Islamisme, Ke-Islam-an!
Sebagai fajar sehabis malam yang gelap gulita, sebagai penutup abad-abd kegelapan, maka didalam abad kesembilanbelas berkilau-kilaulah didalam dunia ke-Islam-an sinarnya dua pendekar, yang namanya tak akan hilang tertulis dalam buku riwayat Muslim; Sheikh Mohammad Abdouh, Rektor sekolah tinggi Azhar; Seyid Jamaluddin El Afghani – dua panglima Pan-Islamisme yang membangunkan dan menjungjung rakyat-rakyat Islam diseluruh benua Asia dari pada kegelapan dan kemunduran. Walaupun dalam sikapnya dua pahlawan ini ada perbedaan sedikit satu sama lain – Seyid Jamaluddin El Afghani ada lebih radikal dari Sheikh Mohammad Abdouh – maka merekalah yang membangunkan lagi kenyataan-kenyataan Islam tentang politik, terutama Seyid Jamaluddin, yang pertama-tama membangunkan rasa-perlawanan dihati sanubari rakyat-rakyat Muslim terhadap pada bahaya imperialisme Barat; merekalah terutama Seyid Jamaluddin pula, yang mula-mula mengkotbahkan suatu barisan rakyat Islam yang kokoh, guna melawan bahaya imperialisme Barat itu.
Sampai pada wafatnya dalam tahun 1896, Seyid Jamaluddin El Afghani, harimau Pan-Islamisme yang gagah-berani itu, bekerja dengan tiada berhentinya, menanam benih ke-Islam-an dimana-mana, menanam rasa-perlawanan terhadap ketamaan Barat, menanam keyakinan, bahwa untuk perlawanan itu kaum Islam harus “mengambil tekniknya kemajuan Barat, dan mempelajari rahasia-rahasianya kekuasaan Barat”. Benih-benih itu tertanam! Sebagai ombak makin lama makin hebat, sebagai gelombang yang makin lama makin tinggi dan besar, maka diseluruh dunia Muslim tentara-tentara Pan-Islamisme sama bangun dan bergerak dari Turki dan Mesir, sampai ke Maroko dan Kongo, ke Persia, Afghanistan ... membanjir ke India, terus ke Indonesia ... gelombang Pan-Islamisme melimpah kemana-mana! Begitulah rakyat Indonesia kita ini, insyaf akan tragis nasibnya, sebagian sama bernaung dibawah bendera hijau, dengan muka kearah Qiblat, mulut mengaji La haula wala kauwata illa billah dan Billahi fisabilil illah!
Mula-mula masih perlahan-lahan, dan belum begitu terang-benderanglah jalan yang harus diinjaknya, maka makin lama makin nyata dan tentulah arah-arah yang diambilnya, makin lama makin banyaklah hubungannya dengan pergerakan-pergerakan Islam dinegeri-negeri lain; makin teranglah ia menunjukkan perangainya yang internasional; makin mendalamlah pula pendiriannya atas hukum-hukum agama. Karenanya, tak heranlah kita,kalau seorang profesor Amerika,Ralston Hayden,menulis, bahwa pergerakan Sarekat Islam ini ”akan berpengaruh besar atas kejadiannya politik dikelak kemudian hari, bukan saja di Indonesia, tetapi diseluruh dunia Timur jua adanya”! Ralston Hayden dengan ini menunjukkan keyakinannya akan perangai internasional dari pergerakan Sarekat Islam itu; ia menunjukkan pula suatu penglihatan yang jernih di dalam kejadian-kejadian yang belum terjadi pada saat ia menulis itu. Bukannkah tujuannya telah terjadi? Pergerakan Islam di Indonesia telah ikut menjadi cabangnya Mu’tamar-ul ’Alamil Islami di Mekkah; pergerakan Islam Indonesia telah menceburkan diri dalam laut perjuangan Islam Asia! Makin mendalamnya pendirian atas keagamaan pergerakan Islam inilah yang menyebabkan keseganan kaum Marxis untuk merapatkan diri dengan pergerakan Islam itu; dan makin kemukannya sifat internasional itulah oleh kaum Nasionalis “kolot” dipandang ter sesat; sedang hampir semua Nasionalis, baik “kolot” maupun “muda”, baik evolusioner maupun revolusioner, sama keyakinannya bahwa agama itu tidak boleh di bawa-bawa kedalam politik adanya. Sebaliknya, kaum Islam yang “fanatik”, sama menghina politik kebangsaan dari kaum Nasionalis,menghina politik kerezekian dari kaum Marxis; mereka memandang poltik kebangsaan itu sebagai sempit, mengatakan politik kerezekiaan itu sebagai kasar. Pendek kata, sudah “sempurnr”-lah adanya perselisihan faham!
Nasionalis-nasionalis dan Marxis-marxis tadi sama menuduh pada agama Islam, yang negeri-negeri Islam itu kini begitu rusak keadaanya, begitu rendah derajatnya, hampir semua di bawah pemerintahan negeri-negeri Barat. Mereka kusut- faham! Bukan Islam, melainkan yang memeluknyalah yang salah! Sebab dipandang dari pendirian nasional dan pendirian sosialistis, maka tinggi derajat dunia Islam ada mulanya sukarlah dicari bandingnya. Rusaknya kebesaran-nasional, rusaknya sosialisme Islam bukanlah disebabkan oleh Islam sendiri; rusaknya Islam itu ialah oleh karena rusaknya budi-pekerti orang-orang yang menjalankannya. Sesudah Amir Muawiah mengutamakan azas dinastis-keduniawian untuk aturan Khalifah, sesudahnya “Khalifah-khalifah itu menjadi Raja”, maka padamlah tabiat Islam yang sebenarnya. “Amir Muawiah-lah yang harus memikul pertanggungan jawab atas rusaknya tabiat aislam yang nyata bersifat sosialistis dengan sebenar-benarnya”, begitulah Oemar Said Tjokroaminoto berkata. Dan dipandang dari pendirian nasional, tidakkah Islam telah menunjukkan contoh-contoh kebesaran yang mencengang-kan bagi siapa yang mempelajari riwayat dunia, mencengangkan bagi siapa yang mempelajari riwayat-kultur? Islam telah rusak, oleh karena yang menjalankannya rusak budi-pekertinya. Negeri-negeri Barat telah merampas negeri-negeri Islam oleh karena pada saat perampasan itu kaum Islam kurang tebal tauhidnya, dan oleh karena menurut wet evolusi dan susunan pergaulan-hidup bersama, sudah satu”historische Notwendigkeit”, satu keharusan-riwayat, yang negeri-negeri Barat itu menjalankan perampasan tadi. Tebalnya tauhid itulah yang memberi keteguhan pada bangsa Riff menentang imperialisme Spanyol dan Prancis yang bermeriam dan lengkap bersenjata!
Islam yang sejati tidaklah mengandung azas anti-nasionalis;Islam yang sejati tidaklah bertabiat anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi faham-faham Nasionalisme yang luas-budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum Islamis tidak berdiri diats Sirothol Mustaqim yang selama itu tidaklah bisa ia mengangkat Islam dari kenistaan dan kerusakan tadi! Kita sama sekali tidak mengatakan yang Islam itu setuju pada Materialisme dan perbendaan; sama sekali tidak melupakan yang Islam itu melebihi bangsa, super nasional. Kita hanya mengatakan, bahwa Islam yang sejati itu mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan kewajiban-kewajibanya yang menjadi kewajiban-kewajibannya nasionalis pula! Bukankah, sebagai yang sudah kita terangkan,Islam yang sejati mewajibkan, pada pemeluknya mencintai dan bekerja untuk negeri yang ia diami, mencintai dan bekerja untuk rakyat diantara mana ia hidup, selama negeri dan rakyat itu masuk Darul-Islam? Seyid Djamaluddin El Afghani dimana-mana telah mengkhotbahkan nasionalisma dan patriotisme, yang oleh musuhnya lantas saja disebutkan “fanatisme”; dimana-mana pendekar Pan-Islamisme ini mengkhotbahkan hormat akan diri sendiri, mengkhotbahkan rasa luhur-diri, mengkhotbahkan rasa kehormatan bangsa, yang oleh musuhnya lantas saja dinamakan “chauvinisme” adanya. Dimana-mana, terutama di Mesir, maka Seyid Djamaluddin menanam benih nasionalisme itu; Seyid Djamaluddin-lah yang menjadi “bapak nasionalisme Mesir didalam segenab bagian-bagiannya”. Dan bukan Seyid Djamaluddin sajalah yang menjadi penanam benih nasionalisme dan cinta bangsa. Arabi Pasha, Mustafa Kami, Mohammad Farid Bey, Ali Pasha, Ahmad Bey Agayeff, Mohammad Ali dan Shaukat Ali ... semuanya adalah panglimanya Islam yang mengajarkan cinta bangsa, semuanya adalah propagandis nasionalisme dimasing-masing negerinya! Hendaklah pemimpin-peminpin ini menjadi teladan bagi Islamis-islamis kita yang “fanatik” dan sempit-budi, dan yang tidak suka mengetahui akan wajibnya merapatkan diri dengan gerakan bangsanya yang nasionalistis. Hendaklah Islamis-islamis yang demikian itu ingat, bahwa pergerakannya yang anti-kafir itu, pastilah menimbulkan rasa nasionalisme, oleh karena golongan-golongan yang disebutkan kafir itu adalah kebanyakan dari lain bangsa, bukan bangsa Indonesia! Islamisme yang memusuhi pergerakan nasional yang layak bukanlah Islamisme yang sejati; Islamisme yang demikian itu adalah Islamisme yang “kolot”, Islamisme yang tak mengerti aliran zaman!
Demikian pula kita yakin, bahwa kaum Islamis itu bisalah kita rapatkan dengan kaum Marxis, walaupun pada hakikatnya dua pihak ini berbeda azas yang lebar sekali. Pedihlah hati kita, ingat akan gelap-gulitanya udara Indonesia, tatkala beberapa tahun yang lalu kita menjadi saksi atas suatu perkelahian saudara; menjadi saksi pecahnya permusuhan antara kaum Marxis dan Islamis; menjadi saksi bagaimana tentara pergerakan kita telah terbelah jadi dua bagian yang memerangi satu sama lainnya. Pertarungan inilah isinya halaman-halaman yang paling suram dari buku-riwayat kita! Pertarungan saudara inilah yang membuang sia-sia segala kekuatan pergerakan kita, yang mustinya makin lama makin kuat itu; pertarungan inilah yang mengundurkan pergerakan kita dengan puluhan tahun adanya!
Sebagai fajar sehabis malam yang gelap gulita, sebagai penutup abad-abd kegelapan, maka didalam abad kesembilanbelas berkilau-kilaulah didalam dunia ke-Islam-an sinarnya dua pendekar, yang namanya tak akan hilang tertulis dalam buku riwayat Muslim; Sheikh Mohammad Abdouh, Rektor sekolah tinggi Azhar; Seyid Jamaluddin El Afghani – dua panglima Pan-Islamisme yang membangunkan dan menjungjung rakyat-rakyat Islam diseluruh benua Asia dari pada kegelapan dan kemunduran. Walaupun dalam sikapnya dua pahlawan ini ada perbedaan sedikit satu sama lain – Seyid Jamaluddin El Afghani ada lebih radikal dari Sheikh Mohammad Abdouh – maka merekalah yang membangunkan lagi kenyataan-kenyataan Islam tentang politik, terutama Seyid Jamaluddin, yang pertama-tama membangunkan rasa-perlawanan dihati sanubari rakyat-rakyat Muslim terhadap pada bahaya imperialisme Barat; merekalah terutama Seyid Jamaluddin pula, yang mula-mula mengkotbahkan suatu barisan rakyat Islam yang kokoh, guna melawan bahaya imperialisme Barat itu.
Sampai pada wafatnya dalam tahun 1896, Seyid Jamaluddin El Afghani, harimau Pan-Islamisme yang gagah-berani itu, bekerja dengan tiada berhentinya, menanam benih ke-Islam-an dimana-mana, menanam rasa-perlawanan terhadap ketamaan Barat, menanam keyakinan, bahwa untuk perlawanan itu kaum Islam harus “mengambil tekniknya kemajuan Barat, dan mempelajari rahasia-rahasianya kekuasaan Barat”. Benih-benih itu tertanam! Sebagai ombak makin lama makin hebat, sebagai gelombang yang makin lama makin tinggi dan besar, maka diseluruh dunia Muslim tentara-tentara Pan-Islamisme sama bangun dan bergerak dari Turki dan Mesir, sampai ke Maroko dan Kongo, ke Persia, Afghanistan ... membanjir ke India, terus ke Indonesia ... gelombang Pan-Islamisme melimpah kemana-mana! Begitulah rakyat Indonesia kita ini, insyaf akan tragis nasibnya, sebagian sama bernaung dibawah bendera hijau, dengan muka kearah Qiblat, mulut mengaji La haula wala kauwata illa billah dan Billahi fisabilil illah!
Mula-mula masih perlahan-lahan, dan belum begitu terang-benderanglah jalan yang harus diinjaknya, maka makin lama makin nyata dan tentulah arah-arah yang diambilnya, makin lama makin banyaklah hubungannya dengan pergerakan-pergerakan Islam dinegeri-negeri lain; makin teranglah ia menunjukkan perangainya yang internasional; makin mendalamlah pula pendiriannya atas hukum-hukum agama. Karenanya, tak heranlah kita,kalau seorang profesor Amerika,Ralston Hayden,menulis, bahwa pergerakan Sarekat Islam ini ”akan berpengaruh besar atas kejadiannya politik dikelak kemudian hari, bukan saja di Indonesia, tetapi diseluruh dunia Timur jua adanya”! Ralston Hayden dengan ini menunjukkan keyakinannya akan perangai internasional dari pergerakan Sarekat Islam itu; ia menunjukkan pula suatu penglihatan yang jernih di dalam kejadian-kejadian yang belum terjadi pada saat ia menulis itu. Bukannkah tujuannya telah terjadi? Pergerakan Islam di Indonesia telah ikut menjadi cabangnya Mu’tamar-ul ’Alamil Islami di Mekkah; pergerakan Islam Indonesia telah menceburkan diri dalam laut perjuangan Islam Asia! Makin mendalamnya pendirian atas keagamaan pergerakan Islam inilah yang menyebabkan keseganan kaum Marxis untuk merapatkan diri dengan pergerakan Islam itu; dan makin kemukannya sifat internasional itulah oleh kaum Nasionalis “kolot” dipandang ter sesat; sedang hampir semua Nasionalis, baik “kolot” maupun “muda”, baik evolusioner maupun revolusioner, sama keyakinannya bahwa agama itu tidak boleh di bawa-bawa kedalam politik adanya. Sebaliknya, kaum Islam yang “fanatik”, sama menghina politik kebangsaan dari kaum Nasionalis,menghina politik kerezekian dari kaum Marxis; mereka memandang poltik kebangsaan itu sebagai sempit, mengatakan politik kerezekiaan itu sebagai kasar. Pendek kata, sudah “sempurnr”-lah adanya perselisihan faham!
Nasionalis-nasionalis dan Marxis-marxis tadi sama menuduh pada agama Islam, yang negeri-negeri Islam itu kini begitu rusak keadaanya, begitu rendah derajatnya, hampir semua di bawah pemerintahan negeri-negeri Barat. Mereka kusut- faham! Bukan Islam, melainkan yang memeluknyalah yang salah! Sebab dipandang dari pendirian nasional dan pendirian sosialistis, maka tinggi derajat dunia Islam ada mulanya sukarlah dicari bandingnya. Rusaknya kebesaran-nasional, rusaknya sosialisme Islam bukanlah disebabkan oleh Islam sendiri; rusaknya Islam itu ialah oleh karena rusaknya budi-pekerti orang-orang yang menjalankannya. Sesudah Amir Muawiah mengutamakan azas dinastis-keduniawian untuk aturan Khalifah, sesudahnya “Khalifah-khalifah itu menjadi Raja”, maka padamlah tabiat Islam yang sebenarnya. “Amir Muawiah-lah yang harus memikul pertanggungan jawab atas rusaknya tabiat aislam yang nyata bersifat sosialistis dengan sebenar-benarnya”, begitulah Oemar Said Tjokroaminoto berkata. Dan dipandang dari pendirian nasional, tidakkah Islam telah menunjukkan contoh-contoh kebesaran yang mencengang-kan bagi siapa yang mempelajari riwayat dunia, mencengangkan bagi siapa yang mempelajari riwayat-kultur? Islam telah rusak, oleh karena yang menjalankannya rusak budi-pekertinya. Negeri-negeri Barat telah merampas negeri-negeri Islam oleh karena pada saat perampasan itu kaum Islam kurang tebal tauhidnya, dan oleh karena menurut wet evolusi dan susunan pergaulan-hidup bersama, sudah satu”historische Notwendigkeit”, satu keharusan-riwayat, yang negeri-negeri Barat itu menjalankan perampasan tadi. Tebalnya tauhid itulah yang memberi keteguhan pada bangsa Riff menentang imperialisme Spanyol dan Prancis yang bermeriam dan lengkap bersenjata!
Islam yang sejati tidaklah mengandung azas anti-nasionalis;Islam yang sejati tidaklah bertabiat anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi faham-faham Nasionalisme yang luas-budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum Islamis tidak berdiri diats Sirothol Mustaqim yang selama itu tidaklah bisa ia mengangkat Islam dari kenistaan dan kerusakan tadi! Kita sama sekali tidak mengatakan yang Islam itu setuju pada Materialisme dan perbendaan; sama sekali tidak melupakan yang Islam itu melebihi bangsa, super nasional. Kita hanya mengatakan, bahwa Islam yang sejati itu mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan kewajiban-kewajibanya yang menjadi kewajiban-kewajibannya nasionalis pula! Bukankah, sebagai yang sudah kita terangkan,Islam yang sejati mewajibkan, pada pemeluknya mencintai dan bekerja untuk negeri yang ia diami, mencintai dan bekerja untuk rakyat diantara mana ia hidup, selama negeri dan rakyat itu masuk Darul-Islam? Seyid Djamaluddin El Afghani dimana-mana telah mengkhotbahkan nasionalisma dan patriotisme, yang oleh musuhnya lantas saja disebutkan “fanatisme”; dimana-mana pendekar Pan-Islamisme ini mengkhotbahkan hormat akan diri sendiri, mengkhotbahkan rasa luhur-diri, mengkhotbahkan rasa kehormatan bangsa, yang oleh musuhnya lantas saja dinamakan “chauvinisme” adanya. Dimana-mana, terutama di Mesir, maka Seyid Djamaluddin menanam benih nasionalisme itu; Seyid Djamaluddin-lah yang menjadi “bapak nasionalisme Mesir didalam segenab bagian-bagiannya”. Dan bukan Seyid Djamaluddin sajalah yang menjadi penanam benih nasionalisme dan cinta bangsa. Arabi Pasha, Mustafa Kami, Mohammad Farid Bey, Ali Pasha, Ahmad Bey Agayeff, Mohammad Ali dan Shaukat Ali ... semuanya adalah panglimanya Islam yang mengajarkan cinta bangsa, semuanya adalah propagandis nasionalisme dimasing-masing negerinya! Hendaklah pemimpin-peminpin ini menjadi teladan bagi Islamis-islamis kita yang “fanatik” dan sempit-budi, dan yang tidak suka mengetahui akan wajibnya merapatkan diri dengan gerakan bangsanya yang nasionalistis. Hendaklah Islamis-islamis yang demikian itu ingat, bahwa pergerakannya yang anti-kafir itu, pastilah menimbulkan rasa nasionalisme, oleh karena golongan-golongan yang disebutkan kafir itu adalah kebanyakan dari lain bangsa, bukan bangsa Indonesia! Islamisme yang memusuhi pergerakan nasional yang layak bukanlah Islamisme yang sejati; Islamisme yang demikian itu adalah Islamisme yang “kolot”, Islamisme yang tak mengerti aliran zaman!
Demikian pula kita yakin, bahwa kaum Islamis itu bisalah kita rapatkan dengan kaum Marxis, walaupun pada hakikatnya dua pihak ini berbeda azas yang lebar sekali. Pedihlah hati kita, ingat akan gelap-gulitanya udara Indonesia, tatkala beberapa tahun yang lalu kita menjadi saksi atas suatu perkelahian saudara; menjadi saksi pecahnya permusuhan antara kaum Marxis dan Islamis; menjadi saksi bagaimana tentara pergerakan kita telah terbelah jadi dua bagian yang memerangi satu sama lainnya. Pertarungan inilah isinya halaman-halaman yang paling suram dari buku-riwayat kita! Pertarungan saudara inilah yang membuang sia-sia segala kekuatan pergerakan kita, yang mustinya makin lama makin kuat itu; pertarungan inilah yang mengundurkan pergerakan kita dengan puluhan tahun adanya!
0 komentar:
Posting Komentar