alt/text gambar
Tampilkan postingan dengan label Makalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makalah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 08 Oktober 2023

, , , , , , , , ,

PENGANGKATAN PJ BUPATI: HARUSKAH MEMPERHATIKAN ASPIRASI MASYARAKAT?

Oleh: NANI EFENDI


Pilkada serentak di seluruh Indonesia masih relatif lama: 27 November 2024. Oleh karena itu, bagi daerah yang masa jabatan bupatinya telah berakhir sebelum pilkada, akan ditunjuk Pj Bupati sampai terpilihnya bupati definitif. Di beberapa daerah, persoalan penentuan Pj Bupati sudah menjadi isu politik yang krusial. Bahkan, di daerah tertentu, terjadi penolakan oleh sekelompok masyarakat terhadap nama-nama calon Pj Bupati yang diusulkan oleh DPRD Kabupaten. 

Sekelompok masyarakat menolak beberapa nama calon Pj Bupati karena dianggap tak mencerminkan aspirasi masyarakat. Pertanyaannya, apakah pengangkatan Pj Bupati suatu daerah mesti memperhatikan aspirasi masyarakat? Bukankah Pj itu hanyalah sebatas jabatan administratif ASN, yang bersifat penugasan, bukan jabatan politik yang dipilih melalui mekanisme pemilihan umum?

Apa itu Pj Bupati?

Pj adalah singkatan dari "Penjabat", bukan "Pejabat". Harus dibedakan istilah "penjabat" dan "pejabat". “Penjabat” artinya orang yang menjabat untuk sementara, menunggu terpilihnya pejabat definitif. Pj Bupati bukanlah jabatan politik yang dipilih oleh masyarakat secara langsung melalui mekanisme demokrasi, yakni pilbup. Ia hanyalah “jabatan administratif” pemerintahan yang berasal dari ASN. Karena itu, untuk menjadi Pj, syaratnya haruslah seorang ASN aktif.

Karena bukan jabatan politik, maka Pj tak memiliki wewenang seluas wewenang bupati definitif. Salah satu contoh, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Pj Bupati dilarang melakukan mutasi ASN. Ia juga dilarang membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan oleh pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan bupati sebelumnya.

Pj Bupati dilarang membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan bupati sebelumnya. Juga Pj Bupati tak boleh membuat kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan bupati sebelumnya. Ini artinya apa? Artinya, Pj tak lebih sebagai "pelaksana tugas (plt)" administratif pemerintahan daerah menunggu dipilihnya bupati melalui pilbup.

Tapi, dan ini yang harus dipahami, meskipun wewenangnya terbatas, dalam praktiknya, Pj Bupati saat ini sudah bisa disebut "setengah bupati". Bahkan, di daerah tertentu, Pj sudah "rasa bupati", bergaya bupati, dan dipanggil sebagai "Pak Bupati". Saya terkadang merasa lucu juga mendengar orang memanggil seorang Pj dengan sebutan "Pak Bupati". “Sejak kapan ia dipilih oleh masyarakat,” pikirku. Bukankah ia hanya seorang pegawai ASN, tak ubahnya seorang sekda, kepala dinas, kepala instansi, dan semacamnya? Mestinya Pj dipanggil "Pj" saja, bukan "bupati". Karena ia memang bukan bupati. Pj itu hanyalah seorang ASN, bukan pejabat politik yang dipilih berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat dalam demokrasi.

Namun demikian, dalam praktik, Pj juga punya peran besar yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Bahkan, sebagaimana saya sebutkan di atas, ia seolah-olah menjadi "setengah bupati". Artinya, saat ini, Pj tak bisa juga dipandang sebagai ASN belaka. Pj memiliki tugas, kewenangan, kewajiban, dan larangan yang sama dengan tugas, wewenang, kewajiban, dan larangan bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah. Walaupun dalam hal-hal tertentu wewenangnya terbatas dan tak bisa bertindak layaknya bupati definitif sebagaimana yang saya jelaskan di atas.

Dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban, Pj Bupati juga memiliki hak keuangan dan hak protokoler yang setara dengan kepala daerah definitif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam perspektif negara hukum demokratis, ada benarnya juga Pj itu diangkat dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.

Masyarakat, dalam perspektif politik, menurut saya, idealnya memang harus didengarkan aspirasinya dalam pengangkatan Pj. Karena Pj tak bisa dipandang sebagai pegawai administratif ASN biasa. Pj punya akses luas dan pengaruh besar dalam memimpin administrasi pemerintahan daerah. Karena itulah mekanisme pengusulannya ke presiden tak murni dari menteri, maupun gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Pj juga diusulkan melalui mekanisme politik oleh DPRD Kabupaten. Nah, kalau sudah melibatkan DPRD, berarti Pj tak murni lagi jabatan ASN. Ia sudah bermuatan politik.

Kalau sudah bermuatan politis, maka masyarakat berhak ikut terlibat dalam penentuan Pj Bupati. Protes masyarakat dalam pengusulan Pj Bupati, menurut saya, tidaklah keliru. Oleh karena itu, dalam pengusulan nama-nama Pj Bupati, DPRD—yang merupakan wakil rakyat—mesti mendengarkan pertimbangan, masukan, dan aspirasi masyarakat. DPRD Kabupaten semestinya membuka ruang-ruang diskusi publik terkait nama-nama yang dinilai layak untuk menjabat Pj Bupati. Mesti ada transparansi dan penjelasan rasional: mengapa si A, mengapa tidak si B, si C, dan seterusnya.

Mekanisme pengangkatan Pj Bupati

Ada yang mengatakan wewenang itu ada pada gubernur. Ada juga yang mengatakan wewenang itu dimiliki oleh DPRD Kabupaten. Padahal, DPRD Kabupaten hanya sebatas punya kewenangan mengusulkan, bukan menetapkan. Yang punya kewenangan mengangkat dan menetapkan Pj Bupati adalah Presiden. Bagaimana mekanismenya? Mekanisme pengangkatan Pj Bupati diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Wali Kota.

Pengusulan Pj Bupati dilakukan oleh Menteri, gubernur, dan DPRD melalui ketua DPRD kabupaten. Menteri mengusulkan 3 (tiga) orang calon. Gubernur juga dapat mengusulkan 3 (tiga) orang calon. Dan DPRD melalui ketua DPRD kabupaten dapat juga mengusulkan 3 (tiga) orang calon Pj Bupati yang memenuhi persyaratan kepada Menteri. Nama yang diusulkan bisa berjumlah 9 (sembilan) orang. Kemudian dilakukan pembahasan oleh Mendagri dan mengerucut menjadi 3 (tiga) nama. Mendagri menyampaikan 3 (tiga) nama usulan calon Pj Bupati kepada Presiden melalui Mensesneg untuk dipilih satu di antara tiga nama. Pengangkatan Pj Bupati ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Jadi, kalau dilihat dari dasar hukumnya, yakni Permendagri Nomor 4 Tahun 2023, wewenang pengusulan itu ada pada Mendagri. Gubernur dan DPRD hanya sebatas “dapat” mengusulkan. Keputusan ada di tangan Presiden. Tapi, sebagaimana yang saya jelaskan di atas, karena Pj bisa menjadi “setengah bupati”, maka idealnya, pertimbangan dan aspirasi masyarakat kabupaten yang bersangkutan—yang diusulkan melalui DPRD Kabupaten—menjadi bahan pertimbangan yang harus diperhatikan. Bagaimanapun, Indonesia adalah negara demokrasi, yang kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat.

NANI EFENDI, Alumnus HMI


Senin, 11 September 2023

, , , , , ,

BERANILAH KELUAR DARI GRUP-GRUP WA: RELEVANSI PEMIKIRAN NIETZSCHE TENTANG MORALITAS KAWANAN


Oleh: Nani Efendi


Saat ini, terlalu banyak grup-grup WhatsApp yang dibuat dengan berbagai tujuan. Bahkan banyak yang tak jelas juntrungannya. Kesalnya, dalam aplikasi WA tak ada menu pengaturan untuk bisa memblokir pesan masuk. Juga tak ada pengaturan agar kita keluar tapi tak diketahui oleh para anggota grup. Kalau ada yang keluar, pasti aplikasi Whatsapp akan memberi keterangan: "si X keluar", "si Badu keluar". Karena itu, orang jadi segan keluar grup—karena merasa tak enak dengan kawan yang lain, terutama terhadap admin pembuat grup. Oleh karena itu, ketika mau keluar grup, orang terpaksa harus pamitan baik-baik agar kawan tak tersinggung. Sebaliknya, ada juga peserta yang dongkol, namun memilih tetap bertahan karena alasan menghormati admin grup. Padahal, ia ingin sekali keluar grup seandainya ada cara yang lebih baik.

Nietzsche tentang moral kawanan

Bagi yang belajar filsafat atau pemikiran Nietzsche, pasti tahu istilah "moral kawanan". Friedrich Nietzsche adalah seorang filsuf dan kritikus budaya yang lahir di Jerman pada 1844. Ungkapan Nietzsche yang terkenal ialah " tuhan telah mati".
Bramanti Kusuma, dalam salah satu tulisan di Kompasiana yang berjudul "Teori Nietzsche Mengenai Etika", menjelaskan, bahwa Nietzsche membagi moralitas menjadi dua: moralitas budak dan moralitas tuan. Moralitas budak disebut juga moralitas kawanan. Moralitas kawanan adalah moralitas orang kecil, masal, lemah, moralitas yang tidak mampu untuk bangkit dan menentukan hidupnya sendiri dan selalu iri terhadap mereka yang kuat. 
Moralitas budak ini, lanjut Bramanti Kusuma, selalu mengikuti kelompok dan tidak berani untuk bertindak sesuai keinginannya sendiri.
Nietzsche sangat membenci moralitas. Karena moralitas itu membuat orang tidak berani menjadi diri sendiri: karena moralitas kawanan menjadikan orang hidup sesuai dengan orang-orang lain. Nietzsche ingin orang tidak perlu ikut-ikutan orang lain.

Keluar dari grup WA, jangan berkerumun, jadilah otentik! 

Dalam kondisi sosial media hari ini, menurut F. Kennedy Sitorus, mungkin Nietzsche akan menganggap kita ini mengikuti moralitas budak atau moralitas kawanan semua. Terutama dengan banyak orang-orang yang menjadi anggota grup-grup WA. Orang jadi ketergantungan pada sosial media. Tak berani keluar untuk menjadi diri sendiri.
Senada dengan Kennedy Sitorus, F. Budi Hardiman, alumnus Hochschule für Philosophie München, Jerman, yang sekarang menjadi guru besar filsafat di Universitas Pelita Harapan Jakarta, dalam suatu diskusi, mengatakan, bahwa kerumunan sangat berbahaya untuk kebebasan eksistensial. Karena kerumunan mengasingkan individu dari perasaan-perasaannya, dari pemikirannya, bahkan juga dari keinginannya. Orang yang terbiasa didikte oleh kelompok, tidak sadar siapa dirinya. Tidak sadar keinginannya sendiri. Jadi, kerumunan adalah entitas yang berbahaya: memperbodoh, membuat orang takut ambil keputusan, membuat orang tidak dewasa dan tidak matang. Karena itu, kata F. Budi Hardiman, jauhi kerumunan. Jadilah otentik.
Hidup berkerumun itu analoginya adalah kawanan bebek, atau kawanan domba. Seekor bebek tak berani ambil keputusan sendiri: tetap selalu "membebek" mengikuti kawanannya, bergantung pada kawanannya.
Grup-grup WA, FB, kata Fitzerald Kennedy Sitorus, juga bisa digolongkan sebagai kerumunan. Jadi, orang harus berani keluar dari grup-grup WA yang tak jelas. Pesan Friedrich Nietzsche: jadilah orang penting (Ubermensch), jangan jadi sekedar bagian dari kerumunan atau the last man (orang rata-rata) saja.

Nani Efendi, Alumnus HMI


Jumat, 08 September 2023

, , , , , , , ,

BERBICARA, ITULAH HAKIKINYA TUGAS DPR


Oleh: Nani Efendi

 

Jargon "banyak kerja sedikit bicara" mungkin bagus untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu, tapi tidak berlaku untuk anggota DPR maupun DPRD. Karena tugas sebenarnya dari anggota DPR atau parlemen itu ialah "berbicara". Asal kata "parlemen" itu dari bahasa Prancis: "parler" yang artinya: "berbicara". Bahasa Inggrisnya: "speak". Istilah "watchdog" atau "anjing penggonggong" juga sering disematkan kepada tugas DPR. Mengapa? Karena ia bertugas mengawasi penyelenggaraan negara.

Dalam negara demokrasi, seperti Indonesia, misalnya, tidak ada satu lembaga negara pun yang dikecualikan dari pengawasan DPR. Bahkan, lembaga peradilan pun, yang bersifat independen dan bebas dari intervensi, tak bisa lepas dari pengawasan DPR. Jadi, jika ada yang tak benar, tak adil, yang dilakukan oleh pemerintah atau semua lembaga-lembaga negara, DPR harus "menggonggong" (mengkritisi, meluruskan dalam upaya mewujudkan cita-cita keadilan dan kesejahteraan rakyat). DPR berwenang membuat bahkan mengubah undang-undang sekalipun. Jadi, kalau ada yang tak suka anggota DPR banyak bicara, itu tanda ia tak paham hakikat tugas DPR. Atau, jika ada anggota DPR atau DPRD yang tak banyak bicara, yang kerjanya cuma diam, berarti ia tak paham arti keberadaannya sebagai anggota DPR maupun DPRD.

Kerja DPR itu bicara

Ada tiga fungsi DPR: fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Ketiga fungsi itu membutuhkan keharusan dan keberanian "berbicara" di dalamnya. Pertama, misalnya, dalam fungsi legislasi. Anggota DPR harus bicara. Menyuarakan keadilan dan kebenaran. Sehingga produk legislasi berupa peraturan perundang-undangan benar-benar menjadi landasan hukum dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. DPR dalam proses legislasi atau pembuatan hukum (peraturan perundang-undangan) tak boleh diam apalagi sekedar menjadi "tukang stempel" UU yang bersifat "pesanan". Bicara, bicara, bicara, begitulah tugas DPR! Bukan datang, duduk, diam, duit. 

Kedua, fungsi pengawasan. DPR mempunyai wewenang mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan mengawasi seluruh proses penyelenggaraan negara. Dalam tugas pengawasan, tentu anggota DPR harus bicara. Jika ada yang tak beres, anggota DPR harus berani bicara mengkritisi. Sekalipun ia dari anggota partai pendukung pemerintah. Karena, posisi DPR itu pada hakikatnya adalah "oposisi" dengan pemerintah. DPR tak boleh berkoalisi apalagi berkolaborasi dengan pemerintah. Begitulah konsep yang benar teori Trias Politica dari filsuf Inggris, John Locke. Legislatif mengawasi eksekutif. Dalam melakukan fungsi pengawasan, lagi-lagi DPR harus berbicara: berani mengatakan yang salah adalah salah; yang benar adalah benar.

Ketiga, fungsi anggaran. Sebelum APBN/APBD disahkan, dilakukan pembahasan terlebih dahulu. Di sini, tentu DPR mesti bicara. Ia harus menyampaikan segala persoalan terkait anggaran agar anggaran benar-benar adil, efektif, efisien, tepat sasaran, dan berkeadilan, demi terwujudnya kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya.

Selain tiga fungsi di atas, DPR juga punya hak-hak, di antaranya: hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Hak-hak itu juga dilaksanakan dalam bentuk keberanian berbicara dari Anggota DPR. Jika Anggota DPR takut bicara, hak-hak tersebut tak mungkin bisa dilaksanakan.

Karena tugasnya adalah "bicara", maka Anggota DPR diberi hak imunitas. Hak imunitas adalah hak DPR untuk membicarakan atau menyatakan secara tertulis segala hal (dalam tugasnya) tanpa boleh dituntut di muka pengadilan.

Hak imunitas membolehkan anggota parlemen untuk bebas berbicara dan mengekspresikan pendapat mereka tentang keadaan politik tertentu tanpa rasa khawatir akan mendapatkan tindakan balasan atas dasar motif politik pula, atau motif politik tertentu. 

Hak imunitas menjadikan anggota DPR dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam menyuarakan kepentingan rakyat. Hak imunitas diberikan kepada Anggota DPR agar ketika berhadapan dengan hukum ia bisa menjalankan kewajiban konstitusionalnya, yaitu memberikan pendapat dan "suara" terhadap putusan yang menyangkut kebijakan publik. 

Digaji untuk bicara dan berpikir

Jadi, sekali lagi, DPR itu tugasnya ialah berbicara. Berbicara menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Dan, tidak hanya sebagai penyampai aspirasi rakyat, tapi juga menyampaikan gagasan-gagasannya sendiri. Oleh karena itu, idealnya anggota DPR itu adalah juga seorang pemikir. Anggota DPR harus punya pemikiran-pemikiran cemerlang tentang kebaikan. 

Ada yang mengatakan bicara saja tak cukup, harus ada action. Saya jawab, “Ya, action-nya DPR itu ialah dalam bentuk berbicara.” Bicara dalam hal pengawasan, legislasi, dan budgeting. Fungsi-fungsi itu dilakukan dalam bentuk "bicara". Dalam proses legislasi dibutuhkan bicara: membuat UU, Perda, misalnya, butuh perdebatan, butuh adu argumen. Dan itu mesti dengan bicara. Kemudian, budgeting (anggaran) juga dibutuhkan bicara. Agar anggaran bisa tepat sasaran. Jadi, action DPR itu ya bicara dan bicara.

Anggota DPR itu harus bisa dan berani bicara (bersuara). Itulah tugasnya. Ia digaji dari uang rakyat ya untuk bicara. Kerjanya ya bicara: sebagai speaker. Jika ia tak bicara, tak ada artinya ia sebagai wakil rakyat: tak ubah seperti pekerjaan tukang yang bekerja dengan perkakas tanpa perlu bersuara. Fungsi DPR itu—meminjam istilah Bung Karno—ialah sebagai "penyambung lidah rakyat". Jadi, keliru jika ada yang meminta anggota DPR jangan banyak bersuara (gaduh) mengkritik kebijakan-kebijakan penguasa. Justru anggota DPR yang banyak diam itulah yang tak benar dan harus dipertanyakan kinerjanya.

NANI EFENDIKritikus Sosial


Kamis, 06 Oktober 2022

, , ,

TENTANG ADAT KERINCI: SEBUAH CATATAN KRITIS

 

Oleh: NANI EFENDI

 

Sahabat saya, Toni Suherman, beberapa waktu lalu, memasukkan nomor WA saya ke dalam grup WhatsApp “Majelis PASAK”. Anggotanya banyak sekali. PASAK adalah singkatan dari Peduli Adat Sakti Alam Kerinci. Karena baru bergabung, saya tak tahu pasti apa tujuan grup ini. Tapi, dari diskusi-diskusi yang saya perhatikan di dalamnya, saya bisa melihat bahwa—salah satu—tujuan grup ini adalah dalam rangka kepedulian dan upaya menyelamatkan adat Kerinci. Namun, tak jelas apanya yang mau  diselamatkan dan dipedulikan. Lembaganya atau nilai-nilainya?

Dalam grup WA “Majelis PASAK”, saya lebih banyak melihat diskusi seputar kelembagaan, struktur kekuasaan, “kedepatian”, sejarah adat Kerinci dengan berbagai versi, romantika kejayaan adat masa lalu, dan sejenisnya, dan bukan tentang nilai-nilai adat yang lebih substansial, yang dianggap masih relevan dengan kondisi masyarakat kontemporer. Kebanyakan diskusi itu pun datanya hanya bersumber dari “konon katanya”, bukan berdasarkan fakta-fakta historis yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Apa itu “adat”?

Untuk memahami pengertian “adat”, saya merujuk pada penjelasan Nurcholish Madjid (akrab disapa Cak Nur) dalam bukunya Dialog Ramadlan Bersama Cak Nur, (2000:128).[1] Cak Nur menjelaskan arti kata “adat”, sehubungan dengan penjelasannya mengenai arti kata Idul fitri, khususnya kata “’id”. Kata ‘id, menurut Cak Nur, berasal dari akar kata yang sama dengan kata-kata ‘awdah atau ‘awdatun, ‘adah atau ‘adat-un dan isti’adat-un. Semua kata-kata itu mengandung makna asal “kembali” atau “terulang” (perkataan Indonesia “adat-istiadat” adalah pinjaman dari bahasa Arab ‘adat-un wa isti-‘adatun, yang berarti sesuatu yang selalu akan terulang. Adat ialah sesuatu yang menjadi kebiasaan karena selalu diulang. Maka disebut “adat kebiasaan”).

Jadi, merujuk pada penjelasan Cak Nur di atas, adat berarti “kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara berulang-ulang”. Oleh karena itu, adat bisa berbeda-beda dan tak sama antar berbagai masyarakat. Kebiasaan masyarakat Eropa bisa berbeda dengan kebiasaan masyarakat Arab. Pun demikian kebiasaan di Kerinci tak sama dengan di daerah lain. Adat masyarakat mana yang benar? Tergantung kebiasaan mereka. Jika kebiasaan mereka sesuai dengan prinsip-prinsip moral-etis dan islami, maka, menurut saya, adat merekalah yang benar. Itu pun kalau yang menjadi basis nilainya adalah ajaran Islam. 

Oleh karena itu, bisa saja kebiasaan (adat) yang etis dalam hal-hal tertentu itu terdapat di Eropa, bukan di kita. Pun bisa juga sebaliknya. Tapi yang jelas, adat itu—merujuk pada asal kata—ialah “kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat secara berulang-ulang”. Pemakaian “sko” di Kerinci, dari paman turun ke keponakan, misalnya, disebut adat karena telah dilakukan berulang-ulang sejak lama. Menyalahi ketentuan itu berarti menyalahi kebiasaan. Jadi, dasarnya: kebiasaan, bukan syarak (ajaran Islam).

Adat Kerinci: Apa yang harus menjadi kepedulian?

Dalam adat Kerinci, dikenal slogan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”. Artinya, adat yang dianggap benar dan harus dipedulikan dan dijaga itu ialah yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pertanyaannya, manakah adat yang sebenarnya, yang sesuai dengan syarak? Nurcholis Madjid, dalam bukunya, Islam: Doktrin dan Peradaban (Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan), menjelaskan bahwa dalam fakta historis, selalu terjadi akulturasi budaya lokal dan Islam. 

Akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal, jelas Cak Nur, diakui dalam suatu kaedah atau ketentuan dasar dalam ilmu Ushul Fiqh, bahwa "adat itu dihukumkan", (al 'adah muhakkamah), atau lebih lengkapnya, "adat adalah syariah yang dihukumkan" (al 'adah syari'ah muhakkamah). Artinya, menurut Cak Nur, adat dan kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya lokalnya, adalah sumber hukum dalam Islam. Tentunya, lanjut Cak Nur, budaya lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. 

Yang bertentangan dengan Islam, menurut Cak Nur, harus dihilangkan atau diganti. Dibersihkan dari unsur-unsur syirik, takhayul, mitologi, feodalisme, ketidakpedulian pada nasib orang kecil yang tertindas, pengingkaran hak asasi, perlawanan terhadap prinsip persamaan umat manusia, dan seterusnya. Semuanya harus ditiadakan dan diganti dengan ajaran Islam (tauhid).[2]

Kedatangan Islam, menurut Cak Nur, selalu mengakibatkan transformasi sosial (pengalihan bentuk) masyarakat ke arah yang lebih baik. Tapi, jelas Cak Nur, pada saat yang sama, kedatangan Islam tak mesti "disruptif" atau bersifat memotong suatu masyarakat dari masa lampaunya semata, melainkan juga dapat ikut melestarikan apa saja yang baik dan benar dari masa lampau itu dengan cara membersihkannya dari unsur-unsur syirik. Bentuk praktek kebiasaan masyarakatnya bisa saja sama seperti masa lalu, tapi esensinya sudah berorientasi islami (tauhid). Itulah yang dilakukan Sunan Kalijaga pada masyarakat Jawa yang sebelum Islam datang masyarakatnya masih menganut budaya Hinduisme dan Budhaisme.[3]

Terkait peran Islam terhadap adat kebiasaan, kita bisa lihat contoh, misalnya, tradisi upacara menghormati orang yang meninggal (3, 7, 40, 100 hari). Ada yang mengatakan itu bukan ajaran Islam, tapi merupakan budaya masyarakat sebelum Islam. Terlepas dari itu, yang jelas, Islam meluruskan praktek itu dengan mengisinya dengan amalan (tahlilan), membaca lafal “la ilaha illa Allah”. Jadi, Islam datang tak langsung memberantas adat kebiasaan masyarakat, tapi cukup membersihkannya dari unsur syirik yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.[4] Praktiknya bisa saja sama dengan di masa lalu, tapi orientasi dan esensinya harus bernafaskan Islam.

Jadi, merujuk penjelasan Cak Nur, adat Kerinci yang dipraktikkan hari ini tidaklah murni berasal dari kebiasaan masyarakat sebelum kedatangan Islam, dan tak murni juga bersumber dari Islam. Yang ada: percampuran nilai-nilai dari berbagai kultur (budaya) berbagai masyarakat dunia. Nah, tugas generasi sekarang: mengislamkan adat, dan mengadatkan nilai-nilai Islam.[5] Artinya, membersihkan adat dari unsur-unsur yang tak sesuai dengan nilai-nilai Islam (tauhid). Di situlah esensi “prinsip adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”.[6]

Mengikuti diskusi dalam grup Pasak, saya melihat ada upaya untuk “menyelamatkan” adat Kerinci. Tapi tak jelas yang mau diselamatkan itu apanya? Apakah sistem kekuasaan seperti “raja”, “kedepatian” dan berbangga-bangga dengannya, strata sosial berdasarkan gelar adat (yang saya nilai kental dengan nuansa feodalnya—padahal, masyarakat Kerinci itu egaliter, tak ada "darah biru"), wilayah kekuasaan adat, dan tradisinya? Atau yang mau diselamatkan itu adalah nilai-nilai kebajikan yang sesuai prinsip-prinsip tauhid, yang katanya bersumber dari kitabullah? Itu yang saya lihat belum jelas.

Saya lebih tertarik jika yang ingin dipertahankan dan diluruskan itu adalah nilai-nilai kebajikannya (tauhid). Karena nilai-nilai tauhid itu bersifat abadi. Hanya implikasinya dalam praktik di masyarakat bisa berbeda-beda. Sekedar contoh sederhana saja, misalnya, kaum wanita diwajibkan menutup aurat. Tapi dalam aplikasi, menutup aurat itu bisa berbeda bentuknya dalam berbagai masyarakat. Di daerah tertentu wanitanya sudah memakai kerudung dan rok panjang mode terkini. Tapi, di daerah lain mungkin berupa penutup kepala yang masih sederhana, yang dalam bahasa Kerinci dikenal dengan “tapu” dan “t’hap”.

Jadi, yang harus dijaga itu adalah nilai-nilai kebajikan yang bersifat universal, yang sesuai dengan nilai-nilai fitrah manusia yang hanif (cenderung pada kebenaran), yang masih relevan dengan masyarakat kontemporer. Selebihnya, hanyalah kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang memang bisa berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan hukum dialektika sejarah.

Yang sakral—yang “tak lekang oleh panas” dan “tak lapuk oleh hujan”—itu adalah nilai-nilai tauhidnya yang bersumber dari kitabullah (Al Qur’an), bukan “ico pakai” yang sifatnya temporer, profan, dan berbeda-beda antar daerah. Jadi, sekarang tinggal dilihat mana nilai-nilai adat yang bisa berubah dan mana yang tak bisa diubah. Jika yang bersifat profan (duniawi) berubah dan diubah, kita tak perlu sedih, apalagi marah.[7] Itulah hukum sejarah: tak ada yang abadi, kecuali Allah. 

Yang bisa diubah dan berubah, misalnya, adalah tradisi yang bersifat seremonial, terutama yang tak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Yang tak bisa diubah, misalnya, nilai-nilai sakral dalam kitabullah, seperti ketauhidan, ketuhanan, keadilan, kemanusiaan. Dan, itu ditegaskan sendiri dalam “kaji adat” Kerinci: “Suruh, dikerjo. Tegah, dihenti. Sah, dipakai. Batal, dibuang!


NANI EFENDIAlumnus HMI


Catatan kaki:

[1] Nurcholish Madjid, Dialog Ramadlan bersama Cak Nur, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000

[2] Lihat Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban (Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan), Jakarta: Paramadina, 1992, h. 550-551

[3] ‘Abdul al Wahhab Khallaf, sebagaimana dikutip Cak Nur, juga menguraikan bahwa para pembangun mazhab dahulu juga menggunakan unsur-unsur tradisi untuk sistem hukum yang mereka kembangkan. Cak Nur mengutip: “Oleh karena itulah para ‘ulama berkata: al 'adah syari'ah muhakkamah (adat adalah syariah yang dihukumkan). Dan adat kebiasaan (‘urf) itu dalam syara’ harus dipertimbangkan. Imam Malik membangun banyak hukum-hukumnya atas dasar praktik penduduk Madinah. Abu Hanifah dan pendukungnya beraneka ragam dalam hukum-hukum mereka berdasarkan aneka ragamnya adat-kebiasaan mereka. Imam Syafi’I setelah berdiam di Mesir merubah sebagian hukum-hukum perubahan adat-kebiasaan (dari Irak ke Mesir). Karena itu, ia mempunyai pandangan hukum: yang lama dan yang baru (qawl qadim dan qawl jadid). Dan dalam fiqh Hanafi banyak hukum yang didasarkan pada adat kebiasaan.” (lihat Cak Nur, Ibid., h. 554).  

[4] Lihat Nurcholish Madjid, Ibid., h. 550-551. Dalam Islam, kata Cak Nur, (Ibid., h. 554), ada etos yang berlaku di kalangan ulama, yaitu “al muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah” (memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik). Jadi, tradisi itu tidak semuanya jelek dan juga tak semuanya baik. Yang jelek harus diganti dan yang baik harus dipertahankan. Islam, jelas Cak Nur (Ibid., h. 552), sangat menentang sikap tradisionalisme, yaitu sikap yang memandang bahwa semua tradisi leluhur selalu baik dan harus dipertahankan serta diikuti. Islam mengharuskan kita bersikap kritis terhadap tradisi (lihat Qs. Al Isra’/17: 36). Allah juga memperingatkan dalam Kitab Suci tentang argumen yang sering diajukan orang-orang yang menutup diri (kafir) terhadap kebenaran. Firman Allah: “Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, "Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekedar pengikut jejak-jejak mereka. (Rasul itu) berkata, "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih baik daripada apa yang kamu peroleh dari (agama) yang dianut nenek moyangmu." Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami mengingkari (agama) yang kamu diperintahkan untuk menyampaikannya.”

[5] Mengadatkan nilai-nilai Islam artinya menjadikan ajaran-ajaran Islam sebagai kebiasaan dalam hidup masyarakat.

[6] Syarak itu maksudnya adalah syariat Islam atau ajaran-ajaran Islam. Tapi sepertinya slogan itu, menurut saya, tak lengkap. Karena hanya disebutkan kitabullah (Al Qur’an) saja. Padahal, dalam Islam tak hanya kitabullah yang dijadikan pedoman. Ada juga hadits, qias, dan ijma’ ulama. Tapi, pertanyaannya, siapa yang bisa memurnikan adat? Bukankah sudah lazim diketahui bahwa terdapat tafsir yang berbeda-beda terhadap nilai-nilai Islam?

[7] Contohnya tentang denda bagi pelanggar hukum adat, biaya-biaya adat terkait perkawinan, mendirikan rumah, masuk menjadi anggota masyarakat suatu desa, dan lain-lain, itu semua bisa diubah bedasarkan kesepakatan. Karena tak ada ketentuan pasti dalam syarak.


Rabu, 06 Juli 2022

, , , , ,

Komunikasi dan Perubahan Politik di Indonesia

 .

Oleh: Jalaluddin Rakhmat

 

Whoever shapes public understanding of the labels thereby shapes the nature of political discourse. The history of political language is history of struggles to shape the publicly accepted meaning of these key terms.

                                 —   David Green


Semua ahli komunikasi sepakat bahwa makna kata sangat subjektif. Words don’t mean, people mean. Sekiranya ada buku yang menyampaikan makna secara objektif, orang akan menunjuk kamus. Seorang penyusun kamus hanya menghimpun makna yang ia temukan, baik dalam pemakaian, percakapan, maupun tulisan. Istvan Meszaros pernah menggunakan program Word Finder Thesaurus untuk menemukan makna conservative, liberal, dan revolutionary. Dengan sangat mengejutkan, ia menemukan bahwa kamus pun ternyata menyajikan makna secara subjektif. 

Word Finder Thesaurus dari salah satu program word processor yang paling populer, WordStar Professional, menumpukkan dengan sangat pemurah sejumlah besar karakteristik positif mengenai conservative dan liberal; sehingga orang mungkin menduga bahwa kata sifat “heroik” dan “suci” tidak dimasukkan hanya karena terlewat saja. Pada saat yang sama, kata revolutionary hanya mempunyai sejumlah kecil makna—yang mungkin patut menjadi perhatian lembaga negara dan pejabat penjara—karena ia disifatkan sebagai “extreme, extremist, fanatic, fanatical, rabid, radical, and ultra”. Inilah yang kita lihat bila aturan “objektivitas” yang diteriakkan dengan keras itu diterapkan pada satu sisi spektrum politik dan dipertimbangkan dengan spektrum yang lain. Ini terjadi bahkan pada tugas semata-mata menghimpun kamus sinonim yang “bebas ideologi”.

Hal ini mungkin mengejutkan banyak orang. Akan tetapi, yang sangat gamblang adalah kenyataan bahwa dalam masyarakat kita semua hal telah “tercelup ideologi”, apakah kita menyadarinya atau tidak (Istvan Meszaros, 1989).

Ideologi adalah serangkaian preferensi yang dimiliki bersama oleh komunitas politik. Karena ideologi itu socially shared, ia pasti terbentuk melalui proses sosial. Ia harus dirumuskan secara jelas oleh elite intelektual dan kemudian disebarkan kepada anggota komunitas politik lainnya. Dalam perumusan dan penyebaran ideologi, peran bahasa sangat menentukan. Tidak berlebihan dikatakan ideologi membentuk dan dibentuk oleh bahasa.

Dengan ideologi, orang memberi makna pada realitas sosial. Untuk memudahkan penyimpanan, pemeliharaan, pengolahan, dan penyampaian makna diperlukan bahasa. Pada gilirannya, bahasa tertentu—yang ditampakkan pada pemilihan kata dan kalimat—membentuk realitas sosial yang tertentu.

Berkenaan dengan peranan bahasa dalam mengkonstruksi realitas sosial, di kalangan ilmuwan sosial terkenal apa yang disebut Kenneth Gergen sebagai the social constructionist movement, sebuah gerakan yang tumbuh berkat dorongan kaum interaksi simbolik dan karya-karya Schutz, Berger, dan Luckman.

Gerakan ini didasarkan pada empat asumsi (Stephen P. Littlejohn, 1989):

1. Dunia ini tidaklah tampak secara objektif pada pengamat, tetapi diketahui melalui pengalaman yang umumnya dipengaruhi bahasa.

2. Kategori linguistik yang dipergunakan untuk memahami realitas bersifat situasional karena kategori itu muncul dari interaksi sosial dalam kelompok orang pada waktu dan tempat tertentu.

3. Bagaimana realitas dipahami pada waktu tertentu ditentukan oleh konvensi komunikasi yang berlaku pada waktu itu. Karena itu, stabilitas dan instabilitas pengetahuan lebih banyak bergantung pada perubahan sosial ketimbang realitas objektif di luar pengalaman manusia.

4. Pemahaman realitas yang terbentuk secara sosial membentuk banyak aspek kehidupan lain yang penting. Bagaimana kita berpikir dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari umumnya ditentukan oleh bagaimana kita memahami realitas kita.

Pada asumsi-asumsi gerakan konstruksionis sosial ini, kita harus menambah satu asumsi lagi. Dalam wacana politik, walaupun kategori linguistik itu muncul dari interaksi sosial, ia sangat ditentukan oleh orang-orang yang berkuasa. Bosmajian menegaskan bahwa penguasa mendefinisikan segala hal dan hampir selalu mendefinisikannya untuk makin merugikan yang kurang berkuasa.

Elite penguasa menetapkan ideologi yang berkuasa. Dengan mengutip lagi Meszaros, ideologi yang berkuasa can misuse and abuse language quite openly, in that danger being publicly exposed is negligible; both because of the prevailing relation of force and the double standard applied to the contested issues by the defenders of the established order.

Dengan demikian, pergantian elite penguasa selalu mengandung implikasi pergantian “bahasa”. Setiap elite, sesuai dengan ideologinya, akan menyusun “kamus” yang khas. Kamus ini kemudian akan “dimasyarakatkan” melalui aparatur negara, organisasi, dan lembaga sosial. Melalui kamus ini, anggota komunitas politik harus menafsirkan realitas politik.

Ketika Orde Lama digantikan Orde Baru, terjadi pergantian elite penguasa. Ideologi elite pun berganti. Dalam wacana politik, pergantian ini dapat kita lihat pada pergantian daftar kosakata dan pergeseran makna kata. Tulisan ini akan mencoba mengungkapkan keduanya. Pembahasannya sama sekali tidak komprehensif, sekedar memberikan contoh bagaimana analisis bahasa dapat kita pergunakan untuk menganalisis perubahan politik.

Pergantian Daftar Kosakata

Ada sejumlah besar kata dalam wacana politik Orde Lama yang tidak terdengar lagi pada Orde Baru. Sebaliknya, pada Orde Baru kita mendengar kosakata baru yang tidak ada pada wacana politik Orde Lama. “Revolusi”, “kontrarevolusi”, “nekolim”, “antek-antek”, “kapitalis-imperialis”, “nasakom”, “Manipol-Usdek”, “indoktrinasi”, adalah contoh kata pada kamus Orde Lama. “Pembangunan”, “antipembangunan”, “penataran”, adalah sebagian daftar kosakata Orde Baru.

Bila kita perhatikan lebih dalam, kata-kata itu mengungkapkan kepada kita paling tidak tiga hal: ideologi elite penguasa, distribusi kekuasaan, dan jenis elite penguasa. Kosa kata Orde Lama pada kata kunci “revolusi”. Indonesia digambarkan sedang melakukan revolusi besar membangun Dunia Baru dan menjungkirbalikkan dunia yang sekarang. Karena itu, revolusi berarti perubahan cepat. Dari sini muncul “retooling”, “new emerging forces”, “umwertung aller werte” (penjungkir-balikan nilai-nilai). Dalam membangun dunia baru ini, Indonesia berada di barisan paling depan. Wacana politik dipenuhi kata-kata yang “memuja” bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia adalah rakyat yang sudah “masuk kawah Candradimuka”, sudah digembleng dengan berbagai tantangan, berotot kawat bertulang besi; bukan bangsa “tempe” (walaupun tempe sebetulnya makanan yang bergizi).

Tentu saja, sebagai “rakyat yang revolusioner”, bangsa Indonesia menghadapi banyak musuh. Dari luar, musuh itu adalah “imperialisme” dan “kolonialisme”, yang lama maupun yang baru. Dari dalam, musuh itu bergerak melalui antek-anteknya, yang umumnya terbelenggu dalam “text-book thinking”. Mereka adalah unsur-unsur antirevolusi. Buruh, tani, dan rakyat kecil (kaum marhaen) harus mewaspadai dan setiap saat siap “mengganyang” mereka. Supaya menjadi revolusioner, rakyat harus diindoktrinasi, paling sedikit dengan Tujuh Bahan  Pokok Indoktrinasi (TUBAPIN).

Kosakata itu hampir seluruhnya berasal dari Sukarno. Kontributor besar pada kamus Orde Lama adalah Pemimpin Besar Revolusi. Ia merumuskan dan menentukan wacana politik. Ia menciptakan kosakata secara sangat kreatif. Ini sekaligus menunjukkan kekuasaan yang berpusat kepadanya. Frekuensi kata pada wacana politik sekaligus menunjukkan besaran kekuasaan dalam elite politik. Dalam istilah Aristoteles, wacana politik Orde Lama menunjukkan The Rule of One.

Ketika Orde Baru muncul, kata kunci adalah “pembangunan”. Indonesia digambarkan sebagai bangsa yang sedang membangun. Emmerson melukiskan ideologi pembangunan ini dengan merujuk pada pandangan Ibnu Sutowo, “Sotowo’s notion of development focused on physical plant, technology, infrastructure—bangun, the root of Indonesian word pembangunan or development, meaning “to build” in a material sense. But bangun also means “to wake up” or figuratively, to enable million of individuals to improve their lives through heightened awareness. The latter task is not merely to concentrate value for growth, but to enable people to share its benefits, and thus to ensure development of a broad popular base.

Karena pembangunan lebih terpusat pada pembangunan ekonomi, maka masuklah jargon ekonomi pembangunan, seperti “akselerasi”, “tinggal landas” (take-off-nya Rostow), “pertumbuhan”, “teknologi”, “modernisasi”, “efisiensi”, dan sebagainya. Untuk kesinambungan pembangunan, diperlukan kesinambungan pimpinan nasional. Stabilitas nasional harus didahulukan dari pembicaraan mengenai hak-hak asasi manusia.

Dalam Orde Baru, tidak ada golongan antirevolusi. Yang ada ialah kelompok antipembangunan. Diperlukan kewaspadaan nasional untuk menghadapi mereka. Mereka boleh jadi berasal dari ekstrem kiri. Agar tumbuh partisipasi rakyat, diperlukan upaya untuk menerjemahkan “petunjuk Bapak Presiden” kepada rakyat. Orang-orang yang antipembangunan sekaligus juga anti-Pancasila. Rakyat, juga tentu saja aparatur negara, harus disadarkan akan nilai-nilai luhur Pancasila. Untuk itu, diperlukan penataran P4.

Pada Orde Baru, kita menyaksikan penggunaan singkatan yang aneh, seperti ipoleksosbud, siskamling, hankamrata, juklak, jurdil. Singkatan-singkatan itu menunjukkan dengan jelas pengaruh ABRI. Bila wacana politik Orde Lama sangat dipengaruhi Sukarno, wacana politik Orde Baru lebih banyak dibentuk oleh kontribusi ABRI. Dalam istilah Aristoteles, pemerintah Orde Baru adalah The Rule of Few.

Titik berat yang berlebihan pada aspek ekonomi tampaknya mulai berubah belakangan ini. Bersamaan dengan perubahan perlahan pada struktur kelompok elite, muncullah kata-kata baru, seperti “restrukturisasi”, dan “keterbukaan” (mungkin pengaruh perestroika dan glasnost), “demokratisasi”, “pembangunan manusia seutuhnya”, “sumber daya manusia”, “deregulasi”, “pengawasan melekat (waskat)”. Bila dulu kaum marhaen menjadi “bintang”, dalam masa-masa terakhir ini mereka disisihkan oleh kelompok baru yang dikenal dengan nama teknokrat, cendekiawan, konglomerat, atau birokrat.

Sekarang tidak ada pujian untuk orang yang revolusioner. Pujian dialamatkan kepada mereka yang berhasil menunjukkan prestasi dalam pembangunan. Para birokrat—yang sekarang beralih dari alat revolusi menjadi alat pembangunan—dinilai dari PDLT: prestasi, dedikasi, loyalitas, tak tercela. Para teknokrat dituntut untuk mengantisipasi masyarakat informasi dan mempersiapkan bangsa Indonesia memiliki kaulifikasi bersaing dalam pasaran global. Apakah berkurangnya kata-kata yang “bersifat ABRI” dan bertambahnya kata-kata yang “berbau ilmiah”menunjukkan pergeseran elite penguasa belakangan ini? Wallahu a’lam.

Pergeseran Makna Kata

Ada beberapa kata yang tidak meninggalkan wacana politik, baik pada Orde Baru maupun pada Orde Lama. Tetapi, dengan sangat menarik, kata-kata itu mengalami pergeseran arti (atau artinya diganti). Baik Orde Lama maupun Orde Baru menganut politik bebas aktif. Pada Orde Lama, kata itu diartikan sebagai gerakan negara-negara yang baru muncul (new emerging forces) yang berjuang untuk membebaskan diri dari pengaruh neokolonialisme. Tidak jadi soal kalupun Indonesia menjadi lebih dekat pada negara-negara komunis. Pada Orde Baru, politik bebas aktif berarti garis gerakan neoalignment, khususnya negara-negara Dunia Ketiga (atau negara-negara Selatan) dalam menghadapi ketimpangan ekonomi akibat ulah negara-negara industri  (atau negara-negara Utara). Tidak jadi soal kalaupun dalam kenyataannya Indonesia lebih dekat ke Barat.

Kata “subversi” juga mengalami pergeseran arti. Pada masa Orde Lama, kata itu berarti upaya penyusupan yang dilakukan oleh agen-agen nekolim untuk menghancurkan revolusi. Gerakan intelektual seperti kelompok Manikebu (Manifesto Kebudayaan) dipandang sebagai subversi. Pada masa Orde Baru “subversi” merujuk pada kegiatan antipembangunan yang dilakukan oleh ekstrem kanan atau ekstrem kiri, atau orang-orang yang melakukan “kritik yang tidak bertanggung jawab”.

Pergeseran makna yang paling menonjol tampak pada kata “politik”. Pada masa Orde Lama, politik mempunyai konotasi yang positif, berkaitan dengan kegiatan yang mempunyai akses pada struktur kekuasaan. Orang tidak takut berbicara tentang politik. Pada masa Orde Baru, kegiatan politik diartikan sebagai segala kegiatan yang tidak sejalan dengan elite penguasa. Anda tidak berbicara politik dalam khutbah Jumat walaupun Anda berbicara tentang GBHN atau program Keluarga Berencana selama Anda membicarakannya dengan nada mendukung atau mengajak orang untuk mendukung. Anda berbicara politik walaupun Anda sebenarnya membahas masalah ekonomi jika di dalamnya Anda cenderung “mengkritik” program pemerintah.

Karena itu, Golkar tidak disebut partai politik walaupun semua syarat partai politik ada di dalamnya. Dalam pemilu hanya ada dua partai politik dan satu golongan karya. Politik itu jelek dan bangsa kita pernah menderita ketika politik menjadi panglima. Akhir-akhir ini, kata “politik”, secara perlahan tapi pasti, mulai mempunyai konotasi positif. Orang berbicara tentang “partisipasi politik”, “pendidikan politik”, “sosialisasi politik”, dan sebagainya. Boleh jadi, ini pun menunjukkan peralihan “warna ideologis” yang terus berlangsung.

Penutup

Kajian linguistik untuk mengamati fenomena politik sebetulnya bidang yang patut mendapat perhatian. Bukan saja bidang ini mempunyai latar belakang teoritis yang kokoh, melainkan juga hasilnya mengungkapkan hal-hal menarik berkenaan dengan proses pembentukan wacana politik. Bahasa memang tidak pernah objektif. Bahasa selalu ideology-soaked. Melalui analisis linguistik, budaya politik suatu bangsa menjadi transparan.

Tulisan ini lebih banyak menyorot bahasa seperti dibentuk oleh kelompok elite. Kosakata rakyat pun mengalami perubahan bersamaan dengan perubahan sistem politik yang mereka alami. Mungkin mereka bertopang pada kosakata yang dibuat elite penguasa, tetapi mereka dengan bebas memberi makna sendiri. Sering kali makna itu merupakan kritik terselubung pada elite penguasa. Tetapi, dari mana pun makna dan kosakata itu, bidang linguistik merupakan bidang yang masih belum banyak dibuka oleh para peneliti komunikasi di Indonesia.

Al-Quran yang berjalan ini mengubah

para perompak menjadi penegak kebenaran

budak-budak rendah menjadi pahlawan keadilan

ia mengganti kepongahan dengan kerendahan hati

rasa rendah hati dengan keluhuran budi

Maka gembala-gembala unta di sahara bangkit

menaklukkan dunia

para tiran berjatuhan, penindas terhempas,

dan suara rakyat menjadi suara Tuhan

Apakah tangan para pejuang Muslim masih putih bersih

sehingga berhak menggenggam tongkat Musa?

Adakah penerus Al-Qur’an yang berjalan

sehingga mampu menjatuhkan tiran dengan suara Tuhan?

 

Jalaluddin Rakhmat, Cendekiawan Muslim

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

 

 

 

 

 

 

 

   

 

Senin, 25 April 2022

, , , , ,

REUNI, PUASA, IDUL FITRI, DAN TRADISI HALALBIHALAL

  

Oleh: Nani Efendi

 

Kata “reuni” berasal dari bahasa Inggris “reunification” (penyatuan kembali). Jadi, bisa kita katakan, “reuni” adalah penyingkatan dari kata “reunifikasi” (penyatuan kembali). Jika kita merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “reuni” diartikan sebagai “pertemuan kembali" (bekas teman sekolah, kawan seperjuangan, dsb). Istilah reuni berasal dari dua kata: “re” artinya “kembali”, dan “uni” artinya “menyatukan; penyatuan; persatuan”.

Banyak kata “re” yang diartikan sebagai “kembali”. Misalnya: reinterpretasi (menafsirkan kembali), reedukasi (mendidik kembali), reformasi (memformat kembali), reintegrasi (menyatukan kembali), reaksi (aksi kembali), dan lain-lain. Kata “uni” berarti “persatuan”; “ikatan”. Misalnya: Uni Eropa: persatuan Eropa.

“Reuni” berarti “menyatukan kembali”. Dalam penggunaannya, kata ini, diartikan sebagai menyatukan kembali sesuatu yang dulunya pernah bersatu. Tapi, kata yang punya arti luas dan umum ini, sekarang, sering disempitkan sebagai nama sebuah kegiatan “temu kangen” antar sahabat yang telah lama berpisah. Padahal, bukan itu pengertian yang sebenarnya.

Dalam salah satu tulisan di Kompasiana, yang berjudul, “Jika Tak Kaya, Jangan Reuni!”, dijelaskan: lazimnya yang datang ke acara reuni adalah mereka yang memiliki waktu, sumber daya, dan kesuksesan tertentu. Tulisan itu intinya mengkritik pelaksanaan reuni yang sering dilaksanakan oleh beberapa kelompok masyarakat. Acara reuni sering dijadikan ajang pamer harta dan status sosial. Maka tak heran tak semua (anggota kelompok) mau hadir di acara reuni. 

Ini yang perlu diubah dalam acara reuni. Acara reuni itu sebaiknya dibuat sederhana dan penuh keakraban. Terlebih jika acara reuni dilaksanakan pada momen Idul Fitri. Reuni itu sejatinya mengenang masa lalu, bukan sibuk menceritakan masa kini.

Reuni mempunyai sisi positif, tapi juga ada negatifnya. Yang harus kita petik adalah manfaat positif dari reuni. Beberapa manfaat positif itu misalnya: dapat mempererat tali silaturrahmi,[1] dapat berjumpa kawan lama, bertukar pikiran, berbagi pengalaman dan informasi penting, dan membantu rekan-rekan yang mungkin mengalami kesulitan, baik moril maupun materil.  

Puasa

Sekarang kita bahas lagi tentang puasa. Profesor Nurcholish Madjid, dalam bukunya Dialog Ramadlan bersama Cak Nur, menjelaskan, tradisi puasa itu sudah ada sebelum Nabi Muhammad. Dan itu memang diterangkan dalam al Qur’an. Tapi, cara berpuasa sebelum Nabi Muhammad itu bermacam-macam. Ibu Nabi Isa, misalnya, karena terancam fitnah keji lantaran melahirkan anak tanpa ayah, maka Allah memerintahkan ia puasa (shawm) dengan cara tidak berbicara kepada siapa pun (Qs. 19:26). Ada juga umat lain, kata Cak Nur, berpuasa dengan menghindari beberapa jenis makanan atau minuman tertentu. Namun, bentuk puasa yang paling umum itu, jelas Cak Nur, selalu berupa sikap menahan diri dari makan dan minum serta dari pemenuhan kebutuhan bilogis.

Bulan puasa sering juga disebut bulan latihan. Tapi latihan yang dimaksud bukanlah latihan fisik atau jasmani, melainkan latihan jiwa, spiritual, atau keruhanian. Ada juga yang mengatakan, puasa adalah latihan jasmani untuk penyempurnaan ruhani. Terlepas dari perbedaan itu, yang jelas inti puasa adalah keruhanian, bukan ujian ketahanan fisik atau jasmani. Ibadah puasa, jelas Nurcholis Madjid, sangat berkaitan dengan ide latihan atau riyadlah (exercise), yaitu latihan keruhanian.

Jadi, puasa, terutama puasa Ramadhan, dalam Islam bukanlah hanya sebatas menahan lapar dan dahaga. Tapi yang lebih utama adalah menahan dan mengendalikan keinginan hawa nafsu terhadap hal-hal yang dilarang oleh Allah. Jadi, menahan makan dan minum bukanlah tujuan puasa, tapi itu sekedar cara atau metode saja dari Allah untuk melatih manusia agar mampu mengekang keinginan hawa nafsunya. Karena itulah jika ada orang makan dan minum dalam keadaan puasa disebabkan lupa, maka puasanya tidak batal. Seseorang lupa berarti bukan diperintahkan oleh hawa nafsunya. Karena itulah puasanya tidak batal.

Ada yang mengatakan menggosok gigi di siang hari puasa itu makruh. Alasannya, nanti takut tertelan air. Ya, saya bilang kalau tertelan berarti tidak sengaja ya tidak apa-apa. Dan itu tidak dapat membatalkan puasa karena bukan disengaja. Bukan ada niat. Tapi jika sudah ada niat atau terbersit niat dalam hati untuk minum, maka sedikit pun air yang masuk ke kerongkongan, puasa bisa batal. Mengapa? Karena di situ ada niat untuk minum. Dan itu berarti kita tidak mampu mengendalikan hawa nafsu yang menjadi tujuan hakiki dari puasa.

Puasa dalam Islam berbeda dengan puasa yang diperintahkan oleh dokter pada pasiennya ketika akan melakukan operasi. Puasa oleh dokter itu memang bertujuan agar orang yang akan dioperasi benar-benar tidak makan dan minum sebelum operasi. Artinya, puasa dalam konteks itu hanya bersifat fisik semata. Jika pasien makan atau minum sebelum operasi, baik sengaja maupun tidak, maka dapat dipastikan akan berdampak fatal terhadap pasien. Puasa dalam Islam tidaklah seperti itu. Tujuan puasa dalam Islam bukan untuk fisik, tapi untuk latihan ruhani. Walaupun ia juga mempunyai manfaat bagi kesehatan fisik.

Nah, bukti lain substansi puasa bukan sekedar tidak makan dan minum adalah kita dianjurkan untuk makan sahur. Bahkan makan sahur dianjurkan oleh Rasulullah di akhir waktu. Mengapa? Agar manusia yang berpuasa tidak tersiksa secara fisik. Dengan makan di akhir waktu, maka ada energi bagi fisik untuk bertahan sampai waktu berbuka. Artinya, rentang waktu perut kosong tidak terlalu lama.

Dan mengapa pula ketika waktu berbuka telah masuk kita dianjurkan untuk segera berbuka? Tujuannya agar tubuh tidak terlalu lama tersiksa. Itu intinya. Allah tidak memerintahkan kita menyiksa tubuh kita sendiri. Dan, dianjurkan lagi berbuka dengan yang manis-manis. Mengapa? Karena makanan yang manis dapat menormalkan kembali metabolisme tubuh dengan cepat.

Cak Nur, merujuk Syaikh Muhammad ‘Abduh, menjelaskan adanya kenyataan bahwa orang-orang kafir penyembah berhala melakukan puasa (menurut cara mereka masing-masing) dengan tujuan utama “membujuk” dewa-dewa agar jangan marah kepada mereka atau agar senang kepada mereka dan “memihak” mereka dalam urusan hidup di dunia ini. Ini sejalan dengan kepercayaan mereka bahwa dewa-dewa itu akan mudah dibujuk dengan jalan penyiksaan diri sendiri dan tindakan mematikan hasrat jasmani.[2]

Cara pandang kaum musyrik itu, lanjut Cak Nur, merupakan konsekuensi paham mereka tentang Tuhan sebagai yang harus didekati dengan sesajen, berupa makanan atau lainnya (termasuk manusia sendiri) yang “disajikan” kepada Tuhan. Altar di kuil-kuil bangsa Inca di Amerika Selatan, umpanya, menunjukkan adanya praktek ibadah mendekati Tuhan dengan sesajen berupa korban manusia. Demikian pula, kata Cak Nur, pada bangsa-bangsa Mesir Kuno, Romawi, Yunani, India, dan lain-lain.[3]

Cara itulah yang menyalahi agama tauhid. Agama tauhid mengajarkan manusia untuk tunduk, patuh, dan pasrah sepenuhnya (islam) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam agama tauhid, Tuhan tidak didekati dengan sesajen, melainkan dengan amal perbuatan yang baik. Dalam Islam juga ada istilah ibadah korban. Tapi motifnya berbeda dengan korban dalam agama kaum musyrik.

Binatang korban dalam ibadah korban hanyalah sarana, bukan merupakan bentuk sesajen yang diberikan kepada Tuhan. Sesuai dengan nama ibadah itu, korban (Arab: qurbah), adalah tindakan mendekatkan diri kepada Tuhan. Pendekatan itu dilakukan bukan dengan cara memberikan “materi korban”, dalam arti sesajen, kepada Tuhan, melainkan karena motif taqwa dalam jiwa pelakunya untuk membantu anggota masyarakat yang kurang beruntung. Jadi, dalam Islam, materi korban hanya sarana saja, bukan tujuan. Tujuannya: sikap taqwa untuk membantu sesama. Oleh karena itu, Allah berfirman, “Tidaklah bakal sampai darah dan daging binatang korban itu kepada Allah, melainkan yang bakal sampai itu ialah taqwa dari kamu.” (Qs. 22:37)

Sebagaimana substansi ibadah korban, dan juga ibadah-ibadah lainnya dalam Islam, demikian jugalah dengan ibadah puasa. Allah tidak butuh lapar dan dahaga dari orang yang berpuasa. Yang diinginkan Allah ialah agar yang berpuasa berlatih mengendalikan hawa nafsunya. Menahan lapar dan dahaga hanya cara atau metode latihan saja. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903).

Jadi, puasa itu bukanlah sekedar menahan lapar dan haus saja, tapi yang lebih penting: bagaimana mempuasakan seluruh tubuh kita (jasmani maupun ruhani) dari hal-hal yang dilarang oleh Allah. Rasulullah bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.” (HR. An-Nasa’i). Hadits ini menunjukkan bahwa puasa bukanlah sekedar menahan diri dari tidak makan dan minum. Tapi lebih dari itu: puasa berarti menahan diri kita dari melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah.

Selama sebulan, kita dilatih untuk mengendalikan hawa nafsu kita dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah dan melaksanakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah. Jika kita berhasil mendidik atau melatih diri kita melalui metode puasa—yakni berhasil menahan diri dari yang dilarang Allah dan melaksanakan perintah-perintah Allah—maka kita sudah tergolong kepada manusia yang bertakwa.

Menjadikan manusia bertakwa itulah tujuan hakiki dari puasa. Pengertian sederhana dari "taqwa", menurut saya, adalah selalu mencintai kebenaran dan membenci kejahatan dan keburukan, atau senantiasa mengikuti perintah Allah dan menghindari segala yang dilarang-Nya. Saling memaafkan antar sesama adalah salah satu wujud nyata dari perilaku manusia yang bertaqwa. Dan saling memaafkan dalam suasana Idul Fitri adalah bentuk manifestasi dari hasil latihan ruhani di bulan Ramadhan.

Idul Fitri

Untuk memahami pengertian Idul Fitri, saya merujuk Nurcholish Madjid (Dialog Ramadlan Bersama Cak Nur, h.128). Kita harus lihat dari makna asal kata “id al-fithr” dalam bahasa Arab. Kata ‘id adalah dari akar kata yang sama dengan kata-kata ‘awdah atau ‘awdatun,adah atau ‘adat-un dan isti’adat-un. Semua kata-kata itu mengandung makna asal “kembali” atau “terulang” (perkataan Indonesia “adat-istiadat” adalah pinjaman dari bahasa Arab ‘adat-un wa isti-‘adatun, yang berarti sesuatu yang selalu akan terulang. Adat ialah sesuatu yang menjadi kebiasaan karena selalu diulang. Maka disebut “adat kebiasaan”).

Makna asal kata “fitri” kiranya sudah jelas, karena satu akar dengan “fitrah”, “kejadian asal yang suci”, atau “kesucian asal”. Manusia diciptakan dalam kesucian asal yang disebut fitrah. Kesucian asal inilah yang membuat manusia berkecenderungan suci (cenderung pada kebenaran dan kebaikan), yang disebut hanif. Tempat bersemayamnya kesucian asal itu ialah pusat kedirian manusia yang disebut “nurani” (bersifat nur/cahaya; bersifat terang).

Sifat hanif itu terbentuk dari perjanjian primordial manusia dengan Tuhan, ketika akan ditiupkan ruh ke dalam diri manusia, sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an surat Al A’raf/7: 172. “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)."

Dalam perjanjian primordial itu, manusia (dalam alam ruhani) menyatakan kesediaan untuk mengakui Allah sebagai Tuhan dengan sikap penuh ketaatan, tunduk, patuh, dan berserah diri yang sempurna (islam).[4] Itulah sebabnya manusia, suka kebaikan dan kebenaran. Kalau manusia ditanya, ia suka baik atau buruk, pasti suka yang baik. Suka yang benar atau yang salah, pasti suka yang benar. Adil atau tidak, pasti suka yang adil. Kebaikan yang diakui oleh nurani manusia yang hanif itulah yang disebut sebagai kebajikan kemanusiaan universal, kearifan abadi (al hikmat al khalidah; sophia perennis).[5]

Tapi, walaupun manusia pada dasarnya adalah hanif, manusia juga diciptakan sebagai makhluk yang lemah (Qs. 4:28). Salah satu kelemahannya ialah bersifat tergesa-gesa (Qs. 21:37 dan Qs. 17:11). Karena kelemahannya itu, maka manusia cenderung berpandangan pendek, mementingkan hal-hal segera, dan mengabaikan hal-hal jangka panjang (Qs. 75:20 dan 76:27). Itu semua membuat manusia rawan terhadap kesalahan dan kekeliruan.[6]

Jadi, sejatinya, manusia itu bersifat hanif (cenderung pada kebenaran). Murni dan terangnya hati nurani akan membisikkan pada manusia apa yang baik dan buruk, yang benar dan palsu. Tapi, karena kelemahan manusia seperti disebutkan di atas, manusia tidak selalu dapat mendengar hati nuraninya. Atau karena hati sudah kehilangan cahayanya, sehingga tak lagi bersifat terang (nurani). Yang membuat hati kehilangan cahaya adalah dosa dan kejahatan yang dilakukan. Karena itu, dosa—dalam al Qur’an—disebut zhulm yang berarti “gelap”, dan orang yang berbuat dosa disebut “zhalim” (orang yang melakukan kegelapan). 

Nah, agar manusia tetap dalam fitrahnya, maka manusia diberi petunjuk dan perintah oleh Allah melalui firmannya yang disampaikan kepada para nabi. Salah satu perintah Allah kepada manusia—agar ia selalu menjadi manusia yang baik—ialah mengerjakan puasa Ramadhan.

Puasa bertujuan agar manusia menemukan kembali fitrahnya dan hidup sesuai dengan fitrah, yakni selalu mencintai kebenaran dan kesucian. Bersikap hanif, tunduk patuh, dan pasrah pada Tuhan (islam).[7]

Puasa adalah proses pensucian ruhani, melalui latihan menahan diri. Puasa Ramadhan, kata Cak Nur, bertujuan menanamkan sikap takwa atau kesadaran akan hidup dalam pengawasan Tuhan (Tuhan beserta kita, immanu-El). Puasa, lanjut Cak Nur, membimbing manusia mendapatkan fitrah dan kesucian primordialnya. Jadi, itulah sebabnya, “id al-fitri” (kembalinya fitrah) menjadi nama hari bahagia di akhir bulan puasa.[8] Zakat fitrah, dan perbuatan saling memaafkan (menyambungkan tali silaturrahmi, yang di Indonesia diberi istilah “halabihalal”), adalah manifestasi dari hasil puasa seseorang di bulan Ramadhan.

Kata Cak Nur, dari makna yang serba ruhani sebagai kelanjutan dan buah olah-ruhani selama Ramadhan, Idul Fitri melimpahkan hikmahnya kepada segi-segi kehidupan sosial yang luas dan sangat bermakna. Sejak dari simbolisme zakat fitrah yang merupakan bukti rasa setia kepada sesama manusia dan kemanusiaan, sampai tradisi maaf-memaafkan, halalbihalal, dan mudik untuk menyatu kembali dengan keluarga, Idul Fitri memberikan bekal keruhanian baru kepada masyarakat untuk menempuh hidup selama setahun mendatang.[9]

Tapi, di samping itu, menurut Cak Nur, ada makna lain dan sederhana dari idul fitri, yakni “Hari Raya Makan dan Minum”. Mengapa? Karena makan dan minum secara wajar adalah bentuk pemenuhan kebutuhan fitrah manusia itu sendiri. Karena itu, berbuka puasa atau “kembali makan dan minum” disebut “ifthar”, yang secara harfiah dapat dimaknai “memenuhi fitrah” yang suci dan baik.[10] Berbuka, dalam bahasa Arab disebut afthara. Kalau kita kembalikan ke akar bahasanya, jelas Cak Nur, afthara itu artinya “memenuhi fitrah”. Jadi, makan dan minum itu fitrah. Mengingkari makan dan minum itu tidak sesuai fitrah, kecuali dimaksudkan untuk latihan dalam batas-batas tertentu, seperti puasa.[11]

Tradisi halalbihalal di Indonesia

Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tulisan kata yang benarnya adalah “halalbihalal” (tanpa spasi). Istilah “halalbihalal” tidak kita temukan dalam al Quran maupun hadits. Mengapa? Karena istilah ini diciptakan oleh orang Indonesia dan kegiatan ini pun juga khas Indonesia. Di negara lain, tak ada tradisi halalbihalal seperti di Indonesia. Meski diambil dari bahasa Arab, istilah halalbihalal tak pernah dikenal dalam kosa kata di negara-negara Arab. Bahkan tak lazim digunakan, apalagi dipahami sebagai “ajaran” untuk saling memaafkan di saat lebaran. Di Arab tak kita temukan tradisi halalbihalal. Di Arab, Idul Fitri dirayakan dengan berkumpul bersama keluarga, bersilaturrahmi, dan saling mendoakan (lihat Idham Cholid, “Tradisi Halalbihalal yang Mesti Dipahami”, kolom.tempo.co, 27 Mei 2021).

Lantas, darimana munculnya tradisi halalbihalal di Indonesia? Mengutip laman tirto.id, yang mereka juga mengutip dari laman Suara Muhammadiyah, bahwa dalam kamus Jawa-Belanda karya Theodoor Gautier Thomas Pigeaud (1938) terdapat kata “ala behala” yang mempunyai arti "acara saling-memaafkan ketika Hari Raya". Selain itu, masih dari tirto.id, di dalam Majalah Suara Muhammadiyah (1926) edisi menjelang bulan 1 Syawal 1344 H, termuat adanya kata “alal bahalal”. Keterangan itu menunjukkan bahwa pada awal Abad 20 sudah ada penyebutan khusus buat tradisi saling memaafkan pada momentum Lebaran di Indonesia, meski tidak sama persis dengan istilah yang dikenal sekarang.

Namun, istilah halalbihalal baru populer setelah Kemerdekaan Republik Indonesia. Tradisi ini ternyata bermula dari perpecahan politik di Indonesia. Mengutip dari artikel Fathoni Ahmad yang berjudul “Makna Historis dan Filosofis Halal Bihalal" di laman nu.or.id, setelah Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan pada 1945, ancaman pemberontakan dan disintegrasi bangsa muncul di mana-mana, antara lain pemberontakan yang dilakukan DI/TII (awal tahun 1948) dan PKI di Madiun pada tahun 1948.

Oleh karena itu, di pertengahan bulan Ramadhan, di tahun 1948, lanjut Fathoni, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kiai Wahab, tulis Fathoni, memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan acara silaturrahim, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, di mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahim.

Lalu, Bung Karno menjawab, "Silaturrahim kan biasa. Saya ingin istilah yang lain." Jawab Kiai Wahab, "Itu gampang. Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah 'halalbihalal'.”

Nah, dari saran Kiai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri (Juli) 1948, itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahim yang diberi judul “halalbihalal” dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah istilah "halalbihalal" populer di Indonesia sebagai tradisi setelah Lebaran. Dikutip dari laman nasional.okezone.com, “Sejurus kemudian, instansi-instansi pemerintah menyelenggarakan halalbihal juga yang kemudian diikuti oleh warga masyarakat secara luas. Buya Hamka diakui salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam mempopulerkan halalbihalal ke masyarakat.”

Tapi, lepas dari itu, hikmah yang paling penting dari tradisi ini yang harus kita petik adalah kegiatan bersilaturrahmi atau saling memaafkan antar sesama sehabis Lebaran, sebagai wujud atau manifestasi hasil latihan ruhani di bulan Ramadhan. Dan yang paling penting dipahami, saling memaafkan itu tidak terbatas dalam suasana Lebaran saja. Saling memaafkan adalah perintah Allah yang mesti kita lakukan kapan dan di mana saja.

NANI EFENDI, Alumnus HMI

  



[1] Dari Anas ibn Malik: bahwa Rasulullah bersabda: Barang siapa yang ingin dilapangkan (pintu) rizki untuknya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturrahim. (Hadits Sahih Riwayat al-Bukhari: 5527)

[2] Lihat Nurcholish Madjid, Dialog Ramadlan bersama Cak Nur, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000, h. 12.

[3] Ibid., h. 12-13.

[4] Ibid., h. 129. Baca juga surat Ar Rum/30:30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

[5] Ibid., h.134

[6] Lihat Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban, h. 716.

[7] Lihat Nurcholish Madjid, Dialog, Op.Cit. h 129-131. Tentang "zhulm", lihat h. 135.

[8] Ibid., h 143.

[9] Ibid., 137.

[10] Ibid, h. 128-129. Dari sudut pandang ini, kita mengerti, jelas Cak Nur, mengapa Islam tidak membenarkan usaha manusia menempuh hidup suci dengan cara meninggalkan hal-hal yang lumrah seperti makan, minum, berumah tangga, dan seterusnya.

[11] Ibid, h. 44.