Oleh: NANI EFENDI
Mengapa di Indonesia para pemudanya berebutan untuk jadi PNS? Mengapa setiap ada penerimaan CPNS peserta tesnya selalu membludak seperti orang demo mau menurunkan presiden dari jabatannya? Bahkan, mereka rela berdesak-desakan, terinjak-injak, dan pergi ke daerah yang jauh-jauh hanya untuk mendapatkan nomor peserta tes dan ikut tes CPNS. Kalau ditanya, khususnya anak-anak muda, jawabannya relatif sama: jadi PNS itu enak, nyaman, aman masa depan, bisa memiliki status sosial yang tinggi di masyarakat, mendapat gaji yang lumayan besar yang setiap tahun naik, dan lain-lain jawaban yang serupa. Jarang sekali saya mendengar jawaban, “Ingin mengabdi pada negara dan melayani masyarakat”.
Semangat mereka kebanyakannya sama:ingin enak dan tak ingin susah, ingin dihormati,ingin dilayani dan bukan melayani, ingin menguasai,ingin mengatur, dan ingin memerintah. Persis seperti mental kebanyakan para ambtenaar zaman penjajahanBelanda di masa lalu. Dulu, zaman pemerintahan Hindia Belanda, PNS atau pegawai negeri dinamakan “ambtenaar”. Dalam struktur sosial masyarakat zaman kolonial Belanda di masa lalu, para ambtenaar digolongkan sebagai kaum priyayi, yaitu kaum yang tergolong ke dalam kelas atas masyarakat yang masih feodal.
Pramoedya
Ananta Toer, seorang penulis besar Indonesia yang pernah jadi kandidat pemenang
Nobel, dalam bukunya Sang Pemula,
menjelaskan karakter dan mental kaum ini, yaitu: konsumtif, tidak produktif,
dan tidak kreatif. Watak dan impian kasta ini adalah hal-hal yang bersifat
simbol seperti pangkat dan kehormatan, bintang, payung, selempang, pita, dan
gelar. Gelar tertinggi yang mereka impikan adalah: Pangeran, Arya, Adipati, dan
Tumenggung. Sedangkan pangkat yang mereka gairahi adalah bupati—pangkat
tertinggi di luar daerah kerajaan yang dapat dicapai oleh Pribumi pada zaman
penjajahan Belanda (lihat Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, 1985: 14).
Tidak
ada kebebasan berpikir dalam kasta ini. Mereka terkekang oleh budaya yang penuh
dengan kehormatan yang irasional dan semu. Oleh karenanya, pemuda dan pemudi
yang berasal dari keluarga ningrat atau priyayi atau keluarga kelas bangsawan,
namun mereka terpelajar dan berpikiran maju, mereka pada umumnya memilih keluar
dari “kekangan” sistem keluarganya. Beberapa contoh, misalnya, R.A. Kartini (tokoh
emansipasi wanita Indonesia), Bung Karno, Tjipto Mangoenkoesoemo, Dewi
Sartika,Tirto Adhi Soerjo (Bapak Pers Indonesia), dan lain-lain. Bahkan, Tirto
Adhi Soerjo mengatakan, menjadi pegawai negeri kolonial menghilangkan
kemerdekaan diri dan kebebasab berpikir. Mereka ini adalah beberapa contoh dari
anggota keluarga ningrat atau priyayi yang tidak memiliki mental priyayi.
Mereka-mereka ini tidak tertarik untuk menjadi ambtenaar atau pegawai negeri. Mereka
memilih bebas. Mereka tidak bersikap seperti kaum priyayi. Kebanyakan mereka
bersahaja, bebas berpikir, bebas berkumpul, dan bebas berserikat, karena dengan
begitu mereka bisa berbuat sesuatu yang benar-benar nyata untuk kepentingan
rakyat.
Bung
Karno, Bung Hatta, dan aktivis-aktivis pejuang bangsa zaman dahulu pernah
ditawari untuk bekerja sebagai ambtenaar (pegawai negeri), tapi mereka tolak
mentah-mentah. Mereka sedikit pun tidak tertarik jadi ambtenaar. Mereka lebih
memilih menjadi aktivis pergerakan. Jadi ambtenaar (PNS pada saat itu), dalam
pandangan mereka, bukanlah jalan atau alat perjuangan. Menjadi pegawai negeri
ketika itu sama saja dengan mengabdi pada kepentingan kolonial. Kalau mereka
jadi PNS saat itu, kemungkinan besar mereka tidak akan pernah memerdekakan
bangsa ini. Sebagian besar waktu mereka tentu akan tersita oleh kesibukan sebagai
pekerja kantor dengan segala rutinitas, formalitas dan tetek bengeknya,
sehingga mereka tidak sempat lagi untuk membaca buku dan berorganisasi atau
mendirikan organisasi-organisasi pergerakan. Dan kemungkinan juga mereka tidak
akan pernah jadi orang besar sebagaimana yang kita kenal. Mengapa? Ya, karena
kebebasan berpikir dan ruang gerak mereka menjadi sempit dan terbatas.Mereka
terikat dalam sistem yang bersifat formalistik-simbolik. Oleh karenanya, Tjipto
Mangoenkoesoemo mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai ambtenaar (pegawai
negeri) karena ia ingin bebas bergerak, berpikir, dan bersuara.
Namun
anehnya, kebanyakan pemuda di Indonesia saat ini tidak menjadikan mereka-mereka
itu sebagai salah satu sumber inspirasi. Kebanyakan pemuda kini tetap punya kemauan
yang besar untuk jadi pegawai negeri, walaupun dengan jalan menyogok ratusan
juta rupiah. Suatu budaya yang salah. Sumber budaya yang salah itu, kalau kita
lihat dari latar belakang historisnya,ya dari sistem budaya feodal di Indonesia
pada masa lalu itu. Budaya feodal itulah yang masih diwarisi oleh masyarakat
modern Indonesia dewasa ini.
Di
masa kolonial, kasta bangsawan-priyayi dipandang sebagai kasta tertinggi dan
terhormat. Walaupun pada hakekatnya adalah kehormatan semu dan irasional.Nah, mental
priyayi di masa lalu itu pada kenyataannya masih diwarisi juga oleh sebagian
besar PNS saat ini. Kebanyakan orang masih menganggap pekerjaan sebagai PNS
adalah pekerjaan yang prestisius dan dianggap seperti “kasta bangsawan-priyayi”di
masa lalu. Padahal, kalau kita mau menilainya secara rasional, anggapan seperti
itu tidaklah berdasar.Irasional. Semestinya, manusia itu dihormati bukanlah
dari status sosialnya, tetapi dari kontribusinya bagi peradaban dan kehidupan
manusia.
Oleh
karena itu, dalam rangka refomasi birokrasi saat ini, PNS sudah seharusnya
meninggalkan mental priyayi, yang—dalam pandangan Pramoedya—sebagaian besarnya gila
hormat dan gila jabatan. Mental PNS yang harus dibangun kedepan adalah mental
melayani, bukan mental dilayani. PNS harus menjauhkan perilaku eksklusif. PNS
yang baik adalah PNS yang menyadari bahwa ia digaji dari uang rakyat. Oleh
karena itu, ia harus melayani rakyat secara tulus ikhlas. Menjadi PNS bukan
berarti “menjadi ningrat” atau menjadi “kasta bangsawan-priyayi”. PNS hanyalah abdi
negara. Mereka punya kewajiban mengabdi pada kepentingan rakyat—karenaia memang
hidup dari uang rakyat. Terlalu mahal rakyat menggaji
kalau orientasi mereka hanya ingin enak, foya-foya, dan tidak produktif. Dan
terlalu mahal mereka digaji dengan uang rakyat kalau hanya ingin dilayani namun
enggan melayani masyarakat. Beban anggaran negara kita sudah terlalu berat
menanggung biaya pegawai.
NANI EFENDI, Alumnus HMI
0 komentar:
Posting Komentar