alt/text gambar

Jumat, 09 Oktober 2015

Topik Pilihan:

Kata-kata Bijak Bung Karno


Latar Belakang Bung Karno Memakai Peci

"Sebenarnya aku masih diliputi rasa bangga, setelah aku berhasil memperkenalkan pemakaian peci, kopiah beludru hitam yang kemudian menjadi tanda pengenalku, sebagai lambang nasionalisme kami. Peristiwa itu terjadi dalam satu rapat Jong Java, sesaat sebelum aku meninggalkan Surabaya. Pada rapat sebelumnya, ada diskusi yang seru dilakukan oleh kelompok yang disebut inteligensia. Mereka membenci pemakaian blangkon, penutup kepala yang biasa dipakai orang Jawa bersama sarung, dan peci yang dipakai tukang beca dan rakyat biasa lainnya. Mereka mencemooh semua jenis penutup kepala yang biasa dipakai orang Indonesia, dan memilih tidak mengenakan apa-apa; begitulah cara mereka mengejek dengan halus kalangan masyarakat yang lebih rendah. 

Mereka seharusnya belajar, bahwa seseorang tidak akan dapat memimpin massa rakyat jika tidak masuk ke dalam lingkungan mereka. Karena tidak seorang pun di kalangan kaum intelektual melakukan hal yang demikian, aku memutuskan sendiri untuk menjadikan diriku bagian dari rakyat jelata. Pada rapat berikutnya, aku bermaksud memakai peci.
Aku merasa sedikit tegang. Perutku terasa mules. Berlindung di belakang seorang tukang sate di jalanan  yang gelap, kuamati kedatangan kawan-kawan seperjuangan yang banyak lagak itu, yang semuanya tidak memakai penutup kepala, karena ingin seperti orang Barat yang berkulit putih. Aku awalnya merasa ragu-ragu. Kemudian aku berdebat dengan diriku sendiri, "Apakah engkau seorang pengekor, atau pemimpin?Aku seorang pemimpin," jawabku tegas. "Kalau begitu, buktikanlah," kataku lagi pada diriku. "Majulah. Pakailah pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuklah ke ruangan rapat  .... Sekarang!!!"
Begitulah yang kulakukan. Setiap orang ternganga melihatku, tanpa bicara. Agaknya lebih memecahkan kesunyian itu dengan berbicara, "Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat."
Mereka masih saja menatapku. Aku lanjutkan kata-kataku, "Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Tapi istilahnya berasal dari penjajah kita. Dalam bahasa Belanda 'pet' bearti kupiah, 'je' akhiran untuk menunjukkan 'kecil', dan kata itu sebenarnya 'petje'. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka."
Pada saat aku melangkah keluar dari kereta api di stasiun Bandung dengan peciku yang memberikan kesan gagah, peci itu telah menjadi lambang tingkat nasional dari para pejuang kemerdekaan. (Bung Karno, h. 61-62)

"Berlawanan dengan seseorang dalam bidang politik tidaklah berarti bahwa kita tidak menghargainya secara pribadi. Aku malahan mencintai mereka yang memusuhiku." (Bung Karno, h.88)

"Dalam bidang politik, Bung Karno adalah seorang nasionalis. Dalam bidang keagamaan, Bung Karno seorang yang percaya pada Tuhan. Tetapi, Bung Karno menjadi penganut dari tiga pemikiran. Di bidang ideologi, dia sekarang seorang sosialis. Kuulangi, bahwa aku seorang sosialis. Bukan komunis. Aku tidak akan menjadi komunis.Aku seorang yang beraliran kiri. Orang kiri adalah mereka yang menghendaki perubahan kekuasaan kapitalis yang ada, orde imperialistis. Keinginan untuk menyebarkan paham keadilan sosial, adalah kiri. Dia tidak perlu komunistis. Seseorang yang memiliki idealisme seperti itu, adalah seorang kiri." (Bung Karno, h. 89)

"Sosialisme kami adalah sosialisme yang tidak memasukkan konsep materialisme yang ekstrem, karena kami adalah bangsa yang takut kepada Tuhan dan mencintai Tuhan. Sosialisme kami adalah suatu campuran. Kami mengambil persamaan politik dalam  Declaration of Independent dari Amerika. Kami mengambil persamaan spiritual dari Islam dan Ktisten. Kami mengambil persamaan ilmiah dari Marx. Ke dalam campuran ini, kami tambahkan kepribadian nasional: Marhaenisme. Kemudian, kami memercikkan ke dalamnya gotong royong, yaitu semangat, hakekat dari bekerja bersama, hidup bersama dan saling bantu-membantu. Kalau dicampurkan semua, maka hasilnya adalah Sosialisme Indonesia." (Bung Karno, h. 90)

"Kami membutuhkan persamaan hak. Kita telah mengalami ketidaksamaan sepanjang hidup kita. Mari kita lepaskan gelar-gelar. Meski aku dilahirkan di lingkungan kelas bangsawan, aku tidak pernah menyebut diriku Raden dan aku minta kepada kalian tidak pernah memanggil demikian sejak saat ini dan seterusnya. Jangan ada seorang pun yang menyebutku sebagai Tedaking Kusuma Rembesing  Madu--'Keturunan Bangsawan'. Tidak! Aku benar-benar cucu dari seorang petani. Feodalisme adalah milik masa lalu yang sudah mati, bukan milik bangsa Indonesia di masa depan." (Bung Karno, h. 87)

"Aku begitu terlibat dalam urusan politik sehingga tidak sempat memikirkan bidang-bidang lain. Akibatnya, biro teknikku mengalami kemunduran sampai akhirnya terhenti sama sekali. Aku begitu banyak memberi perhatian pada sisi dalam diri kehidupan daripada memikirkan hal-hal yang tidak berarti. Demikianlah, di malam terang bulan yang penuh gairah aku malahan lebih memikirkan isme daripada memikirkan Inggit. Pada waktu anak-anak muda yang lain asyik memadu cinta, aku meringkuk dengan DasKapital. Aku menyelam lebih dalam dan lebih dalam lagi." (Bung Karno, h. 91)

"Bagaimanapun, aku seorang ahli psikologi massa. Memang ada pakaianku yang lain. Tetapi, aku lebih suka memakai uniform setiap muncul di hadapan umum, karena aku menyadari bahwa rakyat yang sudah diinjak-injak penjajah, senang melihat Presidennya berpakaian gagah. Seandainya sang Kepala Negara muncul dengan baju kusut dan kumuh seperti turis dengan topi lusuh, akan terdengar keluhan kekecewaan. Rakyat Marhaen sudah biasa melihat pakaian semacam itu di mana-mana. Seorang pemimpin Indonesia haruslah seorang sosok yang berwibawa. Dia harus memancarkan kekuatan. Bagi suatu bangsa yang pernah ditaklukkan bangsa lain, ini penting sekali." (Bung Karno, h. 97)


"Seorang pahlawan yang hanya mau menjalankan kebaikan tidak pernah kalah untuk selama-lamanya." (Bung Karno, h. 122)

0 komentar:

Posting Komentar