Oleh: Nurcholish Madjid

Pandangan itu secara tidak langsung juga didukung oleh kenyataan bahwa persoalan hubungan antaragama yang paling gawat terdapat di kalangan bangsa-bangsa yang mayoritas bukan Muslim. Umat Islam di mana saja menjadi lebih sensitif lagi terhadap kenyataan ini, karena jika terdapat komunitas Muslim di negeri-negeri yang mayoritas bukan Muslim dengan kesenjangan dan ketidakserasian hubungan antaragama itu, maka yang paling menderita kezaliman dan penganiayaan agama ialah kaum Muslim. Sebaliknya, minoritas-minoritas bukan Muslim di dunia mendapati bahwa kehidupan keagamaan yang paling aman dan damai ada di kalangan mayoritas Muslim. Keadaan yang baik itu umum sekali pada zaman sekarang, tetapi lebih-lebih sangat menonjol di zaman-zaman kebesaran Islam.
Penjelasan mengenai keadaan tersebut tentu saja bertalian dengan berbagai faktor yang saling berhubungan secara ruwet. Ada atau tidak adanya keserasian hidup antara pemeluk berbagai agama yang berbeda banyak ditentukan oleh faktor-faktor keagamaan an sich, kesejarahan, kenegaraan atau politik, kemasyarakatan, ekonomi, dan lain-lain. Kejelasan yang menyeluruh akan didapat hanya jika semua faktor itu diperiksa, hal mana adalah di luar lingkup makalah ini. Karena itu, di sini pembahasan akan dibatasi hanya pada tinjauan masalah keserasian hidup antaragama dari sudut pandangan ajaran itu sendiri, dan dalam hal ini ialah ajaran Islam. Hal itu dilakukan karena kesadaran tentang dasar-dasar prinsipal bagi adanya keharusan hidup antaragama yang serasi akan membuat usaha ke arah itu dapat ditempuh dengan kemantapan dan keyakinan, sehingga tidak dipandang hanya sebagai persoalan manfaat belaka.
Salah satu wujud keserasian ialah
adanya kesediaan dari semua pihak untuk berdialog, sebab dialog itu sendiri
melibatkan adanya pandangan dan pendekatan positif suatu pihak kepada
pihak-pihak lain. Dan adanya dialog itu, pada urutannya sendiri, akan
menghasilkan pengukuhan keserasian dan saling pengertian.
Al-Islam, Agama Alam Semesta
Dari sudut pandang kaum Muslim, saling
pengertian dan dialog merupakan akibat logis ajaran asasi Kitab Suci al-Qur’an.
Pada titik mula sekali, logika saling pengertian dan dialog antaragama dapat ditelusuri
akar-akarnya dalam pandangan bahwa sebenarnya agama alam semesta ini ialah al-islam,
yaitu sikap pasrah yang total kepada Sang Maha Pencipta. Kitab Suci memberikan
berbagai ilustrasi tentang ketundukan, ketaatan, dan kepasrahan alam semesta kepada
Tuhan. Beberapa di antaranya adalah demikian:
“... Kemudian Dia (Tuhan) bertahta di langit yang berupa kabut,
lalu berfirman kepadanya dan kepada bumi: ‘Datanglah (kepada-Ku) kamu berdua
dengan taat ataupun terpaksa!’ Keduanya menjawab, ‘Kami datang dengan taat’.”[2]
“Matahari dan bulan (beredar) dengan perhitungan (yang pasti), dan
bintang-bintang dan pepohonan semuanya bersujud (kepada-Nya).”[3]
“Bertasbih kepada-Nya seluruh langit dan bumi, juga mereka yang
ada di dalamnya. Tidak ada sesuatu apa pun kecuali mesti bertasbih dengan
pujian kepada-Nya, namun kamu sekalian (manusia) tidak mengerti tasbih mereka.”[4]
Tergolong “mereka yang ada di
dalamnya (di langit dan di bumi)” tersebut dalam firman itu ialah umat manusia.
Maka, sejalan dengan ketentuan Tuhan itu semua, manusia pun bersikap tunduk,
patuh, dan pasrah atau, sebutlah, “ber-islam”[5] kepada
Tuhan. Atau demikian itulah seharusnya, mengingat kenyataan bahwa tidak semua
orang ber-islam atau bersikap pasrah kepada Tuhan. Hal ini terjadi karena manusia
adalah makhluk yang istimewa, yang dalam al-Qur’an disebutkan sebagai
diciptakan Allah “dalam sebaik-baik bentukan”.[6]
Salah satu karakteristik manusia
sehingga bermartabat sebagai “puncak ciptaan Tuhan” ialah adanya kemampuan
untuk mengenali sesuatu sebagai benar dan salah atau baik dan buruk yang
kemudian berkebebasan untuk menerima atau menolaknya. Kebebasan itu merupakan
amanat Allah, yang dalam al-Qur’an digambarkan sebagai pernah ditawarkan kepada
seluruh alam kebendaan di jagad raya ini, namun semuanya menolak dan
berkeberatan, lalu ditawarkan kepada manusia dan manusia bersedia menerimanya.
Dengan begitu, manusia mengambil risiko untuk keliru dalam menggunakan
kebebasan itu, seperti menolak kebenaran dan kebaikan, yang kekeliruan itu akan
menjerumuskannya kepada kesengsaraan hidup. Jadi, dengan menerima amanat
tersebut, menurut al-Qur’an lebih lanjut, manusia bertindak merugikan diri
sendiri dan bodoh.[7]
Hal ini berbeda dengan alam
semesta yang secara apriori menerima ketentuan
Sang Maha Pencipta untuk tunduk, patuh, dan pasrah kepada-Nya. Maka alam raya,
dalam hubungannya dengan Allah, Sang Maha Pencipta, tidak punya masalah dan,
sebaliknya, manusialah yang dalam hal itu merupakan makhluk “bermasalah”.
Al-Islam, Agama Kemanusiaan
Sejagat
Cerita Kitab Suci tentang amanat
itu sepintas lalu seperti absurd atau
tidak masuk akal. Pertama, untuk apa
Tuhan menawarkan amanat itu kepada manusia, dan mengapa tidak dibiarkan saja
manusia memenuhi eksistensinya dan menempuh hidupnya seperti halnya seluruh
alam semesta, sehingga dalam berhubungan dengan-Nya tidak bermasalah? Kedua, mengapa manusia dibiarkan saja
menempuh hidup berkebebasan dengan kemungkinan terjerumus kepada kepalsuan dan
kejahatan yang akan membawa malapetaka dan hidup nista?
Jawab atas pertanyaan itu
berkaitan dengan pandangan tentang adanya hikmah Ilahi (al-hikmat al-ilahiyah). Yaitu pandangan, dan keyakinan, bahwa apa
pun yang diperbuat Allah adalah atas kodrat dan iradat-Nya untuk suatu hikmah
atau wisdom. Hikmah itu bertalian
dengan penegasan Allah bahwa Dia tidaklah menciptakan manusia dengan sia-sia,
tanpa makna dan tanpa tujuan.[8] Maka, dengan sendirinya tawaran Allah kepada
manusia untuk menerima amanat kebebasan dan “dibiarkannya” manusia menerima
amanat itu adalah suatu hikmah yang agung. Hikmah itu merupakan bagian dari
hakikat manusia sebagai makhluk dengan harkat dan martabat yang tinggi,
setinggi-tinggi ciptaan Allah.
Dan kebebasan itu, disertai bekal
kemampuan mengenali “nama-nama” segala wujud yang ada (kemampuan mengenali
lingkungan hidupnya), adalah prasyarat bagi kedudukan manusia sebagai khalifah
atau “wali-pengganti” Tuhan di bumi.[9] Sebab
kemampuan mengenali lingkungan hidup, baik yang material maupun yang lain,
beserta kebebasan melakukan pilihan tentang mana yang benar dan salah, baik dan
buruk, manfaat dan mudarat, dan seterusnya, adalah kualitas-kualitas yang
mutlak diperlukan untuk daya cipta atau ibda’,
kreativitas, untuk mengemban tugas suci mewakili Tuhan di bumi. Sebagai
khalifah Tuhan, manusia diperintahkan untuk meniru akhlak atau pekerti Tuhan,[10] antara
lain daya cipta, sebab Allah adalah Pencipta (badi’) seluruh langit dan bumi. Dan karena adanya unsur pilihan
sadar dari semua tindakannya itu, maka manusia, berbeda dari alam kebendaan,
adalah makhluk moral, dalam arti bahwa ia bertindak dengan pertanggungjawaban
dengan penilaian benar atau salah, baik atau buruk, dan dengan akibat
kebahagiaan dan kesengsaraan.
Walaupun begitu, manusia tidak
boleh melupakan hakikat dirinya sebagai hamba Allah yang harus taat dan pasrah
kepada-Nya. Bahkan, tugas kekhalifahan (khilafah,
dari kata-kata khalifah) itu sendiri pun harus dijalankan dalam rangkaian
kesatuan dengan tugas pengabdian (‘ibadah,
dari kata-kata ‘abd, yaitu, “abdi”).
Artinya, seluruh kiprah manusia sebagai “wali pengganti” Tuhan harus terjadi
dengan mematuhi hukum-hukum yang telah ditetapkan untuk alam semesta, yaitu
hukum ketundukan (din) dan kepasrahan
(islam). Jika tidak, manusia akan
menghadapi bahaya menentang hukum alam semesta, yang juga berarti hidup tidak
sejalan atau serasi dengan sesama ciptaan Allah. Hidup seperti itu adalah suatu
malapetaka dan kesengsaraan, lebih-lebih lagi jika penentangan terhadap hukum
Allah bagi seluruh ciptaan-Nya tersebut serta ketidakserasian yang
diakibatkannya terjadi pada tingkat ruhani. Sebab ruh adalah lokus kehidupan
abadi manusia, melebihi batas waktu hidup manusia di bumi, menembus batas-batas
langit dan terus berlangsung dalam Kampung Akhirat. Karena dimensinya yang
abadi itu, maka kehidupan akhirat, dibanding dengan kehidupan di dunia,
merupakan kehidupan yang sebenar-benarnya.[11]
Sekalipun merupakan puncak
ciptaan Allah, wujud manusia tetap suatu wujud nisbi, tidak mutlak. Kemutlakan
hanya ada pada Kemahaesaan, karena itu hanya ada pada Tuhan saja. Sebab, secara
logika biasa pun, kemutlakan pasti tunggal. Sesuatu disebut mutlak karena tidak
berbanding dengan apa pun, sehingga jika disebut ada suatu kemutlakan pada
wujud lebih dari satu, maka dengan sendirinya kemutlakan itu gugur. Wujud-wujud
itu pun dengan sendirinya bersifat nisbi, karena dapat dinisbatkan atau
dikaitkan serta dibandingkan satu sama lain. Maka dari itu, Tuhan tidak seperti
apa pun, dan tidak sebanding dengan apa pun.[12]
Kejelasan tentang kenisbian
manusia amat perlu disadari sebagai pangkal memahami ketidakmampuan manusia
menangkap seluruh kebenaran. Untuk mengetahui kebenaran itu, manusia tidak bisa
tidak, memerlukan bimbingan Tuhan yang senantiasa memberi kasih (rahmah) dan santun (ra’fah) serta kemurahan (fadl’l)
kepada manusia.[13]
Pada peringkat setiap pribadi
manusia, wujud bimbingan Ilahi itu dimulai dengan adanya perjanjian primordial
(terjadi sebelum lahir ke bumi) dalam suatu kesaksian dan pengakuan oleh
manusia bahwa Allah, Tuhan Yang Maha Esa, adalah Tuhan (Rabb) manusia. Kesaksian dan pengakuan itu mengandung makna
kesediaan untuk tunduk, patuh, taat, dan pasrah atau ber-islam kepada-Nya, yang sikap-sikap itu berhasil atau gagal,
dipertanggungjawabkan di Hari Kiamat.[14]
Berdasarkan adanya perjanjian
primordial itu, maka tidak ada sifat kemanusiaan yang lebih asasi daripada
naluri untuk mengabdi, atau hasrat alami untuk menyembah. Naluri dan hasrat itu
berakar jauh sekali dalam kedirian manusia yang paling inti, yaitu kediriannya
sebagai makhluk ruhani penerima perjanjian primordial tersebut. Jadi, lokus
rekaman perjanjian primordial itu ada dalam alam ruhani manusia, jauh lebih
dalam daripada alam bawah sadar psikologisnya. Tetapi, terkias dengan alam
bawah sadar yang terus mempengaruhi hidup manusia—termasuk pengalaman bahagia
dan sengsaranya, maka alam ruhani manusia yang merupakan lokus perjanjian
primordial itu lebih-lebih lagi secara mendasar mempengaruhi hidup pribadi
manusia dan menentukan pengalaman bahagia dan sengsara yang abadi. Ini dapat dilihat
dengan jelas pada berbagai pola penyaluran naluri menyembah dan mengabdi, yang
dorongan dahsyat suatu air bah yang tidak suatu penghalang pun dapat
menahannya, dan terus-menerus mencari saluran. Jika tidak tersalurkan dengan
baik dan benar, naluri alamiah itu pasti akan menempuh jalan keburukan dan
kesesatan. Salah satu kelemahan manusia adalah ketidakmampuannya mengangkat
dirinya di atas lingkungan sosial dan budaya yang merupakan hasil interaksi
sesamanya dan dengan alam sekitarnya sepanjang sejarah. Maka, potensi manusia
untuk “lupa” akan perjanjian primordialnya itu besar sekali. Karena itu,
manusia “historis” selamanya terancam oleh kesesatan.
Persoalan manusia, dengan
demikian, bukan apakah dia hendak
berbakti atau tidak berbakti, melainkan hendak berbakti kepada apa atau siapa,
dan bagaimana caranya serta apa konsekuensi-konsekuensinya. Karena,
bagaimanapun, hasrat berbakti harus terpenuhi, maka sebagai akibatnya, umat
manusia mengenal berbagai macam sasaran penyembahan dan kebaktian, yang secara
generik disebut “tuhan” (bahasa melayu), ilah,
el, il, iliyun (bahasa-bahasa Semitik), deva,
deo, dieu, theo (bahasa-bahasa Indo-Latin), khoda, god, gott (bahasa-bahasa Indo-Jerman), dan seterusnya.
Tetapi, karena tuhan-tuhan itu bukanlah tuhan yang sebenarnya, melainkan tuhan
palsu, maka konsekuensi pengabdian kepadanya juga tidak sejati, alias palsu,
tidak membawa kebahagiaan, melainkan mendatangkan kesengsaraan. Efek negatif
ini dapat dilihat wujudnya pada kelompok-kelompok pemujaan atau kultus yang
menuntut kepatuhan total kepada sang pemimpin (jadi dapat dikatakan sebagai
penyaluran hasrat “ber-islam yang
keliru), seperti kaum komunis, kaum Nazi, kaum nasionalis chauvinist, People’s Temple, Branch Davidian, Bhagwan Shri
Rajneesh, Aum Sinrikyo, dan seterusnya. Yaitu, kelompok-kelompok kultus, baik
yang berasaskan ideologi sekuler atau berasaskan pandangan keagamaan seperti
dari Buddhisme, Hinduisme, Kristen, Islam, Shintoisme, dan lain-lain. Jadi,
tantangan manusia ialah bagaimana menyalurkan naluri dan hasrat alamiahnya
untuk berbakti dan memuja itu ke arah sasaran pemujaan yang benar dan dengan
cara yang benar, sehingga memiliki konsekuensi yang benar pula.
Dari urutan uraian singkat di
atas, kiranya dapat dimengerti mengapa dalam al-Qur’an persoalan yang selalu
disebutkan dan umat manusia diperingatkan untuk waspada kepadanya ialah
persoalan syirik. Dengan kata lain, persoalan manusia bukanlah tidak percaya
kepada Tuhan. Kenyataannya, setiap orang, termasuk mereka yang mengaku “ateis”,
pasti mempunyai sasaran dedikasi dan penyerahan total hidupnya. Dan sasaran itu
adalah padanan atau equivalent palsu
bagi Tuhan yang sebenarnya, yaitu Tuhan Yang Mahaesa. Karena kepalsuan sasaran
sesembahan dan kebaktian itu, maka “tuhan-tuhan” tersebut justru merupakan
penghalang manusia dari memperoleh harkat dan martabatnya sebagai puncak
ciptaan Allah. Jika manusia, menurut design
Tuhan, hakikat wujudnya dimulai dengan amanat kebebasan, maka justru kebebasan
itu sirna karena dirampas oleh tuhan-tuhan palsu yang menuntut ketundukan
tersebut. Maka, akibatnya ialah bahwa manusia, sebelum melangkah dalam
perjalanan di atas garis yang lurus menuju kebahagiaan, harus terlebih dahulu
membebaskan dirinya dari segenap sasaran pemujaan palsu. Proses pembebasan diri
itu dimulai dengan penegasan kepada diri sendiri bahwa memang “tidak ada suatu
tuhan apa pun, selain Tuhan Yang Maha Esa”. Dan Tuhan Yang Mahaesa adalah wujud
mutlak yang benar-benar mutlak, sehingga mutlak pula tidak ada bandingan atau
padanan, tidak dapat digambar, apalagi dilukis, karena “Dia menangkap pandangan
manusia, namun pandangan manusia tidak dapat menangkap-Nya.”[15] Itulah
makna kalimat persaksian atau syahadat pertama. Seperti dikatakan oleh Ibn
Taymiyah, syahadat itu merupakan pembebasan diri dari segala sesuatu selain
Allah, Tuhan Yang Mahaesa, yang terdiri dari tuhan-tuhan palsu, baik berupa
kecenderungan diri sendiri (hawa al-nafs),
atau ketaatan kepada sesama makhluk, atau lain-lainnya. Konsep tentang
pembebasan diri atau bara’ah ini
penting sekali dipahami dengan baik untuk mengerti efek paling mendasar dari
kalimat syahadat pertama. Karena pembebasan selalu melibatkan makna peningkatan
dan pengangkatan diri di atas dikte kemestian sosial dan budaya sekitar yang
tidak benar, maka kalimat syahadat adalah titik mula emansipasi kemanusiaan
seorang pribadi, menuju atau kembali ke harkat dan martabatnya selaku puncak
ciptaan Tuhan.
Al-Islam, Agama Sekalian Para
Nabi
Dari mana manusia mengetahui
konsep tentang Tuhan secara benar serta cara pengabdian dan penyembahan
kepada-Nya secara benar pula, adalah persoalan tersendiri. Pertama,
sesungguhnya pada manusia—akibat adanya perjanjian primordial sebagaimana telah
dikemukakan di atas—ada bibit kesucian dan kebaikan penciptaan asal yang suci (fithrah) yang berkecenderungan suci (hanif). Fithrah itu tidak akan berubah sepanjang masa, karena itu juga
merupakan lokus bagi kearifan abadi (al-hikmat
al khalidah, sophia perennis). Tetapi, sekalipun setiap pribadi manusia
dilahirkan dalam fitrah yang suci, tidak selamanya manusia memiliki
sensitivitas fithrah diperlukan untuk
menangkap kebenaran, dikarenakan timbunan dan tumpukan tebal puing-puing
pengalaman sosial dan budaya lingkungannya.[16] Dalam keadaan
fithrah yang “tumpul” atau kehilangan
sensitivitas itulah manusia menyimpang dari kesucian dan menempuh hidup yang
aniaya atau zalim kepada diri sendiri.
Masalah kedua, berkaitan dengan
hal di atas, ialah karena kebenaran dan kebaikan hakiki yang diperlukan manusia
adalah lebih tinggi daripada dunia pengalaman empirik, sehingga tidak semuanya
dapat ditemukan atau ditangkap oleh akalnya. Akal adalah perlengkapan hidup
manusia sebagai anugerah yang amat penting dari Tuhan. Manusia diperintahkan
Tuhan menggunakan akalnya, karena dapat merupakan rintisan ke arah kebenaran
dan kebaikan. Namun akhirnya, akal itu tidak akan cukup untuk menangkap dan
memahami kebenaran hakiki, lebih-lebih lagi tentang Tuhan Yang Mahaesa. Karena
itu, manusia memerlukan “uluran tangan” Tuhan, dengan petunjuk dan hidayah-Nya
berupa pengajaran atau berita (Arab: naba’),
melalui seseorang yang dipilih-Nya sebagai “penerima berita” (Arab: nabiy). Seorang nabi mungkin diberi
tugas selaku Utusan (Rasul) Tuhan untuk menyampaikan berita Ilahi itu kepada
kaumnya sesama manusia. Kemudian manusia diseru untuk menerima sepenuhnya
ajaran kepatuhan (Arab: din) kepada
Tuhan (al-islam) dengan penuh sarat
menangkap kebenaran dan kesucian (hanif)
sesuai dengan fithrah Allah yang
telah menciptakan manusia atas fithrah
itu. Penciptaan Allah itu abadi, tidak akan berubah selama-lamanya, dan
merupakan titik pusat keagamaan yang benar dan lurus, yang kebanyakan manusia
justru tidak menyadarinya.[17]
Karena persoalan manusia kapan
pun dan di mana pun pada prinsipnya adalah sama, yaitu terbelenggu oleh
kepercayaan-kepercayaan palsu, maka Tuhan mengutus Utusan kepada setiap umat
tanpa kecuali, dengan tugas suci yang sama: menyeru manusia untuk hanya
berbakti kepada Tuhan Yang Mahaesa saja, dan menolak kekuatan-kekuatan jahat
yang membelenggu manusia dan merampas kebebasannya—yang disebut thagut, khususnya yang berbentuk
sasaran-sasaran kebaktian palsu dalam sistem kepercayaan-kepercayaan palsu.[18] Tidak
ada satu umat pun melainkan padanya pernah tampil pembawa peringatan,[19] dan
setiap golongan manusia punya penuntun dan pembimbing.[20] Jadi,
tugas nabi dan rasul ialah mengajak manusia hidup tunduk-patuh, taat dan pasrah
kepada Tuhan. Karena itu, al-islam
atau ajaran pasrah kepada Allah secara sukarela dan damai adalah ajaran dan
agama semua nabi yang diterima dari Tuhan. Tentang al-islam sebagai agama para nabi itu secara ringkas dan bersifat
mewakili dijelaskan dalam al-Qur’an dalam rangkaian ajaran Nabi Ibrahim dan
pesannya kepada anak-cucunya:
Siapakah yang merasa tidak senang kepada agama Ibrahim kecuali
orang yang membodohi dirinya sendiri?! Kami sungguh telah memilihnya di dunia,
dan di akhirat pastilah ia tergolong orang-orang yang shaleh. Ketika Tuhannya
berfirman kepadanya, “Pasrahlah engkau!” Ia menjawab, “Aku pasrah kepada Tuhan seru
sekalian alam. Dan Ibrahim pun berpesan dengan ajaran itu kepada anak-anaknya,
begitu pula Ya’qub: “Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilihkan
untuk kamu ajaran ketundukan (al-din), maka janganlah
sampai kamu mati kecuali sebagai orang-orang muslim (pasrah kepada Allah).”
Apakah kamu menjadi saksi saat maut datang kepada Ya’qub, ketika ia bertanya
kepada anak-anaknya, “Apa yang akan kalian sembah setelah aku tidak ada?”
Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu,
Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami semua
orang-orang yang muslim kepada-Nya."[21]
Demikian pula halnya dengan semua
Nabi, dengan berbagai cara dituturkan dalam al-Qur’an sebagai tokoh-tokoh yang
mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan atau al-islam.
Dan orang-orang yang menerima dan mengikuti ajaran para nabi itu pun disebut
sebagai orang-orang muslim. Tentang
Nabi Musa, misalnya, al-Qur’an menuturkan bahwa ia pernah menyeru kaumnya,
“Wahai kaumku, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah, maka bertawakallah
kepada-Nya, kalau memang kamu benar-benar orang-orang yang muslim.[22] Sedangkan
tentang para ahli sihir yang mula-mula ikut menentang Nabi Musa a.s., namun
kemudian tunduk dan beriman kepadanya, diceritakan pernah menyatakan kepada
Fir’awn:
“Engkau (Fir’awn) tidaklah dendam kepada kami melainkan hanya
karena kami beriman kepada ayat-ayat Tuhan setelah datang kepada kami.” “Oh
Tuhan kami, limpahkanlah kepada kami ketabahan, dan wafatkanlah kami sebagai
orang-orang muslim.”[23]
Dan berkenaan dengan Nabi Isa
al-Masih a.s. serta para pengikutnya, Kitab Suci menuturkan sebagai berikut:
Setelah Isa merasakan adanya sikap menolak (kafir) pada mereka
(Bani Isra’il), ia pun bertanya, “Siapakah yang akan menjadi pendukungku menuju
kepada Allah?” al-hawariyun (para pengikut setianya) menyahut, “Kamilah para pendukung Allah, kami
beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang muslim.”[24]
Dan ketika Aku wahyukan kepada al-hawariyun (para pengikut setia Nabi Isa al-Masih), “Berimanlah kamu sekalian
kepada-Ku dan kepada Utusan-Ku!” Mereka menjawab, “Kami beriman, dan
saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang muslim.”[25]
Karena seluruh jagad raya beserta
isinya melaksanakan al-islam (ajaran
tunduk-patuh serta taat dan pasrah dengan tulus kepada Allah) dan karena
sekalian para nabi mengajarkan al-islam,
maka dapat dimengerti mengapa Allah Tuhan yang Maha Esa, tidak menerima agama
atau din (ajaran ketundukan) selain
dari al-islam. Hal ini dengan jelas
sekali ditegaskan dalam sebuah firman:
Apakah mereka hendak menganut selain ajaran tunduk kepada Allah (din Allah, “agama Allah”)?! Padahal, telah pasrah (aslama) kepada-Nya mereka yang ada di seluruh
langit dan bumi, dengan taat ataupun terpaksa.
Katakan (Muhammad), “Kami beriman kepada Allah dan kepada ajaran
yang diturunkan kepada kami, serta kepada ajaran yang diturunkan kepada
Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, al-asbath (nabi-nabi Bani Israil), juga kepada ajaran
yang diberikan kepada Musa dan ‘Isa dan para nabi yang lain dari Tuhan mereka.
Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun dari mereka, dan kami semua
pasrah (muslim) kepada-Nya.”
Barangsiapa menganut suatu din (ajaran ketundukan)
selain al-islam (ajaran pasrah,
pasrah kepada Allah), maka tidak akan diterima daripadanya, dan dia itu di
akhirat termasuk golongan yang menyesal (merugi).[26]
Dari deretan tiga ayat suci itu,
jelas sekali bahwa yang dimaksudkan dengan “Islam”—atau lebih tepatnya sebagai
istilah dengan makna generiknya, al-islam—ialah
sikap tunduk-patuh dan taat-pasrah kepada Tuhan yang meliputi seluruh alam
semesta. Ajaran itu kemudian dibawakan oleh para nabi—yang umat manusia harus
menerima semua mereka itu dan beriman kepada ajaran mereka—menjadi “agama”. Dan
al-islam universal inilah yang
merupakan satu-satunya ajaran ketundukan atau din yang dibenarkan dan diterima oleh Tuhan Yang Mahaesa. Inti
serta pangkal al-islam itu sepanjang
masa ialah iman kepada Tuhan Yang Mahaesa, yang dalam bahasa Arab disebut Allah—berasal dari Al-Ilah yang berarti,
Tuhan yang sebenarnya, yaitu Tuhan Yang Mahaesa. (Dari segi kebahasaan,
perkataan Arab Allah atau Al-Ilah itu
padanan Inggrisnya ialah the God.)
Iman kepada Allah itu sendiri harus dimulai dengan pernyataan penolakan kepada
sesembahan-sesembahan palsu dalam sistem kepercayaan-kepercayaan palsu. Itulah
inti ajaran semua nabi dan rasul, sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Taymiyah,
Oleh karena itu, pangkal al-islam ialah persaksian
bahwa “Tidak ada suatu tuhan apa pun selain Allah, Tuhan, yang sebenarnya”, dan
persaksian itu mengandung makna penyembahan hanya kepada Allah semata dan
meninggalkan penyembahan kepada selain Dia. Inilah al-islam al-‘amm (islam umum, universal) yang Allah tidak
menerima ajaran ketundukan selain daripadanya.[27]
Maka, semua Nabi itu dan para pengikut mereka, seluruhnya disebut
oleh Allah Ta’ala bahwa mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan
bahwa firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa menganut suatu din selain al-islam, maka tidak akan
diterima daripadanya dan di akhirat dia termasuk yang merugi”—Q., 3:85, dan firman-Nya, Sesungguhnya
al-din di sisi Allah ialah al-islam”—Q.,
s. 3:19, tidaklah khusus tentang orang-orang
(masyarakat) yang kepada mereka Nabi Muhammad s.a.w. diutus, melainkan
hal itu merupakan suatu hukum umum (hukm ‘amm, ketentuan universal) tentang
manusia masa lalu dan manusia kemudian hari.[28]
Di sini dirasa perlu peringatan
bahwa sekalipun para nabi itu mengajarkan pandangan hidup yang disebut al-islam, tidaklah berarti bahwa mereka
dan kaumnya menyebut secara harfiah ajaran mereka al-islam dan mereka sendiri sebagai orang-orang muslim. Sebab, itu semua adalah
peristilahan dalam bahasa Arab, sementara para Nabi dan Rasul itu, sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur’an, dibangkitkan Allah dengan menggunakan bahasa
kaumnya masing-masing.[29] Karena
itu, penyebutan para nabi dan rasul itu beserta para pengikut mereka sebagai
orang-orang muslim dan ajaran atau
agama mereka sebagai al-islam tetap
benar dan dibenarkan, hanya saja sedikit melibatkan masalah kebahasaan.
Lagi-lagi Ibn Taymiyah memberi penjelasan yang menarik tentang hal ini, dengan
membedakan antara “Islam khusus” (al-islam
al khashsh) dengan “Islam umum” (al-islam
al amm), sebagai berikut:
Manusia berselisih tentang orang terdahulu dari kalangan umat Nabi
Musa dan Nabi ‘Isa, apakah mereka itu orang-orang muslim? Ini adalah suatu
perselisihan kebahasaan. Sebab, “Islam khusus” (al-islam al khashsh) yang dengan ajaran itu Allah mengutus Nabi
Muhammad s.a.w. yang mencakup syari’at al-Qur’an tidak ada yang termasuk ke
dalamnya selain umat Muhammad s.a.w. Dan al-islam sekarang secara keseluruhan bersangkutan dengan hal ini. Adapun “Islam
umum” (al-islam al amm) yang bersangkutan
dengan setiap syariat yang dengan itu Allah membangkitkan seorang Nabi, maka
bersangkutan dengan islam-nya setiap
umat yang mengikuti seorang Nabi dan para nabi itu.[30]
Dari berbagai penjelasan itu,
diketahui bahwa agama semua nabi adalah satu. Inilah antara lain makna
penegasan Nabi Muhammad s.a.w. bahwa “para
Nabi adalah saudara satu ayah; ibu mereka banyak, namun agama mereka satu.”[31] Dalam
al-Qur’an disebutkan adanya titik temu agama-agama,[32] tapi
juga dijelaskan bahwa kepada masing-masing umat telah ditetapkan sebuah syir’ah (jalan menuju kebenaran) atau minhaj (cara atau metode perjalanan
menuju Kebenaran itu). Allah tidak menghendaki adanya kesamaan manusia dalam
segala hal (monolitisisme). Dengan adanya perbedaan, diharapkan manusia
berlomba menuju berbagai kebaikan, dan Allah akan menilai dan menjelaskan
berbagai perbedaan yang ada.[33]
Penutup
Sebagaimana disebutkan dalam
bagian-bagian pertama, pembahasan tentang al-islam
sebagai suatu universalisme dalam makalah ini dimaksudkan untuk mencari dan
menemukan prinsip-prinsip yang mendasari kemungkinannya diadakan dialog
antarumat berbagai agama. Karena premisnya ialah bahwa Tuhan telah
membangkitkan pengajar dan penganut kebenaran (nabi, rasul) kepada semua umat
manusia tanpa kecuali, dan bahwa inti ajaran mereka semuanya adalah sama dan
satu, yaitu ajaran tunduk-patuh dan taat-pasrah kepada Tuhan yang disebut al-islam (dalam makna generiknya, bukan
dalam peristilahan kebahasaannya), maka sesungguhnya dialog adalah sesuatu yang
tidak saja dimungkinkan, malah diperlukan, jika tidak diharuskan.
Sekalipun semua agama pada intinya sama dan
satu, manifestasi sosio-kulturalnya secara historis berbeda-beda. Al-Qur’an
menghendaki agar fenomena lahiriah itu tidak menghalangi usaha menuju titik
temu antara semuanya. Dan jika pun rumusan linguistik dan verbal keyakinan
keagamaan itu berbeda-beda, dapat dipastikan bahwa eksternalisasi keimanan itu
dalam dimensi sosial kemanusiaannya tentu sama, karena menyangkut kerja nyata.
Maka, al-islam sendiri, menurut Nabi,
paling baik dinyatakan dalam aktivitas kemanusiaan seperti menolong kaum
miskin, dan dalam mengusahakan perdamaian kepada semua orang tanpa kecuali.[34]
Jadi, dialog antaragama dapat
dipandang sebagai pelaksanaan ajaran agama yang paling asasi, dan kerjasama
kemanusiaan yang dihasilkannya berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Mahaesa
dan kebaikan adalah perintah dalam Kitab Suci.[35]
[1] Tulisan (makalah) Nurcholish
Madjid ini disalin oleh Nani Efendi dari buku Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus
A.F. (ed), Passing Over: Melintasi Batas
Agama, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Bekerjasama dengan Yayasan Wakaf
Paramadina, 1998, h. 5-23.
[2] Q., s. Fushshilat/41: 11.
[3] Q., s. Al-Rahman/55: 5-6.
[4] Q., s. Al-Isra’/17: 44.
[5] “Islam” atau, lebih tepatnya, “al-islam” dibahas dalam pengertian
asalnya, yaitu “sikap pasrah”, yang dalam hal ini pasrah kepada Sang Maha
Pencipta. Dari segi tasrifnya, perkataan “islam”
adalah mashdar atau “kata benda
kerja” (verbal noun) dari kata kerja
“aslama-yuslimu”, sama halnya dengan
perkataan “iman” yang merupakan mashdar dari kata kerja “amana-yu’minu” yang artinya
“mempercayai” atau “bersikap percaya”. Karena kedua perkataan itu mengandung
makna sikap aktif (masing-masing “menyerahkan diri” atau bersikap pasrah” dan
“mempercayai” atau “bersikap percaya”), maka sikap itu, dalam bahasa kita,
dinyatakan sebagai sikap “ber-iman—beriman”
dan ber-islam—berislam”, atau
demikian itu seharusnya.
[6] Q., s. At-Tin/95: 4.
[7] Q., s. Al-Ahzab/33: 72.
[8] Q., s. Al- Mu’minun/23: 115.
[9] Q., s. Al-Baqarah/2: 30-33.
[10] Sebuah Hadits yang cukup
terkenal, khususnya di kalangan kaum sufi, mencatat Nabi saw pernah bersabda,
“Berakhlaklah dengan akhlak Allah.”
[11] Q., s. Al-Ankabut/29: 64.
[12] Q., s. Al-Ikhlash/104: 4 dan s.
Al-An’am/6: 103.
[13] Q., s. Al-Baqarah/2: 143 dan
Yunus/10: 60, dan lain-lain.
[14] Q., s. Al-A’raf/7: 172. Adanya
perjanjian itu juga digambarkan dalam ayat-ayat yang lain, baik langsung maupun
tidak langsung, seperti dalam s. Yasin/36: 60 yang artinya: “Bukankah telah Aku ikat janji kepada kamu
sekalian wahai anak cucu Adam, bahwa kamu janganlah mengabdi kepada syetan,
sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
[15] Q., s. Al-An’am/6: 103.
[16] Dalam sebuah hadits, Rasulullah
bersabda bahwa setiap anak dilahirkan dalam fitrah (kesucian), namun kedua
orangtuanya membuat anak itu menyimpang dari fitrah itu. Disebutkannya kedua
orangtua adalah karena mereka berdua mewakili lingkungan sosial-budaya sekitarnya,
dan melalui keduanya itulah seorang anak bersinggungan, berkenalan dan kemudian
menyertai lingkungan sosial budayanya yang belum tentu sesuai dengan fitrah.
[17] Q., s. Al-Rum/30: 30.
[18] Q., s. An-Nahl/16: 36.
[19] Q., s. Fathir/35: 24.
[20] Q., s. Al-Ra’d/13: 7.
[21] Q., s. Al-Baqarah/2: 130-133.
[22] Q., s. Yunus/10: 84.
[23] Q., s. Al-A’raf/7: 126.
[24] Q., s. Ali Imran/3: 52.
[25] Q., s. Al-Ma’idah/5: 111.
[26] Q., s. Alu ‘Imran/3: 83-85. Sebagai tambahan dari saya (NE): beberapa
ayat yang menyatakan bahwa arti Islam ialah tunduk, patuh dan berserah diri
kepada Allah, lihat Q., s. Al-Ankabut/29: 46; Q., s. An-Naml/27:44 (tentang
islamnya Ratu Bilqis); Q., s. 2:133; Q., s. 7: 126; Q., s. 3: 52, 64, 83, 85; dan
Q., s. 5: 111. Di samping itu, dalam Pengantar buku Komaruddin Hidayat dan
Ahmad Gaus A.F. (ed), Passing Over:
Melintasi Batas Agama, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Bekerjasama
dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1998, h. xxxv, Cak Nur menulis: kabar tentang masuk Islam atau tidaknya raja
Najasyi itu sebetulnya bisa dipersoalkan. “Masuk Islam” itu merupakan sikap
ruhani yang paling dalam yang orang lain tidak tahu, sebab Islam dalam arti
generik berarti pasrah kepada Tuhan; karena itu menurut al-Qur’an semua agama
adalah Islam. Tetapi, jangan berharap bahwa perkataan Islam ada dalam
perbendaharaan nomenklatur agama-agama selain yang dibawa Nabi Muhammad saw.
Itu tidak ada, tetapi maksudnya adalah ajaran pasrah kepada Tuhan.
[27] Keterangan Ibn Taymiyah dalam al-Tuhfat-u ‘l-‘Iraqiyah (Yordan:
Maktabat-u ‘l-Manar, 1978), hal. 26-27.
[28] Nas keterangan Ibn Taymiyah
dalam al-Jawab al-Shahih li man baddala
din al-Masih, 4 juz, (Jedah[?]: Muthabi’u ‘l-Majid al-Tijariyah, tanpa
tahun), juz 1. 228-9
[29] Q., s. Ibrahim/14: 4.
[30] Keterangan Ibn Taymiyah dalam
al-Risalat-u ‘l-Tadmiriyah (Kairo: al-Mathba’ ‘l-Salafiyah, 1387).
[31] Sabda Rasulullah saw, “Aku
adalah orang yang paling berhak atas ‘Isa putera Maryam di dunia dan akhirat.
Para Nabi adalah bersaudara satu bapak, ibu mereka berbeda-beda namun agama
mereka satu. (Hadits Riwayat Bukhari).
[32] Q., s. Alu Imran/3: 64.
[33] Q., s. Al-Ma’idah/5: 48.
[34] Hadits, “Al-islam yang paling
utama ialah engkau memberi makan (kepada kaum miskin) dan engkau menyampaikan
salam perdamaian kepada orang yang kaukenal dan yang tidak kaukenal.”
0 komentar:
Posting Komentar