alt/text gambar

Senin, 22 Juni 2015

Topik Pilihan: , , ,

APA ITU FILSAFAT?

-

Oleh: NANI EFENDI


Filsafat adalah perenungan yang mendalam mengenai sesuatu yang dianggap atau dinilai bermanfaat bagi kehidupan manusia. Oleh karenanya, seni (estetika) juga menjadi salah satu objek pembahasan filsafat. Mengapa demikian? Karena seni atau estetika mempunyai manfaat dan pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia. Mobil, contohnya, jika tidak ada seni, akan berbentuk seperti kotak biasa yang dipasangi mesin. Demikian juga dengan pakaian, rumah, dan peralatan lainnya yang dipakai manusia. Jika tidak ada seni, kita tidak akan menemukan model rumah dan pakaian yang berbagai macam bentuk, warna, motif, dan lain sebagainya seperti yang ada dewasa ini. Pendek kata, filsafat membahas segala yang ada dan yang mungkin ada.
Secara etimologis, filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia. Philos artinya suka, cinta, atau kecenderungan pada sesuatu. Sedangkan Sophia berarti kebijaksanaan. Sophia dapat juga berarti kebenaran, hikmah, dan kearifan. Dengan demikian, secara sederhana, filsafat berarti cinta atau cenderung pada kebijaksanaan. Menurut saya, filsafat secara sederhananya adalah pemikiran secara mendalam atau radikal, sistematis, universal, komprehensif untuk mencapai kebenaran yang hakiki. Menjadi filosof, berarti menjadi manusia arif (bijak). Lihat saja banyak kata-kata bijak yang berasal dari para filosof dalam berbagai disiplin ilmu yang ada, seperti hukum, politik, sosial, moral, etika, dan lain sebagainya.
Namun demikian, menurut Endang Komara dalam bukunya Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, banyak pendapat tentang arti filsafat. Karena, filsafat telah mengalami perkembangan yang cukup lama dan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang kompleks, maka timbul berbagai arti filsafat dengan kekhususan masing-masing. Berbagai pendapat khusus tentang filsafat, misalnya, rasionalisme yang mengagungkan akal, materialisme yang mengagungkan materi, idealisme yang mengagungkan ide, hedonisme yang mengagungkan kesenangan, stoikisme yang mengagungkan tabiat saleh. Dari itu semua, dapat disimpulkan secara sederhana, filsafat adalah hasil pemikiran manusia. 
Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan. Melalui kebijaksanaan, manusia mampu bersikap dan bertindak atas dasar pertimbangan kemanusiaan yang tinggi, bukan asal bertindak sebagaimana yang biasa dilakukan manusia awam. Rizal dkk, sebagaimana dikutip oleh Prof Dr Nina W Syam MS dalam bukunya Filsafat sebagai Akar Ilmu Komunikasi, mengemukakan beberapa langkah dalam mencapai kebijaksanaan, yaitu: (1) membiasakan diri untuk bersikap kritis terhadap kepercayaan dan sikap yang selama ini sangat kita junjung tinggi. Misalnya, merefleksikan secara kritis norma-norma adat, hukum, etika, bahkan agama yang selama ini kita yakini kebenarannya, (2) berusaha untuk memadukan (mensintesiskan) bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan, sehingga menjadi pandangan yang konsisten (komprehensif) tentang alam semesta beserta isinya, (3) mempelajari dan mencermati jalan pemikiran para filosof terdahulu dan meletakkannya sebagai pisau analisis untuk memecahkan masalah kehidupan yang berkembang dalam kehidupan yang kongkret sejauh pemikiran itu memang relevan berkembang dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, (4) menelusuri butir-butir hikmah yang terkandung dalam ajaran agama. Sebab, agama merupakan sumber kebijakan hidup manusia.   
Menurut Nina W Syam (2010: 86), berfilsafat selalu terkait dengan pengalaman umum manusia. Oleh karena itu, tidak tepat kalau dikatakan bahwa orang yang berfilsafat itu melamun, tidak berpijak pada kenyataan, atau tidak menginjak bumi. Memang, kadangkala aktivitas filsafat itu melampaui pengalaman-pengalaman kongkret, tetapi tidak berarti berfilsafat menjauhi kenyataan-kenyataan yang ada di sekitar kita.
Ciri-ciri berpikir filsafat, menurut Nina W Syam (2010: 81-82), antara lain: (1) radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akarnya sehingga pada hakikat atau substansi yang dipikirkan, (2) universal, (3) sistematikal, artinya uaraian filsafat itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkadang adanya maksud dan tujuan tertentu, (4) komprehensif, berpikir filosofis merupakan usaha untuk menjelaskan atau semesta secara keseluruhan, (5) bebas, artinya tidak ada batasan. Di samping itu, bebas disini juga diartikan bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, dan bahkan agama, (6) bertanggungjawab. Filsuf harus bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya sendiri, paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri.
Filsafat adalah induk segala ilmu (the mother of science). Berdasarkan sejarah kelahirannya, filsafat mula-mula berfungsi sebagai induk ilmu pengetahuan. Artinya, sebelum ilmu-ilmu sebagaimana yang kita kenal sekarang, yang didapatkan dari metode ilmiah, segala macam persoalan manusia dijawab dengan cara filosofis. Berbagai problem manusia itu misalnya di bidang politik, hukum, ekonomi, Negara, kesehatan, dan lain-lain. Karena perkembangan keadaan, banyak persoalan kehidupan manusia yang tidak cukup hanya dijawab secara filosofis (filsafat). Oleh karena itu, lahirlah ilmu yang didapatkan melalui penelitian atau riset (research) yang dikenal dengan metode ilmiah (scientific method).  Dari kegiatan-kegiatan riset di zaman modern inilah lahir berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu kedokteran, hukum, politik, psikologi, ekonomi, dan lain-lain. Jadi, dengan kata lain, ilmu merupakan elaborasi lebih lanjut dari pemikiran-pemikiran fiosofis atau filsafat. Dalam perkembangannya, ilmu terpecah-pecah lagi menjadi lebih spesifik. Misalnya, ilmu hukum terpecah lagi menjadi hukum bisnis, hukum tata Negara, dan lain sebagainya. Namun demikian,  ketika ilmu tidak lagi mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan  kehidupan manusia, maka manusia juga akan kembali lagi ke induknya, yakni filsafat atau melakukan perenungan filsafat.
Jadi, secara sederhana, filsafat ialah pemikiran. Rasa heran dan meragukan mendorong manusia untuk berpikir lebih mendalam, menyeluruh, dan kritis untuk memperoleh kebenaran yang hakiki. Berpikir secara mendalam, menyeluruh (komprehensif), dan kritis inilah yang kemudian disebut berfilsafat. Namun, karena telah mengalami perkembangan yang cukup lama,  dan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang kompleks, maka timbul berbagai pendapat tentang arti filsafat dengan kekhususannya masing-masing.

Tiga Cabang Besar Filsafat


Ontologi (Metafisika)
 
Ontologi sering juga disebut metafisika. Mengapa? Karena ia berbicara persoalan hakekat di balik yang nyata. Dan ini sesuai dengan arti metafisika itu sendiri, yakni meta dan fisika. “Meta” artinya “di balik”, dan “fisika” artinya “yang nyata atau yang kongkret secara fisik”. Ontologi berbicara persoalan “apa”. Ontologi berbicara persoalan hakekat. Ontologi bisa juga dikatakan sebagai cabang filsafat yan paling tua. Thales adalah filosof pertama yang memikirkan tentang hakikat alam semesta. Ia mengatakan bahwa hakikat alam semesta ini adalah air. Apakah ia mengatakan air itu tanpa argumen? Tidak. Ia mengatakan air berdasarkan argumen-argumen tertentu. Dan itulah ciri-ciri berpikir filsafat. Artinya, harus berdasarkan argumen-argumen yang rasional dan logis. Apa argumen Thales mengatakan air? Dalam buku karangan Barnes (2001) dan Bertens (1990: 26-27) sebagaimana yang dikutip oleh Nina W Syam,  argumennya adalah sebagai berikut. Bahan makanan semua makhluk hidup mengandung air. Semua makhluk hidup juga memerlukan air untuk hidup. Air adalah zat yang dapat berubah-ubah bentuk (padat, cair, dan gas) tanpa menjadi berkurang. Ia juga mengemukakan pandangan bahwa bumi terletak di atas air. Bumi dipandang sebagai bahan yang satu kali keluar dari laut dan kemudian terapung-apung di atasnya. Dengan demikian, ia berkesimpulan, hakikat alam semesta ini ialah air atau terbuat dari air.
Ontologi terbagi dua, yakni metafisika umum (ontologi) dan metafisika khusus (psikologi dan antropologi, kosmologi, dan teologi). Ada beberapa aliran filsafat yang membahas tentang hakikat yang sebenarnya dari segala yang ada, yakni aliran idealisme, materialisme, dan dualisme (gabungan antara idealisme dan materialisme).
Ontologi membahas tentang hakikat yang ada. Ontology tidak hanya membahas tentang hakikat alam atau kosmos, tetapi juga hakikat tuhan (teologi) dan membahas hakikat manusia, seperti siapa manusia itu, dari mana asal manusia, apa yang dituju manusia, untuk apa manusia hidup di dunia, dan lain sebagainya. Dalam ontologi terdapat beberapa aliran, di antaranya:
Idealisme
Materialisme
Dualisme

Masing-masing aliran akan dijelaskan berikut ini. Pertama, idealisme. Idealisme adalah sebuah paham yang memandang bahwa sesungguhnya realitas itu bukan pada yang tampak, tetapi justru berada di balik yang tampak. Sesuatu yang menjadi spirit, motif, dan nilai segala realitas ada dan bereksistensi di balik yang tampak. Aliran ini menyatakan bahwa yang sesungguhnya ada dalam dunia, adalah idea (istilah Plato), Tuhan atau Allah (dalam istilah kaum agamawan). Sebagian filosof mengidentikkan juga ide dengan ruh. Idealisme adalah teori yang mengajarkan bahwa ada yang sesungguhnya berada di dunia ide. Segala sesuatu yang tampak dan terwujud nyata dalam alam inderawi hanya merupakan gambaran atau bayangan dari yang sesungguhnya, yang berada di dunia ide. Berkeley menyatakan bahwa satu-satunya realitas yang seungguhnya ialah aku yang subjektif-spiritual. Sedangkan Immanuel Kant mengatakan bahwa objek pengalaman kita, yaitu yang ada dalam ruang dan waktu, tidak lain daripada penampilan dari yang tak memiliki konsistensi independen di luar pemikiran kita. Menurut Friedrich Hegel, segala sesuatu yang ada adalah bentuk dari suatu pikiran.
 Adanya sesuatu, karena adaya persepsi kita tentang sesuatu. Jeruk yang berwarna hijau bukanlah terletak pada jeruk, melainkan terletak pada mata kita. Berat jeruk yang kita rasakan bukanlah ada pada jeruk, melainkan ada pada tangan kita. Rasanya yang manis bukan terletak pada jeruk, melainkan ada pada lidah kita. Demikianlah kira-kira pandangan idealisme tentang hakikat yang ada.
Kedua, materialisme. Materialisme adalah sebuah paham yang menganggap bahwa materi merupakan wujud segala eksistensi. Paham ini menolak segala sesuatu yang tidak kelihatan. Aliran ini tidak mengakui ruh, jiwa, dan bahkan Tuhan.
Ketiga, dualisme. Dualisme adalah aliran yang menggabungkan antara idealisme dan materialisme dengan mengatakan bahwa alam wujud ini terdiri dari dua hakikat sebagai sumber, yaitu materi dan ruhani.
Dr R Paryana Suryadipura dalam bukunya Manusia dengan Atomnya: dalam Keadaan Sehat dan Sakit (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), menjelaskan tentang filsafat dalam hal memahami hakikat. Penjelasan ini berkaitan dengan persoalan ontologi. Ia menuliskan: 

Setiap orang yang berpikir dan berhasrat mesra untuk memperoleh pengetahuan yang sempurna, yang dapat dicapai melalui sebuah penelitian yang akurat serta proses berpikir yang sedalam-dalamnya tentang kenyataan hidup yang sebenarnya, dengan tidak sengaja telah memasuki alam filsafat.
Kenyataan yang sebenarnya itu disebut “hakekat”. Sedangkan hasrat mesra yang mendorong setiap orang memasuki alam filsafat adalah kegiatan batin kita sendiri. Selanjutnya, dapat ditandaskan, bahwa kegiatan-kegiatan batin adalah proses berpikir dan dorongan mencari hakekat adalah berpikir dengan dasar-dasar yang benar. Berpikir dengan dasar-dasar yang benar memerlukan adanya sebuah metode atau tarikat, yang lazim dipakai oleh para ahli ilmu pengetahuan, terutama para ahli filsafat.
Ilmu memikirkan hakekat. Ahli filsafat adalah ahli pikir tentang hakekat, dan tidak mau dipandang kurang dari itu. Mencari hakekat bukanlah berpikir tentang suatu kenyataan yang dapat disaksikan melalui pancaindera, melainkan memikirkan hubungan antara kenyataan-kenyataan ini dengan keseluruhan semesta alam, terutama dengan azas pusatnya, yakni Tuhan Yang Maha Esa. 
Pikiran yang ditujukan pada dunia semata-mata yang dapat dialami adalah suatu pikiran yang sangat sederhana, yang hanya menggambarkan dunia sebagai suatu yang tampak dalam bentuk kenyataan-kenyataan yang lahiriah. Adanya kenyataan-kenyataan lahiriah itu sangat tergantung pada kenyataan-kenyataan yang lain.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kenyataan-kenyataan yang lahiriah tersebut adalah nisbi (relatif), sedangkan hakikat tidak tergantung pada keadaan lain atau bersifat lahiriah. Hakikat langsung sangat tergantung pada suatu yang bersifat mutlak atau yang mutlak sendiri (absolut). Kita mendapatkan keyakinan tentang hakikat dari setiap hal apabila kita dapat menemukan suatu yang bersifat mutlak yang merupakan asal kejadiannya.
Karena kenyataan-kenyataan yang lahir tersebut bersifat nisbi (relatif) dan sangat tergantung pada suatu hal yang bersifat absolut,  maka kenyataan yang lahir tersebut hanyalah merupakan bagian (fragmen) atau berasal dari suatu yang bersifat mutlak tersebut. Kita tidak dapat mengetahui hakikat sesuatu apabila kita hanya mengenal fragmennya saja, karena kita tidak mengenal keseluruhan komponen yang membentuknya dan tidak mengerti akan asas-asasnya. Dengan demikian, mengetahui bagian-bagian dari sesuatu bukan berarti mengetahui hakikat dari sesuatu itu.
Secara lebih rinci lagi dapat ditegaskan bahwa kenisbian adalah pancaran hakikat dalam bentuk lahiriah, yang kehadirannya sangat tergantung pada suatu hal yang masih bersifat nisbi pula, dan ternyata masih tergantung pula pada suatu hal yang bersifat nisbi pula, demikian seterusnya, sampai kita tiba pada yang mutlak. Inilah yang disebut hakikat. Yang mutlak bersifat universal, yang meliputi segala yang ada.
Setiap ahli filsafat mencari hakikat kenyataan yang terakhir. Sebagian dari mereka berhasil memperoleh fragmen atau bagian-bagian dari hakikat itu, yang pada gilirannya menimbulkan aliran-aliran yang saling bertentangan satu sama lain. Sebagian di antara mereka ada pula yang percaya bahwa semua keadaan, kejadian, dan peristiwa berpokok pangkal pada Tuhan.
Filsafat Barat banyak menghasilkan aliran-aliran yang saling berpasangan, dan tiap-tiap pasangan mempunyai dua unsur yang secara diametral bertentangan satu sama lain.
Misalnya, aliran materialisme bertentangan dengan aliran spiritualisme. Aliran realisme bertentangan dengan aliran idealisme. Dan aliran monisme bertentangan dengan dualisme, dan lain sebagainya. Di antara para penganut kedua aliran yang saling bertentangan itu, berkobarlah polemik yang sangat keras yang bahkan hingga kini  belum dapat didamaikan. Namun, bila keduanya kita pelajari dengan teliti, maka kita akan segera menyadari bahwa keduanya sebenarnya adalah saling menggenapi, yang dapat memberikan pengertian yang sewajarnya tentang berbagai kenyataan.
Oleh karena itu, maka akhir-akhir ini berkembang sebuah aliran baru yang membenarkan kedua aliran yang saling bersimpangan itu dan mempersatukan keduanya menjadi satu kesatuan yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai masalah, yang sebelumnya tidak dapat dijelaskan melalui salah satu daripadanya. Aliran ini disebut aliran “serba genap” (komplementarisme).
Dalam buku Dialog dengan Gus Dur dari Alam Gaib, Gus Dur menjelaskan juga tentang hakikat yang hampir senada dengan penjelasan di atas. Pernyataan Gus Dur itu sebagai berikut:
 “Semua saya baca. Termasuk eksistensialis perlu dibaca. Apalagi kalau kita mempelajarinya secara berbarengan semua aliran itu, maka kita akan memperoleh garis kesamaan yang mencerminkan keutuhan. Di situlah kita akan mampu mencapai taraf hakikat.”
“Fenomena dan noumena (yang tidak kelihatan, yang melekat di fenomena) itu selalu bergabung. Ia merupakan satu kesatuan.”
“Semua itu adalah guru sejati. Pada akhirnya, kembali pada Tuhan.”
“Guru spiritual saya adalah realitas. Dan guru realitas saya adalah spiritual.”
    
Epistemologi

Epistemologi berbicara “bagaimana”. Epistemologi disebut juga teori pengetahuan. Epistemologi adalah proses berpikir. Dalam epistemologi, terdapat filsafat ilmu. Jadi, filsafat ilmu adalah bagian dari epistemologi (teori pengetahuan). Mengapa filsafat ilmu hanya merupakan bagian dari epistemologi? Karena, filsafat ilmu hanya fokus pada persoalan pengetahuan ilmiah (ilmu). Sedangkan epistemologi berbicara tentang persoalan pengetahuan secara luas. Ilmu adalah bagian dari pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan itu ilmu. Ilmu adalah pengetahuan ilmiah yang didapatkan melalui kegiatan ilmiah (aktivitas riset). Oleh karenanya, epistemologi disebut juga sebagai teori pengetahuan. Menurut Jujun Suriasumantri (1993:33), filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah).
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan (knowledge), dan logos artinya teori atau ilmu. Dengan demikian, Epistemologi secara etimologis berarti teori pengetahuan.
Dalam epistemologi, dibahas berbagai hal tentang pengetahuan, di antaranya tentang sumber pengetahuan, bagaimana manusia memperoleh pengetahuan, batas-batas pengetahuan, metode ilmiah, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan, dan apa hakekat pengetahuan. Dalam epistemologi, ada dua aliran besar yang membahas tentang sumber pengetahuan, yaitu empirisme dan rasionalisme.
Di samping dua aliran utama itu, ada juga aliran lain seperti positivisme (gabungan antara empirisme dan rasionalisme), intuisionisme, dan metode ilmiah. Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan gagasan pengetahuan manusia. Epistemologi pada dasarnya adalah cara bagaimana pengetahuan disusun dari bahan yang diperoleh dan dalam prosesnya menggunakan metode ilmiah. Dalam rumusan lain, epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari watak, batas, dan berlakunya ilmu pengetahuan. Dalam memperoleh pengetahuan, ada dua metode yang sering digunakan, yakni deduktif dan induktif. Deduktif ialah penyimpulan dari umum ke khusus. Dalam penyimpulan itu, digunakan cara yang dikenal dengan silogisme. Silogisme terdiri dari premis mayor, premis minor, dan kesimpulan. Contoh:

Semua manusia adalah fana (premis mayor)
Socrates adalah manusia (premis minor)
Jadi, Socrates adalah fana (kesimpulan)

Cara berpikir dengan menggunakan silogisme ini disebut juga dengan “logika” atau berpikir rasional. Sedangkan induksi adalah penyimpulan dari hal-hal khusus ke umum. Contohnya, besi A dipanaskan akan memuai, besi B dipanaskan akan memuai, besi C, D, dan seterusnya jika dipanaskan juga akan memuai. Jadi, kesimpulannya, besi jika dipanaskan akan memuai. Cara ini disebut induksi. Menurut Jujun S Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu, matematika juga tergolong kepada berpikir deduktif.
Apa hakekat pengetahuan? Ada beberapa aliran yang membicarakan, di antaranya realisme, idealisme, dan relativisme.
Realisme. Pengetahuan, menurut aliran ini adalah gambaran atau copy yang sebenarnya dari apa yang ada di alam nyata dari fakta atau dari hakekat. Pengetahuan adalah benar dan tepat sesuai kenyataan. Artinya, kenyataan objek tidak tergantung dari persepsi atau tanggapan dari manusia (subjek). 
Idealisme. Gambaran yang sesuai kenyataan adalah mustahil, karena pengetahuan adalah proses mental. Jadi, bersifat subjektif. Ia menurut penglihatan atau persepsi orang yang mengetahui. Aliran ini berbahaya bagi agama. Karena, ada sebagian para aliran ini yang menganggap bahwa manusialah yang menciptakan Tuhan, bukan Tuhan yang menciptakan manusia. Aliran ini lawan dari realisme.
Relativisme. Menurut aliran ini, pengetahuan itu relative kebenarannya. Manusia adalah ukuran kebenaran. Kebenaran objektif tidak ada. Yang ada, benar menurut kamu dan benar menurut saya. Contohnya, jika disajikan gambar dua wajah yang saling berhadapan, di tengahnya diletakkan bunga. Orang bisa mengatakan gambar vas bunga, dan bisa mengatakan gambar dua wajah. Mana yang benar? Tentu, mereka mengikuti persepsi mereka masing-masing.
Louis Kattsoff dalam bukunya Pengantar Filsafat menjelaskan ada lima metode untuk mendapatkan pengetahuan/ilmu, di antaranya:

Empirisme
Rasionalisme
Fenomenalisme ajaran Kant
Intuisionisme
Metode Ilmiah

Di samping kelima metode di atas, Prof Dr H M Solly Lubis dalam bukunya Filsafat Ilmu dan Penelitian, menjelaskan bahwa wahyu juga termasuk sumber pengetahuan. Wahyu disampaikan oleh Allah kepada nabi-nabi melalui malaikat. Lalu, nabi meneruskan kepada umat manusia.
Kelima metode dalam mendapatkan ilmu sebagaimana yang diterangkan oleh Louis Kattsof, akan dijelaskan berikut ini. Pertama, empirisme. Seorang penganut empirisme, biasanya berpendirian bahwa kita dapat memperoleh pengetahuan melalui pengalaman. Sifat yang menonjol dari jawaban ini dapat dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti, “Bagaimana orang mengetahui es membeku?” Jawaban kita tentu akan berbunyi, “Karena saya melihatnya demikian itu,” atau “Karena seorang ilmuan telah melihatnya demikian.” Sama halnya dengan itu, terhadap petanyaan, “Bagaimana orang mengetahui Caesar telah dibunuh?” maka jawaban kita akan berbunyi, “Karena seseorang yang ada di tempat itu dan melihat kejadian tersebut, telah menerangkannya demikian.” Secara demikian, dapat dibedakan dua macam unsur: “yang mengetahui” dan “yang diketahui”. Orang yang mengetahui merupakan subjek yang memperoleh pengetahuan dan dikenal dengan suatu perkataan yang menunjukkan seseorang atau suatu kemampuan. Unsur ketiga yang dapat kita bedakan dalam jawaban terhadap pertanyaan, “Bagaimana orang mengetahui bahwa es itu membeku?” ialah keadaan yang bersangkutan dengan “melihat”, atau “mendengar”, atau suatu pengalaman inderawi yang lain. Bagamana kita mengetahui api itu panas? Dengan menyentuh barang sesuatu dan memperoleh pengalaman yang kita sebut “panas”. Bagaimana kita mengetahui apakah panas itu? Dengan mempergunakan alat-alat inderawi peraba. Dengan kata lain, pertanyaan, “Bagaimanakah Anda mengetahui atau memperoleh pengetahuan?” dijawab dengan menunjukkan pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai.
Pengetahuan diperoleh dengan perantaraan indera, kata seorang penganut empirisme. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan, akalnya seperti buku catatan yang kosong (tabula rasa), dan dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan, yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama.  Ada banyak jenis empirisme. Tetapi, pada hakikatnya, semuanya mengutamakan pengalaman inderawi dalam proses memperoleh pengetahuan. Mencari kebenaran lewat pengalaman empiris dalam metode ilmiah disebut “induktif”. Pengetahuan, menurut aliran empirisme, didapatkan melalui indera.
Kedua, rasionalisme. Menurut rasionalisme, pengalaman tidak mungkin dapat menguji kebenaran hukum “sebab-akibat”. Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Rasionalisme adalah pengetahuan deduktif. Descartes, bapak rasionalisme kontinental, berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan yang darinya dengan memakai metode deduktif dapat disimpulkan pengetahuan kita. Dapatlah dikatakan, bagi seorang penganut rasionalisme, pengetahuan diperoleh melalui kegiatan akal pikiran atau akal budi ketika akal menangkap pelbagai hal yang dihadapinya pada masa hidup. Menurut rasionalisme, pengalaman merupakan pelengkap bagi akal. Seorang penganut rasionalisme tidaklah memandang pengalaman sebagai hal yang tidak bernilai. Bahkan sebaliknya, ia mungkin mencari pengalaman-pengalaman selanjutnya sebagai bahan pembantu atau pendorong dalam penyelidikannya untuk memperoleh pengalaman. Akal memang berhajat pada bantuan pancaindera, tetapi akallah yang menhubungkan data itu satu sama lain lewat penalaran, sehingga terbentuk pengetahuan yang benar.
Ketiga, fenomenalisme ajaran Kant. Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? Itu tergantung pada macam pengetahuan, kata Kant. Ia membedakan empat macam pengetahuan, yang ia golongkan sebagai berikut:

Yang analitis a priori
Yang sintetis a priori
Yang analitis a posteriori
Yang sintetis a posteriori

Pengetahuan a priori ialah pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalaman atau, yang ada sebelum pengalaman. Pengetahuan a posteriori terjadi sebagai akibat pengalaman. Pengetahuan analitis merupakan merupakan hasil analisa. Dan, pengetahuan sintetis adalah pengetahuan yang merupakan hasil mempersatukan dua hal yang terpisah. Pengetahuan sintetis (sintesis) adalah pengetahuan yang tejadi dari proses dialektika, yakni dari perangkuman tesis dan antitesis. Dalam teori dialektika, sintesis juga akan berubah menjadi tesis baru, karena adanya antithesis lagi. Penggabungan dari tesis dan antithesis akan melahirkan pula sintesis baru. Demikianlah seterusnya. 
Keempat, intuisionisme. Batas-batas pengetahuan ditentukan oleh jenis-jenis alat yang kita gunakan untuk memperoleh pengetahuan. Sebagai contoh: dimisalkan saya minta agar seseorang menceritakan apa yang terjadi setelah siaran yang menggambarkan tentang “penyerbuan dari planet Mars”. Kita anggap ia termasuk salah seorang yang terlibat sebagai pendengarnya. Sudah tentu ia akan melukiskan apa yang telah dikerjakannya ketika mendengar siaran tersebut. Seperti bagaimana perasaannya ketika penyiar mulai melukiskan kejadian-kejadian aneh, apa yang dikatakan oleh penyiar tadi, apa yang ia pikirkan, dan sebagainya.
Karena saya tidak berada di tempat itu, saya mungkin sangat tertarik pada keterangannya, mendengarkan dengan penuh perhatian, bahkan mungkin dengan perasaan suka cita. Setelah ia mengakhiri keterangannya, saya mungkin akan membuat suatu catatan mengenai kejadian itu, dan selanjutnya akan berbicara mengenai hal lain. Sebagai akibatnya, ia mungkin mengatakan atau merasa, “Ia tidak benar-benar mengetahui apa yang terjadi atau bagaimana perasaan saya.” Uraian yang ia berikan mungkin sangat lengkap, namun tanpanya, mungkin juga saya tidak mengetahui apa yang terjadi, meskipun saya dapat menceritakan kembali banyak hal di antara yang ia katakan mengenai kejadian itu.
Perbedaan tersebut kiranya terletak pada dua ungkapan, yaitu “pengetahuan mengenai” (knowledge about) dan “pengetahuan tentang” (knowledge of). “Pengetahuan mengenai” dinamakan pengetahuan diskursif atau pengetahuan simbolis, dan pengetahuan ini ada perantaranya. “Pengetahuan tentang” disebut pengetahuan yang langsung atau pengetahuan intuitif, dan pengetahuan tersebut diperoleh secara langsung.
Henry Bergson, filosof Prancis modern, membedakan pengetahuan diskursif dengan pengetahuan intuitif. Pengetahuan  diskursif diperoleh melalui penggunaan symbol-simbol yang mencoba mengatakan kepada kita mengenai sesuatu dengan jalan berlaku sebagai terjemahan bagi sesuatu itu. Ini tergantung pada pemikiran dari suatu sudut pandang atau suatu kerangka acuan, dan pelukisan kejadian yang berhubungan dengan sudut pandang serta kerangka acuan tersebut.
Dengan cara demikian, kita memperoleh pengetahuan mengenai suatu segi atau bagian dari kejadian tadi, tetapi tidak pernah mengenai kejadian itu seluruhnya. Pelukisan suatu kejadian tersebut ditinjau dari sudut pandang tertentu, berhubungan dengan suatu penglihatan tertentu, dan atas dasar itulah saya tidak dapat merasakan diri saya berada di dalamnya dan memahaminya sebagai suatu keseluruhan dan sesuatu yang mutlak. Hanya dengan menggunakan intuisi, kita dapat memperoleh pengetahuan tentang kejadian itu, suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukannya pengetahuan yang nisbi atau yang ada perantaranya.
Intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis yang pada dasarnya bersifat analitis, dan memberikan kepada kita keseluruhan yang bersahaja, yang mutlak tanpa sesuatu ungkapan, terjemahan atau penggambaran secara simbolis. Maka, menurut Bergson, intuisi ialah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Pengetahuan intuitif tidak dapat diberitahukan. Perhatikanlah apa yang dikatakan oleh intuisi kepada kita tidak pernah dapat diberitahukan, karena untuk memberitahukannya saya perlu menterjemahkannya ke dalam simbol-simbol, dan dengan demikian saya akan berbicara mengenai pengetahuan saya. Ditinjau dari sudut ini, orang dapat menaruh keberatan dan mengatakan bahwa intuisi lebih merupakan bentuk perbuatan mengalami daripada merupakan kemampuan untuk memperoleh pengetahuan. Orang mungkin mengajukan keberatan dan mengatakan bahwa mengalami kenyataan mungkin berharga sebagai persiapan bagi pengetahuan.
Salah satu di antara unsur-unsur yang berharga dan intuisionisme  Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman, di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian, data yang dihasilkan dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan, di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intuisionisme—setidaknya-tidaknya dalam beberapa bentuk—hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap diperoleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan nisbi—yang meliputi sebagian saja—yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah yang-menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaan yang senyatanya.
Dalam buku Pengantar Filsafat Pendidikan, karya Uyoh Sadullah, dikatakan, pengetahuan intuitif  adalah pengetahuan yang diperoleh manusia dari dalam dirinya sendiri. Ia tidak dapat diuji dengan observasi atau eksperimen. Pengetahuan intuitif tidak berdasarkan penalaran rasio, pengalaman, dan pengamatan indera. Dalam filsafat, ada paham yang menganggap intuisi dapat memperoleh kebenaran hakiki. Kaum intuisionis berpendapat bahwa manusia memiliki kemampuan khusus, yaitu cara khusus untuk mengetahui tanpa menggunakan indera maupun penalaran intelektual. Pengetahuan intuitif tidak berasal dari luar diri kita, tetapi berasal dari dalam diri kita sendiri. Menurut kaum intuisionisme, dengan intuisi, kita akan mengetahui dan menyadari diri kita sendiri, mengetahui karakter perasaan dan motif orang lain. Pengetahuan intuitif memiliki watak yang tidak komunikatif. Ia bersifat subjektif. Tidak terlukiskan.
 Kelima, metode ilmiah. Secara akronim, metode ilmiah terkenal dengan logico-hypotetico-verificative. Atau, deducto-hypotetico-verificative. Semua buah pikiran dan pemahaman kita tentang alam yang kita peroleh tidak melalui siklus logico-hypotetico-verificative, bukanlah ilmu, tetapi disebut pengetahuan. logico-hypotetico  merupakan bentuk berpikir deduktif, sedangkan verificative adalah proses induksi. Oleh karenanya, ilmu harus rasional dan empirik. Dengan kata lain, ilmu adalah gabungan antara rasionalisme dan empirisme.
Metode ilmiah merupakan prosedur atau langkah-langkah sistematis dalam mendapatkan pengetahuan  ilmiah atau “ilmu”. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah. Garis besar langkah-langkah metode ilmiah menurut Soetriono dan SRDm Rita Hanafi, sebagaimana yang dikutip Endang Komara dalam bukunya Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian adalah sebagai berikut: (1) mencari, merumuskan, dan mengidentifikasi masalah, (2) menyusun kerangka pemikiran (logical construct), (3) merumuskan hipotesis, (4) menguji hipotesis secara empirik (pengumpulan data/informasi dan analisis data), (5) melakukan pembahasan, (6) menarik kesimpulan. 
Metode ilmiah (scientific method) ialah cara memperoleh pengetahuan dengan menggabungkan cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif (Solly Lubis, 2012: 19). Ilmu merupakan gabungan dari rasionalisme dan empirisme. Metode ilmiah melibatkan perpaduan antara cara kerja deduktif dan induktif. Jadi, metode ilmiah adalah perpaduan antara rasionalisme dan empirisme. Fase-fase kegiatan penelitian ilmiah menurut Endang Komara (2011: 85-86), adalah sebagai berikut: (1) menetapkan atau merumuskan atau mengidentifikasi masalah, menyusun kerangka pemikiran atau pendekatan masalah, merumuskan hipotesis (jika penelitian bertujuan memverifikasi), menentukan rancangan uji hipotesis atau teknik analisis (jika tidak menguji hipotesis), (2) fase pengumpulan data atau informasi masih menyangkut pengujian hipotesis atau teknik analisis, (3) fase pengolahan data juga masih bersangkutan dengan pengujian hipotesis atau teknik analisis, (4) fase penyusunan atau penulisan laporan, dengan langkah pembahasan dan pembuatan kesimpulan. Ilmu terbuka untuk diuji. Kebenaran ilmu tidak mutlak. Artinya, selagi belum ada penelitian baru, yang berdasarkan fakta-fakta empirik yang membantah, ilmu itu tetap diakui kebenarannya. Tetapi, jika ada penelitian baru, yang juga berdasarkan fakta-fakta empiris yang membantah, maka ilmu atau teori yang lama tidak diakui lagi kebenarannya. Demikianlah seterusnya. Jadi, ilmu itu selalu mengalami kemajuan dan perkembangan. Ada tiga fungsi ilmu, yaitu (1) menjelaskan (explanation), (2) meramalkan (prediction), (3) mengontrol (to control).
Adapun dengan agama, ilmu bersifat saling melengkapi (komplementer). Agama dan ilmu mempunyai perbedaan antara lingkup permasalahannya. Oleh karenanya, berbeda pula metode dalam memecahkan masalah. Perbedaan ini harus diketahui dengan benar untuk dapat menempatkan ilmu dan agama dalam perspektif yang sungguh-sungguh. Tanpa mengetahui hal ini, mudah sekali seseorang terjebak ke dalam kebingungan. Padahal, dengan menguasai hakikat ilmu dan agama secara baik, kedua pengetahuan itu justru saling melengkapi atau bersifat komplementer. Di satu pihak, agama akan memberikan landasan moral bagi aksiologi keilmuan, sedangkan di pihak lain, ilmu akan memperdalam keyakinan agama.  
Dalam bukunya, Filsafat Ilmu dan Penelitian (2012: 180), Solly Lubis menuliskan, ada lima komponen utama penelitian ilmiah, di antaranya: (1) masalah, (2) hipotesa, (3) data, (4) hasil/analisis, (5) kesimpulan. Di samping itu, Solly Lubis juga menjelaskan langkah-langkah sistematis metode ilmiah, di antaranya: (1) perumusan masalah, (2) penyusunan kerangka berpikir, (3) pengajuan hipotesis, (4) pengujian hipotesis, dengan cara pengumpulan data dan fakta, (5) penarikan kesimpulan (Solly Lubis, 2012: 22). Sementara menurut Maria SW Sumardjono, sebagaimana yang dikutip oleh Solly Lubis (2012:107), penelitian ilmiah memerlukan tahapan-tahapan tertentu. Tahapan itu antara lain: (1) pemilihan dan pernyataan hipotesis (jika ada), (2) pembuatan desain penelitian, (3) pengumpulan data, (4) pembuatan kode dan analisis data, (5) interpretasi (penarikan kesimpulan).

Aksiologi 

Jika ontologi berbicara tentang “apa”, dan epistemologi berbicara “bagaimana”, maka aksiologi berbicara “untuk apa”. Aksiologi berbicara tentang manfaat dari apa yang dibahas oleh filsafat. Atau, dengan kata lain, ia berbicara tentang manfaat ilmu pengetahuan. 
Aksiologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki masalah nilai.  Lebih dari itu, aksiologi juga menunjukkan kaedah-kaedah apa yang harus kita perhatikan dalam menerapkan ilmu ke dalam praktek (Komara, 2011: 130). Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani, axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga. Logos artinya teori atau ilmu. 
Begitu urgennya persoalan nilai, banyak keributan di dunia disebabkan perbedaan nilai atau demi sebuah nilai. Orang rela mengorbankan apapun demi sebuah nilai. Karena tidak ada kesepakatan tentang sebuah nilai, maka pertentangan tentang nilai tetap ada. Baik-buruk, indah-jelek, memang ada. Tetapi, ukurannya tidak satu macam. Contoh: etika (baik-buruk). Ia berbeda di ruang dan waktu yang berbeda. Adat-istiadat, adab, pakaian, prilaku mengkritik, dan lain sebagainya, misalnya, berbeda dan dinilai berbeda berdasarkan ruang dan waktu.
Dalam aksiologi, ada dua persoalan pokok yang dibahas, yaitu etika dan estetika (seni). Etika berbicara tentang baik-buruk, sedangkan estetika berbicara indah-jelek. Di samping itu, dalam aksiologi dibahas juga tentang guna pengetahuan. Bergunakah atau bernilaikah pengetahuan itu.
Pertanyaan mengenai aksiologi menurut Kattsoff, seperti yang dikutip Endang Komara, dapat dijawab melalui tiga cara. Pertama, nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai-nilai itu merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung pada pengalaman mereka. Kedua, nilai-nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologisme, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan diketahui melalui akal. Pendirian ini dinamakan “objektivisme logis”. Ketiga, nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan. Yang ketiga ini disebut “objektivisme metafisik”.
Ada banyak aliran dalam aksiologi, di antaranya: pertama, pragmatisme. Pragmatism adalah aliran yang berpandangan bahwa yang benar itu ialah yang bermanfaat secara praktis. Jadi, kebenaran menurut pragmatism ini bergantung pada kondisi yang berupa manfaat (utility), kemungkinan dapat dikerjakan (workability) dan berkonsekuensi memuaskan (satisfactory result). Kedua, hedonisme. Aliran ini mengutamakan kenikmatan lahiriah. Ketiga, utilitarianisme. Aliran ini menganggap bahwa yang baik itu ialah yang berguna.


DAFTAR PUSTAKA

Lubis, Solly, (2012), Filsafat Ilmu dan Penelitian, Medan: PT. Sofmedia
Kandito, Argawi . Ngobrol dengan Gus Dur dari Alam Kubur. Pustaka Pesantren, 2010
Kattsoff, Louis O., (2004), Pengantar Filsafat, (Elements of Philosophy), terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Komara, Endang, (2011), Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Bandung: PT. Refika Aditama
Poespoprodjo dan Gilarso, EK T, (2006), Logika Ilmu Menalar: Dasar-dasar Berpikir Tertib, Logis, Kritis, Analitis, Dialektis, Bandung: CV. Pustaka Grafika.
Sadullah, Uyoh, (2012), Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: CV. Alfabeta.
Suriasumantri, Jujun S, (1993), Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Suryadipura, Paryana, (1994), Manusia dengan Atomnya: Dalam Keadaan Sehat dan Sakit, Jakarta: Bumi Aksara.
W Syam, Nina, (2010), Filsafat sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Bandung: Simbiosa Rekatama Media.


NANI EFENDI, Alumnus HMI 

 

0 komentar:

Posting Komentar