alt/text gambar

Jumat, 19 Juni 2015

Topik Pilihan: , , ,

Dialog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam[1]


 Oleh: Nurcholish Madjid

  

Mukadimah

   Salah satu nama baik negeri kita Indonesia dengan pengakuan internasional ialah keserasian kehidupan antaragama, toleransi, dan saling pengertian. Dalam retorika sehari-hari, terutama yang datang dari para pejabat resmi, keadaan yang menyenangkan itu disebut sebagai berkat Pancasila. Tetapi, banyak kalangan, khususnya kaum Muslim, yang menisbatkan keserasian, toleransi, dan saling pengertian antara pemeluk berbagai agama itu adalah berkat kedudukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia. Pandangan ini dibenarkan oleh kenyataan bahwa di negeri-negeri berpenduduk mayoritas Muslim, persoalan agama hampir tidak pernah muncul. Ini mengecualikan Palestina di mana terdapat permusuhan antara kaum Yahudi di satu pihak dan kaum Muslim serta Kristen di pihak lain. Juga mengecualikan Libanon, di mana terdapat kesenjangan dan ketidakserasian antara kaum Kristen dan kaum Muslim. Di luar kedua negeri yang sedang dilanda krisis itu, Dunia Islam pada umumnya mengenal kedamaian keagamaan yang mantap.

    Pandangan itu secara tidak langsung juga didukung oleh kenyataan bahwa persoalan hubungan antaragama yang paling gawat terdapat di kalangan bangsa-bangsa yang mayoritas bukan Muslim. Umat Islam di mana saja menjadi lebih sensitif lagi terhadap kenyataan ini, karena jika terdapat komunitas Muslim di negeri-negeri yang mayoritas bukan Muslim dengan kesenjangan dan ketidakserasian hubungan antaragama itu, maka yang paling menderita kezaliman dan penganiayaan agama ialah kaum Muslim. Sebaliknya, minoritas-minoritas bukan Muslim di dunia mendapati bahwa kehidupan keagamaan yang paling aman dan damai ada di kalangan mayoritas Muslim. Keadaan yang baik itu umum sekali pada zaman sekarang, tetapi lebih-lebih sangat menonjol di zaman-zaman kebesaran Islam.

    Penjelasan mengenai keadaan tersebut tentu saja bertalian dengan berbagai faktor yang saling berhubungan secara ruwet. Ada atau tidak adanya keserasian hidup antara pemeluk berbagai agama yang berbeda banyak ditentukan oleh faktor-faktor keagamaan an sich, kesejarahan, kenegaraan atau politik, kemasyarakatan, ekonomi, dan lain-lain. Kejelasan yang menyeluruh akan didapat hanya jika semua faktor itu diperiksa, hal mana adalah di luar lingkup makalah ini. Karena itu, di sini pembahasan akan dibatasi hanya pada tinjauan masalah keserasian hidup antaragama dari sudut pandangan ajaran itu sendiri, dan dalam hal ini ialah ajaran Islam. Hal itu dilakukan karena kesadaran tentang dasar-dasar prinsipal bagi adanya keharusan hidup antaragama yang serasi akan membuat usaha ke arah itu dapat ditempuh dengan kemantapan dan keyakinan, sehingga tidak dipandang hanya sebagai persoalan manfaat belaka.
Salah satu wujud keserasian ialah adanya kesediaan dari semua pihak untuk berdialog, sebab dialog itu sendiri melibatkan adanya pandangan dan pendekatan positif suatu pihak kepada pihak-pihak lain. Dan adanya dialog itu, pada urutannya sendiri, akan menghasilkan pengukuhan keserasian dan saling pengertian.

Al-Islam, Agama Alam Semesta

 Dari sudut pandang kaum Muslim, saling pengertian dan dialog merupakan akibat logis ajaran asasi Kitab Suci al-Qur’an. Pada titik mula sekali, logika saling pengertian dan dialog antaragama dapat ditelusuri akar-akarnya dalam pandangan bahwa sebenarnya agama alam semesta ini ialah al-islam, yaitu sikap pasrah yang total kepada Sang Maha Pencipta. Kitab Suci memberikan berbagai ilustrasi tentang ketundukan, ketaatan, dan kepasrahan alam semesta kepada Tuhan. Beberapa di antaranya adalah demikian:

“... Kemudian Dia (Tuhan) bertahta di langit yang berupa kabut, lalu berfirman kepadanya dan kepada bumi: ‘Datanglah (kepada-Ku) kamu berdua dengan taat ataupun terpaksa!’ Keduanya menjawab, ‘Kami datang dengan taat’.”[2]
“Matahari dan bulan (beredar) dengan perhitungan (yang pasti), dan bintang-bintang dan pepohonan semuanya bersujud (kepada-Nya).”[3]
“Bertasbih kepada-Nya seluruh langit dan bumi, juga mereka yang ada di dalamnya. Tidak ada sesuatu apa pun kecuali mesti bertasbih dengan pujian kepada-Nya, namun kamu sekalian (manusia) tidak mengerti tasbih mereka.”[4]

Tergolong “mereka yang ada di dalamnya (di langit dan di bumi)” tersebut dalam firman itu ialah umat manusia. Maka, sejalan dengan ketentuan Tuhan itu semua, manusia pun bersikap tunduk, patuh, dan pasrah atau, sebutlah, “ber-islam”[5] kepada Tuhan. Atau demikian itulah seharusnya, mengingat kenyataan bahwa tidak semua orang ber-islam atau bersikap pasrah kepada Tuhan. Hal ini terjadi karena manusia adalah makhluk yang istimewa, yang dalam al-Qur’an disebutkan sebagai diciptakan Allah “dalam sebaik-baik bentukan”.[6]
Salah satu karakteristik manusia sehingga bermartabat sebagai “puncak ciptaan Tuhan” ialah adanya kemampuan untuk mengenali sesuatu sebagai benar dan salah atau baik dan buruk yang kemudian berkebebasan untuk menerima atau menolaknya. Kebebasan itu merupakan amanat Allah, yang dalam al-Qur’an digambarkan sebagai pernah ditawarkan kepada seluruh alam kebendaan di jagad raya ini, namun semuanya menolak dan berkeberatan, lalu ditawarkan kepada manusia dan manusia bersedia menerimanya. Dengan begitu, manusia mengambil risiko untuk keliru dalam menggunakan kebebasan itu, seperti menolak kebenaran dan kebaikan, yang kekeliruan itu akan menjerumuskannya kepada kesengsaraan hidup. Jadi, dengan menerima amanat tersebut, menurut al-Qur’an lebih lanjut, manusia bertindak merugikan diri sendiri dan bodoh.[7]
Hal ini berbeda dengan alam semesta yang secara apriori menerima ketentuan Sang Maha Pencipta untuk tunduk, patuh, dan pasrah kepada-Nya. Maka alam raya, dalam hubungannya dengan Allah, Sang Maha Pencipta, tidak punya masalah dan, sebaliknya, manusialah yang dalam hal itu merupakan makhluk “bermasalah”.

Al-Islam, Agama Kemanusiaan Sejagat

Cerita Kitab Suci tentang amanat itu sepintas lalu seperti absurd atau tidak masuk akal. Pertama, untuk apa Tuhan menawarkan amanat itu kepada manusia, dan mengapa tidak dibiarkan saja manusia memenuhi eksistensinya dan menempuh hidupnya seperti halnya seluruh alam semesta, sehingga dalam berhubungan dengan-Nya tidak bermasalah? Kedua, mengapa manusia dibiarkan saja menempuh hidup berkebebasan dengan kemungkinan terjerumus kepada kepalsuan dan kejahatan yang akan membawa malapetaka dan hidup nista?
Jawab atas pertanyaan itu berkaitan dengan pandangan tentang adanya hikmah Ilahi (al-hikmat al-ilahiyah). Yaitu pandangan, dan keyakinan, bahwa apa pun yang diperbuat Allah adalah atas kodrat dan iradat-Nya untuk suatu hikmah atau wisdom. Hikmah itu bertalian dengan penegasan Allah bahwa Dia tidaklah menciptakan manusia dengan sia-sia, tanpa makna dan tanpa tujuan.[8]  Maka, dengan sendirinya tawaran Allah kepada manusia untuk menerima amanat kebebasan dan “dibiarkannya” manusia menerima amanat itu adalah suatu hikmah yang agung. Hikmah itu merupakan bagian dari hakikat manusia sebagai makhluk dengan harkat dan martabat yang tinggi, setinggi-tinggi ciptaan Allah.
Dan kebebasan itu, disertai bekal kemampuan mengenali “nama-nama” segala wujud yang ada (kemampuan mengenali lingkungan hidupnya), adalah prasyarat bagi kedudukan manusia sebagai khalifah atau “wali-pengganti” Tuhan di bumi.[9] Sebab kemampuan mengenali lingkungan hidup, baik yang material maupun yang lain, beserta kebebasan melakukan pilihan tentang mana yang benar dan salah, baik dan buruk, manfaat dan mudarat, dan seterusnya, adalah kualitas-kualitas yang mutlak diperlukan untuk daya cipta atau ibda’, kreativitas, untuk mengemban tugas suci mewakili Tuhan di bumi. Sebagai khalifah Tuhan, manusia diperintahkan untuk meniru akhlak atau pekerti Tuhan,[10] antara lain daya cipta, sebab Allah adalah Pencipta (badi’) seluruh langit dan bumi. Dan karena adanya unsur pilihan sadar dari semua tindakannya itu, maka manusia, berbeda dari alam kebendaan, adalah makhluk moral, dalam arti bahwa ia bertindak dengan pertanggungjawaban dengan penilaian benar atau salah, baik atau buruk, dan dengan akibat kebahagiaan dan kesengsaraan.
Walaupun begitu, manusia tidak boleh melupakan hakikat dirinya sebagai hamba Allah yang harus taat dan pasrah kepada-Nya. Bahkan, tugas kekhalifahan (khilafah, dari kata-kata khalifah) itu sendiri pun harus dijalankan dalam rangkaian kesatuan dengan tugas pengabdian (‘ibadah, dari kata-kata ‘abd, yaitu, “abdi”). Artinya, seluruh kiprah manusia sebagai “wali pengganti” Tuhan harus terjadi dengan mematuhi hukum-hukum yang telah ditetapkan untuk alam semesta, yaitu hukum ketundukan (din) dan kepasrahan (islam). Jika tidak, manusia akan menghadapi bahaya menentang hukum alam semesta, yang juga berarti hidup tidak sejalan atau serasi dengan sesama ciptaan Allah. Hidup seperti itu adalah suatu malapetaka dan kesengsaraan, lebih-lebih lagi jika penentangan terhadap hukum Allah bagi seluruh ciptaan-Nya tersebut serta ketidakserasian yang diakibatkannya terjadi pada tingkat ruhani. Sebab ruh adalah lokus kehidupan abadi manusia, melebihi batas waktu hidup manusia di bumi, menembus batas-batas langit dan terus berlangsung dalam Kampung Akhirat. Karena dimensinya yang abadi itu, maka kehidupan akhirat, dibanding dengan kehidupan di dunia, merupakan kehidupan yang sebenar-benarnya.[11]
Sekalipun merupakan puncak ciptaan Allah, wujud manusia tetap suatu wujud nisbi, tidak mutlak. Kemutlakan hanya ada pada Kemahaesaan, karena itu hanya ada pada Tuhan saja. Sebab, secara logika biasa pun, kemutlakan pasti tunggal. Sesuatu disebut mutlak karena tidak berbanding dengan apa pun, sehingga jika disebut ada suatu kemutlakan pada wujud lebih dari satu, maka dengan sendirinya kemutlakan itu gugur. Wujud-wujud itu pun dengan sendirinya bersifat nisbi, karena dapat dinisbatkan atau dikaitkan serta dibandingkan satu sama lain. Maka dari itu, Tuhan tidak seperti apa pun, dan tidak sebanding dengan apa pun.[12]
Kejelasan tentang kenisbian manusia amat perlu disadari sebagai pangkal memahami ketidakmampuan manusia menangkap seluruh kebenaran. Untuk mengetahui kebenaran itu, manusia tidak bisa tidak, memerlukan bimbingan Tuhan yang senantiasa memberi kasih (rahmah) dan santun (ra’fah) serta kemurahan (fadl’l) kepada manusia.[13]
Pada peringkat setiap pribadi manusia, wujud bimbingan Ilahi itu dimulai dengan adanya perjanjian primordial (terjadi sebelum lahir ke bumi) dalam suatu kesaksian dan pengakuan oleh manusia bahwa Allah, Tuhan Yang Maha Esa, adalah Tuhan (Rabb) manusia. Kesaksian dan pengakuan itu mengandung makna kesediaan untuk tunduk, patuh, taat, dan pasrah atau ber-islam kepada-Nya, yang sikap-sikap itu berhasil atau gagal, dipertanggungjawabkan di Hari Kiamat.[14]
Berdasarkan adanya perjanjian primordial itu, maka tidak ada sifat kemanusiaan yang lebih asasi daripada naluri untuk mengabdi, atau hasrat alami untuk menyembah. Naluri dan hasrat itu berakar jauh sekali dalam kedirian manusia yang paling inti, yaitu kediriannya sebagai makhluk ruhani penerima perjanjian primordial tersebut. Jadi, lokus rekaman perjanjian primordial itu ada dalam alam ruhani manusia, jauh lebih dalam daripada alam bawah sadar psikologisnya. Tetapi, terkias dengan alam bawah sadar yang terus mempengaruhi hidup manusia—termasuk pengalaman bahagia dan sengsaranya, maka alam ruhani manusia yang merupakan lokus perjanjian primordial itu lebih-lebih lagi secara mendasar mempengaruhi hidup pribadi manusia dan menentukan pengalaman bahagia dan sengsara yang abadi. Ini dapat dilihat dengan jelas pada berbagai pola penyaluran naluri menyembah dan mengabdi, yang dorongan dahsyat suatu air bah yang tidak suatu penghalang pun dapat menahannya, dan terus-menerus mencari saluran. Jika tidak tersalurkan dengan baik dan benar, naluri alamiah itu pasti akan menempuh jalan keburukan dan kesesatan. Salah satu kelemahan manusia adalah ketidakmampuannya mengangkat dirinya di atas lingkungan sosial dan budaya yang merupakan hasil interaksi sesamanya dan dengan alam sekitarnya sepanjang sejarah. Maka, potensi manusia untuk “lupa” akan perjanjian primordialnya itu besar sekali. Karena itu, manusia “historis” selamanya terancam oleh kesesatan.
Persoalan manusia, dengan demikian, bukan apakah dia  hendak berbakti atau tidak berbakti, melainkan hendak berbakti kepada apa atau siapa, dan bagaimana caranya serta apa konsekuensi-konsekuensinya. Karena, bagaimanapun, hasrat berbakti harus terpenuhi, maka sebagai akibatnya, umat manusia mengenal berbagai macam sasaran penyembahan dan kebaktian, yang secara generik disebut “tuhan” (bahasa melayu), ilah, el, il, iliyun (bahasa-bahasa Semitik), deva, deo, dieu, theo (bahasa-bahasa Indo-Latin), khoda, god, gott (bahasa-bahasa Indo-Jerman), dan seterusnya. Tetapi, karena tuhan-tuhan itu bukanlah tuhan yang sebenarnya, melainkan tuhan palsu, maka konsekuensi pengabdian kepadanya juga tidak sejati, alias palsu, tidak membawa kebahagiaan, melainkan mendatangkan kesengsaraan. Efek negatif ini dapat dilihat wujudnya pada kelompok-kelompok pemujaan atau kultus yang menuntut kepatuhan total kepada sang pemimpin (jadi dapat dikatakan sebagai penyaluran hasrat “ber-islam yang keliru), seperti kaum komunis, kaum Nazi, kaum nasionalis chauvinist, People’s Temple, Branch Davidian, Bhagwan Shri Rajneesh, Aum Sinrikyo, dan seterusnya. Yaitu, kelompok-kelompok kultus, baik yang berasaskan ideologi sekuler atau berasaskan pandangan keagamaan seperti dari Buddhisme, Hinduisme, Kristen, Islam, Shintoisme, dan lain-lain. Jadi, tantangan manusia ialah bagaimana menyalurkan naluri dan hasrat alamiahnya untuk berbakti dan memuja itu ke arah sasaran pemujaan yang benar dan dengan cara yang benar, sehingga memiliki konsekuensi yang benar pula.
Dari urutan uraian singkat di atas, kiranya dapat dimengerti mengapa dalam al-Qur’an persoalan yang selalu disebutkan dan umat manusia diperingatkan untuk waspada kepadanya ialah persoalan syirik. Dengan kata lain, persoalan manusia bukanlah tidak percaya kepada Tuhan. Kenyataannya, setiap orang, termasuk mereka yang mengaku “ateis”, pasti mempunyai sasaran dedikasi dan penyerahan total hidupnya. Dan sasaran itu adalah padanan atau equivalent palsu bagi Tuhan yang sebenarnya, yaitu Tuhan Yang Mahaesa. Karena kepalsuan sasaran sesembahan dan kebaktian itu, maka “tuhan-tuhan” tersebut justru merupakan penghalang manusia dari memperoleh harkat dan martabatnya sebagai puncak ciptaan Allah. Jika manusia, menurut design Tuhan, hakikat wujudnya dimulai dengan amanat kebebasan, maka justru kebebasan itu sirna karena dirampas oleh tuhan-tuhan palsu yang menuntut ketundukan tersebut. Maka, akibatnya ialah bahwa manusia, sebelum melangkah dalam perjalanan di atas garis yang lurus menuju kebahagiaan, harus terlebih dahulu membebaskan dirinya dari segenap sasaran pemujaan palsu. Proses pembebasan diri itu dimulai dengan penegasan kepada diri sendiri bahwa memang “tidak ada suatu tuhan apa pun, selain Tuhan Yang Maha Esa”. Dan Tuhan Yang Mahaesa adalah wujud mutlak yang benar-benar mutlak, sehingga mutlak pula tidak ada bandingan atau padanan, tidak dapat digambar, apalagi dilukis, karena “Dia menangkap pandangan manusia, namun pandangan manusia tidak dapat menangkap-Nya.”[15] Itulah makna kalimat persaksian atau syahadat pertama. Seperti dikatakan oleh Ibn Taymiyah, syahadat itu merupakan pembebasan diri dari segala sesuatu selain Allah, Tuhan Yang Mahaesa, yang terdiri dari tuhan-tuhan palsu, baik berupa kecenderungan diri sendiri (hawa al-nafs), atau ketaatan kepada sesama makhluk, atau lain-lainnya. Konsep tentang pembebasan diri atau bara’ah ini penting sekali dipahami dengan baik untuk mengerti efek paling mendasar dari kalimat syahadat pertama. Karena pembebasan selalu melibatkan makna peningkatan dan pengangkatan diri di atas dikte kemestian sosial dan budaya sekitar yang tidak benar, maka kalimat syahadat adalah titik mula emansipasi kemanusiaan seorang pribadi, menuju atau kembali ke harkat dan martabatnya selaku puncak ciptaan Tuhan.

Al-Islam, Agama Sekalian Para Nabi

Dari mana manusia mengetahui konsep tentang Tuhan secara benar serta cara pengabdian dan penyembahan kepada-Nya secara benar pula, adalah persoalan tersendiri. Pertama, sesungguhnya pada manusia—akibat adanya perjanjian primordial sebagaimana telah dikemukakan di atas—ada bibit kesucian dan kebaikan penciptaan asal yang suci (fithrah) yang berkecenderungan suci (hanif). Fithrah itu tidak akan berubah sepanjang masa, karena itu juga merupakan lokus bagi kearifan abadi (al-hikmat al khalidah, sophia perennis). Tetapi, sekalipun setiap pribadi manusia dilahirkan dalam fitrah yang suci, tidak selamanya manusia memiliki sensitivitas fithrah diperlukan untuk menangkap kebenaran, dikarenakan timbunan dan tumpukan tebal puing-puing pengalaman sosial dan budaya lingkungannya.[16] Dalam keadaan fithrah yang “tumpul” atau kehilangan sensitivitas itulah manusia menyimpang dari kesucian dan menempuh hidup yang aniaya atau zalim kepada diri sendiri.
Masalah kedua, berkaitan dengan hal di atas, ialah karena kebenaran dan kebaikan hakiki yang diperlukan manusia adalah lebih tinggi daripada dunia pengalaman empirik, sehingga tidak semuanya dapat ditemukan atau ditangkap oleh akalnya. Akal adalah perlengkapan hidup manusia sebagai anugerah yang amat penting dari Tuhan. Manusia diperintahkan Tuhan menggunakan akalnya, karena dapat merupakan rintisan ke arah kebenaran dan kebaikan. Namun akhirnya, akal itu tidak akan cukup untuk menangkap dan memahami kebenaran hakiki, lebih-lebih lagi tentang Tuhan Yang Mahaesa. Karena itu, manusia memerlukan “uluran tangan” Tuhan, dengan petunjuk dan hidayah-Nya berupa pengajaran atau berita (Arab: naba’), melalui seseorang yang dipilih-Nya sebagai “penerima berita” (Arab: nabiy). Seorang nabi mungkin diberi tugas selaku Utusan (Rasul) Tuhan untuk menyampaikan berita Ilahi itu kepada kaumnya sesama manusia. Kemudian manusia diseru untuk menerima sepenuhnya ajaran kepatuhan (Arab: din) kepada Tuhan (al-islam) dengan penuh sarat menangkap kebenaran dan kesucian (hanif) sesuai dengan fithrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fithrah itu. Penciptaan Allah itu abadi, tidak akan berubah selama-lamanya, dan merupakan titik pusat keagamaan yang benar dan lurus, yang kebanyakan manusia justru tidak menyadarinya.[17] 
Karena persoalan manusia kapan pun dan di mana pun pada prinsipnya adalah sama, yaitu terbelenggu oleh kepercayaan-kepercayaan palsu, maka Tuhan mengutus Utusan kepada setiap umat tanpa kecuali, dengan tugas suci yang sama: menyeru manusia untuk hanya berbakti kepada Tuhan Yang Mahaesa saja, dan menolak kekuatan-kekuatan jahat yang membelenggu manusia dan merampas kebebasannya—yang disebut thagut, khususnya yang berbentuk sasaran-sasaran kebaktian palsu dalam sistem kepercayaan-kepercayaan palsu.[18] Tidak ada satu umat pun melainkan padanya pernah tampil pembawa peringatan,[19] dan setiap golongan manusia punya penuntun dan pembimbing.[20] Jadi, tugas nabi dan rasul ialah mengajak manusia hidup tunduk-patuh, taat dan pasrah kepada Tuhan. Karena itu, al-islam atau ajaran pasrah kepada Allah secara sukarela dan damai adalah ajaran dan agama semua nabi yang diterima dari Tuhan. Tentang al-islam sebagai agama para nabi itu secara ringkas dan bersifat mewakili dijelaskan dalam al-Qur’an dalam rangkaian ajaran Nabi Ibrahim dan pesannya kepada anak-cucunya:

Siapakah yang merasa tidak senang kepada agama Ibrahim kecuali orang yang membodohi dirinya sendiri?! Kami sungguh telah memilihnya di dunia, dan di akhirat pastilah ia tergolong orang-orang yang shaleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, “Pasrahlah engkau!” Ia menjawab, “Aku pasrah kepada Tuhan seru sekalian alam. Dan Ibrahim pun berpesan dengan ajaran itu kepada anak-anaknya, begitu pula Ya’qub: “Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilihkan untuk kamu ajaran ketundukan (al-din), maka janganlah sampai kamu mati kecuali sebagai orang-orang muslim (pasrah kepada Allah).” Apakah kamu menjadi saksi saat maut datang kepada Ya’qub, ketika ia bertanya kepada anak-anaknya, “Apa yang akan kalian sembah setelah aku tidak ada?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami semua orang-orang yang muslim kepada-Nya."[21]

Demikian pula halnya dengan semua Nabi, dengan berbagai cara dituturkan dalam al-Qur’an sebagai tokoh-tokoh yang mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan atau al-islam. Dan orang-orang yang menerima dan mengikuti ajaran para nabi itu pun disebut sebagai orang-orang muslim. Tentang Nabi Musa, misalnya, al-Qur’an menuturkan bahwa ia pernah menyeru kaumnya, “Wahai kaumku, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya, kalau memang kamu benar-benar orang-orang yang muslim.[22] Sedangkan tentang para ahli sihir yang mula-mula ikut menentang Nabi Musa a.s., namun kemudian tunduk dan beriman kepadanya, diceritakan pernah menyatakan kepada Fir’awn:

“Engkau (Fir’awn) tidaklah dendam kepada kami melainkan hanya karena kami beriman kepada ayat-ayat Tuhan setelah datang kepada kami.” “Oh Tuhan kami, limpahkanlah kepada kami ketabahan, dan wafatkanlah kami sebagai orang-orang muslim.”[23]

Dan berkenaan dengan Nabi Isa al-Masih a.s. serta para pengikutnya, Kitab Suci menuturkan sebagai berikut:

Setelah Isa merasakan adanya sikap menolak (kafir) pada mereka (Bani Isra’il), ia pun bertanya, “Siapakah yang akan menjadi pendukungku menuju kepada Allah?” al-hawariyun (para pengikut setianya) menyahut, “Kamilah para pendukung Allah, kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang muslim.”[24]
Dan ketika Aku wahyukan kepada al-hawariyun (para pengikut setia Nabi Isa al-Masih), “Berimanlah kamu sekalian kepada-Ku dan kepada Utusan-Ku!” Mereka menjawab, “Kami beriman, dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang muslim.”[25]

Karena seluruh jagad raya beserta isinya melaksanakan al-islam (ajaran tunduk-patuh serta taat dan pasrah dengan tulus kepada Allah) dan karena sekalian para nabi mengajarkan al-islam, maka dapat dimengerti mengapa Allah Tuhan yang Maha Esa, tidak menerima agama atau din (ajaran ketundukan) selain dari al-islam. Hal ini dengan jelas sekali ditegaskan dalam sebuah firman:

Apakah mereka hendak menganut selain ajaran tunduk kepada Allah (din Allah, “agama Allah”)?! Padahal, telah pasrah (aslama) kepada-Nya mereka yang ada di seluruh langit dan bumi, dengan taat ataupun terpaksa.
Katakan (Muhammad), “Kami beriman kepada Allah dan kepada ajaran yang diturunkan kepada kami, serta kepada ajaran yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, al-asbath (nabi-nabi Bani Israil), juga kepada ajaran yang diberikan kepada Musa dan ‘Isa dan para nabi yang lain dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun dari mereka, dan kami semua pasrah (muslim) kepada-Nya.”
Barangsiapa menganut suatu din (ajaran ketundukan) selain al-islam (ajaran pasrah, pasrah kepada Allah), maka tidak akan diterima daripadanya, dan dia itu di akhirat termasuk golongan yang menyesal (merugi).[26]

Dari deretan tiga ayat suci itu, jelas sekali bahwa yang dimaksudkan dengan “Islam”—atau lebih tepatnya sebagai istilah dengan makna generiknya, al-islam—ialah sikap tunduk-patuh dan taat-pasrah kepada Tuhan yang meliputi seluruh alam semesta. Ajaran itu kemudian dibawakan oleh para nabi—yang umat manusia harus menerima semua mereka itu dan beriman kepada ajaran mereka—menjadi “agama”. Dan al-islam universal inilah yang merupakan satu-satunya ajaran ketundukan atau din yang dibenarkan dan diterima oleh Tuhan Yang Mahaesa. Inti serta pangkal al-islam itu sepanjang masa ialah iman kepada Tuhan Yang Mahaesa, yang dalam bahasa Arab disebut Allah—berasal dari Al-Ilah yang berarti, Tuhan yang sebenarnya, yaitu Tuhan Yang Mahaesa. (Dari segi kebahasaan, perkataan Arab Allah atau Al-Ilah itu padanan Inggrisnya ialah the God.) Iman kepada Allah itu sendiri harus dimulai dengan pernyataan penolakan kepada sesembahan-sesembahan palsu dalam sistem kepercayaan-kepercayaan palsu. Itulah inti ajaran semua nabi dan rasul, sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Taymiyah,

Oleh karena itu, pangkal al-islam ialah persaksian bahwa “Tidak ada suatu tuhan apa pun selain Allah, Tuhan, yang sebenarnya”, dan persaksian itu mengandung makna penyembahan hanya kepada Allah semata dan meninggalkan penyembahan kepada selain Dia. Inilah al-islam al-‘amm (islam umum, universal) yang Allah tidak menerima ajaran ketundukan selain daripadanya.[27]
Maka, semua Nabi itu dan para pengikut mereka, seluruhnya disebut oleh Allah Ta’ala bahwa mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa menganut suatu din selain al-islam, maka tidak akan diterima daripadanya dan di akhirat dia termasuk yang merugi”—Q., 3:85, dan firman-Nya, Sesungguhnya al-din di sisi Allah ialah al-islam”—Q., s. 3:19, tidaklah khusus tentang orang-orang  (masyarakat) yang kepada mereka Nabi Muhammad s.a.w. diutus, melainkan hal itu merupakan suatu hukum umum (hukm ‘amm, ketentuan universal) tentang manusia masa lalu dan manusia kemudian hari.[28]

Di sini dirasa perlu peringatan bahwa sekalipun para nabi itu mengajarkan pandangan hidup yang disebut al-islam, tidaklah berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara harfiah ajaran mereka al-islam dan mereka sendiri sebagai orang-orang muslim. Sebab, itu semua adalah peristilahan dalam bahasa Arab, sementara para Nabi dan Rasul itu, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, dibangkitkan Allah dengan menggunakan bahasa kaumnya masing-masing.[29] Karena itu, penyebutan para nabi dan rasul itu beserta para pengikut mereka sebagai orang-orang muslim dan ajaran atau agama mereka sebagai al-islam tetap benar dan dibenarkan, hanya saja sedikit melibatkan masalah kebahasaan. Lagi-lagi Ibn Taymiyah memberi penjelasan yang menarik tentang hal ini, dengan membedakan antara “Islam khusus” (al-islam al khashsh) dengan “Islam umum” (al-islam al amm), sebagai berikut:

Manusia berselisih tentang orang terdahulu dari kalangan umat Nabi Musa dan Nabi ‘Isa, apakah mereka itu orang-orang muslim? Ini adalah suatu perselisihan kebahasaan. Sebab, “Islam khusus” (al-islam al khashsh) yang dengan ajaran itu Allah mengutus Nabi Muhammad s.a.w. yang mencakup syari’at al-Qur’an tidak ada yang termasuk ke dalamnya selain umat Muhammad s.a.w. Dan al-islam sekarang secara keseluruhan bersangkutan dengan hal ini. Adapun “Islam umum” (al-islam al amm) yang bersangkutan dengan setiap syariat yang dengan itu Allah membangkitkan seorang Nabi, maka bersangkutan dengan islam-nya setiap umat yang mengikuti seorang Nabi dan para nabi itu.[30]

Dari berbagai penjelasan itu, diketahui bahwa agama semua nabi adalah satu. Inilah antara lain makna penegasan Nabi Muhammad s.a.w. bahwa “para Nabi adalah saudara satu ayah; ibu mereka banyak, namun agama mereka satu.”[31] Dalam al-Qur’an disebutkan adanya titik temu agama-agama,[32] tapi juga dijelaskan bahwa kepada masing-masing umat telah ditetapkan sebuah syir’ah (jalan menuju kebenaran) atau minhaj (cara atau metode perjalanan menuju Kebenaran itu). Allah tidak menghendaki adanya kesamaan manusia dalam segala hal (monolitisisme). Dengan adanya perbedaan, diharapkan manusia berlomba menuju berbagai kebaikan, dan Allah akan menilai dan menjelaskan berbagai perbedaan yang ada.[33]

Penutup

Sebagaimana disebutkan dalam bagian-bagian pertama, pembahasan tentang al-islam sebagai suatu universalisme dalam makalah ini dimaksudkan untuk mencari dan menemukan prinsip-prinsip yang mendasari kemungkinannya diadakan dialog antarumat berbagai agama. Karena premisnya ialah bahwa Tuhan telah membangkitkan pengajar dan penganut kebenaran (nabi, rasul) kepada semua umat manusia tanpa kecuali, dan bahwa inti ajaran mereka semuanya adalah sama dan satu, yaitu ajaran tunduk-patuh dan taat-pasrah kepada Tuhan yang disebut al-islam (dalam makna generiknya, bukan dalam peristilahan kebahasaannya), maka sesungguhnya dialog adalah sesuatu yang tidak saja dimungkinkan, malah diperlukan, jika tidak diharuskan.
 Sekalipun semua agama pada intinya sama dan satu, manifestasi sosio-kulturalnya secara historis berbeda-beda. Al-Qur’an menghendaki agar fenomena lahiriah itu tidak menghalangi usaha menuju titik temu antara semuanya. Dan jika pun rumusan linguistik dan verbal keyakinan keagamaan itu berbeda-beda, dapat dipastikan bahwa eksternalisasi keimanan itu dalam dimensi sosial kemanusiaannya tentu sama, karena menyangkut kerja nyata. Maka, al-islam sendiri, menurut Nabi, paling baik dinyatakan dalam aktivitas kemanusiaan seperti menolong kaum miskin, dan dalam mengusahakan perdamaian kepada semua orang tanpa kecuali.[34]
Jadi, dialog antaragama dapat dipandang sebagai pelaksanaan ajaran agama yang paling asasi, dan kerjasama kemanusiaan yang dihasilkannya berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Mahaesa dan kebaikan adalah perintah dalam Kitab Suci.[35]





[1] Tulisan (makalah) Nurcholish Madjid ini disalin oleh Nani Efendi dari buku Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus A.F. (ed), Passing Over: Melintasi Batas Agama, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1998, h. 5-23.
[2] Q., s. Fushshilat/41: 11.
[3] Q., s. Al-Rahman/55: 5-6.
[4] Q., s. Al-Isra’/17: 44.
[5] “Islam” atau, lebih tepatnya, “al-islam” dibahas dalam pengertian asalnya, yaitu “sikap pasrah”, yang dalam hal ini pasrah kepada Sang Maha Pencipta. Dari segi tasrifnya, perkataan “islam” adalah mashdar atau “kata benda kerja” (verbal noun) dari kata kerja “aslama-yuslimu”, sama halnya dengan perkataan “iman” yang merupakan mashdar dari kata kerja “amana-yu’minu” yang artinya “mempercayai” atau “bersikap percaya”. Karena kedua perkataan itu mengandung makna sikap aktif (masing-masing “menyerahkan diri” atau bersikap pasrah” dan “mempercayai” atau “bersikap percaya”), maka sikap itu, dalam bahasa kita, dinyatakan sebagai sikap “ber-iman—beriman” dan ber-islam—berislam”, atau demikian itu seharusnya.
[6] Q., s. At-Tin/95: 4.
[7] Q., s. Al-Ahzab/33: 72.
[8] Q., s. Al- Mu’minun/23: 115.
[9] Q., s. Al-Baqarah/2: 30-33.
[10] Sebuah Hadits yang cukup terkenal, khususnya di kalangan kaum sufi, mencatat Nabi saw pernah bersabda, “Berakhlaklah dengan akhlak Allah.”
[11] Q., s. Al-Ankabut/29: 64.
[12] Q., s. Al-Ikhlash/104: 4 dan s. Al-An’am/6: 103.
[13] Q., s. Al-Baqarah/2: 143 dan Yunus/10: 60, dan lain-lain.
[14] Q., s. Al-A’raf/7: 172. Adanya perjanjian itu juga digambarkan dalam ayat-ayat yang lain, baik langsung maupun tidak langsung, seperti dalam s. Yasin/36: 60 yang artinya: “Bukankah telah Aku ikat janji kepada kamu sekalian wahai anak cucu Adam, bahwa kamu janganlah mengabdi kepada syetan, sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”  
[15] Q., s. Al-An’am/6: 103.
[16] Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda bahwa setiap anak dilahirkan dalam fitrah (kesucian), namun kedua orangtuanya membuat anak itu menyimpang dari fitrah itu. Disebutkannya kedua orangtua adalah karena mereka berdua mewakili lingkungan sosial-budaya sekitarnya, dan melalui keduanya itulah seorang anak bersinggungan, berkenalan dan kemudian menyertai lingkungan sosial budayanya yang belum tentu sesuai dengan fitrah. 
[17] Q., s. Al-Rum/30: 30.
[18] Q., s. An-Nahl/16: 36.
[19] Q., s. Fathir/35: 24.
[20] Q., s. Al-Ra’d/13: 7.
[21] Q., s. Al-Baqarah/2: 130-133.
[22] Q., s. Yunus/10: 84.
[23] Q., s. Al-A’raf/7: 126.
[24] Q., s. Ali Imran/3: 52.
[25] Q., s. Al-Ma’idah/5: 111.
[26] Q., s. Alu ‘Imran/3: 83-85.  Sebagai tambahan dari saya (NE): beberapa ayat yang menyatakan bahwa arti Islam ialah tunduk, patuh dan berserah diri kepada Allah, lihat Q., s. Al-Ankabut/29: 46; Q., s. An-Naml/27:44 (tentang islamnya Ratu Bilqis); Q., s. 2:133; Q., s. 7: 126; Q., s. 3: 52, 64, 83, 85; dan Q., s. 5: 111. Di samping itu, dalam Pengantar buku Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus A.F. (ed), Passing Over: Melintasi Batas Agama, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1998, h. xxxv, Cak Nur menulis: kabar  tentang masuk Islam atau tidaknya raja Najasyi itu sebetulnya bisa dipersoalkan. “Masuk Islam” itu merupakan sikap ruhani yang paling dalam yang orang lain tidak tahu, sebab Islam dalam arti generik berarti pasrah kepada Tuhan; karena itu menurut al-Qur’an semua agama adalah Islam. Tetapi, jangan berharap bahwa perkataan Islam ada dalam perbendaharaan nomenklatur agama-agama selain yang dibawa Nabi Muhammad saw. Itu tidak ada, tetapi maksudnya adalah ajaran pasrah kepada Tuhan.
[27] Keterangan Ibn Taymiyah dalam al-Tuhfat-u ‘l-‘Iraqiyah (Yordan: Maktabat-u ‘l-Manar, 1978), hal. 26-27.
[28] Nas keterangan Ibn Taymiyah dalam al-Jawab al-Shahih li man baddala din al-Masih, 4 juz, (Jedah[?]: Muthabi’u ‘l-Majid al-Tijariyah, tanpa tahun), juz 1. 228-9
[29] Q., s. Ibrahim/14: 4.
[30] Keterangan Ibn Taymiyah dalam al-Risalat-u ‘l-Tadmiriyah (Kairo: al-Mathba’ ‘l-Salafiyah, 1387).
[31] Sabda Rasulullah saw, “Aku adalah orang yang paling berhak atas ‘Isa putera Maryam di dunia dan akhirat. Para Nabi adalah bersaudara satu bapak, ibu mereka berbeda-beda namun agama mereka satu. (Hadits Riwayat Bukhari).
[32] Q., s. Alu Imran/3: 64.
[33] Q., s. Al-Ma’idah/5: 48.
[34] Hadits, “Al-islam yang paling utama ialah engkau memberi makan (kepada kaum miskin) dan engkau menyampaikan salam perdamaian kepada orang yang kaukenal dan yang tidak kaukenal.”
[35] Q., s. Al-Ma’idah/5: 2.


0 komentar:

Posting Komentar