alt/text gambar

Kamis, 02 Juli 2015

Topik Pilihan:

DI BAWAH BENDERA REVOLUSI (Bag.V)


Kita yakin bahwa tiadalah halangan yang penting bagi persahabatan Muslim-Marxis itu. Diatas sudah kit terangkan bahwa Islamisme yang sejati itu ada mengandung tabiat-tabiat sosialistis. Walaupun sosialistis itu masih belum tentu bermakna marxistis, walaupun kita bahwa sosialisme Islam itu tidak bersamaan dengan azas Marxisme, oleh karena sosialisme Islam itu berazas Spritualisme, dan sosialismenya Marxisme itu berazas Materialisme (perbendaan); walaupun begitu, maka untuk keperluan kita cukuplah agaknya jikalau kita membuktikan bahwa Islam sejati itu sosialistislah adanya.

Kaum Islam tak boleh lupa bahwa pemandangan Marxisme tentnag riwayat menurut azas-perbendaan (materialistische historie opvatting) inilah yang sering kali menjadi penunjuk- jalan bagi mereka tentang soal-soal ekonomi dan politik-dunia yang sukar dan sulit; mereka tak boleh pula lupa, bahwa caranya (methode) Historis-Materialisme (ilmu perbendaan berhubungan dengan riwayat) menerangkan kejadian-kejadian yang telah terjadi dimuka-bumi ini, adalah caranya menujumkan kejadian-kejadian yang akan datang, adalah amat berguna bagi mereka! Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu,ialah musuh Islamisme pula! Sebab meerwaarde sepanjang faham Marxisme, Dalam hakekatnya tidak lainlah daripada riba sepanjang faham Islam. Meerwaarde, ialah teori: memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang seharusnya menjadi bagian keuntungan yang seharusnya menjadi bagian kaum buruh yang bekerja mengeluarkan untung itu, -teori meerwaarde itu disusun oleh Karl Marx dan Friedrich Engels untuk menerangkan asal-asalnya kapitalisme terjadi. Meerwaarde inilah yang nyawa segala peraturan yang bersifat kapitalis; dengan memerangi meerwaarde inilah, maka kaum Marxisme memerangi kapitalisme sampai pada akar-akarnya!



Untuk Islamis sejati, maka dengan lekas saja teranglah baginya,bahwa tak layaklah ia memusuhi faham Marxisme yang melawan peraturan meerwaarde itu, sebab ia tak lupa, bahwa Islam yang sejati juga memerangi peraturan itu; ia tak lupa, bahwa Islam yang sejati melarang keras akan perbuatan memakan ria dan memungut bunga. Ia mengerti, bahwa riba ini pada hakekatnya tiada lain daripada meerwaardenya faham Marxisme itu! “Janganlah makan riba berlipat-ganda dan perhatikanlah kewajibanmu terhadap Allah, moga-moga kamu beruntung!”, begitulah tertulis dalam Al Qur`an, surah Al `Imran, ayat 129! 



Islamis yang luas pemandangan, Islamis yang mengerti akan kebutuhan-kebutuhan perlawanan kita, pastilah setuju akan persahabatan dengan kaum Marxis, oleh sebab ia insyaf bahwa memakan riba dan pemungutan bunga, menurut agamanya adalah suatu perbuatan yang terlarang, suatu perbuatan yang haram; ia insyaf, bahwa inilah caranya Islam memerangi kapitalisme sampai pada akr dan benihnya, oleh karena, sebagai yang sudah kita terangkan dimuka,riba ini sama dengan meerwaarde yang menjadi nyawanya kapitalisme itu. Ia insyaf, bahwa sebagai Marxisme, Islam pula, “denga kepercayaannya pada Allah, dengan pengakuannya atas Kerajaan Tuhan, adalah suatu protes terhadap kejahatannya kapitalisme”.



Islamis yang “fanatik” dan memerangi pergerakan Marxisme adalah Islamis yang tak kenal akan larangan-larangan agamanya sendiri.Islamis yang demikian itu tak mengetahui, bahwa, sebagai Marxisme, Islamisme yang sejati melarang penumpukan uang secara kapitalistis, melarang penimbunan harta-harta untuk kepentingan sendiri. Ia tak ingat akan ayat Al Qur`an: “Tetapi kepada barang siapa menumpuk-numpuk emas dan perak dan membelanjakannya dia tidak menurut jalan celaka!” Ia mengetahui, bahwa sebagai Marxisme yang dimusuhi itu agama Islam dengan jalan yang memerangi wujudnya kapitalisme dengan seterang-terangnya!



Dan masih banyaklah kewajiban-kewajiban dan ketentuan-ketentuan dalam agama Islam yang bersamaan dengan tujuan-tujuan dan maksud-maksud Marxisme itu! Sebab tidakkah pada hakekatnya faham kewajiban zakat dalam agama Islam itu, suatu kewajiban sikaya membagikan rezekinya kepada simiskin, pembagian-rezeki mana dikehendaki pula oleh Marxisme,- tentu saja dengan cara Marxisme sendiri? Tidakkah Islam bercocokan anasir-anasir “kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan” dengan Marxisme yang dimusuhi oleh banyak kaum Islamis itu? Tidakkah Islam yang sejati telah membawa “segenap perikemanusiaan diatas lapang kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan”? Tidakkah nabi-Islam sendiri telah mengajarkan persamaan itu dengan sabda: “Hai, aku ini hanyalah seorang manusia sebagai kamu; sudahlah dilahirkan padaku, bahwa Tuhanmu ialah Tuhan yang satu?”Bukankah persaudaraan ini diperintahkan pula olen ayat 13 Surah Al- Hujarat, yang bunyinya: “Hai manusia, sungguhlah kami telah menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan kami jadikan dari padamu suku-suku dan cabang-cabang keluarga, supaya kamu berkenal-kenalan satu sama lain?” Bukankah persaudaraan ini “tidak tinggal sebagai persaudaraan didalam teori saja”, dan oleh orang-orang yang bukan Islam diaku pula adanya? Tidakkah sayang beberapa kaum Islamis memusuhi suatu pergerakan, yang anasir-anasirnya juga berbunyi “kemerdekaan,persamaan, dan persaudaraan”?

Hendaklah kaum Islamis yang tak mau merapatkan diri dengan kaum Marxis, sama ingat, bahwa pergerakan itu, sebagai pergerakan Marxis, adalah suatu gaung atau kumandangnya jerit dan tangis rakyat Indonesia yang makin lama makin sempit kehidupannya, makin lama makin pahit rumah tangganya. Hendaklah kaum itu sama ingat, bahwa pergerakannya itu pergerakan Marxis, banyaklah persesuaian cita-cita,banyaklah persamaan tuntutan-tuntutan. Hendaklah kaum itu mengambil teladan akan utusan kerajaan Islam Afganistan, yang tatkala ia ditanyai oleh suatu surat kabar Marxis telah menerangkan, bahwa, walaupun beliau bukan seorang Marxis beliau mengaku menjadi “sahabat yang sesungguh-sungguhnya” dari kaum Marxis, oleh karena beliau adalah suatu musuh yang hebat dari kapitalisme Eropa di Asia!

Sayang, sayangkah jikalau pergerakan Islam di Indonesia-kita ini bermusuhan dengan pergerakan Marxis itu! Belum pernahlah di Indonesia-kita ini ada pergerakan, yang sesungguh-sungguhnya merupakan pergerakan rakyat, sebagai pergerakan Islam dan pergerakan Marxis itu! Belum pernahlah dinegeri-kita ini ada pergerakan yang begitu menggetar sampai kedalam urat-sumsumnya rakyat, sebagai pergerakan yang dua itu! Alangkah hebatnya jikalau dua pergerakan ini, dengan mana rakyat itu tidur dan dengan mana rakyat itu bangun, bersatu menjadi satu banjir yang sekuasa-kuasanya!

Bahagialah kaum pergerakan- Islam yang insyaf dan mau akan persatuan. Bahagialah mereka,oleh karena merekalah yang sesungguh-sungguhnya menjalankan perintah-perintah agamanya!

Kaum Islam yang tidak mau akan persatuan, dan yang mengira bahwa sikapnya yang demikian itulah sikap yang benar,- wahai, moga-mogalah mereka itu bisa mempertanggungkan sikapnya yang demikin itu dihadapan Tuhannya!

Marxisme!

Mendengar perkataan ini, maka tampak sebagai suatu bayang-bayangan dipenglihatan kita gambarnya berduyun-duyun kaum yang mudlarat dari segala bangsa dan negeri, pucat-muka dan kurus-badan, pakaian berkoyak-koyak; tampak pada angan-angan kita dirinya pembela dan kampiun si mudlarat tadi, seorang ahli-pikir yang ketetapan dan keinsyafan akan kebisaannya “mengingatkan kita pada pahlawan-pahlawan dari dongen-dongen kuno Jerman yang sakti dengan tiada terkalahkan itu”, suatu manusia yang “geweldidig” (hebat) yang dengan sesungguh-sungguhnya bernama “grootmeester” (maha guru) pergerakan kaum buruh, yakni: Heinrich Karl Marx.

Dari muda sampai pada wafatnya, ,manusia yang hebat ini tiada berhenti-hentinya membela dan memberi penerangan pada simiskin, bagaimana mereka itu sudah menjadi sengsara dan bagaimana mereka itu past akan mendapat kemenangan; tiada kesal capeknya ia berusaha dan bekerja untuk pembelaan itu: duduk diatas kursi, dimuka meja-tulisnya begitulah ia dalam tahun 1883 menghembuskan nafasnya yang penghabisan.

Seolah-olah mendengarlah kita dimana-mana negeri suaranya mendengung sebagai guntur, tatkala ia dalam tahun 1847 menulis seruannya: “kaum buruh dari semua negeri, kumpullah menjadi satu!” dan sesungguhnya! Riwayat – dunia belumlah pernah menceritakan pendapat dari seorang manusia, yang begitu cepat masuknya dalam keyakinan satu golongan pergaulan-hidup, sebagai pendapatnya kampiun kaum buruh ini. Dari puluhan menjadi ratusan, dari ratusan menjadi ribuan, dari ribuan menjadi laksaan, ketian, jutaan ... begitulah jumlah pengikutnya bertambah-tambah. Sebab, walaupun teori-teori ada sangat sukar dan berat untuk kaum yang pandai dan terang-pikiran, tetapi “amatlah ia gampang dimengerti oleh kaum yang tertindas dan sengsara: kaum melarat pikiran yang berkeluh-kesah itu”.

Berlainan dengan sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita mereka itu dapat tercapai dengan jalan persahabatan antara buruh dan menjadikan, berlainan dengan umpamanya: Ferdinand Lassalle, yang teriaknya itu ada suatun teriak-perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali mempersoalkan kata asih atau kata cinta, membeberkan pula faham pertentangan golongan; faham klassentrijd, dan mengajarkan pula, bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya itu ialah oleh perlawanan-zonder-damai terhadap pada kaum “bursuasi”, satu perlawanan yang tdak boleh tidak, musti terjadi oleh karena peraturan yang kapitalistis itu adanya. (Bersambung....!!)







0 komentar:

Posting Komentar