Analisis tentang perubahan sosial yang muncul kebanyakan diwarnai oleh dua aliran teori sosial yang sesungguhnya saling bertentangan, yaitu:
1. Teori modernisasi yang berakar pada paradigma sosial positivisme
2. Teori sosial kritik (teori ini juga dikenal dengan “ilmu sosial emansipatoris”, seperti teori kritis mazhab Frankfurt, neo-Marxisme, dan paham posmodernisme.
Kedua teori sosial di atas sangat berbeda dalam memandang dan memahami perubahan sosial. Dominasi suatu teori sosial sangat erat kaitannya dengan kekuatan dan kekuasaan bagi penganut teori tersebut dan tidak ada sangkut-pautnya dengan kebenaran teori tersebut, maka sesungguhnya wacana dalam teori sosial bersifat politik. Artinya, bukan persoalan benar atau salah, tetapi menang atau kalah.
Berikut penjelasan dari kedua teori di atas:
1. Teori Modernisasi
Analisis sosial yang kini didominasi oleh aliran mainstream lebih banyak memfokuskan pada manusianya. Aliran ini kurang melihat pada sistem dan struktur sosial, melainkan memfokuskan permasalahan sosial pada rendahnya kualitas sumber daya manusia dan moral manusia. Pendekatan yang sangat dipengaruhi oleh modernisasi, misalnya analisis perubahan sosial pengentasan kemiskinan (anti poverty). Dasar pemikiran analisis ini adalah bahwa perubahan sosial perlu dilakukan untuk mendorong kaum miskin untuk mengejar ketinggalan dengan masyarakat lain. Penyebab utama yang dilihat karena kurangnya sumber daya alam ataupun tidak produktif. Oleh karena itu, perlu diciptakan proyek peningkatan pendapatan bagi kaum miskin.
Analisis ini sama sekali tidak bertujuan untuk membebaskan dan
mengemansipasi golongan miskin, melainkan justru menggunakan kaum miskin untuk
tujuan pembangunan dan pertumbuhan. Sebagian besar organisasi seperti badan
PBB, Bank Dunia, USAID, ODA, dan hampir semua pemerintah Dunia Ketiga, bahkan
sebagian besar kalangan LSM di Indonesia juga menganut pemikiran tersebut.
Landasan ideologis dan teoritik analisis perubahan sosial aliran
mainstream ini adalah pada pandangan liberal dalam perubahan sosial. Pandangan
kaum liberal sesungguhnya berpijak pada nilai otonomi, persamaan dan nilai
moral, dan kebebasan individu, namun pada saat yang sama dalam mendefinisikan
masalah sosial tidak melihat struktur dan sistem sebagai pokok permasalahan.
Kerangka umum pemikiran liberal dalam memperjuangkan persoalan sosial tertuju
pada “kesempatan yang sama dan hak yang sama”, bagi setiap individu. Oleh
karena itu, ketika menyoalkan mengapa golongan miskin tertinggal, kaum liberal beranggapan
bahwa kemiskinan itu disebabkan oleh salah “mereka sendiri”. Dengan kata lain,
jika sistemnya sudah memberikan kesempatan yang sama, maka jika golongan miskin
tidak mampu bersaing dan kalah, maka yang perlu disalahkan adalah golongan
miskin itu sendiri.
Atas dasar itulah, dalam rangka memecahkan masalah kaum miskin, konsep
perubahan sosial yang mereka ajukan adalah berbagai pendekatan yang lebih
terfokus untuk menyiapkan golongan miskin agar dapat bersaing. Untuk itu, perlu
disiapkan aturan dan kebijakan (aturan main yang jelas) dan harus selalu
ditegakkan. Dengan aturan main tersebut, persaingan yang fair boleh
dilaksanakan. Sebagian dari usaha ini dapat dilihat misalnya dalam
program-program community development,
yakni dengan menyediakan program-program intervensi untuk meningkatkan taraf
hidup keluarga, antara lain seperti program pendidikan, keterampilan, serta
kebijakan yang dapat meningkatkan kemampuan sosial agar mampu berpartisipasi
dalam pembangunan. Pertumbuhan yang tinggi akan menetes dan diyakini sebagai
jalan untuk perubahan sosial menuju pengentasan kemiskinan.
2. Teori Sosial Kritik
Analisis teori ini tertuju pada sistem kelas yang menjadi penyebab
dasar dari masalah kemiskinan. Pemecahan pendekatan untuk membongkar masalah
kemiskinan tanpa membongkar relasi kelas atau struktur kelas yang ada, akan
gagal membongkar pokok masalah kemiskinan yang sesungguhnya—maka dianggap
gagal. Demikian halnya semua bentuk usaha pemecahan masalah kemiskinan yang
lebih memfokuskan pada upaya untuk “menyalahkan korbannya” akan gagal memahami
sistem dan makna realitas sosial. Mereka tidak percaya jika struktur sosial dan
sistem sosial sangat eksploitatif, maka selamanya golongan miskin akan berada
pada posisi yang tidak manusiawi. “Tetesan” seperti digambarkan oleh penganut
paham dan teori pertumbuhan pada hakikatnya meletakkan kaum buruh dalam posisi
sosial status quo sistem sosial yang tidak adil.
Dalam analisis ini, kaum buruh dianggap bermanfaat bagi kapitalisme
dalam memproduksi buruh murah. Usaha perubahan sosial reformatif kaum liberal
(kapitalis) untuk mendidik golongan miskin agar mampu bersaing, bagi teori
kritik hanya akan menghasilkan perubahan sosial praktis jangka pendek. Oleh
karena itu, paradigma yang lebih memfokuskan pada “manusia dan aturan main dan
bukan pada strukturnya” mendapat tantangan oleh mereka yang lebih mengusahakan
perubahan posisi dan struktur sosial, yakni perubahan sosial jangka panjang
yang bersifat tranformatif, termasuk mendekonstruksi ketidakadilan kelas,
gender, dan berbagai ketidakadilan hubungan kekuasaan lainnya. Oleh karena itu,
analisis kelas yang tadinya banyak dipergunakan oleh kaum Marxis, saat ini
telah menjadi alat analisis yang dipergunakan oleh hampir setiap organisasi
yang bergerak dalam memperjuangkan nasib kaum miskin.
Analisis kelas memberi perangkat teoritik untuk memahami sistem
ketidakadilan kelas dan oleh karena itu melahirkan juga teori perubahan sosial
yang memusat pada perubahan kelas sosial.
Tanpa analisis kelas, perubahan sosial menjadi reduksionisme, karena
hanya memusatkan perhatian perubahan manusianya saja. Analisis kelas membantu
memahami bahwa pokok persoalannya adalah sistem dan struktur sosial yang tidak
adil. Dengan analisis kelas, memungkinkan suatu program atau proyek penelitian
memfokuskan pada relasi/struktur sosial ketimbang hanya memfokuskan pada kaum
buruh miskin. Dengan demikian, yang menjadi agenda utama perubahan sosial tidak
sekedar menjawab kebutuhan praktis untuk merubah kondisi golongan miskin,
melainkan juga menjawab kebutuhan strategis golongan miskin, yakni
memperjuangkan perubahan posisi golongan miskin, termasuk counter hegemoni dan
counter discourse terhadap ideologi sosial yang telah mengakar dalam keyakinan
sosial. Perubahan sosial inilah yang dikenal dengan pendekatan analisis kelas.
Kalau golongan miskin dikorbankan oleh suatu sistem sosial, dalam
analisis kelas, maka seyogyanya bukanlah golongan miskin yang menjadi objek dan
pangkal masalah, melainkan sistem sosial yang diperjuangkan oleh gagasan
pembangunan sosial.
Jadi, menurut analisis sosial kritis, pangkal masalah kemiskinan
bukanlah pada orang miskin, tetapi pada struktur sosial yang eksploitatif.
Kesimpulan (sintesis)
Agenda perubahan sosial mendatang adalah transformasi sosial, bukan
sekedar reformasi. Setiap agenda perubahan, selain melihat pada kebutuhan
praktis maupun strategis kaum miskin dalam masyarakat, juga selayaknya
memfokuskan pada reformasi kebijakan yang menyangkut nasib kaum miskin dalam
masyarakat sekaligus transformasi terhadap sistem dan struktur sosial.
Perubahan sosial yang berperspektif transformatif memiliki dimensi
yang luas, baik dari segi metodologi, agenda maupun motivasi. Demikian halnya
dengan cakupan yang menjadi lapangan studi, mulai dari studi terhadap ideologi
dan pikiran individual, relasi dan ideologi kelas di masyarakat, kelembagaan
bahkan dimensi kelas di tingkat negara. Perubahan sosial berperspektif
transformatif juga berdimensi hal-hal untuk memenuhi kebutuhan praktis golongan
miskin dan juga menggarap pemenuhan kebutuhan strategis golongan miskin. Hanya
dengan cara yang luas itulah perubahan sosial dapat menyumbangkan transformasi
sosial ke arah yang lebih adil.
Pemahaman Baru tentang Teori Kelas menurut Dr Mansour Faqih
Pemahaman umum tentang kelas diartikan sekedar pembagian golongan
masyarakat berdasarkan pemilikan harta. Masyarakat tanpa kelas menurut pendapat
klasik adalah masyarakat tanpa “pemilikan harta pribadi”.
Menurut Mansour Faqih, pemahaman baru tentang teori kelas adalah suatu
proses relasi manusia yang bersifat eksploitatif, yaitu proses appropriation of
surplus value dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya. Kelas,
menurut pemahaman baru, adalah proses pencurian dari satu golongan oleh
golongan lain. Masyarakat tanpa kelas, menurut pemahaman baru, berarti
masyarakat tanpa eksploitasi atau suatu sistem sosial tanpa “pencurian”
struktural.
[1] Dr.
Mansour Faqih, Jalan Lain: Manifesto
Intelektual Organik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, h. 33-45.
0 komentar:
Posting Komentar