarakat kabupaten yang bersangkutan—yang diusulkan melalui DPRD Kabupaten—menjadi bahan pertimbangan yang harus diperhatikan. Bagaimanapun, Indonesia adalah negara demokrasi, yang kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat.

NANI EFENDI, Alumnus HMI


Sabtu, 16 September 2023

,

Tokoh-tokoh Nasional yang Menguasai Bahasa Inggris dan Asing Lainnya

Bung Karno (Inggris, Belanda), Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Ir. Djuanda (https://youtu.be/wi4wX-hZ8b0?si=oXfTRNFrx2RhqGJq), Mr. Sjafruddin Prawiranegara (Belanda: https://youtu.be/NbGsrvto7Fo?si=y-E8LLWTkwYQBWnk), Ali Sastroamidjojo, Amir Sjarifuddin (Belanda, Inggris, Prancis), Dr. Subandrio (https://youtu.be/Nt9QyH1b2H4?si=OdKtyVelg-vURPDm ; https://youtu.be/8fXaVuGm87o?si=0MM75-4aoSJH0aqY), A.H. Nasution (Inggris, Belanda), Jend. TB. Simatupang (Belanda), Ahmad Yani, Sultan HB IX (https://youtu.be/UUJc8BtkFac?si=fJGJgwaTxfxVwx5g), Adam Malik (https://youtu.be/48rI388Gsjs?si=y5RlJMp1Yj9F45nq/  https://youtu.be/zrQpWfjwSlw?si=dn-a64DS3fl7V_5X ; https://youtu.be/0cUpWxTf_bE?si=B7Fu00Se-Qmtu99w), Habibie (Inggris, Jerman), Gus Dur (Inggris, Arab), Megawati (https://youtu.be/vSMQavBZjr4  menit ke 17), SBY, Cak Nur (Inggris, Arab), Amien Rais, Kwik Kian Gie (Inggris, Belanda) https://youtu.be/ZqgP_GyrVao), Gubernur Ali Sadikin (menempuh pendidikan militer di US Marine Corps School, Amerika Serikat, https://youtu.be/W8SiYSUKzSM?si=M4roXkYWFye4-hbY), Marzuki Usman, Susi Pudjiastuti, Khofifah Indar Parawansa, Akbar Tandjung (https://youtu.be/xtISlVTD40o), Jusuf Kalla, Jokowi, Prabowo, Hatta Rajasa, Anies Baswedan, Pramono Anung, Luna Maya, Cinta Laura, Rhoma Irama, Aburizal Bakrie, Ariel Heryanto, Arief Budiman, Budiman Sudjatmiko, Puan Maharani, Ani Yudhoyono, Jimly Asshiddiqie, Adnan Buyung Nasution, Andy Hamzah, Mochtar Pakpahan, Yusril Ihza Mahendra, Wiranto (https://youtu.be/nI5qYIZtM9c?si=iO-zM58BGzwcZQ8v; https://youtu.be/hWjkQ7V6huw?si=7heBnLEObjkGx_ys), Djoko Suyanto, Safii Maarif, Din Syamsuddin (https://youtu.be/o21KJ9i2DME?si=epU6UDkf5Nl5b-L4), Jalaluddin Rakhmat, Agung Laksono (https://youtu.be/vSMQavBZjr4), Fachry Ali, Yahya Cholil Staquf (mantan Jubir Presiden Gus Dur/Ketum PBNU), Hotman Paris, Jend. M. Jusuf, Benny Moerdani, Feisal Tandjung, Jend. R. Hartono, A.M. Hendropriyono, Endriartono Sutarto, Kivlan Zen, Luhut Pandjaitan, AHY, Ahok (BTP), Ridwan Kamil (https://youtu.be/ob0VlrPctMs?si=Z0_9sgpNyIQ6BuMN), Rizal Ramli, Faisal Basri, Goenawan Mohamad, Fadli Zon, Sri Mulyani, Chairul Tanjung (https://youtu.be/hD0HJnqR90o), Dr (Hc) Ir. Ciputra (https://youtu.be/sMWRHvjurIA?si=7y9jZvSdsP9U_HGX), Tanri Abeng, Dahlan Iskan (Mandarin), Sandiaga Uno, Erick Tohir, Todung Mulya Lubis, Tantowi Yahya (https://youtu.be/EP-G46dQmK8?si=GvNeMyNGSNJ-Y3gl) , Hamid Awaludin, Letjen Bambang Darmono (https://youtu.be/kxQfONEaM-I) , Alwi Shihab (https://youtu.be/IicdjY6PYtA), Najwa Shihab, Dewi Fortuna Anwar, Desi Anwar, Mayjen Sudrajat (https://youtu.be/1ZMyosaGTxM) ,  Nono Anwar Makarim, Juwono Sudarsono, Joop Ave, Ryaas Rasyid, Emil Salim, Yudi Latif, Buya Hamka (Arab), Said Aqil Siradj (Arab), Abdul Shomad (Arab), Adi Hidayat (Arab), Nagita Slavina, Nikita Mirzani, Ayu Ting-ting, Agnes Monica, Dian Sastrowardoyo, Chris John (petinju)

Tokoh-tokoh GAM:
Hasan Tiro, Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Bachtiar Abdullah (Jubir GAM), Irwandi Yusuf (https://youtu.be/kxQfONEaM-I)

Lain-lain:
Dr. Sihar Sitorus

Caca Annisa, Uni Lubis

Catatan: rata-rata jurnalis nasional dan selebriti nasional bisa bahasa Inggris

Amien Rais bahasa Inggris :
https://youtu.be/J4vBMoin4Yc
https://youtu.be/Rdvsn_FWPh4
https://youtu.be/4WP0I-UXxXM
https://youtu.be/vj1XQ-j7oro
https://youtu.be/xxtvgVlZOH8
https://youtu.be/opgX6T-IH-8
https://youtu.be/HtdwuGfSC5U
https://youtu.be/61WHpVtrJGc (not)
https://youtu.be/92Xgev4ou2I
https://youtu.be/yTQUxsOA7XY (ada Cak Nur, ada Adnan Buyung Nasution bahasa Inggris, Muchtar Pakpahan bhs Inggris)
https://youtu.be/agHQGo1Ksy4
https://youtu.be/6ScVI_XRAfw (dialog)

Ginanjar Kartasasmita, (https://youtu.be/IV4LngckDWQ?si=UDmdTnT3NuzFYtRf) 


Senin, 11 September 2023

, , , , , ,

BERANILAH KELUAR DARI GRUP-GRUP WA: RELEVANSI PEMIKIRAN NIETZSCHE TENTANG MORALITAS KAWANAN


Oleh: Nani Efendi


Saat ini, terlalu banyak grup-grup WhatsApp yang dibuat dengan berbagai tujuan. Bahkan banyak yang tak jelas juntrungannya. Kesalnya, dalam aplikasi WA tak ada menu pengaturan untuk bisa memblokir pesan masuk. Juga tak ada pengaturan agar kita keluar tapi tak diketahui oleh para anggota grup. Kalau ada yang keluar, pasti aplikasi Whatsapp akan memberi keterangan: "si X keluar", "si Badu keluar". Karena itu, orang jadi segan keluar grup—karena merasa tak enak dengan kawan yang lain, terutama terhadap admin pembuat grup. Oleh karena itu, ketika mau keluar grup, orang terpaksa harus pamitan baik-baik agar kawan tak tersinggung. Sebaliknya, ada juga peserta yang dongkol, namun memilih tetap bertahan karena alasan menghormati admin grup. Padahal, ia ingin sekali keluar grup seandainya ada cara yang lebih baik.

Nietzsche tentang moral kawanan

Bagi yang belajar filsafat atau pemikiran Nietzsche, pasti tahu istilah "moral kawanan". Friedrich Nietzsche adalah seorang filsuf dan kritikus budaya yang lahir di Jerman pada 1844. Ungkapan Nietzsche yang terkenal ialah " tuhan telah mati".
Bramanti Kusuma, dalam salah satu tulisan di Kompasiana yang berjudul "Teori Nietzsche Mengenai Etika", menjelaskan, bahwa Nietzsche membagi moralitas menjadi dua: moralitas budak dan moralitas tuan. Moralitas budak disebut juga moralitas kawanan. Moralitas kawanan adalah moralitas orang kecil, masal, lemah, moralitas yang tidak mampu untuk bangkit dan menentukan hidupnya sendiri dan selalu iri terhadap mereka yang kuat. 
Moralitas budak ini, lanjut Bramanti Kusuma, selalu mengikuti kelompok dan tidak berani untuk bertindak sesuai keinginannya sendiri.
Nietzsche sangat membenci moralitas. Karena moralitas itu membuat orang tidak berani menjadi diri sendiri: karena moralitas kawanan menjadikan orang hidup sesuai dengan orang-orang lain. Nietzsche ingin orang tidak perlu ikut-ikutan orang lain.

Keluar dari grup WA, jangan berkerumun, jadilah otentik! 

Dalam kondisi sosial media hari ini, menurut F. Kennedy Sitorus, mungkin Nietzsche akan menganggap kita ini mengikuti moralitas budak atau moralitas kawanan semua. Terutama dengan banyak orang-orang yang menjadi anggota grup-grup WA. Orang jadi ketergantungan pada sosial media. Tak berani keluar untuk menjadi diri sendiri.
Senada dengan Kennedy Sitorus, F. Budi Hardiman, alumnus Hochschule für Philosophie München, Jerman, yang sekarang menjadi guru besar filsafat di Universitas Pelita Harapan Jakarta, dalam suatu diskusi, mengatakan, bahwa kerumunan sangat berbahaya untuk kebebasan eksistensial. Karena kerumunan mengasingkan individu dari perasaan-perasaannya, dari pemikirannya, bahkan juga dari keinginannya. Orang yang terbiasa didikte oleh kelompok, tidak sadar siapa dirinya. Tidak sadar keinginannya sendiri. Jadi, kerumunan adalah entitas yang berbahaya: memperbodoh, membuat orang takut ambil keputusan, membuat orang tidak dewasa dan tidak matang. Karena itu, kata F. Budi Hardiman, jauhi kerumunan. Jadilah otentik.
Hidup berkerumun itu analoginya adalah kawanan bebek, atau kawanan domba. Seekor bebek tak berani ambil keputusan sendiri: tetap selalu "membebek" mengikuti kawanannya, bergantung pada kawanannya.
Grup-grup WA, FB, kata Fitzerald Kennedy Sitorus, juga bisa digolongkan sebagai kerumunan. Jadi, orang harus berani keluar dari grup-grup WA yang tak jelas. Pesan Friedrich Nietzsche: jadilah orang penting (Ubermensch), jangan jadi sekedar bagian dari kerumunan atau the last man (orang rata-rata) saja.

Nani Efendi, Alumnus HMI


Jumat, 28 Juli 2023

, , ,

SENYUM MUJAHID SYAFII MAARIF

 -


Oleh: Hamid Basyaib, Jurnalis Senior


SEPEDA motor Honda CB 125 Pak Syafii Maarif memasuki kampus UII Jl Cik Di Tiro Jogja, lalu dengan langkah cepat ia menuju kantor majalah Himmah yang kecil di ujung koridor. Ia datang untuk rapat perkenalan dengan pengelola majalah mahasiswa itu. Ia tanpa banyak tanya langsung menerima permohonan untuk menjadi penasihat di sana.

Semua peserta rapat sudah siap, dan Pak Syafii berkata: “Sebelum rapat dimulai, saya ingin tahu yang mana yang namanya Hamid Basyaib.” Orang-orang tersenyum. Beberapa menyahut, “Itu yang persis di sebelah Bapak.” Ia kontan menoleh ke sebelah kanannya, memandangi saya dengan tajam beberapa saat, sebelum ia berkata, “Oh, Anda rupanya!” Ia tidak menyebut “kamu”.

“Tulisan Anda itu tidak benar! Fazlur Rahman tidak seperti yang Anda gambarkan. Dia adalah sarjana Muslim yang sangat bertanggung jawab terhadap Islam. Maryam Jameelah itu bukan tandingannya!” Setelah diam sejenak, “Tapi bahasa Indonesia Anda cantik! Bagus.”

Ia merujuk artikel tiga halaman berjudul “Fazlur Rahman” yang saya tulis di edisi terbaru majalah Himmah. Saya hanya tersenyum mendengar pembelaan Pak Syafii terhadap gurunya di Universitas Chicago itu; tidak berani menyanggah karena modal saya pas-pasan, hanya berdasarkan buku kecil Maryam Jameelah (Margaret Marcus), eks penganut Yahudi yang antara lain menyebut Fazlur Rahman adalah musuh Islam dari dalam dan karenanya lebih berbahaya daripada musuh yang terbuka.

Lagi pula Pak Syafii belajar bertahun-tahun dari pakar Islam Pakistan yang hebat itu, maka tentu ia lebih mengenalnya (dua tahun kemudian, Agustus 1985, saya sempat menemui Fazlur Rahman, tapi dalam status sebagai pengagum beratnya, saat ia dan isterinya hadir di diskusi di kampus IAIN Sunan Kalijaga dengan moderator Prof. Mukti Ali).

Sejak “insiden” itu kami akrab. Ia, katanya, sangat senang terhadap sikap saya, yang mengritiknya tapi pada saat yang sama memintanya menjadi penasihat majalah yang saya kelola. “Begitu semestinya orang Islam dalam berbeda pendapat! Perbedaan tidak menjadi permusuhan. Kita tetap harus bisa bekerja sama.” Tema ini lalu terus ditekankannya sampai bertahun-tahun kemudian—dengan hasil yang mengecewakannya.

***

Kadang Pak Syafii menjemput saya di kampus dan mengajak ke Pesantren Pabelan di dekat Ambarawa. Berboncengan di Honda CB-nya, kami bisa tiba cepat di Pabelan karena tidak melalui jalan raya. Ia hapal jalan-jalan tikus ke sana, masuk dan keluar kampung-kampung di sepanjang jalan Jogja-Pabelan. Sambil terguncang-guncang, saya tanya bagaimana ia bisa tahu jalan-jalan alternatif yang rumit itu. “Dulu saya sering lewat sini,” katanya.

Saya rasa dia enggan menjawab panjang bukan karena harus konsentrasi di tengah jalanan yang buruk. Itu mungkin karena ia enggan mengenang apa yang ia alami dulu: dari beberapa sumber saya dengar ia di masa mudanya sering berjualan kambing ke kampung-kampung untuk mendapatkan nafkah guna menghidupi keluarga kecilnya. Itu kisah yang terlalu panjang, dan pahit, untuk dituturkan oleh seorang doktor yang baru lulus dari universitas top Amerika dan sedang memegang setang motor dengan khusyuk.

Di ruang tamu rumah Kiai Hamam Dja’far di Pabelan, kadang ada Mas Dawam Rahardjo, Arief Budiman, Aldy Anwar, Armahedi Mahzar. Dua yang terakhir adalah tokoh-tokoh ITB, yang punya persambungan dengan Pabelan karena dihubungkan dengan para aktifis Yayasan Mandiri, sekumpulan aktifis mahasiswa ITB, antara lain Sugeng dan Mochtar Abbas, orang Aceh yang kemudian jadi lurah Pabelan berkat dukungan Kiai Hamam.

Aldy Anwar adalah kerabat Haji Agus Salim yang terkenal pintar sebagai mahasiswa Fisika, tapi tidak menyelesaikan studinya, namun menekuni peluang mengembangkan helio energy (sumber matahari) sebagai bagian penting dari ambisi besarnya untuk melahirkan masyarakat yang “hemat energi, kaya nilai”.

Kembali ke Jogja malam hari, Pak Syafii mengembalikan boncengannya ke tempat semula, kampus UII. Sebelum berpisah, ia memaksa saya menerima separuh honor yang didapatnya dari forum Pabelan. Saya menolak, tapi dia melesakkan uang itu ke kantong baju saya. Itu jumlah yang cukup besar untuk seorang mahasiswa miskin.

Padahal di forum itu saya cuma melongo melihat orang-orang pintar bertukar pendapat—yang saya sudah lupa apa isinya—dan tidak ada seorang pun yang mempedulikan kehadiran saya, dan sewajarnya mereka bersikap begitu. Hanya saya sendiri yang peduli terhadap tindak-tanduk setiap peserta, misalnya tentang Mas Dawam Rahardjo, yang bersarung dan menggerogoti apel sendirian, yang cuma bikin ngiler.

Kesibukan masing-masing membuat kami tidak bisa berjumpa sesering dulu. Tapi suatu siang Pak Syafii menjemput saya dan mengajak melihat rumah yang sedang dibangunnya di kompleks baru Nogotirto, di Godean. Kami pun melihat-lihat, menerobos barisan kayu yang malang melintang, dan ia menerangkan calon ruang yang ada satu per satu.

“Lumayan besar rumahnya, Pak,” saya bilang tentang bangunan sekitar 120 m2 itu. “Ya, ini sebetulnya terlalu besar,” ucapnya. Ini hanya untuk anak dan isteri saya. Kalau saya sendirian, saya cukup indekos di satu kamar saja.”

***

Suatu sore saya mengunjunginya di kampus IKIP tempat ia mengajar. Kabarnya ada ruang baru untuk dosen. Maka saya datang untuk melihat keadaannya. Ternyata yang dimaksud “ruang dosen” itu berupa kamar-kamar 2,5 x 2,5 meter persegi (mungkin juga lebih kecil) yang berbaris seperti WC umum. Saya lihat Pak Syafii seperti terhimpit di antara timbunan buku di meja dan barisan bukunya di rak seadanya.

“Beginilah nasib dosen negeri, kalau Anda mau tahu,” katanya. “Doktor lulusan Amerika pun hanya mendapat ruang kerja begini saja.”

Saya berbasa-basi menghiburnya, meski saya sebetulnya kaget melihat kondisi yang tidak layak itu. Memang mudah disimpulkan bahwa perguruan tinggi kita umumnya tidak memuliakan ilmu meski hal itu adalah urusan utamanya. Spirit itu terlihat dari kondisi ruang dosen yang disediakan.

Universitas kita jauh lebih mementingkan aspek-aspek birokrasi pendidikan dan kepangkatan. Ruang dekan jauh lebih baik daripada ruang dosen. Gedung rektorat pasti merupakan gedung yang paling mentereng di seantero kampus—ruang laboratorium harus dipastikan berada di pojok yang sangat sulit ditemukan. Kini, 40 tahun sejak saya mengunjungi Pak Syafii Maarif di ruang kerjanya yang mini, saya tidak melihat perubahan berarti dalam piramida sosial di kampus-kampus kita.

***

Ahmad Syafii Maarif pulang ke Jogja dari Chicago di akhir 1983 dengan battle cry “umat Islam seribu tahun berhenti berpikir!” Inilah judul wawancaranya di majalah Prisma; dan diulanginya dalam banyak kesempatan. Simptom itu ia rujukkan pada Abu Hamid Al Ghazali, terutama pada karya monumentalnya, Ihya Ulumuddin.

Sudah jamak dianggap oleh kalangan pembaru Islam bahwa kemacetan berpikir di kalangan umat Islam adalah gara-gara terbitnya karya Ghazali itu, yang menekankan purifikasi mental individual. Kalangan Syiah biasanya menyanggah anggapan “kemacetan berpikir” ini dengan menyatakan bahwa itu hanya terjadi di wilayah Sunni. Sedangkan di kalangan penganut Syiah, pemikiran tetap subur; para ulama Syiah biasanya juga merangkap filsuf—status yang dianggap identik dengan ketekunan berpikir.

Pengaruh Ghazali sedemikian besar, sampai seorang orientalis Inggris, Montgomery Watt, memastikan bahwa sufi Persia itu adalah orang kedua terpenting dalam Islam setelah Nabi Muhammad dalam mempengaruhi pikiran umat Islam.

Syafii Maarif—yang sebelumnya tidak dikenal sebagai aktifis pembaru Islam, mungkin karena berasal dari Universitas Cokroaminoto Jogja yang kurang ternama—dengan caranya sendiri ikut dalam barisan pembongkar kebekuan Ghazalian. Ia adalah bagian dari barisan sarjana baru Muslim lulusan universitas Barat, bersama dengan Saifullah Mahyudin, Sahirul Alim, Amien Rais, Kuntowijoyo, Yahya Muhaimin, Ichlasul Amal, Mochtar Mas’oed dan beberapa lainnya.

Berbeda dari mereka semua, Syafii satu-satunya yang menekuni studi Islam, bukan di Al Azhar seperti ribuan santri sebelumnya, tapi di Universitas Chicago, Amerika Serikat—meski “belajar Islam ke Barat” sudah dimulai oleh satu-dua orang dari generasi sebelumnya seperti H.M Rasjidi (Prancis dan Kanada) dan Harun Nasution (Kanada).

Beberapa bulan sesudah kepulangan Syafii, kembali pula Nurcholish Madjid, juga dari Chicago, dan sama-sama dibimbing oleh Fazlur Rahman. Suatu kali Cak Nur diundang berdiskusi di kampus UII bersama Fachry Ali, dengan moderator Habib Chirzin. Acara itu benar-benar menyegarkan. Dan malam harinya diadakan diskusi terbatas di sebuah hotel—semua orang ingin memanfaatkan optimal kehadiran Cak Nur.

Saya terlalu muda untuk punya hak hadir di acara yang sangat terbatas itu. Tapi Pak Syafii mengajak saya, dan dengan itu kursi saya terjamin tersedia di acara itu. Sedikit pun tidak ada materi diskusi itu yang saya ingat. Saya hanya terpesona oleh kecemerlangan Cak Nur yang, menurut Kiai Hamam Dja’far yang pernah sekamar dengan Cak Nur di Pondok Gontor, “ayat Quran dan hadis selalu ada di ujung lidahnya”, sehingga sangat mudah bagi Cak Nur untuk mengeluarkannya setiap ia memerlukannya.

Sambil berjalan keluar dari hotel, Pak Syafii bertanya, “Bagaimana pendapat Anda tentang diskusi tadi?”

“Saya jadi malas belajar, Pak,” jawab saya sekenanya.

“Lho, kenapa?”

“Sekeras apapun saya belajar, saya tidak akan bisa sepintar Nurcholish Madjid… Orang itu hebat sekali!”

Pak Syafii menyergah, “Tidak benar sikap Anda! Keliru! Anda pasti mampu…”

Ia bilang ia berangkat ke Amerika untuk mengambil studi S2 pada usia 42 tahun, dan dalam keadaan tidak mengerti apa-apa. “Anda baru 21 tahun sudah jauh lebih mengerti dibanding saya ketika berumur 42. Anda harus doktor di bawah 30 tahun!”

***

Ketika Fazlur Rahman ke Jakarta pada 1985, ia mengatakan ia punya dua murid kesayangan di sini. “Nurcholish Madjid adalah mujaddid (pembaru), dan Syafii Maarif adalah mujahid (pejuang),” kata profesor Islamic studies itu.

Sampai hari-hari terakhirnya, Syafii Maarif—yang dulu kumis tebalnya membuat ia mirip bintang Hollywood Burt Reynolds—menjalankan peran mujahid itu dengan caranya sendiri. Ia terus meneriakkan battle cry “Umat Islam seribu tahun berhenti berpikir”, dengan beragam elaborasi.

Sebagai Ketua PP Muhammadiyah dan kemudian “Buya Guru Bangsa”, belakangan ia mengungkapkan kepedihan hati dan pesimismenya terhadap masa depan Indonesia secara keseluruhan, bukan hanya tentang kondisi umat Islam beserta corak pemikiran keagamaannya.

Ia tak henti meratapi apa yang dipandangnya sebagai kehancuran moralitas elit dan warga dalam berbangsa dan bernegara, dengan nada pesimistik yang terasa terlalu getir dan melampaui situasi sebenarnya.

***

Barangkali Pak Syafii sengaja menaifkan diri dalam menyuarakan kerisauannya tentang Indonesia. Ia tentu tahu state policies, beserta dampak-dampaknya pada kehidupan sosial warganegara, adalah urusan yang jauh lebih kompleks untuk dinilai semata-mata berdasarkan patokan akhlak religius, perangkat tunggalnya dalam melontarkan kritik-kritiknya yang keras—terhadap pejabat negara, juga elit-elit ormas Islam radikal.

Tapi suara moral Syafii Maarif, yang telah ditabungnya sejak ia remaja di kampung halamannya di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, tetaplah diperlukan, termasuk untuk urusan-urusan yang dianggap tak relevan untuk dicampuri oleh mode akhlak individual. Baginya, segala macam perkara di dunia yang sementara ini—dari soal kebersihan WC umum di terminal bis sampai hubungan-hubungan internasional yang rumit dan berdimensi luas—adalah untuk keperluan menyejahterakan Manusia—dengan M.

Dan untuk itu semua orang yang mengenalnya cukup dekat pasti mengerti bahwa kehidupan dirinya sendiri adalah monumen yang meyakinkan tentang kebenaran apa yang disampaikannya. Ia sahih. Kerisauannya yang diungkapkan dengan sepenuh kesungguhan tercetus dari kemanusiaannya yang tulus; dari kejujurannya yang tanpa ampun; dari kesederhanaan perilakunya. Dan pasti juga dari ketidakpeduliannya pada pemilikan harta benda.

Ia, yang sampai berumur 40-an mencita-citakan terbentuknya Negara Islam di Indonesia, seakan menjalani hidup dengan kemurungan konstan. Tetapi saya kira jenis kemurungan semacam itulah yang justeru memberinya energi besar untuk mencapai usia 87 tahun.

Kini ia tak lagi murung. Sejak pukul 10 pagi tadi, ia selalu tersenyum.



Rabu, 05 Oktober 2022

,

DAHLAN ISKAN: SEBUAH KISAH

 


Selalu saja ada tokoh yang muncul di balik perjalanan suatu bangsa. Kedatangan tokoh tersebut melalui proses tertentu, tidak datang begitu saja. Kehadiran sang tokoh melalui kisah yang berliku dan beragam cerita yang menarik. Secara perlahan namun pasti nama Dahlan Iskan terus bergulir, semakin hari semakin populer. Era perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat, menyebabkan gelembung citra sang tokoh menjadi nyaris tak terbendung. Ya, tiada hari tanpa pemberitaan menyangkut Dahlan Iskan, baik melalui media online, televisi, surat kabar, atau media lainnya. Sepak terjang sang tokoh terus menjadi fokus, direkam dan diberitakan. Begitu pula jejak langkahnya dimasa lampau terus dieksploitasi.

Anak Desa yang Miskin

Membaca kisah lampau Dahlan Iskan terungkap beberapa catatan yang menarik, antara lain bahwa sang tokoh lahir di Desa Tegalarum, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, tanggal 17 Agustus 1951. Mengenai tanggal 17 Agustus ternyata itu hanya “karangan” Dahlan Iskan sendiri, sebab orang tuanya sendiri lupa tanggal berapa sang tokoh dilahirkan. Dipilihnya tanggal 17 Agustus supaya bertepatan dengan hari ulang tahun Republik Indonesia, sehingga menjadi lebih gampang diingat. Dahlan Iskan memang terlahir dari keluarga yang sangat kekurangan. Bahkan menurut catatan Satriadharma.com, kalau status miskin ada pangkatnya maka Dahlan Iskan ini lahir miskin dengan pangkat jendral saking miskinnya.

Dalam kondisi serba miskin pun ternyata Dahlan Iskan tetap bersekolah. Ya, belajar bagi siapapun adalah wajib, dengan belajar ternyata dikemudian hari bisa mengubah nasib secara drastis dan dramatis, sebagaimana dialami Dahlan Iskan. Tercatat bahwa Dahlan Iskan menempuh pendidik SD di Desa Bukur, yang setelah ditelusuri ternyata masuk dalam wilayah Kecamatan Jiwan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Desa Tegalarum (Magetan) dengan Desa Bukur (Madiun) memang bertetangga.

Anak Madrasah

Setelah menyelesaikan SD, Dahlan Iskan kemudian melanjutkan ke Madrasah Tsnawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) yang berada di lingkungan Pesantren Sabilil Muttaqien, Kecamatan Takeran ujung timur Kabupaten Magetan. Ya, Dahlan Iskan memang dibesarkan di lingkungan pesantren.

Pesantren Sabilil Muttaqien didirikan tahun 1880 oleh seorang keturunan salah satu pengikut Pangeran Diponegoro yang melarikan diri ke timur. Dia adalah Kyai Hasan Ulama, yang merintis pesantren Sabilil Muttaqien dengan nama Pondok Takeran. Takeran adalah nama sebuah desa sejauh 16 kilometer dari kota Kabupaten Magetan atau 9 kilometer dari arah kota Madiun.

Menurut catatan Okezone.com, dikemudian hari setelah berhasil menjadi orang sukses, Dahlan Iskan mendirikan International Islamic School (IIS) di lingkungan Pesantren Sabilil Muttaqien, Takeran. Sejarah mencatat, memang tidak sedikit tokoh sukses negeri ini yang berlatar belakang pendidikan madrasah dan pesantren.

Drop Out Dua Kali

Setelah menyelesaikan Madrasah Aliyah di Magetan, Jawa Timur, episode perjalanan hidup Dahlan Iskan selanjutnya ternyata “bertransmigrasi” ke Bumi Borneo, mengikuti jejak kakak sulungnya, Siti Khosiyatun, yang menjadi pengajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Samarinda. Di sana Dahlan Iskan sempat mencicipi kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel cabang Samarinda, tidak sampai selesai dan hanya berhenti pada semester empat. Dengan minat belajar yang masih “menyala”, Dahlan Iskan pun masuk di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus (Untag) cabang Samarinda, namun kembali harus “mengundurkan diri” di tahun kedua. Ya, catatan riwayatnya menunjukkan, bahwa Dahlan Iskan pernah drop out (D.O.) dua kali. Ternyata bagi pribadi yang tangguh bahwa D.O. itu bukan akhir dari segalanya.

Sejak duduk di bangku kuliah ternyata Dahlan Iskan aktif berorganisasi, antara lain di Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Hal ini menjadi pembelajaran bagi setiap generasi muda yang ingin meraih sukses, ternyata kebanyakan tokoh sukses di negeri ini pada masa mudanya cenderung gemar berorganisasi, atau lebih dikenal sebagai aktivis mahasiswa. Ya, jangan hanya menjadi mahasiswa yang Kuper dan Kubuk (kurang pergaulan dan kutu buku).

Jadi Wartawan

Latar belakang atau riwayat perjalanan waktu muda sangat berpengaruh pada karir dan kondisi dihari kemudian. Meskipun kuliah tidak meraih ijazah, Dahlan Iskan begitu fokus pada kegiatan menulis. Sepak terjang dan jam terbangnya di pers mahasiswa membawanya berhasil menjadi wartawan sebuah surat kabar (kecil) di Samarinda. Dalam kisah perjalanan selanjutnya, Dahlan Iskan memperoleh pendidikan jurnalistik di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), merupakan salah satu LSM terbesar di Indonesia dan menerbitkan jurnal bulanan sosial dan ekonomi “Prisma”. Belakangan Prisma Resource Center (LP3ES) aktif melakukan survey pendapat umum.

Semasa mengikuti pembelajaran jurnalistik di LP3ES tahun 1975, Dahlan Iskan melaksanakan magang di Majalah Tempo. Berbekal pengalaman tersebut Dahlan Iskan pun bergabung dengan Majalah Tempo sebagai wartawan, dengan penugasan meliputi berita sekitar Kalimantan Timur. Karena kinerja dan prestasinya yang cemerlang, dua tahun kemudian Dahlan Iskan berhasil menduduki Kepala Biro Majalah Tempo di Surabaya.

Memimpin Jawa Pos

Perjuangan dan kerja cerdas Dahlan Iskan terus bergulir bersama Majalah Tempo, momentum pengambil-alihan harian Jawa Pos tahun 1982 menjadi begitu fenomenal, sebab saat itu Dahlan ditunjuk sebagai pimpinan Jawa Pos. Konon saat itu harian Jawa Pos dalam kondisi “hidup tak mau dan matipun segan”, dengan oplah harian yang hanya 6.000 eksemplar.

Dalam kurun waktu hanya lima tahun (1987), oplah Jawa Pos meningkat 50 kali lipat. Begitu fenomenal sentuhan tangan dingin Dahlan Iskan, sehingga Jawa Pos tumbuh menjadi “raja-nya” surat kabar Surabaya dan Jawa timur. Tak sampai di situ, ekspansi Dahlan Iskan terus berlanjut dengan membentuk Jawa Pos News Network (JPNN), meliputi 141 surat kabar, 18 majalah dan tabloid, dan 22 TV local (Daftar lengkap di sini). Dahlan Iskan juga mengembangkan 40 jaringan percetakan di seluruh Indonesia.

Diversifikasi Bisnis

Pada tahun 1997 dari bisnis media terjadi diversifikasi usaha ke bisnis gedung dan perkantoran, yaitu dengan didirikannya Graha Pena, gedung pencakar langit (tinggi 175 m, berlantai 21) di Jalan Ahmad Yani, Surabaya, sekaligus sebagai markas JPNN. Ternyata Graha Pena pun didirikan di Kebayoran Lama, Jakarta (2002, dengan 10 lantai), Semarang (2003, dengan 5 lantai), Batam (2006), Makassar (2007, dengan 17 lantai), Pekanbaru (2012). Di JPNN Dahlan Iskan menjadi CEO dan pemegang saham hingga tahun 2009.

Dahlan Iskan mencetak sukses yang luar biasa dalam bisnis media dan bisnis gedung perkantoran. Langkah selanjutnya ternyata mulai awal 2009, Dahlan Iskan juga merambah bisnis telekomunikasi, tercatat sebagai Komisaris PT. Fangbian Iskan Corporindo (FIC), dengan salah satu proyeknya ialah membangun Sambungan Komunikasi Kabel Laut (SKKL), yang menghubungkan Surabaya dengan Hong Kong. Sehingga terbentang serat optik sepanjang 4.300 kilometer.

Menjadi Dirut PLN

Ya, dimulai dari siswa madrasah (pesantren), mahsiswa D.O. namun aktif dalam pers mahasiswa, kemudian menjadi wartawan, CEO grup media (JPNN), gedung perkantoran (Graha Pena) dan telekomunikasi (FIC), ternyata sepak terjang Dahlan Iskan terus berlanjut. Tercatat akhir tahun 2009, Dahlan Iskan diangkat menjadi Direktur Utama salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terbesar di Indonesia, yaitu PLN (akhir Desember 2011 memiliki asset Rp. 426,5 triliun).

Begitu fenomenal dan penuh teka-teki, bagaimana bisa seorang “raja media” yang berakar pada kemampuan unggul dibidang jurnalistik diangkat menjadi “raja listrik”. Ternyata Dahlan Iskan pun sebelumnya sempat “bermain listrik”, yaitu tercatat sebagai presiden direktur PT Cahaya Fajar, Tanjung Batu, Tenggarong Sebrang, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur dan PT Prima Electric Power di Desa Sumengko, Wringianom, Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, keduanya merupakan perusajaan pembangkit listrik swasta.

Kiprah Dahlan Iskan di PLN juga begitu fenomenal, dengan “tongkrongan”-nya yang begitu sederhana, seakan tidak pernah kehabisan ide kreatif untuk mengotak-atik perusahaan yang dikelolanya. Dahlan Iskan merupakan contoh tokoh yang mampu berpikir “ke luar kotak”, tidak terjebak dengan paradigm lama yang begitu statis. Beberapa “aksi sulap” Dahlan Iskan antara lain gerakan sehari sejuta sambungan listrik (GRASS 2010), Indonesia bebas byar pet, membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di 100 pulau, dan sebagainya.

Menjadi Menteri BUMN

PLN membuat Dahlan Iskan begitu bergairah, semangat tempurnya makin menyala, namun di tengah sepak terjangnya dalam mereformasi PLN, tepatnya tanggal 17 Oktober 2011, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono berkenan menunjuknya sebagai salah satu anggota kabinet, dengan kedudukan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Luar biasa tantangan yang diberikan pada Dahlan Iskan, dari semula hanya mengelola satu BUMN, kini harus mengurusi 140 BUMN. Sebagai catatan, BUMN sebanyak itu terbagi menjadi 14 perusahaan umum (Perum), 108 perusahaan non tbk (non go public), dan 18 perusahaan tbk (go public).

Di lingkungan BUMN Dahlan Iskan menyiapkan restrukturisasi dan berbagai pembenahan, sebab dari 140 BUMN hanya enam di antaranya yang telah benar-benar berkelas dunia, yaitu PT Bank Rakyat Indonesia (persero) Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri (persero) Tbk (BMRI), PT Telkom Indonesia (persero) Tbk (TLKM), PT Bank Negara Indonesia (persero) Tbk (BBNI), PT Semen Gresik Tbk (SMGR)dan PT Perusahaan Gas Negara (persero) Tbk (PGN). Keenam BUMN tersebut masuk dalam jajaran 2000 perusahaan andalan global versi Forbes Global 2000 pada tahun 2011.

Dari 140 BUMN dalam pengawasan Kementrian BUMN, ternyata hanya 110 BUMN yang masih aktif, sedangkan menurut Dahlan Iskan (dalam m.bisnis.com) 31 BUMN sebenarnya sudah jadi “mayat”. Di sisi lainnya Dahlan Iskan berupaya mengelompokkan BUMN ke dalam tiga kelompok besar, yaitu BUMN sebagai penjaga ketahanan nasional; BUMN sebagai mesin pertumbuhan (enginee of growth), dan BUMN sebagai kepeloporan dalam hal teknologi, daya saing, dan kesejahteraan, yang diharapkan mampu bersaing secara internasional.

Gebrakan Pak Menteri

Gebrakan paling anyar dari Dahlan Iskan, yaitu dengan maksud memproteksi BUMN, ialah menyangkut sikap tegasnya tentang penolakan BUMN dijadikan sebagai “sapi perah” anggota DPR. Dahlan Iskan dengan berani dan lugas melaporkan ke Dewan Kehormatan DPR tentang beberapa anggota dewan yang berupaya memeras BUMN. Sebagian anggota dewan yang terhormat menjadi galau dan kegerahan, bahkan ada di antaranya yang mengangkat isu segera menggeser posisi Dahlan Iskan di kabinet.

Namun fenomena “sapi perah” ini terus bergulir, beragam fakta seperti banyaknya anggota direksi dan komisaris BUMN berlatar belakang politisi dari partai politik tertentu, menyebabkan kemungkinan terjadinya kongkalingkong antara pejabat BUMN dan anggota dewan. Di sisi lainnya, banyaknya BUMN yang terus merugi dan tidak pernah untung, bahkan disebutkan dalam kondisi “mati suri” atau sudah menjadi “mayat”, perlu ditelaah lebih lanjut, bagaimana manajemen menanganinya selama ini, termasuk adanya kemungkinan “gangguan” eksternal.

Makin Berenergi

Energi Dahlan Iskan seakan tak pernah surut. Sikap tegas, lugas, berani, sederhana, kerja keras, terbuka, kreatif, inovatif, dan beragam karakter positif dan proaktif lainnya makin menegaskan ketokohannya. Beragam dukungan pun terus berdatangan dan makin meluas di seantero Indonesia. Tidak heran jika banyak pihak yang meyakini bahwa Dahlan Iskan sebagai salah satu Calon Presiden dalam Pemilu 2014.

Menurut situs Okezone.com sudah banyak buku yang ditulis oleh Dahlan Iskan dan banyak juga buku tentang Dahlan Iskan yang ditulis orang lain. Buku yang dia tulis sendiri antara lain: Ganti Hati, Pelajaran dari Tiongkok, Model Ekonomi, Tidak ada yang tidak bisa, Dua Tangis Ribuan Tawa dan beberapa lagi. Sedang buku yang ditulis orang tentang Dahlan Iskan antara lain: Habis Gelap Terbitlah Terang, Dahlan Juga Manusia, Sepatu Dahlan dan Seandainya Dahlan Jadi Presiden. Keberadaan buku tersebut makin menjadikan inspirasi bagi banyak orang, bahkan seolah menyebabkan “transfer energi” bagi siapa saja yang mempelajari kisahnya.

Penutup

Saat ini sudah terbentuk komunitas pendukung Dahlan Iskan, DahlanIs (dahlanis.com), dengan visi merapatkan barisan pengagum dan pendukung Dahlan Iskan. Sedangkan beberapa misinya di antaranya menjaring keanggotaan komunitas (relawan) DahlanIS di seluruh Indonesia; Memperkenalkan dan menanamkan virus Manufacturing Hope dan gebrakan-gebrakan Dahlan Iskan serta kegiatan-kegiatannya, baik secara online maupun offline. Sedangkan catatan dan pemikiran lengkap mengenai tokoh yang dikabarkan pernah menjalani transpalantasi hati ini bisa dilihat di sini. Kemunculan Dahlan Iskan dengan beragam kreasi, inovasi dan sepak terjangnya seakan menjadi penyejuk di tengah carut-marutnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Energi Dahlan Iskan diharapkan dapat menambah akumulasi energi bangsa, sehingga bisa lebih mampu bersaing di kancah persaingan global. (Atep Afia Hidayat/PantonaNews.com)



Jumat, 15 Juli 2022

, , , ,

Bang Buyung: In Memoriam

 .

Oleh: NANI EFENDI

 

Indonesia kehilangan salah satu putra terbaik: Adnan Buyung Nasution. Pejuang keadilan, HAM, demokrasi, yang juga merupakan tokoh reformasi 1998 itu menghembuskan nafas terakhir sekitar pukul 10.15 WIB, di RS Pondok Indah, Jakarta Selatan, Rabu (23/9/2015) dalam usia 81 tahun. Sosok aktivis, yang selalu konsisten membela keadilan dan kebenaran, ini diberitakan telah dirawat sejak Jumat pekan lalu karena beberapa penyakit yang dideritanya, antara lain, gangguan jantung dan ginjal. Pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini meninggalkan 1 orang istri, 4 orang anak (satu telah meninggal), 9 cucu, dan 4 buyut.

Pejuang keadilan yang konsisten

Dalam kondisi bangsa yang penuh persoalan seperti sekarang ini, khususnya di bidang penegakan hukum, HAM, demokrasi, dan keadilan, sosok, peran, dan pemikiran Adnan Buyung Nasution masih sangat dibutuhkan oleh rakyat Indonesia. Karena, begitu sulit menemukan tokoh yang punya integritas tinggi, yang benar-benar konsisten membela hak-hak keadilan bagi warga negara—yang berani berbicara lantang mengkritik dan menentang arogansi kesewenang-wenangan kekuasaan. Pria yang akrab dipanggil Bang Buyung ini selalu tampil memperjuangkan demokrasi, HAM, dan nilai-nilai keadilan bagi semua. Sikap itu beliau tunjukkan sejak muda. Beliau selalu konsisten menyuarakan keadilan dan kebenaran: mulai dari zaman Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi saat ini.

Di zaman Orde Baru yang otoriter, beliau sudah berani berbicara kritis terhadap penguasa. Ada beberapa pernyataan beliau yang berkesan dan masih terngiang di telinga saya sampai saat ini: Pernyataan itu beliau sampaikan dalam wawancara ekslusif dengan Karni Ilyas. Dalam wawancara itu, beliau menyampaikan kritik terhadap oknum-oknum dalam institusi penegak hukum yang masih saja menunjukkan sikap-sikap arrogance of power atau arogansi kekuasaan seperti di zaman Orde Baru. Beliau berkata, “Keangkuhan, kesombongan, (arogansi kekuasaan), Abang lawan. Itu sikap Abang dari muda. Melawan zaman Sukarno, melawan zaman Soeharto, sampai sekarang pun Abang lawan. Buat siapa? Bukan buat diri Abang. Abang merasa ini panggilan nurani buat rakyat ini.”

Beliau juga menyampaikan bagaimana pengalaman beliau melawan kesewenang-wenangan Orde Baru di tahun 70-an. Pada zaman Orde Baru, kita mengenal yang namanya “Kopkamtib”. Lembaga ini sangat menakutkan ketika itu. Namun, tidak bagi Bang Buyung. Ketika beliau masih aktif di LBH, bersama Abdurrahman Saleh (Jaksa Agung RI periode 2004-2007), beliau pernah dipanggil oleh Kopkamtib. Beliau mengatakan, “Jangan datang, Man! Kita lawan Kopkamtib. Enak aja panggil orang.” Itulah beberapa contoh sikap berani beliau dalam melawan kekuasaan yang sewenang-wenang.

Beliau juga aktif menuliskan pemikiran-pemikirannya di banyak media massa maupun dalam bentuk buku. Ketika beliau ditunjuk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di era SBY, beliau tetap kritis terhadap pemerintah. Bahkan, beliau bersedia mengundurkan diri menjadi anggota Wantimpres karena merasa nasehat dan sarannya tidak didengar oleh SBY. Untuk mengungkapkan sikap kritis beliau secara lebih luas dan bebas, beliau menulis buku yang sangat kontroversial dan membuat heboh: Nasihat untuk SBY. Dalam buku itu, beliau mengungkapkan, bahwa banyak nasihat dan pertimbangannya yang tidak didengar. Ia tidak ingin Wantimpres bernasib sama seperti DPA di zaman Orba yang nasihat dan pertimbangannya tak pernah didengar oleh presiden, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi rakyat. Hanya membuang uang dan waktu.

Melalui buku Nasihat untuk SBY itu, Bang Buyung ingin menyampaikan pertanggungjawaban moral, hukum, dan politik kepada rakyat Indonesia. Karena ia merasa dibayar dengan uang rakyat, maka ia beranggapan bahwa rakyat berhak tahu apa tugas dan keawajibannya sebagai Wantimpres. Walaupun risikonya ia bisa didepak dari jabatan yang prestisius itu. Namun, demi kebenaran dan keadilan, ia tak peduli.  Itulah contoh sikap konsistennya terhadap nurani dan kebenaran. Ia tak haus jabatan dan kekuasaan. Ia lebih cinta pada kebenaran dan keadilan ketimbang jabatan dan kekuasaan. Sosok seperti beliau ini semakin sulit kita temukan saat ini. 

Dalam membela kliennya, juga seperti itu. Ia tak peduli dengan popularitas maupun risiko bagi karirnya. Demi sebuah kebenaran, siapa pun orangnya dan apa pun persoalannya, ia akan tetap melakukan pembelaan. Tujuannya jelas: untuk keadilan dan kebenaran yang hakiki.

Bang Buyung dilahirkan di Jakarta, 20 Juli 1934. Beliau menempuh pendidikan di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Indonesia tahun 1964. Pada 1959, beliau melanjutkan studi Hukum Internasional di Universitas Melbourne, Australia. Pendidikan doktor beliau tempuh di Universitas Utrecht, Belanda, tahun 1992.

Riwayat pekerjaan beliau pertama kali adalah sebagai Jaksa/Kepala Humas Kejaksaan Agung (1957-1968), namun akhirnya mengundurkan diri. Pada 1966-1968, ia menjadi Anggota DPRS/MPRS. Karirnya di bidang hukum: Direktur/Ketua Dewan Pengurus LBH (1970-1986), Ketua Umum YLBHI (1981-1983), Ketua DPP Peradin (1977), dan Advokat/Konsultan Hukum Adnan Buyung & Partners (s.d. sekarang). 

Semoga akan terus lahir Buyung muda

“Patah tumbuh hilang berganti. Hilang satu, tumbuh seribu.” Itulah peribahasa Melayu. Ya, kita berharap, semoga sosok-sosok pejuang keadilan dan kebenaran  yang punya keberanian dan integritas moral seperti Adnan Buyung Nasution akan terus lahir di bumi Indonesia tercinta ini. Kita berharap keteladanan yang beliau berikan semasa hidupnya dapat menginspirasi dan memberikan motivasi bagi para pemuda dan tokoh-tokoh di Indonesia yang masih mencintai kebenaran dan keadilan. Keberaniannya dalam menentang kesewenang-wenangan kekuasaan semoga dapat dicontoh oleh generasi penerus bangsa ini.

Kita berdoa, semoga amal bakti Bang Buyung yang telah ia dedikasikan selama hidupnya di dunia diterima oleh Allah swt. Dan, semoga beliau memperoleh tempat yang layak di sisi-Nya. Amin. Selamat jalan Bang Buyung! Jasa-jasamu akan senantiasa dikenang dan akan terawat awet dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa.

 NANI EFENDI, Alumnus HMI



Kamis, 10 Maret 2022

,

TOKOH-TOKOH JEBOLAN DALAM NEGERI/TIDAK SELESAI KULIAH ATAU PENDIDIKAN FORMAL

Abdurrahman Wahid (tidak selesai kuliah)

- Pesantren Tambak Beras, Jombang (1959-1963) 

- Departemen Studi Islam dan Arab Tingkat Tinggi, Universitas Al-Azhar,    Kairo, Mesir (1964-1966) 

- Fakultas Surat-surat Universitas Bagdad (1966-1970)


Sutan Takdir Alisjahbana


Megawati Soekarnoputri 

-SD, SMP, SLTA di Jakarta

-Fakultas Pertanian UNPAD, 1965-1967 (tidak selesai)

-Fakultas Psikologi UI, 1970-1972 (tidak selesai)


Ir. H. Aburizal Bakrie (Menko Perekonomian dan Menko Kesra)

-S1 (insinyur) Fakultas Elektro ITB, Bandung.


Ir. Hatta Rajasa (Menko Perekonomian KIB II)

-S1 (insinyur) Teknik Perminyakan ITB, Bandung.


Ir. Akbar Tandjung 

-S1 UI

-S3 UGM


Ir. Siswono Yudohusodo

S1  ITB


Ir. Soekarno

-S1 ITB


Soeharto (Presiden RI)

-TNI AD


Patrialis Akbar

-S1 Universitas Muhammadiyah Jakarta.


Gamawan Fauzi, S.H.

-S1 UNAND, Padang.

-S2 MM, di UNP (Universitas Negeri Padang), Padang.


Indra J. Piliang (Analis Politik CSIS)

-S1 Fakultas Sejarah UI


Adam Malik (Wapres)

-SD (otodidak)


Drs. Fahmi Idris (Menteri Tenaga Kerja Kabinet Pembangunan VII)

-Fakultas Ekonomi UI, Jakarta, 1962 (tidak selesai) 

-Melanjutkan ke Fakultas Ekonomi Extension UI 

-Pendidikan Financial Management for Non-Financial Manager (1973) 

-LPPM, Jakarta dan Lembaga Managemen FEUI


Muhaimin Iskandar

-S1 (sarjana politik) UGM

-S2 (magister komunikasi) UI


M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum.

-S1 UII (Universitas Islam Indonesia), Yogyakarta

-S2  (magister hukum) UGM


Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D., S.H., S.U. (dosen UII/ Ketua MK)

-Madrasah Ibtida'iyah di Pondok Pesantren al Mardhiyyah, Waru, Pamekasan, Madura.

- SD Negeri Waru Pamekasan, Madura.

-Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN), SLTP. 4 Tahun, Pamekasan Madura 

-Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), SLTA 3 Tahun, Yogyakarta.

-S1 Fakultas Hukum, Jurusan Hukum Tata Negara, Universitas Islam Indonesia (UII),  Yogyakarta.

 -S1 Fakultas Sastra dan Kebudayaan (Sasdaya) Jurusan Sastra Arab, UGM, Yogyakarta.

-Program Pasca Sarjana S2, Ilmu Politik, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

-Program Doktoral S3, Ilmu Hukum Tata Negara, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 


Adhyaksa Dault (Menpora)

-S1 Fakultas Hukum, Universitas Trisakti.

-S2 Jurusan Sosiologi (Pembangunan Masyarakat), FISIP UI

-S2 Teknik Kelautan, IPB Bogor.


Paskah Suzeta, M.B.A.

-S1 STISIP, ujian Negara di FISIP UNPAD, Bandung.

-S2 Program M.B.A. IPWI (1996)

-S2 Program Magister Hukum Bisnis, UNPAD, (2002)


M.S. Ka’ban

-S2 IPB


Surya Darma Ali

-S1 IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.


Drs. Mar’ie Muhammad

-S1 Fakultas Ekonomi, UI


Fadel Muhammad

-S3 UGM


Saifullah Yusuf

-S1 UNAS, Jakarta.


Mutya Hatta

-S3 Antropologi, UI


Wiranto

-AMN (Akademi Militer Nasional), 1968

-UT (Universitas Terbuka), jurusan Administrasi Negara, 1995

-Perguruan Tinggi Ilmu Hukum Militer, 1996.


Andi Matalatta

-S1 dan S3 Unhas, Makassar.


E.E. Mangindaan (Pangdam VIII Trikora/Gubernur Sulut/ Anggota DPR-RI/Men-PAN&RB)

-S1


K.H. Zainuddin M.Z.

-S1 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Pramono Anung (Sekjen PDI-P)

-S1 ITB

-S2 UGM


Deddy Mizwar

-S1 di LKPJ (hanya 2 tahun)


Anas Urbaningrum

-S1 Ilmu Politik Unair, Surabaya

-S2 UI

-S3 UGM (dalam penyelesaian)


Ajip Rosidi (Dosen Luar Biasa Unpad dan Profesor Tamu di Jepang)

-Tidak tamat S1/tidak tamat SMA (tidak ikut ujian)

-Otodidak


Emha Ainun Nadjib (intelektual Muslim/budayawan/penulis)

-S1 FE UGM (tidak selesai/hanya 3 bulan)

-Pengembara ilmu di luar sekolah


Andi F. Noya (Pimred Metro TV)

-tidak lulus S1

-Tamatan STM Jaya Pura. Namun, ia mencintai dunia tulis menulis.


D.M. Sukmawati Soekarnoputri (Ketua Umum PNI Marhaenisme)

-Diduga tidak tamat SMA. Ia sekolah hanya sampai kelas II SMAN Teladan Jakarta/SMAN 3 Teladan, Jakarta.

-Riwayat Pendidikannya tidak jelas


Matori Abdul Djalil

-S1 FE Universitas Kristen Satya Wacana 1968 (hanya sampai tingkat III)

-Ketua PMII Cab. Salatiga (1964-1968)

-Sekjen PWNU Jateng (1972-1982)

-Sekjen DPP PPP (1989-1993)


Andrie Wongso (Motivator No 1 Indonesia)

-SD tidak tamat (SDTT)


Buya Hamka

-SD (hanya sampai kelas II)


Jero Wacik (Men-ESDM) ---- tidak bisa berbahasa Inggris.

-S1 (Insinyur mesin ITB)

-S1 FE UI


Dahlan Iskan (Meneg-BUMN/Dirut PLN/Pimpinan JawaPos)

-Fakultas Hukum IAIN Sunan Ampel Surabaya (tidak tamat/DO).


Yahya Colil Staquf (Ketua PB-NU)

-UGM (tidak tamat)


Harry Tjan Silalahi (pendiri CSIS)

-S1 Fakultas Hukum UI


Abraham Samad (Ketua KPK-RI)

-S1, S2, dan S3 di FH Universitas Hasanuddin, Makassar


Marsillam Simajuntak (Jaksa Agung RI. Aktivis Angkatan ’66)

-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (lulus 1971). 

-Fakultas Hukum Universitas Indonesia (lulus 1989).


Dr. Aviliani, S.E., M.Si. (Pengamat Perbankan)

Ttl : Malang, 14 Desember 1961

-S1 Manajemen, FE Unika Atmajaya, Jakarta.

-S2 FISIP Universitas Indonesia (FISIP UI).

-S3 DMB-IPB-Bogor (on going)


Prof. Dr. Gayus Lumbuun (Hakim Agung MA/Guru Besar UI & Unkris)

- SR Kristen, Ambarawa

- SMPN, Purwakarta

- SMA Negeri XVII, Jakarta

- Sarjana Ilmu Hukum dari FH Universitas Krisnadwipayana, Bekasi

- Magister Hukum dari Universitas Tarumanegara, Jakarta

- Doktor Ilmu Hukum dari FH Universitas Indonesia (UI).


Zulkifli Hasan, S.E., M.M. (Menteri Kehutanan KIB II)

       Kelahiran Lampung, 17 Mei 1962

- S1 Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana tahun 1996.

- S2-nya dilanjutkan di Sekolah Tinggi Manajemen PPM di Jakarta dan lulus tahun 2003


Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan)

-Tamat SMP


Abdul Halim Iskandar (Menteri Desa) 



Ahmad Dhani (S1 Hukum Universitas Pancasila, tidak tamat) 

Krisdayanti (SMA 3 Jakarta)
 
Meriam Bellina (SMA Kristen Dago Bandung hanya sampai kelas dua. Pernah 5 tahun di Kanada, menguasai bahasa Inggris dan Belanda)

Melly Goeslaw (SMA BPI 1 Kota Bandung) 

Bob Sadino (sempat kuliah di FH UI, tapi tidak tamat. Saat bekerja di pelayaran Djakarta Lloyd Bob Sadino sering melanglang buana ke luar negeri terutama Belanda dan Jerman sehingga kemampuan bahasa asingnya meningkat. Pengalaman hidup di Eropa dan kefasihannya dalam berbahasa Inggris memudahkan Bob Sadino untuk memasarkan telur kepada tetangga yang kebanyakan ekspatriat atau orang asing)