“Oemar Said Tjokroaminoto berusia 33 tahun ketika aku datang di Surabaya. Pak Tjokro mengajarku tentang apa dan siapa dia, bukan tentang apa yang dia ketahui atau pun tentang akan menjadi apa aku di masa depan. Sebagai seorang tokoh yang memiliki daya cipta dan cita-cita yang tinggi, seorang pejuang yang mencintai tanah tumpah darahnya, Pak Tjokro (H.O.S. Tjokroaminoto) adalah idolaku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak, dia menggemblengku. Aku duduk dekat kakinya dan dia memberikan buku-bukunya kepadaku, dia memberikan miliknya yang berharga kepadaku. Hanya dia tidak mampu secara langsung memberikan kehangatan yang sangat kuharapkan. Karena tak ada yang mencintaiku seperti yang kuidamkan, aku mulai mundur. Kenyataan-kenyataan yang kulihat dalam duniaku yang gelap hanyalah kehampaan dan kemelaratan, sehingga aku memilih masuk ke dalam apa yang dinamakan orang Inggris: 'dunia pemikiran'. Buku-buku menjadi sahabatku. Dikelilingi oleh kesadaranku sendiri, aku memperoleh kompensasi untuk menetralkan diskriminasi dan keputusasaan yang terdapat di luar. Dalam lingkungan yang lebih kekal dan suasana kejiwaan, aku mencari kesenanganku. Dan di sanalah aku dapat hidup dan merasa sedikit bahagia.”
Seluruh waktuku habis untuk membaca. Sementara yang lain bermain-main, aku belajar. Aku mengejar ilmu pengetahuan di luar yang diberikan di sekolah. Kami mempunyai perpustakaan yang besar di kota ini yang diurus oleh Perkumpulan Teosofi. Bapakku penganut teosofi, karena itu aku memiliki jalan masuk ke peti harta karun ini, yang tidak mengenal pembatasan terhadap seorang anak miskin. Aku masuk sama sekali ke dalam dunia paling dalam ini. Di sana aku bertemu dengan orang-orang besar. Pemikiran mereka menjadi pemikiranku. Cita-cita mereka menjadi dasar pandanganku, suatu pembelajaran di alam ide.” (Cindy Adams, Otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Jakarta: Yayasan Bung Karno bekerjasama dengan PT Media Pressindo, 2007, h. 46-47)
0 komentar:
Posting Komentar