alt/text gambar

Rabu, 08 Juli 2015

Topik Pilihan:

Memimpin Adalah Jalan Menderita: Sebuah Catatan Menjelang Pilgub Jambi 2015










Oleh: NANI EFENDI



      Perhelatan demokrasi di Jambi akan kembali digelar: memilih gubernur secara langsung. Menurut jadwal—jika tidak ada perubahan—pemilihan kepala daerah akan digelar serentak pada Desember 2015 di seluruh Indonesia: 9 provinsi dan 201 kabupaten/kota. Untuk pesta demokrasi itu, Provinsi Jambi mengajukan dana Rp 109 miliar, tetapi yang disetujui Rp 101 miliar (Harian Jambi Independent, 20/4/2015). Suatu anggaran yang cukup besar jika itu dialokasikan untuk merawat bangunan-bangunan sekolah di pelosok-pelosok yang bangku dan papan tulisnya tak layak pakai lagi, atau untuk sekedar bantuan beasiswa bagi masyarakat miskin, dan uang saku untuk guru-guru ngaji di kampung-kampung.
Ya, tapi bagaimanapun, karena peraturan perundang-undangan (yang dibuat oleh rakyat sendiri melalui wakil-wakilnya yang telah dipilih sewaktu Pileg), Pilkada harus tetap dilaksanakan agar Jambi tak hampa kekuasaan. Akhirnya, kita “dipaksa” untuk memakluminya. Tapi pertanyaannya, dengan dana yang sebegitu besar, akankah kita—melalui Pilgub itu—mendapatkan pemimpin Jambi kedepan yang benar-benar mampu melakukan hal-hal yang juga besar dan bermanfaat bagi masyarakat luas sebagai bentuk “kompensasi” dari dana yang telah kita habiskan untuk melaksanakan Pilgub itu sendiri? Atau, jangan-jangan, yang kita pilih nanti hanyalah pemimpin yang cuma bisa menambah beban-beban pengeluaran uang rakyat untuk hal-hal yang tidak berdampak besar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat?

Memimpin adalah menderita

Berbicara Pilgub dan kepemimpinan, saya teringat kredo Agus Salim, yang berasal dari pepatah Belanda, yang sangat relevan untuk kita “teriakkan” lagi saat ini. Kredo itu: “Leiden is lijden.” (Memimpin adalah menderita). Memimpin bukan jalan pintas menuju kaya. Ketika seseorang sudah siap menjadi pemimpin berarti ia telah siap memilih jalan menderita. Menderita demi rakyat yang dipimpinnya. Kredo itu juga mengingatkan kita pada sosok Jenderal Soedirman dalam memimpin perang gerilya dari atas tandu. Dalam kondisi paru-parunya yang masih tinggal satu, ia berpesan: “Jangan biarkan rakyat menderita. Biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang menderita.
Tapi, saat ini adakah orang-orang yang siap seperti itu? Kita memang—di tengah banyaknya praktik korupsi yang melilit bangsa kita saat ini—membutuhkan pemimpin yang zuhud: yang punya kadar spiritualitas yang tinggi yang tidak lagi tergiur untuk memperkaya diri dan keluarga, dan tidak lagi silau dengan gemerlap dunia, tetapi semata-mata ikhlas lillahita’ala mengabdi untuk umat demi mencari ridho Tuhan semata. Dan memang, kita sudah jenuh dengan banyaknya figur-figur saat ini yang berambisi jadi pemimpin, tapi kualitas spiritualnya rendah.
Kita merindukan pemimpin yang zuhud seperti Umar Bin Khattab. Atau seperti Presiden Uruguay, Jose Mujica, yang menolak tinggal di istana, namun memilih hidup di ladang, menempati rumahnya sendiri di lorong tak beraspal. Ia bergaji 20 ribu dollar, tapi 90% dari uang itu ia berikan untuk sumbangan buat orang-orang yang kekurangan. Sisanya praktis senilai pendapatan rata-rata orang Uruguay.
Ya, mungkin Mujica berpendapat seperti Gandhi: bila semua orang mengembangkan kebiasaan hidup berlebihan, bumi yang hanya satu ini tak akan memadai—dan akan rusak dieksploitasi tanpa henti. Di Indonesia, kita punya Bung karno. Dalam autobiografinya, Bung Karno berkata, “Aku tidak begitu memikirkan benda-benda duniawi seperti uang. Hanya orang-orang yang tidak pernah menghirup apinya nasionalisme yang dapat melibatkan dirinya dalam soal-soal seperti itu. Kemerdekaan adalah makna hidupku. Ideologi. Idealisme. Makanan daripada jiwaku.”
Mungkin sulit mencari tokoh yang sanggup seekstrem pemimpin-pemimpin itu,  terlebih lagi di tengah kehidupan yang serba hedonis saat ini. Tapi, setidaknya kita bisa menemukan pemimpin yang, minimal tidak terlalu bernafsu mengejar kekuasaan dan kekayaan duniawi serta nikmatnya fasilitas jabatan. Memang, saat ini, ada banyak figur yang mengincar “tahta” Jambi. Tapi, pertanyaan kita: orientasi mereka apa? Siapkah mereka untuk tidak mengutamakan gaji, tunjangan, dan fasilitas mewah setelah menjabat?
Siapkah mereka menyisihkan setidak-tidaknya 2,5% saja dari gaji mereka setiap bulan untuk dizakatkan pada masyarakat miskin dan orang-orang yang tidak mampu? Adakah Gubernur Jambi kedepan siap seperti Bung Karno: tidak memikirkan uang untuk kantong pribadi, tapi semata-mata ikhlas berbuat untuk masyarakat? Beranikah mereka menggaransi bahwa setelah menjabat nanti mereka tidak akan mengumpulkan kekayaan pribadi, tapi rela “mewakafkan” harta pribadi untuk masyarakat?

Jangan terkelabui

Lyndon B. Johnson (1908-1973), Presiden AS ke-36, mengatakan, “Ekstremisme dalam mengejar kekuasaan sungguh perbuatan jahat yang tak termaafkan.” Mudah-mudahan figur-figur yang akan berkompetisi pada Pilgub Jambi 2015 ini bukanlah orang-orang yang termasuk dalam kategori “pengejar kekuasaan yang ekstrem” sebagaimana dimaksud Lyndon B. Johnson itu. Mudah-mudahan mereka siap—atau setidak-tidaknya ada ikhtiar—untuk menjadi pemimpin zuhud, tawaduk ,dan mau menderita demi rakyatnya. Itulah harapan banyak orang. Tapi, dalam berdemokrasi, masyarakat jugalah yang jadi penentu.
“Bagaimanapun jeleknya demokrasi sebagai sistem, toh lebih baik daripada yang ada. Sebab, manusia punya hak untuk bicara,” kata Pramoedya Ananta Toer. “Berbicara” yang dimaksud Pram tentu adalah juga dalam hal memilih pemimpin. Ya, itulah keunggulan demokrasi: rakyat bisa menentukan nasibnya sendiri. Namun, kita berharap masyarakat tidak hanya dijadikan alat belaka untuk meraih jabatan dan ambisi pribadi. Oleh karena itu, masyarakat semestinya tidak memilih pemimpin berdasarkan faktor like or dislike (suka atau tidak suka), tetapi harus benar-benar didasarkan pada pertimbangan rasional dan objektif.
Masyarakat Provinsi Jambi tidak boleh terkecoh dan terkelabui oleh hal-hal yang tak substansial, seperti: penampilan fisik, iming-iming materi, janji-janji manis, baliho dan poster-poster dengan wajah yang dipoles gagah yang terpampang di sana-sini, serta pernak-pernik dan tetek bengek lainnya. Karena substansi kepemimpinan bukanlah di situ. Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang zuhud dan tawaduk yang siap menderita demi rakyatnya. Karena memimpin adalah jalan menderita.

NANI EFENDI
Alumnus HMI



0 komentar:

Posting Komentar