Oleh: NANI EFENDI
Perhelatan demokrasi di Jambi akan kembali digelar: memilih gubernur secara langsung. Menurut jadwal—jika tidak ada perubahan—pemilihan kepala daerah akan digelar serentak pada Desember 2015 di seluruh Indonesia: 9 provinsi dan 201 kabupaten/kota. Untuk pesta demokrasi itu, Provinsi Jambi mengajukan dana Rp 109 miliar, tetapi yang disetujui Rp 101 miliar (Harian Jambi Independent, 20/4/2015). Suatu anggaran yang cukup besar jika itu dialokasikan untuk merawat bangunan-bangunan sekolah di pelosok-pelosok yang bangku dan papan tulisnya tak layak pakai lagi, atau untuk sekedar bantuan beasiswa bagi masyarakat miskin, dan uang saku untuk guru-guru ngaji di kampung-kampung.
Ya,
tapi bagaimanapun, karena peraturan perundang-undangan (yang dibuat oleh rakyat
sendiri melalui wakil-wakilnya yang telah dipilih sewaktu Pileg), Pilkada harus
tetap dilaksanakan agar Jambi tak hampa kekuasaan. Akhirnya, kita “dipaksa” untuk memakluminya. Tapi pertanyaannya, dengan dana yang sebegitu besar,
akankah kita—melalui Pilgub itu—mendapatkan pemimpin Jambi kedepan yang benar-benar mampu melakukan
hal-hal yang juga besar dan bermanfaat bagi masyarakat luas
sebagai bentuk “kompensasi” dari dana yang telah kita habiskan untuk melaksanakan
Pilgub itu sendiri? Atau, jangan-jangan, yang kita pilih
nanti hanyalah pemimpin yang cuma bisa
menambah beban-beban pengeluaran uang rakyat untuk hal-hal yang tidak berdampak besar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat?
Memimpin
adalah menderita
Berbicara
Pilgub dan kepemimpinan, saya teringat kredo Agus Salim, yang berasal dari
pepatah Belanda, yang sangat relevan untuk kita “teriakkan” lagi saat
ini. Kredo itu: “Leiden is lijden.” (Memimpin
adalah menderita). Memimpin
bukan jalan pintas menuju kaya. Ketika seseorang sudah siap menjadi pemimpin berarti
ia telah siap memilih jalan menderita. Menderita demi rakyat yang
dipimpinnya. Kredo itu juga mengingatkan kita pada sosok Jenderal
Soedirman dalam memimpin perang gerilya dari atas tandu. Dalam kondisi paru-parunya yang masih tinggal satu,
ia berpesan:
“Jangan biarkan rakyat menderita. Biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang
menderita.
Tapi,
saat ini adakah orang-orang yang siap seperti itu? Kita memang—di tengah banyaknya
praktik korupsi yang melilit bangsa kita saat ini—membutuhkan pemimpin yang zuhud: yang punya kadar spiritualitas yang tinggi yang tidak lagi tergiur untuk memperkaya diri dan keluarga, dan tidak lagi silau
dengan gemerlap dunia, tetapi semata-mata ikhlas lillahita’ala mengabdi untuk umat demi mencari
ridho Tuhan semata. Dan
memang, kita sudah jenuh dengan banyaknya figur-figur saat ini yang berambisi
jadi pemimpin, tapi kualitas spiritualnya rendah.
Kita merindukan pemimpin yang zuhud seperti Umar Bin Khattab. Atau seperti Presiden Uruguay,
Jose Mujica, yang menolak tinggal di istana, namun memilih hidup di ladang, menempati rumahnya sendiri di
lorong tak beraspal. Ia bergaji 20 ribu dollar, tapi 90% dari uang itu ia
berikan untuk sumbangan buat orang-orang yang kekurangan. Sisanya praktis
senilai pendapatan rata-rata orang Uruguay.
Ya, mungkin Mujica berpendapat
seperti Gandhi: bila semua orang mengembangkan kebiasaan hidup berlebihan, bumi
yang hanya satu ini tak akan memadai—dan akan rusak dieksploitasi tanpa henti. Di Indonesia, kita punya Bung karno. Dalam autobiografinya, Bung
Karno berkata, “Aku tidak begitu memikirkan benda-benda duniawi seperti
uang. Hanya orang-orang yang tidak pernah menghirup apinya nasionalisme yang
dapat melibatkan dirinya dalam soal-soal seperti itu. Kemerdekaan adalah makna
hidupku. Ideologi. Idealisme. Makanan
daripada jiwaku.”
Mungkin
sulit mencari tokoh yang sanggup seekstrem pemimpin-pemimpin itu,
terlebih lagi di tengah kehidupan yang serba hedonis saat ini. Tapi,
setidaknya kita bisa menemukan pemimpin yang, minimal tidak terlalu bernafsu
mengejar kekuasaan dan kekayaan duniawi serta nikmatnya fasilitas jabatan. Memang, saat ini, ada banyak figur yang mengincar “tahta” Jambi.
Tapi, pertanyaan kita: orientasi mereka apa? Siapkah mereka untuk tidak mengutamakan
gaji, tunjangan, dan fasilitas mewah setelah menjabat?
Siapkah
mereka menyisihkan setidak-tidaknya 2,5% saja dari gaji mereka setiap
bulan untuk dizakatkan pada masyarakat miskin dan orang-orang yang tidak mampu? Adakah Gubernur Jambi kedepan siap seperti Bung Karno: tidak
memikirkan uang untuk kantong pribadi, tapi semata-mata ikhlas berbuat untuk
masyarakat? Beranikah
mereka menggaransi bahwa setelah menjabat nanti mereka tidak akan mengumpulkan
kekayaan pribadi, tapi rela “mewakafkan” harta pribadi untuk masyarakat?
Jangan
terkelabui
Lyndon
B. Johnson (1908-1973), Presiden AS ke-36, mengatakan,
“Ekstremisme dalam mengejar kekuasaan sungguh perbuatan jahat yang tak
termaafkan.” Mudah-mudahan figur-figur yang akan berkompetisi pada Pilgub Jambi
2015 ini bukanlah orang-orang yang termasuk
dalam kategori “pengejar kekuasaan yang ekstrem”
sebagaimana dimaksud Lyndon
B. Johnson itu. Mudah-mudahan mereka siap—atau setidak-tidaknya ada ikhtiar—untuk
menjadi pemimpin zuhud, tawaduk ,dan mau
menderita demi rakyatnya. Itulah harapan banyak orang. Tapi, dalam
berdemokrasi, masyarakat jugalah yang jadi penentu.
“Bagaimanapun
jeleknya demokrasi sebagai sistem, toh lebih baik daripada yang ada. Sebab, manusia
punya hak untuk bicara,” kata Pramoedya Ananta Toer. “Berbicara” yang dimaksud
Pram tentu adalah juga dalam hal memilih pemimpin. Ya, itulah keunggulan
demokrasi: rakyat bisa menentukan nasibnya sendiri. Namun, kita berharap masyarakat tidak hanya dijadikan alat belaka
untuk meraih jabatan dan ambisi pribadi. Oleh
karena itu, masyarakat semestinya tidak memilih pemimpin berdasarkan faktor like or dislike (suka atau tidak suka),
tetapi harus benar-benar didasarkan pada pertimbangan rasional
dan objektif.
Masyarakat
Provinsi Jambi tidak boleh terkecoh dan terkelabui oleh hal-hal yang
tak substansial, seperti: penampilan fisik, iming-iming materi, janji-janji
manis, baliho
dan poster-poster dengan wajah yang dipoles gagah yang terpampang di sana-sini, serta pernak-pernik dan
tetek bengek lainnya. Karena substansi kepemimpinan bukanlah di situ. Yang kita
butuhkan adalah pemimpin yang zuhud dan tawaduk yang siap menderita demi rakyatnya. Karena
memimpin adalah jalan menderita.
NANI EFENDI
Alumnus HMI
0 komentar:
Posting Komentar