Watak khas pola gerakan politik HMI ini yang terinternalisasi sejak kelahirannya ini menjadikan HMI senantiasa bersikap lebih berhati-hati dalam melakukan aktivitas organisasinya, sehingga kehati-hatian inilah yang melahirkan sikap moderat dalam aktivitas politik HMI. Lahirnya sikap moderat ini sebagai konsekuensi logis dari kebijakan HMI memposisikan dirinya harus senantiasa berada diantara berbagai kekuatan kepentingan agar HMI bisa lebih leluasa untuk melakukan respon serta kritisismenya dalam mencari alternatif dan solusi dari problematika yang terjadi disekitarnya. Namun sebagai konsekuensi logis pula bagi HMI, dengan sikap moderat dalam aktivitas politiknya ini, munculnya kecenderungan sikap akomodatif[3] dan kompromis dengan kekuatan kepentingan tertentu, dalam hal ini penguasa.
Sikap politik HMI dalam proses
kesejarahannya memperlihatkan dinamika yang cukup menarik untuk dikaji lebih
dalam, terutama kaitannya antara sikap politik HMI dengan konsisi sosial
politik yang terjadi pada masa tertentu. Sedikitnya ada dua faktor yang
mempengaruhi pola gerakan HMI, yaitu; pertama faktor internal, faktor
ini berupa corak pemikiran keIslaman-keIndonesiaan yang dipahami HMI dan kultur
gerakan HMI yang dibentuk sejak kelahirannya; kedua faktor eksternal.
HMI yang menegaskan dirinya sebagai organisasi berbasis Islam dengan ajaran
Islam sebagai landasan nilai dalam gerakannya, tentunya tidak bisa dilepaskan
dari komunitas Islam. HMI pun menegaskan dirinya sebagai anak kandung umat
Islam yang senantiasa akan berjuang bersama-sama umat dan ditengah-tengah umat
dalam memperjuangkan terciptanya masyarakat adil makmur yang
diridhai Allah SWT (baldatun toyyibatun warabbun ghafur).
Oleh karena itu, pola gerakan HMI akan banyak sekali dipengaruhi oleh
kondisi sosio-aspiratif umat Islam. Karena sosio-aspiratif ini pasti
berbeda-beda sesuai dengan perkembangan jaman, maka pola gerakan HMI dalam
konteks ini pun akan berubah sesuai dengan kondisi sosio-aspiratif umat Islam.
I.
Partisipasi Politik HMI periode 1947 – 1960
Rumusan
pemikiran politik HMI sudah ditegaskan secara jelas sejak kelahiran HMI pada 05
Februari 1947 di Yogyakarta, yaitu dalam rumusan tujuan awal berdirinya HMI.
Dalam tujuan awal pembentukan HMI disebutkan; pertama, mempertahankan
kemerdekaan negara Republlik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat
Indonesia; kedua, menegakkan dan mengembangkan ajaran Agama Islam[4].
Dari akar sejarahnya itu kelihatan bahwa HMI memainkan sekaligus dua fungsi dan
perannya, gerakan keIslaman dan gerakan keIndonesiaan, yang dimanifestasikan
dalam bentuk gerakan politik. Perjuangan penegakan ajaran Islam dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia mustahil terwujud bila HMI tidak
berpolitik. Pemaknaan yang lebih dalam terhadap tujuan HMI dikemukakan oleh
Eggi Sudjana[5] dalam
tulisannya;
Kedua anak
kalimat tersebut mengandung dua makna tentang peranan HMI sejak kehadirannya di
Indonesia. Makna strategis, yaitu bahwa Islam adalah agama dakwah yang harus
disampaikan pada seluruh umat manusia. Merujuk pada makna ini, tentu dakwah
tidak akan berjalan lancar tanpa adanya stabilitas politik serta keteraturan
wilayah. Untuk itu langkah yang amat strategis bagi realisasi dakwah islamiah
adalah melalui perjuangan pertahanan Indonesia sebagai tanah air yang merdeka
dan bebas dari penjajahan.sedangkan makna sosiologis adalah bahwa mahasiswa
muslim yang mencintai, memiliki dan memihak serta memaknai keberlangsungan
eksistensi negara Indonesia dengan spirit atau ruhul Islam, pada
gilirannya akan melahirkan peradaban masyarakat muslim yang tipikal
keIndonesiaan.[6]
Walaupun
pola gerakannya tidak bisa dipisahkan dari politik, bukan berarti HMI terlibat
secara aktif dalam politik praktis atau bahkan berafiliasi dengan partai
politik. Kesalahan memahami pola gerakan HMI ini terjadi pada masa ini (Orla),
dimana HMI dianggap anak kandung (underbow) partai Masyumi, padahal HMI
dengan independensinya tidak terikat secara formal (organisatoris) dengan
partai politik manapun. Kedekatan dengan partai politik atau ormas hanyalah
karena HMI memiliki persamaan aspirasi –keIslaman dan semangat modernis– dengan
organisasi tersebut. Inilah yang dimaknai oleh HMI sebagai independensi etis[7].
Pada
periode ini, pucuk kepemimpinan di PB HMI akan sangat menentukan arah dari
gerakan politik HMI, sebab periode ini adalah masa konsolidasi internal HMI.
Periode ini memunculkan tiga karakter pemimpin HMI yang agak berbeda dalam
memahami dan memanifestasikan rumusan pemikiran keIslaman-keIndonesiaan HMI,
menyebabkan arah gerakan HMI lebih dinamis. Tiga ketua umum HMI yang memberikan
warna khas pada gerakan politik kurun waktu ini antara lain; Dahlan
Ranuwihardjo (periode 1951–1953), Deliar Noer (periode 1953 – 1955), dan Ismail
Hasan Metareum (periode 1957–1960).
Masa kepemimpinan Dahlan[8] merupakan
masa terjalinnya hubungan harmonis antara HMI dengan kekuasaan (Sukarno). Dia
yang berasal dari lingkungan keluarga yang nasionalis, menyebabkan semangat
nasionalismenya sangat kental baik dalam kepribadiannya maupun pengaruhnya
terhadap gerakan HMI. Hal inilah yang menyebabkan HMI cenderung bisa berjalan
beriringan dengan pemerintah Orla yang nota bene didominasi kelompok
nasionalis. Namun dilain pihak, kedekatan HMI–Masyumi tetap dijaga karena
secara sosio-aspiratif memiliki kesamaan kepentingan. Sejak masa inilah, sikap
moderat HMI mulai kelihatan bentuknya, karena secara teologis / ideologis
gerakan HMI lebih dekat dengan Masyumi tapi disisi lain semangat kebangsaan HMI
menjadikannya harmonis dengan penguasa yang nasionalis. Pada masa
kepemimpinannya, dia berhasil membentuk citra dan karakteristik kepribadian
kader HMI; pertama berintegrasi dengan dan dalam kehidupan kebangsaan; kedua,
berpikir, bersikap, dan melangkah secara mandiri (independen); ketiga,
ikut memelihara ukhuwah Islamiyah[9].
Berbeda dengan masa Dahlan, masa Deliar Noer justru
semangat keIslaman yang lebih menonjol dan kental dalam gerakan organisasi HMI.
Selain karena faktor background keluarganya yang berasal dari keluarga
santri, juga pada masa kepemimpinannya dihadapkan pada persoalan keumatan yang
mengharuskan HMI terlibat secara aktif di dalamnya. Aspek sosio-aspiratif umat
menuntut gerakan HMI lebih tegas dalam bersikap, terutama kaitannya dengan
peran dan kedudukan umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan
HMI yang paling menonjol pada masa Deliar Noer ini adalah kentalnya ghirah
Islamiyah dalam seluruh dimensi aktivitas HMI. Dalam aktivitas internal HMI,
Nilai-nilai keIslaman mulai tertanam kuat dan menemukan formatnya.
Sedangkan aktivitas eksternal memperlihatkan posisi HMI yang mesra dengan
partai-partai Islam. Kemesraan ini bisa dilihat dari kebijakan PB HMI dalam
merespon kondisi sosio-politik Indonesia yang akan menghadapi pemilu
pertamanya. Menjelang pemilu 1955, PB HMI mengeluarkan pernyataan agar kader
HMI dan umat Islam menjatuhkan pilihannya pada partai-partai berbasis Islam[10].
Kebijakan politik yang diambil HMI pada peristiwa ini memperlihatkan pola
gerakan HMI masa itu yang cenderung lebih menonjolkan sifat independensi
etisnya.
Pola gerakan politik HMI pada masa kepemimpinan Ismail
Hasan Metareum (1957–1960) pun ternyata mengalami perubahan dibanding
sebelumnya. Dua faktor penyebab hal itu terjadi adalah; secara internal,
nilai-nilai keIslaman yang sudah ditanamkan sangat kuat sejak masa Deliar Noer
banyak mempengaruhi pola gerakan HMI pada masa ini. Nilai-nilai Islam
dalam kehidupan berorganisasi dan individu kader HMI sudah semakin terimplementasi
dengan baik. Sedangkan faktor eksternal adalah kondisi sosi-politik Indonesia
yang menuntut HMI untuk melakukan gerakan yang agak berbeda dengan kultur
gerakan politik sebelumnya, bahkan dianggap cukup ekstrim.
Gerakan politik yang paling menonjol pada masa ini adalah
dukungan HMI kepada partai-partai dalam memperjuangkan dasar negara yang
berdasarkan pada ajaran Islam. Menurut Agussalim Sitompul[11], hal ini
adalah merupakan bentuk respon HMI terhadap kondisi sosio-politik dan
sosio-aspiratif yang ada, dimana masa itu kekuatan dan pengaruh Partai Komunis
Indonesia (PKI) sudah sangat kuat sehingga dikhawatirkan oleh HMI akan mampu
merubah haluan negara ini jadi komunis. Untuk itu dalam kongres HMI ke-5 di
Medan tahun 1957 mengeluarkan rekomendasi yang berisi tuntutan agar Islam
dijadikan dasar negara republik Indonesia. Dasar argumentasi dari kebijakan
yang diambil HMI dalam kongresnya itu, dijelaskan Agussalim Sitompul ;
Gagasan yang menuntut agar Islam dijadikan sebagai dasar negara Republik
Indonesia perlu ditafsirkan lebih jauh. Agama Islam adalah agama universal,
agama yang mempunyai ajaran atau tuntunan tentang masalah-masalah keduniaan
maupun keakhiratan….Islam menjamin bahwa kehidupan bangsa akan lebih baik bagi
seluruh rakyat tanpa membedakan agama, suku dan derajat. Islam itu adalah rahmatan
lil ‘alamin, tanpa orang terlebih dahulu untuk masuk Islam.[12]
Selain itu, dalam kongresnya itu HMI pun mengeluarkan
keputusan bahwa komunisme bertentangan dengan Islam. Dilihat dari perspektif
politik, kondisi saat itu memungkinkan bagi HMI mengeluarkan statement
yang konfrontatif dengan PKI, karena dua alasan; pertama, dalam
sidang-sidang konstituante sejak tahun 1956, PKI sangat menentang upaya umat
Islam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara RI, disamping itu pengaruh PKI
yang sangat kuat dan dekat dengan Sukarno dikhawatirkan akan mempengaruhi
kebijakan pemerintah –khususnya dalam masalah keagamaan di Indonesia– yang
dinilai HMI bisa merugikan umat beragama yang di Indonesia, karena paham
komunisme tidak mengenal yang namanya agama; kedua, sikap HMI yang
berani berkonfrontasi dengan PKI, selain masalah teologis / ideologis, juga
masih eksisnya partai-partai Islam yang bisa melindungi eksistensi HMI saat
itu.
Secara umum kurun waktu 1947–1960 ini, menggambarkan
posisi HMI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti yang dijelaskan
Deliar Noer ;
Pertama HMI
sebagai organisasi pemuda Islam, memiliki tanggung jawab sebagai agent of
change bangsa dan negara; kedua, sebagai organisasi mahasiswa, memiliki
tanggung jawab dalam problema dunia kemahasiswaan khususnya dan perguruan
tinggi umumny; dan ketiga, sebagai pendukung dasar Islam, bertanggung jawab
terhadap operasionalisasi nilai-nilai Islam dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan
dan kenegaraan.[13]
II. Partisipasi Politik HMI
periode 1961 – 1966
Periode
ini adalah masa yang sangat menentukan bagi umat Islam –termasuk HMI di
dalamnya– dalam menentukan arah perjuangannya di masa depan, sebab pada periode
ini dinamika kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia sangat kental dengan
konflik dan friksi-friksi. Hal ini muncul sebagai akibat dari kebijakan yang
diambil penguasa (Sukarno) yang kurang aspiratif dan tidak memahami realitas
sosio-politik maupun sosio-kultural masyarakat Indonesia. Periode ini ditandai
dengan diterapkannya sistem demokrasi terpimpin yang cenderung meligitimasi
Sukarno untuk menjadi presiden seumur hidup, dan diterapkannya konsep NASAKOM
(nasionalis, agama, dan komunis) sebagai sebuah formulasi politik yang dibuat
Sukarno. Dua hal tersebut pada penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara melahirkan implikasi politik yang sangat besar dan menyeret
masyarakat ke dalam konflik horizontal. Kasus PRRI dan Permesta adalah bukti
dari implikasi negatif atas kebijakan Sukarno yang bersifat otoriter. Ekses
turunan dari peristiwa itu adalah dipaksanya Masyumi dan PSI untuk membubarkan
dirinya sebagai partai politik. Bahkan ormas seperti Gerakan Pemuda Islam (GPI)
pun terpaksa harus bubar akibat ketidaksepakatannya terhadap kebijakan Sukarno.[14]
Kondisi
tersebut kurang menguntungkan bagi organisasi berbasis Islam, karena pengaruh
dan kekuatan PKI ternyata mampu mempengaruhi arah kebijakan Sukarno. HMI yang
pada masa sebelumnya ikut terlibat dalam perjuangan ideologis untuk menjadikan
Islam sebagai dasar negara RI, gerakan politiknya pada periode ini mengalami
hambatan politis yang sangat besar. Oleh karenanya, gerakan politik HMI periode
ini cenderung lebih akomodatif terhadap kebijakan penguasa. Sikap HMI ini bisa
dilihat dari penerimaan konsep Nasakom oleh HMI.[15]
Gerakan HMI yang sudah terhegemoni oleh kekuasaan
terlihat dari beberapa aktivitasnya yang tidak lagi mampu memperlihatkan
kritisismenya terhadap persoalan kebangsaan yang ada, tidak seperti pada masa
sebelumnya. Ketika peristiwa PRRI terjadi dan banyak tokoh Masyumi yang
ditangkap dan dipenjara tanpa melewati proses peradilan, HMI malah mendukung
upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan ikut mengecam kasus PRRI.
Gerakan lain yang memperlihatkan sikap akomodatif HMI antara lain, ikut
mendukung gerakan konfrontasi Indonesia–Malaysia (dwikora) yang dikobarkan
Sukarno dan HMI pun ikut serta dalam menyuarakan slogan-slogan
revolusioner Sukarno.[16]
Pola gerakan HMI yang dijalankan pada masa demokrasi
terpimpin ini, memang sangat berbeda dengan corak gerakan periode sebelumnya.
Pola gerakan ini dilakukan HMI berdasarkan pada beberapa alasan ;[17]
1. Arus perubahan yang
sedang menggelora tidak mungkin dihadapi secara forrmal, apalagi oleh sebuah
organisasi seperti HMI.
2. HMI meskipun bukan
menjadi tujuan, dan hanya sekedar alat, eksistensinya tetap harus dipertahankan
sebagai sarana mencapai tujuan.
3. Situasi yang terjadi
saat ini berlandaskan pada sendi-sendi yang rapuh dan tidak wajar.
Merespon kondisi dan situasi bangsa Indonesia dan umat
Islam yang sedang terjadi, dalam keputusan kongresnya ke–6 di Makasar pada Juli
1960, HMI menetapkan garis kebijakan keluar yang antara lain ;
1. HMI tetap mengambil
bagian dalam perjuangan untuk kepentingan agama dan bangsa dalam bidang-bidang
yang dimungkinkan oleh azas dan tujuan HMI.
2. HMI sebagai milik
seluruh umat Islam tetap mengusahakan kerjasama serta persatuan dan kesatuan
antara segenap organ Islam dalam masyarakat Indonesia.
3. Mengusahakan hubungan
dan kerjasama yang harmonis dengan lembaga lain yang tidak bertentangan dengan
azas dan tujuannya, serta tidak merugikkan HMI.
4.
Mengusahakan agar HMI turut dalam segala bidang kehidupan dengan nafas Islam
dalam masyarakat Indonesia.[18]
Sikap akomodatif dan kompromis HMI
periode awal demokrasi terpimpin ternyata tetap tidak menguntungkan HMI. Sebab
ternyata PKI dengan kekuatan CGMI-nya[19] terus
berupaya memperlemah gerakan HMI, bahkan tujuan akhirnya adalah pembubaran HMI
oleh pemerintah, seperti yang dilakukan terhadap GPII. Akibat dari gesekan yang
sangat keras antara HMI dengan CGMI / PKI menimbulkan simpati dikalangan
organisasi Islam[20] lainnya,
sehingga mereka tampil ke depan membela HMI agar tidak dibubarkan pemerintah.
HMI dan ormas Islam lainnya bergerak bersama melakukan perlawanan terhadap
dominasi PKI, yang pada prosesnya melahirkan satu ikatan ukhuwah Islamiyah
yang sangat erat antar elemen gerakan Islam. Adanya musuh bersama (PKI)
menyebabkan tidak hanya golongan Islam yang bersatu padu melawan PKI, tetapi
juga memunculkan semangat gerakan baru yang lebih luas yang melewati
sekat-sekat primordialisme. Gerakan ini pada akhirnya nanti berubah jadi
kekuatan besar yang berhasil menumbangkan Orla.
Pada akhir periode ini, sikap
kritisisme HMI kembali tampil dalam merespon kondisi sosio-politik
Indonesia yang dinilai HMI sudah mengarah pada proses kehancuran nation
state. Kasus G 30/S PKI merupakan awal dari perlawanan nyata rakyat
terhadap kekuasaan, sekaligus akhir dari kejayaan Orla. Kasus ini menjadi triger
dalam melakukan gerakan perlawanan terhadap Orla yang dinilai telah gagal
membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Gerakan HMI pada tahun
1965-an menjadi pelopor perlawanan terhadap rezim Orla sekaligus tuntutan
pembubabaran PKI. Gerakan HMI yang vis a vis dengan pemerintah merupakan
akumulasi kekecewaan HMI terhadap pemerintah yang dianggap terlalu
memihak pada satu kelompok kepentingan. Tampilnya HMI sebagai pressure group
pada tahun 1966 lewat organ KAMI-nya, memperlihatkan bahwa peranan HMI dalam
aspek kebangsaannya senantiasa mewarnai setiap langkah aktivitasnya.
III. Partisipasi Politik HMI periode 1967 –
1986
Fenomena yang cukup menarik mengenai
gerakan politik HMI pada periode ini adalah sikap dan pandangan politiknya
mengenai pelaksanaan pemilu dan pemilihan presiden yang terjadi pada masa orde
baru, yaitu pada tahun 1971, 1977, dan 1982. Pemilu tahun 1971 merupakan pemilu
pertama yang dilangsungkan pada masa orde baru, karenanya HMI memandang bahwa
pemilu –bagaimanapun kondisinya– harus tetap dilaksanakan, karena selama hampir
16 tahun Indonesia tidak pernah melaksanakan pemilu. Dipandang dari segi
pembangunan demokrasi di Indonesia, pelaksanaan pemilu merupakan usaha positif
bagi pendidikan politik kepada rakyat yang diharapkan memunculkan sikap dan
semangat untuk ikut memikul tanggung jawab kenegaraan secara bersama antara
pemerintah dan rakyat.[21]
Sejalan dengan pandangan politiknya
itu, HMI dengan penuh kesadaran dan pertimbangan mendukung usaha pemerintah
orde baru untuk melaksanakan pemilu tahun 1971, meskipun HMI menilai bahwa RUU
pemilu yang sedang digodok oleh DPR GR cenderung tidak demokratis. Menyikapi
pro kontra terhadap pelaksanaan pemilu, HMI memandang;
… Ditinjau dari segi pembinaan demokrasi di Indonesia, pelaksanaan pemilu
merupakan usaha positif bagi pendidikan politik kepada rakyat untuk ikut
memikul tanggung jawab kenegaraan. Pemilu merupakan salah satu cara terbaik
untuk mewujudkan dan melaksanakan kedaulatan rakyat….Menunda pemilu sampai pada
waktu tertentu bukan merupakan solusi yang tepat. Tidak ada garansi yang dapat
dipercaya bahwa dengan menunda pemilu, stabilitas politik akan tercapai dan
terjamin dengan sendirinya. Selain itu, pemilu adalah sarana pembangunan bangsa
(nation state) yaitu pembangunan jiwa demokratis.[22]
Sebagai realisasi dari pandangannya
itu, HMI menganjurkan segenap warga HMI untuk menggunakan hak pilihnya pada
pemilu 1971, betapapun tidak demokratisnya UU pemilu. Bahkan dalam Sidang Pleno
IV HMI, 22-24 Mei 1970 di Jakarta, dibahas secara khusus sikap HMI menghadapi
pemilu 1971. Keputusan yang dihasilkan dalam sidang itu antara lain, pertama,
memutuskan bahwa HMI sebagai organisasi independen tidak terikat dan tidak
berafiliasi pada satu partai politik manapun; kedua, HMI menganjurkan kepada
anggotanya untuk menggunakan hak pilihnya sesuai dengan aspirasi sendiri.[23]
Ada dua aspek penting pada peristiwa pemilu 1971 ini; pertama adanya
sikap kompromis HMI terhadap kondisi yang ada. HMI sudah mengetahui bahwa UU
pemilu kemungkinan besar tidak demokratis, tetapi tetap menginstruksikan agar
anggotanya menggunakan hak pilihnya; kedua, adanya sikap moderat.
Berbeda dengan pemilu tahun 1955 dimana HMI menginstruksikan untuk memilih
partai-partai Islam[24], pada pemilu
1971 kader HMI diberikan kebebasan untuk memilih sesuai dengan aspirasinya
masing-masing.
Dalam kongres HMI ke–X tahun 1971 di
Palembang, HMI mengeluarkan beberapa rekomendasi bidang politik sebagai bentuk
respon HMI terhadap kondisi sosi-politik yang sedang berlangsung ditengah
kehidupan berbangsa dan bernegara. Rekomendasi itu memiliki dua substansi
pemikiran; Pertama, menurut pandangan HMI, pada pemilu 1971 political
enthusiasm pemerintah dan rakyat Indonesia mengalami kecenderungan menurun,
sehingga menimbulkan kesan sementara pihak bahwa “politik, no – pembangunan,
yes”. HMI memandang bahwa antara aspek pembangunan politik dan pembangunan
ekonomi di Indonesia haruslah balance, sebab keberhasilan pembangunan
baru bisa terwujud dan dinikmati bersama bila terciptanya pemerintahan yang
jujur dan bersih; kedua, HMI mendesak dilakukannya pembaharuan
sistem dan struktur politik di Indonesia. Point-point penting yang
disoroti dalam pembaharuan struktur politik yang dimaksud HMI antara lain;
1. Menyederhanakan struktur
parpol, dengan tujuan memfungsikan kembali parpol secara wajar. Menurut HMI hal
itu harus dilakukan dengan dua tahap yaitu penyederhanaan fraksi-fraksi di DPR
terlebih dahulu, kemudian penyederhanaan parpol itu sendiri.
2. Meletakkan kembali
fungsi dan status golongan karya (golkar) pada proporsinya. Fungsi dan status
golkar harus diperjelas. Golkar disatu pihak berfungsi sebagai parpol, dilain
pihak tidak menyatakan dirinya sebagai “golongan karya”. HMI memandang, golkar
bertindak sebagai “partai pemerintah” sehingga golkar akan mudah menjadi sumber
permainan politik dalam kancah berbagai macam intrik politik yang bisa saling
berebut pengaruh di dalamnya. Oleh karena itu, HMI mengingatkan ;
a. Agar golkar
diproporsionalkan kembali menjadi golongan karya murni.
b. Golkar harus bisa
melepaskan kaitannya dengan pemerintah dan ABRI.
c. Golkar diposisikan
sama sebagai suatu parpol yang punya fungsi dan peran setaraf dengan
partai-partai politik lainnya.
3. Pemerintah harus bisa
melakukan pembinaan terhadap floating mass. Hal ini bisa dengan jelas
dan tegas dilakukan apabila fungsi dan status golkar jelas dan proporsional.[25]
Menghadapi pemilu kedua tahun 1977, pola gerakan politik
HMI kembali menunjukan sikap moderatnya yang cenderung akomodatif dan kompromis
terhadap realitas sosi-politik yang terjadi. Partisipasi politik HMI tidak jauh
berbeda dengan tahun 1971 dalam menyikapi pemilu 1977. Mengambil pelajaran dari
pesta demokrasi 1971, dan memperhatikan perkembangan realitas sosial politik
masyarakat Indonesia dalam kehidupan kebangsaan, serta jalannya roda
pemerintahan selama kurun waktu 1971-1977, maka HMI menelorkan beberapa
pemikirannya sebagai bentuk partisipasi politik HMI dalam merespon dan menghadapi
pemilu 1977, yang dibahas secara khusus dalam Sidang Pleno I HMI di Ciloto,
27-29 Mei 1977. Bentuk-bentuk pemikiran politik HMI ini antara lain
1. HMI mengharapkan agar kemenangan
pemilu 1977 merupakan kemenangan kualitatif, yakni tegaknya iklim demokrasi
yang sehat disertai perbaikan kehidupan rakyat secara berkesinambungan, sesuai
dengan semangat UUD’45 dan Pancasila. Oleh karenanya, HMI berharap agar pemilu
dilaksanakan dan berjalan secara jujur, bersih, bebas dan rahasia, dan
menjauhkan rakyat dari perasaan ragu dan takut.
2. Mengenai kampannye pemilu, HMI
memandang bahwa kampanye seharusnya bermakna agar masyarakat dengan kesadaran
masing-masing dapat menentukan “hak azasi politiknya”, dalam bentuk pilihan
bebas dan rahasia.
3. HMI menyerukan kepada seluruh
aparatur pemerintah agar bersikap netral, objektif dan adil, dalam menangani
jalannya kampanye dan pemilu. Rakyat akan merasa cemas dan merasa tidak
mendapat perlindungan hukum dan keamanan dari aparatur pemerintah, bila tidak
berikap netral. Objektif, dan adil.
4. HMI meminta kepada pemerintah untuk
memberikan jaminan kebebasan dalam memilih sesuai dengan hak asasi politiknya
dan memberikan perlindungan hukum kepada rakyat.[26]
Sikap HMI dalam partisipasi politiknya
memperlihatkan kecenderungan melemahnya posisi HMI sebagai pressure group.
Kemenangan golkar dalam dua kali pemilu adalah kemenangan orde baru, dimana
kekuatan dan kekuasaan orde baru semakin kuat karena seluruh posisi strategis
dalam ketatanegaraan dipegang oleh orang-orang golkar / orde baru. Posisi HMI
dalam realitas politik seperti itu, memaksa HMI untuk bersikap lebih hati-hati,
dimana kehati-hatian ini menimbulkan sikap moderat dalam gerakan politiknya.
Kenyataan pola gerakan HMI seperti ini bisa dilihat dari berbagai kasus yang
terjadi selama periode 1973–1982.
Dalam wilayah gerakan mahasiswa,
periode 1967–1986 tidak memperlihatkan gerakan yang significant yang
mampu mempengaruhi arah dan kebijakan pemerintah orde baru. Satu-satunya
gerakan mahasiswa yang fenomenal dan menjadi opini publik adalah gerakan
mahasiswa yang melahirkan peristiwa Malari tahun 1974. Kasus malari
memperlihatkan semakin lemahnya kekuatan organisasi kemahasiswaan ekstra
universiter. Gerakan mahasiswa pada tahun 1974, murni lahir dari gerakan
internal kampus. Disini dapat kita lihat bahwa keterlibatan organisasi ekstra
universitas sangat kecil dalam kasus tersebut, organisasi seperti HMI, PMII,
IMM, GMNNI, GMKI, dan PMKRI, tidak memperlihatkan secara jelas posisinya dalam
kasus tersebut. Semua organisasi itu terkesan mau cari selamat dengan cara
memberikan dukungan kepada pemerintah agar menyelesaikan persoalan Malari dengan
sampai tuntas. Penangkapan terhadap sejumlah aktivis mahasiswa baik di Bandung
maupun di Jakarta direspon dengan dingin oleh organisasi ekstra universiter
ini. Keterlibatan ABRI dalam menyelesaikan kasus ini –dengan cara refresifnya–
membuat organisasi ekstra ini mengambil jalan selamat, agar tidak dituduh
sebagai anti pembangunan dan melakukan tindakan subversif, yang bisa berujung
pada pelarangan dan pembubaran organisasi. Sikap ambivalen terhadap
kasus ini diperlihatkan oleh HMI, dimana disatu sisi HMI turut mengecam dan
mengutuk gerakan ini yang dianggap tidak muni gerakan mahasiswa tetapi
ditunggangi kelompok kepentingan tertentu dan bertindak anarkhis dalam aksi
demonstrasinnya, disisi yang lain HMI pun mengkritik pemerintah yang dianggap
kurang bijak dalam menangani gerakan mahasiswa, sehingga dinilai anti kritik
dan tidak mau di koreksi.[27]
Menyadari semakin lemahnya fungsi kontrol organisasi
kemahasiswaan ekstra universitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka
beberapa organisasi mahasiswa ekstra universitas ini semakin rutin melakukan
kajian-kajian mengenai kondisi kekinian dari realitas sosial politik Indonesia.
Kajian-kajian ini dilakukan baik internal maupun lintas organisasi. HMI sebagai
bagian dari organisasi ekstra universitas terlibat secara aktif dalam aktivitas
ini. Kerjasama HMI dengan organisasi kemahasiswaan yang lain secara intensif
dalam berbagai kajian dan diskusi akhirnya melahirkan suatu kesepakatan untuk
membentuk suatu forum komunikasi yang lebih jelas bentuknya. Maka pada tanggal
22 Januari 1972 berdirilah kelompok Cipayung yang berisikan HMI, GMNI, PMKRI,
GMNI, dan PMII.
Kelompok Cipayung berdiri dilatarbelakangi oleh beberapa
hal, yaitu; pertama, kesadaran akan lemahnya posisi mereka dihadapan
kekuasaan sehingga mereka sulit untuk melakukan fungsi kontrol sebagai bentuk
partisipasi politik mereka sebagai bagian dari warga negara. Kesadaran ini
membuat mereka berupaya membentuk aliansi strategis untuk bisa menaikkan bergaining
dihadapan kekuasaan; kedua, dalam memberikan respon terhadap isu-isu
kebangsaan dan kemasyarakatan tentunya tidak bisa dilakukan dengan cara-cara
yang emosional dan reaktif, melainkan harus dihadapi dengan cara yang lebih
rasional, konseptual, dan solutif. Oleh karena itu, format gerakan kelompok
Cipayung lebih ditekankan pada kajian dan diskusi. Hal ini sesuai dengan basis
gerakannya yaitu lingkungan (kampus); ketiga, adanya usaha sistematis
dari pemerintah untuk melemahkan gerakan mahasiswa sebagai kelompok penekan.
Strategi korporatisme negara adalah salah satu bentuk nyata dari pemerintah
dalam melemahkan gerakan mahasiswa, selain juga dibuatnya lembaga yang menaungi
kepemudaan dan kemahasiswaan secara nasional dalam Komite Nasional Pemuda
Indonesia (KNPI).[28]
Peranan HMI dalam pembentukan kelompok Cipayung sangatlah
besar, sebab HMI merupakan bidan dari kelahiran kelompok Cipayung ini. Kerjasama
organisasi yang diharapkan HMI dalam kelompok Cipayung bisa dijadikan wahana
bagi HMI dalam melakukan partisipasi politiknya dan juga sebagai alat
yang bisa memberikan kontribusi positif bagi gerakan mahasiswa selanjutnya.
Peran aktif HMI dalam pembentukan dan aktivitas kelompok Cipayung merupakan
salah satu strategi perjuangan HMI dalam partisipasi politik periode ini. HMI
dan kelompok Cipayung seringkali melakukan gerakan yang berhadap-hadapan dengan
pemerintah, salah satunya adalah melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah
membuat TMII. Akibat dari sikap kritis kelompok Cipayung ini, maka pergerakan
mahasiswa semakin diawasi secara lebih ketat oleh pemerintah. Kebijakan yang
diambil untuk itu adalah diterapkannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus dan
Badan Koordinasi Kehidupan Kampus (NKK/BKK) di perguruan tinggi, dimana
kebijakan ini sangat merugikan gerakan mahasiswa karena tidak bebas lagi untuk
menyalurkan kreativitasnya.dan aspirasinya.[29]
Corak pemikiran HMI yang pluralis dan rasional, sebagai
turunan dari pemikiran pembaharuan keagamaan, membawa dampak pada perubahan
pola gerakan HMI yang semakin jelas dalam memandang hubungan antara keIslaman
dan keIndonesiaan. Gerakan HMI tidak lagi terpaku pada hal-hal yang
bersifat simbolistik dan formal dalam memandang strategi perjuangan keIslaman,
tetapi HMI lebih mengutamakan nilai-nilai substantif dalam pola gerakannya pada
periode ini. Tetapi dikalangan umat sendiri HMI cenderung dianggap tidak mampu
bersikap kritis terhadap kebiijakan orde baru yang nota bene dianggap banyak
merugikan kepentingan umat Islam. Bahkan Hasanudin Saleh[30] dalam
tulisannya mendeskripsikan pola gerakan HMI periode ini;
… Dalam
perjalanan sejarahnya –sampai tahun 1970-an– HMI selalu mengambil sikap
moderat, bahkan cenderung akomodasionis, ketika berhadapan dengan kebijaksanaan
pemerintah, terutama yang tampak represif.
Namun sejak terlibatnya HMI dalam melahirkan kelompok
Cipayung serta berperan aktif di dalamnya untuk melakukan kritik dan korektif
terhadap arah dan kebijakan orde baru, HMI mulai memperlihatkan kritisismenya
kembali. Gerakan HMI yang kritis menyebabkan HMI kelihatan vis a vis
dengan pemerintah dalam masalah-masalah tertentu. Sikap moderat dan akomodatif
HMI justru lebih menonjol pada periode ini, dimana realitas sosio-politik yang
kurang menguntungkan bagi gerakan HMI, membuat HMI melakukan pola gerakan yang
seperti itu.
IV. Partisipasi
Politik HMI periode 1986 – 1999
Periode ini ditandai dengan terjadinya perubahan azas
dalam tubuh HMI sebagai akibat dari dikeluarkannya UU Keormasan No.8 tahun 1985
tentang organisasi kemasyarakatan.[31] Peristiwa
ini membawa pengaruh yang cukup besar bagi masa depan HMI, karena perubahan
azas tidak hanya secara simbolik dalam konstitusi HMI saja, melainkan
berpengaruh dalam berbagai pedoman dan tentunya aktivitas HMI selanjutnya.
Pembahasan pada sub-bab ini lebih menitikberatkan pada pengaruh pemberlakuan
azas Pancasila dalam tubuh HMI terhadap pola gerakan dan partisipasi politik
HMI, baik secara internal maupun eksternal organisasi.
Banyaknya anggapan dari pihak luar bahwa kultur
organisasi dan gerakan HMI berubah sejak diterimanya Pancasila sebagai azas
organisasinya, terutama dalam partisipasi politik HMI dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, merupakan sesuatu yang wajar. Anggapan ini bisa diterima karena
memang sekecil apapun perubahan yang terjadi dalam suatu organisasi akan
menimbulkan dampak pada organisasi, namun apakah perubahan itu significant
atau tidak tergantung ukuran-ukuran yang digunakan dan indikator dari perubahan
itu sendiri. Dalam pembahasan mengenai partisipasi politik HMI periode ini,
parameter yang digunakan untuk melihat apakah perubahan itu ada atau tidak, dan
seberapa besar pengaruhnya, dilihat dari pola pikir dan pola sikap HMI dalam
partisipasi politiknya, dengan menggunakan studi komparatif dengan periode
sebelum penggunaan azas tunggal Pancasila oleh HMI.
Periode awal penerapan Pancasila sebagai azas HMI (1986 –
1990) merupakan masa konsolidasi internal organisasi HMI sebagai ekses dari
terjadinya konflik internal dalam tubuh HMI yang disebabkan atas perbedaan
pandangan dan sikap terhadap kebijakan pemerintah orde baru. Kondisi HMI yang
disibukkan dengan urusan domestiknya membuat seluruh konsentrasi dan tenaganya
dicurahkan untuk melakukan konsolidasi internal organisasi. Munculnya dualisme
HMI[32] pada tahun
1986 merupakan kondisi objektif yang harus dihadapi HMI secara rasional dan
proporsional. Namun bagaimanapun juga pada kurun waktu ini kondisi HMI yang
sedang rapuh akibat konflik internal ini, membuat responsibilitas HMI pada
masalah-masalah kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan terabaikan. Oleh
karenanya, HMI pada kurun waktu ini, praktis tidak melakukan perannya secara
eksternal.
Pada akhir tahun 80-an, HMI secara internal sudah sedikit
mapan dan konsentrasi kader HMI tidak terfokus lagi pada konflik internal.
Selama empat tahun melakukan konsolidasi internal dan berupaya mencari solusi
atas konflik yang terjadi, akhirnya dengan kesadaran dan kebesaran jiwa,
perpecahan dalam tubuh HMI dianggap sebagai realitas sejarah yang harus
dimaknai dengan penuh kesadaran dan kebesaran jiwa. Ketika muncul sikap semacam
itu disebagian besar kader HMI, membuat HMI bisa menerima kenyataan itu,
walaupun bagi HMI itu pil pahit yang nilai pengorbanannya sulit diukur. HMI
memandang bahwa realitas sejarah itu tidak boleh membuat HMI jadi kehilangan
peran dan fungsinya ditengah kehidupan umat dan bangsa. Maka sejak tahun 1990,
pada kongresnya yang ke 18 di Jakarta, HMI mengajak seluruh kadernya untuk
melakukan kiprahnya / perannya kembali ditengah-tengah masyarakat. Hal ini
ditegaskan pula oleh Fery Mursyidan Baldan (ketua umum PB HMI periode
1990-1992) dalam dies ride-nya[33] ;
….Dengan
berasumsi bahwa setiap zaman memiliki tantangannya sendiri, maka tantangan pada
kita adalah bagaimana menghadirkan HMI dalam kehidupan saat dalam kerangka
manfaatnya. Sehingga untuk melakukan suatu karya, prestasi, dan pengembangan
yang dihasilkan, bukan berangkat dari adanya beban sejarah. Karena karya,
prestasi dan pengembangan adalah suatu yang jadi obsesi kaum muda baik terhadap
diri sendiri, maupun terhadap pekerjaan yang jadi tanggung jawabnya….sebagai
titik berangkat (depature point) maka tiada gerak dan kerja yang tidak
memiliki dimensi Ilahiyah, karena tanpa itu hanyalah merupakan sesuatu
perjalanan tanpa tujuan. Sehingga bagi HMI, kerja-kerja dimuka bumi merupakan
suatu rangkaian ibadah kepada Allah SWT. Sekaligus suatu simbol dari
penghambaan diri dan pengakuan terhadap ke-Maha Kuasa-an Allah SWT. Karenanya
kata terakhir dari rumusan tujuan HMI adalah “…yang diridhai Allah SWT”.[34]
Sejak tahun 1990, peran eksternal organisasi kembali
menguat. Hal ini bisa dilihat dari kongres ke 18 di Jakarta, yang
memperlihatkan responsibiltas HMI mengenai berbagai kondisi kebangsaan dan
kenegaraan di Indonesia. Salah satu respon HMI bidang politik adalah penyikapan
HMI terhadap fungsi DPR/MPR yang dianggap HMI mandul dan hanya jadi stempelnya
eksekutif. Menurut HMI, Kekuatan yudikatif dan legislatif yang semestinya
sejajar dengan eksekutif dalam sistem pemerintah demokrasi, di Indonesia
penerapannya malah timpang. Eksekutif menjadi struktur yang paling menentukan
dalam proses perjalanan bangsa ini. Dalam rekomendasi bidang politik pada
kongres ke 18 disebutkan ;
Dalam realitas
kehidupan bidang politik, lembaga-lembaga perwakilan tersebut belum berfungsi
belum optimal. Hal ini disebabkan karena terdapat kendala struktural dan
kultural. Secara struktur, sistem politik kita memberikan peluang yang besar
terhadap dominannya peran eksekutif (pemerintah). Dan kultur politik yang berkembang
kondusif terhadap hal di atas. Dominannya budaya paternalisme yang berkembang
dalam masyarakat, mengakibatkan terbentuknya sistem politik yang patrimonial,
sehingga hal ini semakin memperrkuat posisi eksekutif (pemerintah).[35]
Kritik HMI terhadap kondisi di atas menyiratkan bahwa
realitas politik Indonesia era 90-an memperlihatkan semakin kuatnya hegemoni
kekuasaan terhadap seluruh elemen bangsa, termasuk lembaga yudikatif dan legislatif.
Ironis memang, anggota dewan yang pada hakikatnya dipilih rakyat dan harus
membawa aspirasi rakyat, ternyata tunduk dan patuh terhadap kebijakan penguasa
(eksekutif), mereka hanya menjadi stempel kekuasaan. Untuk mengantisipasi
kultur politik semacam itu, maka HMI menyarankan agar dilakukan penataan ulang
terhadap sistem politik yang ada. Rekomendasi Kongres HMI ke 18 memberikan
solusi alternatifnya ;
Untuk itu, maka
perlu dilakukan penataan sistem politik yang memberikan peluang terhadap berperannya
lembaga-lembaga perwakilan. Kemudian diikuti dengan peningkatan kualitas
anggota perwakilan tersebut. Hal ini bidang dilakukan melalui perumusan
peraturan perundang-undangan mengenai fungsi pengawasan DPR dan DPRD, dan
berfungsinya hak-hak DPR dan DPRD lainnya. Sehingga dengan demikian terdapat
imbangan (balance) terhadap peran-peran pemerintah (eksekutif).[36]
Mengenai sistem pemerintah yang
menerapkan kebijakan sentralisasi, HMI memandang bahwa sentralisasi seringkali
menyebabkan pemerintah kurang peka terhadap persoalan daerah, yang nantinya
bisa mengakibatkan terjadinya ketimpangan dan mismanagement dalam
mengelola SDA dan SDM di daerah. Kritik HMI itu didasarkan atas realitas yang
terjadi, dimana hubungan pusat-daerah bukan bersifat partnership.
Mengenai hal ini HMI berpendapat ;
Untuk
mempercepat proses demokratisasi, satu hal yang penting untuk diperhatikan
adalah desentralisasi. Adanya desentralisasi akan mendekatkan pengambilan
keputusan dengan masyarakat, sehingga masyarakat lebih banyak terlibat dan
mengetahui persoalan-persoalan pembangunan. Disamping itu, desentralisasi akan
memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daaerah untuk mengelola dan
mengembankan daerah sendiri (otonomi daerah) sesuai dengan kemampuan dan
potensi yang dimiliki.[37]
Pada tahun 90-an bagi umat Islam
Indonesia merupakan masa terjalinnya kemesraan[38] antara Islam
dengan negara, antara umat Islam dengan penguasa. Hal ini ditandai dengan
lahirnya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada bulan Desember 1990,
sebagai organisasi yang dianggap mampu menjadi kendaraan umat Islam untuk bisa
berperan secara lebih aktif dalam kehidupan kebangsaan, selain itu ICMI
dianggap bisa jadi corong umat Islam untuk mengartikulasikan harapan dan
aspirasi umat Islam, kaitannya dengan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. ICMI
bagi HMI dianggap partner yang seimbang untuk memanifestasikan
tujuannya, karena ICMI pada hakikatnya merupakan organisasi yang punya
background sama dengan HMI yaitu dari kelompok Islam modernis, secara pemikiran
pun HMI – ICMI memiliki kesamaan terutama mengenai pemikiran
keIslaman-keIndonesiaannya. Hal ini tidaklah aneh sebab mayoritas anggota /
pengurus ICMI ini adalah alumnus HMI.
ICMI yang diarsiteki oleh BJ. Habibie,
dianggap sebagai organisasi bentukan Suharto untuk memperpanjang tangan
kekuasaanya pada komunitas muslim Indonesia, yang mana pada periode sebelumnya
hubungan umat Islam dengan kekuasaan tidak begitu mesra malah cenderung saling
curiga. Menurut HMI, anggapan-anggapan tersebut tidak mendasar dan cenderung
emosional. Bagi HMI, kehadiran ICMI ditengah-tengah umat Islam Indonesia
merupakan suatu kebutuhan, karena sudah saatnyalah umat Islam Indonesia mulai
mengartikulasikan cita-cita perjuangannya ke dalam aktivitas-aktivitas yang
lebih konstruktif dan proaktif, terutama hubungannya dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.[39]
Menyikapi pemilu tahun 1992, sikap
politik HMI tidak jauh berbeda dengan sikap politiknya dalam menghadapi pemilu
1971 dan 1977. yang menarik adalah penyikapan HMI atas jalannya sidang umum MPR
1993, dimana HMI memandang bahwa SU MPR kali ini dianggap lebih demokratis
dibanding sebelumnya. Dalam Laporan pertanggungjawaban ketua umum HMI pada
kongres HMI ke 20, Januari 1995 di Surabaya disebutkan ;
…Yang menarik
pada sidang umum tersebut adalah berkenaan dengan proses penyusunan dan
pembahasan GBHN yang berjalan lebih demokratis dan melibatkan semua fraksi.
Sehingga hasilnya pun banyak mengalami kemajuan dan hal-hal baru, seperti
dicantumkannya asas keimanan dan ketakwaan, komitmen terhadap rakyat kecil yang
semakin jelas.[40]
Sikap politik yang cukup melawan arus pada periode ini
adalah keputusan kongres HMI ke 20 di Surabaya, dimana dalam kongres tersebut
HMI meminta kepada pemerintah dan DPR agar kembali meninjau ulang lima (5)
paket undang-undang politik karena dianggap sudah tidak relevan dengan
perkembangan jaman, sehingga harus direvisi agar adaptif dengan perkembangan
jaman. Dalam kongres tersebut HMI merekomendasikan;
1. Dalam rangka pembaharuan
politik di tanah air, sekaligus sebagai upaya kembali lagi kepada semangat
Pancasila dan UUD’45, maka sudah saatnya pemerintah bersama-sama DPR meninjau
kembali secara mendasar terhadap lima (5) paket undang-undang politik, yaitu ;
a. UU No.1 / 1985 tentang Pemilu,
Anggota-Anggota Badan Perwakilan rakyat.
b. UU No.2 / 1985 tentang Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
c. UU No.3 / 1985 tentang Parpol
dan Golkar
d. UU No.5 / 1985 tentang
Referendum.
e. UU No.8 / 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan.
2. Kebijaksanaan masa
mengambang yang telah lama diterapkan pemerintah orde baru, dan telah
menghasilkan apa yang disebut depolitisasi rakyat, harus segera
dihentikan. Karena kebijakan tersebut disamping tidak sejalan dengan
nilai-nilai demokrasi Pancasila, juga tidak relevan dengan semakin meningkatnya
daya kritis masyarakat.
3. Terjaminnya kebebasan
untuk mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat, berkumpul,
dan beragama. Kebebasan berbicara atau kebebasan mengeluarkan pendapat harus ada
dalam suatu sistem politik demokratis.
4. dikembangkannya
tatakrama politik yang mendukung bagi terciptanya pemerintah yang bersih dan
berwibawa, yaitu ;
a. Bila seorang pejabat dalam
menjalankan tugasnya tidak sesuai dan bertentangan dengan amanat rakyat,
sehingga mengotori jabatannya itu, hendaknya pejabat tersebut meletakkan
jabatannya, tanpa harus diminta.
b. Dilakukan inventarisasi harta
kekayaan seorang pejabat dalam mekanisme konstitusional, baik sebelum maupun
sesudah orang tersebut memeggang jabatan.[41]
Pada kongresnya ke 21, 20-26 Agustus 1997 di Yogyakarta,
kembali HMI mengeluarkan sikap politiknya yang cenderung melawan arus. Sikap
politik HMI ini lahir sebagai respon HMI terhadap kondisi sosio-politik yang
dinilai HMI mengalami perubahan, dimana masyarakat sudah mulai jenuh dengan
kondisi yang ada. Adapun sikap politik HMI itu diantaranya;
1. Perlunya dirumuskan
kembali konsep ideologi Pancasila dalam implementasinya di segala bidang
kehidupan baik secara teoritis maupun praktis.
2. Berkaitan dengan
aktualisasi dan sosialisasi nilai-nilai Pancasila, maka interpretasi terhadap
Pancasila tidak dimonopoli oleh golongan dan kepentingan tertentu.
3. Dalam rangka menegakkan Strong
and Clean Goverment, maka pemerintah harus konsekuen dengan berbagai
peraturan perundangan yang terkait, dalam arti tidak segan-segan menjatuhkan
sangsi kepada aparatnya yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan dalam
tugasnya.
4. Perlunya dibuat Tap MPR
tentang pembatasan masa jabatan presiden.
5. Perlunya Komnas HAM
dimasukkan dalam komisi khusus di DPR.
6. Perlunya dibentuk
lembaga independen yang bertugas mengawasi terjadinya korupsi dan kolusi di
pemerintah.
7. Mendesak kepada
pemerintah untuk mengeluarkan Keppres tentang pembangunan kawasan timur
Indonesia (KTI).
8. Pemerintah dan DPR harus
mereformasi 5 paket UU politik.
9. Revitalisasi dan
Reformulasi Dwi Fungsi ABRI.[42]
Sikap politik HMI akhir tahun 90-an ternyata punya
kecenderungan melakukan gerakan kritisismenya kembali. Ketika pada pertengahan
tahun 80-an HMI cenderung hati-hati dan lebih akomoodatif terhadap kekuasaan,
ternyata pada akhir tahun 90-an sudah berani melakukan kritiknya terhadap
realitas yang terjadi ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap HMI
yang cenderung kritis pada akhir 90-an, bukan berarti HMI melakukan gerakan
yang berhadap-hadapan dengan pemerintah, karena trenyata sikap politik HMI itu
tidak dimanifestasikan HMI dalam gerakan praksis.
Pada dasarnya pola gerakan HMI yang dibangun sejak
kelahirannnya bersifat adaftif dengan perubahan jaman. Gerakan HMI yang
senantiasa adaftif dengan kondisi sosio-politik yang hidup pada masanya, ini
membuat HMI tidak memiliki pola gerakan yang jelas. Namun secara umum pada
periode 1986 – 1999 ini memperlihatkan adanya kecenderungan pola gerakan HMI
lebih banyak bersikap kompromis dan moderat. Apalagi sejak terbukanya akses HMI
ke kekuasaan sebagai konsekuensi logis dari keberadaan alumninya di jajaran
birokrasi pemerintah. Hal–hal seperti inilah sebetulnya penyebab perubahan pada
pola gerakan HMI. sedangkan kaitan perubahan dengan azas itu sangatlah sedikit
sekali, sebab baik pola pemikiran maupun pola gerakan (sikap) HMI sudah
terbentuk sejak lama sebelum perubahan azas, dan ini tersosialisasikan secara kontinyu
kepada generasi berikutnya lewat proses interaksi di dalam dinamika organisasi.
“SEDETIK SAJA KITA DIAM…
SEDETIK ITU PULA KITA
MEMPERKUAT MUSUH-MUSUH ALLAH”
BIBLIOGRAFI
Amir. 1997. Kelompok
Cipayung (HMI, PMII, GMNI, GMKI, PMKRI) ; Peranannya sebagai Gerakan
Kebersamaandn Pemikiran Organisasi Kemahasiswaan Ekstra Universitas dalam
Pembentukan KNPI 1973-1978. Skripsi Unpad.
Djaelani, A.
Qodir. 1999. Sejarah Perjuangan Umat Islam Indonesia.
Jakarta : Yayasan Pengkajian Islam
Madinah Al-Munawaroh.
HMI MPO. 1986. Berkas
Putih ; Sebuah Telaah Ringkas Tentang HMI Sebelum, Selama dan Setelah Kongres
ke-16 di Padang 24 – 31 Maret 1986.
Indonesia,
Presiden Republik. 1975. Undang – Undang Nomor 3 tahun 1975 Tentang
Partai Politik dan Golongan Karya.
Indonesia, Presiden Republik. 1985. Undang
– Undang Nomor 3 tahun 1985 Tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor
3 tahun 1975 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
Indonesia,
Presiden Republik. 1985. Undang – Undang Nomor 8 tahun 1985 Tentang
Organisasi Kemasyarakatan.
Karim, M.
Rusli. 1997. HMI MPO ; Dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia.
Bandung : Mizan.
PB HMI. 1986.
Hasil – Hasil Ketetapan Kongres HMI ke 16 di Padang, 24–31 Maret
1986. Dokumentasi HMI..
_______. 1970. Hasil – Hasil Keputusan Sidang
Pleno IV PB HMI di Jakarta, 22-24 Mei 1970. Dok. HMI.
_______. 1971. Hasil – Hasil Ketetapan Kongres HMI ke 10 di
Palembang, 3 – 10 Oktober 1971. Dok. HMI.
_______. 1977. Hasil – Hasil Keputusan Sidang Pleno I PB HMI di
Ciloto, 27-29 Mei 1977. Dokumentasi HMI.
_______. 1990. Hasil – Hasil Ketetapan Kongres HMI ke 18 di
Jakarta, 17 – 25 September 1990. Dok. HMI.
_______. 1995. Laporan Pertanggungjawaban PB HMI Periode 1992 –
1995. Dokumentasi HMI.
_______. 1995. Hasil – Hasil Ketetapan Kongres HMI ke 20 di
Surabaya, 21 – 31 Januari 1995. Dok. HMI.
_______. 1997. Hasil – Hasil Ketetapan Kongres HMI ke 21 di
Yogyakarta, 20 – 26 Agustus 1997. Dokumentasi HMI.
Saleh,
Hasanuddin M. 1996. HMI dan Rekayasa Azas Tunggal Pancasila.
Yogyakarta : Kelompok Studi Lingkaran.
Sitompul, A.
Salim. 1986. Citra HMI. Yogyakarta : Sumbangsih Offset.
________. 1997.
Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia.
Jakarta : Integrita Press.
________. 1997.
HMI Mengayuh Diantara Cita dan Kritik. Yogyakarta : Aditya Media.
________. 2002.
Menyatu dengan Umat, Menyatu dengan Bangsa; Pemikiran Keislaman –
Keindonesiaan HMI 1947 – 1997. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
* Makalah ini
pernah disampaikan pada kegiatan Intermediate Training (LK II) HMI Cabang Garut
tanggal 07 Juni 2004 di Gedung PSPA Cisurupan Garut.
# Fu’adz adalah
Alumni HMI Cabang Jatinangor dan Garut, Mantan Direktur LPL HMI Jatinangor
periode 2000 – 2002.
[1] Saleh, Hasanuddin M. 1996. HMI dan Rekayasa Azas Tunggal
Pancasila. Yogyakarta : Kelompok Studi Lingkaran
[2] Karim, M. Rusli. 1997. HMI MPO ; Dalam Kemelut
Modernisasi Politik di Indonesia. Bandung : Mizan.
[3] Mengenai sikap akomodasionis HMI ini, Lafran Pane
(pendiri HMI) dalam majalah Forum Pemuda no. 41, Mei 1983, mengatakan
bahwa sikap akomodasionis HMI ini sudah merupakan kodrat HMI dalam aktivitas
organisasinya. (Ibid.)
[4] Sitompul, Agussalim. 1997. Pemikiran HMI dan
Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia.
Jakarta : Integrita Press.
[5] Tokoh sentral HMI pada peristiwa penolakan azas tunggal
Pancasila. Dia adalah founding father dari HMI MPO, sekaligus ketua umum
pertama HMI MPO periode 1986-1998.
[6] Karim, M. Rusli. 1997. HMI MPO ; Dalam Kemelut
Modernisasi Politik di Indonesia. Bandung : Mizan
[7] Sifat independen HMI sudah ditegaskan sejak HMI berdiri
dan itu dilegalisasi dalam konstitusinya. Independensi oleh HMI punya dua
pemaknaan; pertama independensi organisatoris, HMI tidak berafiliasi
(bukan bagian) dengan parpol atau ormas manapun tapi berdiri sendiri; kedua
independensi etis, HMI akan bekerja sama dengan pihak manapun dalam
memperjuangkan kebenaran (hanief) karena HMI meyakini kebenaran
itu hak mutlak dan bersumber dari Allah yang dijabarkan dalam ajaran Islam. (PB
HMI, 1986).
[8] Dahlan R. sangat intens melakukan interaksi dengan HMI
meskipun dia sudah menjadi alumni HMI. Interaksinya dengan HMI terutama dalam
aktivitas perkaderan HMI dimana ia sering menjadi pemateri/instruktur masalah
politik (materi idepol-stratak) di HMI. Oleh karena itu, ia sering kali
dianggap sebagai guru poltiknya HMI. Sampai akhir hayatnya (2002) ia masih
sering menjadi referensi kader HMI dalam melakukan aktivitas politiknya.
[9] Karim.Ibid.
[10] Partai-partai Islam kontestan pemilu 1955 antara lain;
Masyumi, NU, PSII, dan PERTI. Berdasarkan kesepakan organisasi-organisasi Islam
tahun 1949, bahwa satu-satunya wadah aspirasi umat Islam dalam politik adalah
Masyumi. Namun seiring dengan perkembangan sosio-politik yang ada, dimana
munculnya 4 partai Islam menjelang pemilu 1955, maka HMI mengambil kebijakan
untuk memberikan kebebasan bagi anggotanya untuk memilih partai sesuai dengan
aspirasinya, tetapi tetap hanya pada partai Islam. Kebijakan ini diambil untuk
menghindari konflik innternal organisasi yang mungkin terjadi bila kesepakatan
1949 tetap dipertahankan, belum lagi sikap independensi HMI dipertaruhkan bila
tetap pada kesepakatan tersebut. (Saleh, Ibid.)
[11] Sitompul, A. 2002. Menyatu dengan Umat, Menyatu
dengan Bangsa; Pemikiran Keislaman – Keindonesiaan HMI 1947 – 1997.
Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
[12] Ibid.
[13] Sitompul, A. 1986. Citra HMI. Yogyakarta :
Sumbangsih Offset.
[14] GPPI dibubarkan Sukarno berdasarkan surat keputusannya no.139/1963,
disertai penangkapan tokoh-tokohnya, antara; Hamka, KH. Ghazali Sahlan dan KH.
Dalari Umar (Djaelani. A. Qodir. 1999. Sejarah Perjuangan Umat Islam
Indonesia. Jakarta : Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawaroh)
[15] Saleh. Ibid.
[16] Saleh. Ibid.
[17] Sitompul. Ibid.
[18] Sitompul. Ibid.
[19] Pada tahun 1956 PKI menggabungkan organisasi mahasiswa
lokal yang berafiliasi ke PKI karena ada ikatan secara ideologis, yaitu Consentrasi
Mahasiswa Bogor, Consentrasi Mahasiswa Yogyakarta dan Gerakan Mahasiswa Bogor
dalam satu wadah yang diberi nama Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia
(CGMI). CGMI ini merupakan organisasi kemahasiswaan yang berupaya menyebarkan
ideologi PKI serta memperkuat barisan PKI di kampus, sehingga dalam
aktivitasnya seringkali harus berhadapan dengan organisasi kemahasiswaan lain
terutama dengan HMI. CGMI merupakan organ PKI yang paling gigih melakukan upaya
pembubaran HMI, oleh karenanya dalam setiap kesempatan CGMI selalu Vis a Vis
dengan HMI
[20] Diantaranya yang paling gigih membela HMI adalah Pelajar
Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Islam (GPI)
[21] Sitompul. Ibid.
[22] PB HMI. 1970. Rekomendasi Hasil – Hasil Keputusan
Sidang Pleno IV HMI di Jakarta, 22–24 Mei 1970. Dok. HMI
[23] Sitompul. Ibid.
[24] Pada pemilu 1955, partai Islam itu antara lain;
Masyumi, NU, Perti dan PSII. Pada pemilu 1971 muncul partai Islam baru yaitu
Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), yang pada hakikatnya merupakan wadah baru
drr orang lama, yaitu orang-orang Masyumi. Sedangkan partai Islam lainnya masih
tetap sama, yaitu; NU, Perti dan PSII. (Djaelani. Ibid.)
[25] PB HMI. 1971. Hasil – Hasil Ketetapan Kongres HMI ke
10 di Palembang, 3 – 10 Oktober 1971. Dok. HMI
[26] PB HMI. 1977. Hasil – Hasil Keputusan Sidang Pleno I
PB HMI di Ciloto, 27-29 Mei 1977. Dokumentasi HMI
[27] Sitompul. Ibid.
[28] Amir. 1997. Kelompok Cipayung (HMI, PMII, GMNI, GMKI,
PMKRI); Peranannya sebagai Gerakan Kebersamaan dan Pemikiran Organisasi
Kemahasiswaan Ekstra Universitas dalam Pembentukan KNPI 1973-1978. Skripsi
Unpad
[29] Saleh Ibid.
[30] Saleh Ibid.
[31] UU ini diantaranya berisikan tentang kewajiban seluruh
Ormas menggunakan dan mencantumkan Pancasila sebagai azas / dasar
organisasinya. Bila Ormas tidak mencantumkan dan menggunakan Pancasila sebagai
azasnya hingga dua tahun sejak UU ditetapkan, maka pemerintah punya wewenang
untuk membubarkan ormas tersebut.
[32] Sebagai reaksi atas ketidaksepakatan merubah azas HMI,
sekitar 8 cabang HMI membuat PB HMI tandingan (HMI MPO) dan pada proses
selanjutnya menjelma menjadi organisasi baru yang berbeda karakteristiknya
dengan HMI (dipo).
[33] Dies Ride merupakan naskah orasi
ilmiah yang beisi tentang pandangan-pandangan HMI serta respon HMI mengenai
berbagai masalah dan kondisi yang dihadapi masyarakat dan bangsa, biasanya
lebih banyak memuat permaslahan politik sehingga sering juga dianggap sebagai
pidato politik Ketua Umum HMI. Dies ride ini dilakukan setahun sekali pada
acara milad HMI, dan pada waktu itu dibawakan oleh Fery MB. sebagai Ketum HMI
Periode 1990 – 1992.
[34] Sitompul, Agussalim. 1997. Pemikiran HMI dan
Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia. Jakarta :
Integrita Press.
[35] PB HMI. 1990. Hasil – Hasil Ketetapan Kongres HMI ke
18 di Jakarta, 17 – 25 September 1990. Dokumentasi HMI.
[36] Idem.
[37] Idem.
[38] Istilah ini digunakan untuk menggambarkan jalinan
hubungann umat Islam dengan penguasa yang semakin baik, dimana pada masa
sebelumnya penguasaa cenderung memandang sebelah mata dan bahkan dianggap
diskriminatif terhadap umat Islam. Tahun 1990-an merupakan awal dari perubahan
arah dnn kebijakan politik orde baru, khusunya dalam masalah hubungan Islam –
negara.
[39] Sitompul, Agussalim. 1997. HMI Mengayuh Diantara Cita
dan Kritik. Yogyakarta : Aditya Media.
[40] PB HMI. 1995. Laporan Pertanggungjawaban Pengurus
Besar HMI Periode 1992 – 1995. Dokumentasi HMI
[41] PB HMI. 1995. Hasil – Hasil Ketetapan Kongres HMI ke
20 di Surabaya, 21 – 31 Januari 1995. Dokumentasi HMI.
[42] PB HMI. 1997. Hasil – Hasil Ketetapan Kongres HMI ke
21 di Yogyakarta, 20 – 26 Agustus 1997. Dokumentasi HMI
0 komentar:
Posting Komentar