Latar Belakang Bung Karno Memakai Peci
"Sebenarnya aku masih diliputi rasa bangga, setelah aku berhasil memperkenalkan pemakaian peci, kopiah beludru hitam yang kemudian menjadi tanda pengenalku, sebagai lambang nasionalisme kami. Peristiwa itu terjadi dalam satu rapat Jong Java, sesaat sebelum aku meninggalkan Surabaya. Pada rapat sebelumnya, ada diskusi yang seru dilakukan oleh kelompok yang disebut inteligensia. Mereka membenci pemakaian blangkon, penutup kepala yang biasa dipakai orang Jawa bersama sarung, dan peci yang dipakai tukang beca dan rakyat biasa lainnya. Mereka mencemooh semua jenis penutup kepala yang biasa dipakai orang Indonesia, dan memilih tidak mengenakan apa-apa; begitulah cara mereka mengejek dengan halus kalangan masyarakat yang lebih rendah.
Mereka seharusnya belajar, bahwa seseorang tidak akan dapat memimpin massa rakyat jika tidak masuk ke dalam lingkungan mereka. Karena tidak seorang pun di kalangan kaum intelektual melakukan hal yang demikian, aku memutuskan sendiri untuk menjadikan diriku bagian dari rakyat jelata. Pada rapat berikutnya, aku bermaksud memakai peci.
Aku
merasa sedikit tegang. Perutku terasa mules. Berlindung di belakang seorang
tukang sate di jalanan yang gelap,
kuamati kedatangan kawan-kawan seperjuangan yang banyak lagak itu, yang
semuanya tidak memakai penutup kepala, karena ingin seperti orang Barat yang
berkulit putih. Aku awalnya merasa ragu-ragu. Kemudian aku berdebat dengan
diriku sendiri, "Apakah engkau seorang pengekor, atau pemimpin?Aku seorang
pemimpin," jawabku tegas. "Kalau begitu, buktikanlah," kataku
lagi pada diriku. "Majulah. Pakailah pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan
masuklah ke ruangan rapat ....
Sekarang!!!"
Begitulah
yang kulakukan. Setiap orang ternganga melihatku, tanpa bicara. Agaknya lebih
memecahkan kesunyian itu dengan berbicara, "Demi tercapainya cita-cita
kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat,
bukan berada di atas rakyat."
Mereka
masih saja menatapku. Aku lanjutkan kata-kataku, "Kita memerlukan sebuah
simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip
yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Tapi
istilahnya berasal dari penjajah kita. Dalam bahasa Belanda 'pet' bearti
kupiah, 'je' akhiran untuk menunjukkan 'kecil', dan kata itu sebenarnya
'petje'. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini
sebagai lambang Indonesia Merdeka."
Pada
saat aku melangkah keluar dari kereta api di stasiun Bandung dengan peciku yang
memberikan kesan gagah, peci itu telah menjadi lambang tingkat nasional dari
para pejuang kemerdekaan. (Bung Karno, h. 61-62)
"Berlawanan
dengan seseorang dalam bidang politik tidaklah berarti bahwa kita tidak
menghargainya secara pribadi. Aku malahan mencintai mereka yang
memusuhiku." (Bung Karno, h.88)
"Dalam
bidang politik, Bung Karno adalah seorang nasionalis. Dalam bidang keagamaan,
Bung Karno seorang yang percaya pada Tuhan. Tetapi, Bung Karno menjadi penganut
dari tiga pemikiran. Di bidang ideologi, dia sekarang seorang sosialis.
Kuulangi, bahwa aku seorang sosialis. Bukan komunis. Aku tidak akan menjadi
komunis.Aku seorang yang beraliran kiri. Orang kiri adalah mereka yang
menghendaki perubahan kekuasaan kapitalis yang ada, orde imperialistis.
Keinginan untuk menyebarkan paham keadilan sosial, adalah kiri. Dia tidak perlu
komunistis. Seseorang yang memiliki idealisme seperti itu, adalah seorang
kiri." (Bung Karno, h. 89)
"Sosialisme
kami adalah sosialisme yang tidak memasukkan konsep materialisme yang ekstrem,
karena kami adalah bangsa yang takut kepada Tuhan dan mencintai Tuhan.
Sosialisme kami adalah suatu campuran. Kami mengambil persamaan politik
dalam Declaration of Independent dari
Amerika. Kami mengambil persamaan spiritual dari Islam dan Ktisten. Kami
mengambil persamaan ilmiah dari Marx. Ke dalam campuran ini, kami tambahkan
kepribadian nasional: Marhaenisme. Kemudian, kami memercikkan ke dalamnya
gotong royong, yaitu semangat, hakekat dari bekerja bersama, hidup bersama dan
saling bantu-membantu. Kalau dicampurkan semua, maka hasilnya adalah Sosialisme
Indonesia." (Bung Karno, h. 90)
"Kami
membutuhkan persamaan hak. Kita telah mengalami ketidaksamaan sepanjang hidup
kita. Mari kita lepaskan gelar-gelar. Meski aku dilahirkan di lingkungan kelas
bangsawan, aku tidak pernah menyebut diriku Raden dan aku minta kepada kalian
tidak pernah memanggil demikian sejak saat ini dan seterusnya. Jangan ada
seorang pun yang menyebutku sebagai Tedaking Kusuma Rembesing Madu--'Keturunan Bangsawan'. Tidak! Aku
benar-benar cucu dari seorang petani. Feodalisme adalah milik masa lalu yang
sudah mati, bukan milik bangsa Indonesia di masa depan." (Bung Karno, h.
87)
"Aku
begitu terlibat dalam urusan politik sehingga tidak sempat memikirkan
bidang-bidang lain. Akibatnya, biro teknikku mengalami kemunduran sampai
akhirnya terhenti sama sekali. Aku begitu banyak memberi perhatian pada sisi
dalam diri kehidupan daripada memikirkan hal-hal yang tidak berarti.
Demikianlah, di malam terang bulan yang penuh gairah aku malahan lebih
memikirkan isme daripada memikirkan Inggit. Pada waktu anak-anak muda yang lain
asyik memadu cinta, aku meringkuk dengan DasKapital.
Aku menyelam lebih dalam dan lebih dalam lagi." (Bung Karno, h. 91)
"Bagaimanapun,
aku seorang ahli psikologi massa. Memang ada pakaianku yang lain. Tetapi, aku
lebih suka memakai uniform setiap muncul di hadapan umum, karena aku menyadari
bahwa rakyat yang sudah diinjak-injak penjajah, senang melihat Presidennya
berpakaian gagah. Seandainya sang Kepala Negara muncul dengan baju kusut dan
kumuh seperti turis dengan topi lusuh, akan terdengar keluhan kekecewaan.
Rakyat Marhaen sudah biasa melihat pakaian semacam itu di mana-mana. Seorang
pemimpin Indonesia haruslah seorang sosok yang berwibawa. Dia harus memancarkan
kekuatan. Bagi suatu bangsa yang pernah ditaklukkan bangsa lain, ini penting
sekali." (Bung Karno, h. 97)
"Seorang
pahlawan yang hanya mau menjalankan kebaikan tidak pernah kalah untuk
selama-lamanya." (Bung Karno, h. 122)
0 komentar:
Posting Komentar