Pemilukada Kerinci yang digelar 8 September 2013 lalu, yang perselisihannya telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi, ternyata belum sepenuhnya diterima oleh pihak yang kalah sebagai suatu fakta politik dan fakta hukum.Putusan Mahkamah Konstitusimasihsaja tetap diprotes dan diteriaki.Belum nampak jiwa besar dari pihak yang kalah untuk menerima secara legowo hasil putusan MK itu. Pada Senin, 3 Februari 2014, ratusan pendukung Haji Murasman turun ke jalan melakukan demonstrasi ke Gedung DPRD Kerinci. Mereka meminta DPRD untuk memohon kepada MK agar membatalkan putusan yang memenangkan Adi Rozal-Zainal Abidin (ADZAN) sebagai Bupati Kerinci.Segelintir anggota DPRD Kerinci pun mengabulkan permintaan itu. Sungguh suatu sikap politik yang terkesan “lucu”.
Dalam kaitan ini, sikap kenegarawanan (statesmanship) yang ditunjukkan oleh John McCain—kandidat presiden dari Partai Republik AS—ketika ia kalah dari Barack Obama dalam Pemilu Presiden di Amerika Serikat pada tahun 2008, seharusnya dapat menjadi pelajaran politik yang berharga bagi tokoh besar selevel bupati dan orang-orang yang mencintai kehidupan demokrasi yang sehat. Demi kepentingan AmerikaSerikat yang lebih besar, McCain mengucapkan selamat kepada Obama atas kemenangannya, dan ia bersedia bekerjasama untuk membangun bangsa mereka yang saat itu tengah berada di tepi jurang krisis ekonomi. Suatu sikap ksatria dari seorang pemimpin yang patut diteladani.
Dalam
Pemilukada Kerinci 2008 silam, juga terlihat contoh yang baik dari tokoh-tokoh
Kerinci. Pihak-pihak yang kalah—Ami Taher, Hasani Hamid, Nuzran Joher, Herman
Muchtar, dan Zubir Muchtar—juga telah menunjukkan sikap jiwa besar dan
kedewasaan dalam berpolitik. Mereka menerima kekalahan secara legowo. Bahkan,
Ami Taher yang ketika itu juga menggugat kemenangan Murasman ke MK—namun akhirnya
kalah—juga bisa menerima putusan itu dengan bijak. Karena, ia menganggap
putusan MK tidak mungkin lagi untuk digugat. Akan tetapi, dalam sengketa hasil
Pemilukada Kerincikali ini, sikap seperti itutidak terlihatsama sekali.
Yang
kentara hanyalah egoisme politik untuk memuaskan syahwat kekuasaan yang belum terlampiaskan—dan
mungkin tidak akan pernah bisa terpuaskan.Padahal, kata Lyndon B. Johnson, Presiden
AS ke-36, “Ekstremisme
dalam mengejar kekuasaan sungguh perbuatan jahat yang tak
termaafkan.”Semestinya, demi kepentingan rakyat Kerinci yang lebih besar, pihak
yang kalah bisa menerima hasil Pemilukada itu dengan legowo tanpa menimbulkan
gejolak sosialmaupun politik.
Sebuah
pepatah Melayu kuno mengkiaskan, bahwa meminta sesuatu kepada seseorang yang
tidak mampu ia penuhi, sama dengan meminta tanduk pada kuda. Meminta DPRD
Kerinci mendesak MK untuk membatalkan putusannya, sama saja dengan “meminta
tanduk pada kuda”. Dalam peribahasa Kerinci sendiri, hal itu disebut, “Mengadu kerak
dengan air”.Artinya, suatu hal yang konyol, sia-sia, dan mubazir. Semestinya,
mereka bisa berpikir jernih dan membuka mata: apalah daya dan wewenang DPRD untuk
mendesak MK membatalkan putusannya yang bersifat final? Sungguh, suatu dagelan politik
yang terkesan memperkosa akal sehat publik.
Dalam
UUD 1945, Pasal 24C ayat (1) hasil amandemen (UUD 1945) juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang
Mahkamah Konstitusi, dijelaskan kewenangan
dari Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Merujuk
pada ketentuan Konstitusi (UUD 1945) di atas, jelas sekali bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi—sebagaithe guardian
and the final interpreter of the constitution (pengawal sekaligus penafsir
tertinggi dan terakhir terhadap konstitusi)—itu bersifat final dan mengikat. Termasuk
juga dalam hal memutus perselisihan hasil pemilukada, karena pemilukada dimasukkan
ke dalam rezim pemilihan umum. “Final” artinya tidak ada lagi upaya hukum yang
bisa dilakukan oleh siapa pun. Dengan kata lain, putusan MK tidak dapat lagi
untuk diganggu-gugat—walaupun, karena putusannya itu, banyak pihak yang merasa
tidak puas dan merasa tidak mendapatkan keadilan. Namun, itulah fakta hukum
yang sedang berlaku di Indonesia saat ini.
Namun
anehnya, dalam sengketa hasil Pemilukada Kerinci, pihak yang dinyatakan kalah
dalam sengketa, tetap ngotot untuk mempersoalkan dan meminta putusan MK
dibatalkan. Bahkan, diberitakan di media massa Kerincitime.co.id,salah seorang tim sukses dari Murasman
mengeluarkan statement akan ada
pertumpahan darah jika Adzan tetap dilantik. Mereka menilai, Haji Murasman
adalah bupati pilihan rakyat yang sah, sedangkan Adzan adalah bupati pilihan
hakim.Sebenarnya, kedua-duanya—Murasman dan Adzan—sama-sama dipilih oleh rakyat
Kerinci secara langsung, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Dalam
hal ini, tidak ada “bupati pilihan hakim”. Hakim Konstitusi hanyalah sebatas menyelesaikan
sengketa hasil, bukan memilih bupati. Ini harus benar-benar dipahami dengan
baik. Karena hasil pemilihan di dua kecamatan—Siulak Mukai dan Sitinjau
Laut—dianggap bermasalah dan tidak sah berdasarkan fakta-fakta hukum, maka oleh
MKdiputuskan untuk dilakukan PSU (Pemungutan Suara Ulang). Total perolehan
suara dari dua kandidat itu ternyata Adzan lebih unggul. Maka, Adzan-lah yang
ditetapkan sebagai pemenang. Itu duduk persoalannya. Simpel.
Jadi, tidak ada istilah “bupati pilihan MK”. Yang ada hanyalah “bupati pilihan
rakyat Kerinci”. Mahkamah Konstitusi hanyalahsebatas memutus perkara
perselisihan hasil. Oleh karena itu, semua pihak semestinya bisa menerima dan menghormati
putusan itu—sebagai suatu fakta dalam kehidupan berdemokrasi. (NE-- Editorial di MKN)
0 komentar:
Posting Komentar