alt/text gambar

Senin, 09 November 2015

Topik Pilihan:

Wawancara Nurcholish Madjid:


"Jangan Mengukur Baju Orang Dengan Badan Sendiri" SOSOKNYA seperti tak bisa dipisahkan dengan semangat lahirnya demokrasi dan tegaknya hak asasi. Tapi ia juga hampir menyatu dengan HMI. Karena di situlah, Dr. Nurcholish Majid, 58 tahun, pernah menjadi ketua umum selama dua periode dari tahun 1966-1971. Lulusan Universitas Chicago, AS, ini sekarang aktif di kelompok pengajian Yayasan Paramadina. Selain itu, Cak Nur juga mengajar di fakultas pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta. Ia juga salah satu petinggi di Dewan Pakar ICMI, anggota Komnas HAM, dan pelopor berdirinya Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP).

Rabu lalu, 26 Maret 1997, bertempat di Yayasan Paramadina, Cak Nur diwawancarai Darol Mahmada dari TEMPO Interaktif seputar gemebyar dan sepak terjang HMI, yang kini sudah berusia 50 tahun. Berikut cuplikannya:

Anda bilang bahwa usia ke-50 HMI bukan merupakan tahun emas, tapi tahun besi karatan. Apa maksudnya?

Saya mengatakan begitu karena mengamati sebagai orang dalam HMI. Bukan orang luar, sehingga muncullah pernyataan saya di D&R (Di majalah itu, Cak Nur berang dengan instruksi pengurus HMI yang akan mengeluarkan setiap anggotanya yang aktif dalam KIPP. "Itu ironi besar dan HMI melawan kodratnya sendiri," ujarnya). Itu merupakan ekspresi kecintaan saya terhadap lembaga itu. Dan tentu saja kalau orang luar mengatakan itu, saya juga tidak enak dan pasti protes. Kalau kenyataannya begitu, itu bisa dilihat dan ditafsirkan macam-macam. Kritikan itu hanya mengingatkan saja. Ibaratnya, kalau terhadap anak, saya hanya menjewernya.

Mengapa mereka harus diingatkan?
Ada hal-hal tertentu yang harus diingatkan. Sebagai seorang yang pernah intens terlibat di organisasi itu, sikap seperti itu mesti (dilakukan). Dan saya kira, sebagai organisasi mahasiswa HMI masih dalam relnya.
Mengapa orientasi HMI cenderung ke Masyumi? Apa akibat politisnya sampai kini?
HMI itu secara geneologis kebanyakan anak Masyumi karena itu orientasinya juga sangat ke Masyumi. Walaupun anggota PB HMI kebanyakan anak NU,tetapi orientasinya banyak ke Masyumi. Ciri-cirinya, misalnya dari segi agama, mereka non sektarian. Mereka menangkap Islam itu seperti Masyumi, yaitu punya ide-ide dasar dan nilai-nilai fundamental. Karena itu, ada suatu buku kecil yang menjelaskan nilai-nilai fundamental itu yang di sebut Nilai Identitas Kader (NIK). Begitu juga di bidang lain, lebih dekat ke Masyumi. Misalnya egalitarianisme dan kosmopolitanisme. Di antara semua organisasi mahasiswa, yang paling menyeluruh itu, hanya HMI yang seperti Masyumi. Kalau NU, PKI, PSI itu kan berbau Jawa. Hanya Masyumi yang mencakup semuanya. Dan itu terulang pada HMI. Karena itu HMI itu merupakan Indonesia dalam miniatur. Hanya saja penduduknya Islam. Tetapi persepsi keislamannya pun paling menyebar.
Tetapi juga ada pengaruh psikologis bahwa Masyumi dulu sebagai partai yang dilarang (pemerintah waktu itu mengakibatkan anggota Masyumi) menjadi agak menjauh dari pemerintah. Ini suatu proses yang merugikan. Jadi mentalitas di luar pagar. ICMI saja, kami lahirkan untuk mengakhiri mentalitas itu. Apalagi sebagian besar lulusan universitas itu adalah anak HMI yang orientasinya ke Masyumi. Kalau mereka mengidap mentalitas itu, dalam arti tidak mempunyai sense of belonging (rasa memiliki) pada negara, sangat berbahaya. Berbahaya bagi negara, karena jumlah mereka semakin besar, tapi juga berbahaya untuk diri sendiri, karena akan kehilangan kebebasan bergerak. Dan kalau orang sudah kehilangan kebebasan bergerak, diawasi, dibatasi dan sebagainya, maka ia juga kehilangan kesempatan untuk berekspresi. Nah, itulah HMI sampai sekarang.
Lalu, bagaimana kini hubungan pemerintah dengan HMI?
Saya melihat, kondisi HMI di mata pemerintah ambivalen. Artinya, tidak merangkul sama sekali seperti terhadap organisasi-organisasi yang tergabung di dalam Golkar, Kasgoro misalnya. Tapi juga tidak menyingkirkan sama sekali. Tidak seperti halnya terhadap organisasi mahasiswa lainnya semisal GMKI. Di situlah sulitnya HMI. Dari dulu seperti itu.
Bukankah posisi HMI kini malah kian dekat dengan pemerintah?
Saya kira masih mengalami ambivalen. Sama dengan ICMI. Oleh karena itu saya agak sedikit kecewa ketika orang terkejut dengan fenomena Amien Rais. Kalau orang tahu ICMI, fenomena itu tidak aneh. Banyak orang ICMI yang kritis. Orang kaget dengan fenomena itu dan tepuk tangan, termasuk, terus terang saja, Arief Budiman dengan tulisannya itu. Karena dia ada prasangka bahwa ICMI itu organisasi pemerintah. Dan prasangka itu juga terjadi pada HMI. Prasangka bahwa seharusnya HMI itu menentang pemerintah, maka ketika ada gejala kedekatan terhadap pemerintah, lalu menimbulkan kecelaan yang terlalu dini. Kalau dibandingkan dengan PMKRI, GMNI, PMII terus terang saja situasi yang ada pada HMI dan alumninya itu jauh lebih mampu. Oleh karena itu, jangan berharap sikap HMI sama dengan organisasi lain, yang sedikit banyak termarjinalisasi. Jadi jangan mengukur baju orang dengan badan sendiri.
Apa arti penting Dies Natalis ke-50 HMI yang langsung dihadiri oleh presiden?
Peristiwa itu bukan pertama kalinya buat HMI. Di jaman Bung Karno dulu, pada tahun 50-an, ketika terjadi debat dasar negara, Bung Karno sendiri datang ke pertemuan HMI. Kemudian awal tahun 1966, ketika muktamar nasional, kami juga diundang Bung Karno ke Istana Bogor. Waktu itu orang-orang yang mencitrakan HMI beroposan terhadap Bung Karno terkejut, kok ternyata HMI masih bersama Bung Karno. Tetapi sikap seperti itu tidak menjamin HMI membelanya. Buktinya, HMI paling efektif menjatuhkan Bung Karno. Itulah HMI punya sejarahnya sendiri. Oleh karena itu, HMI tidak bisa menempuh cara-cara perjuangan yang linier. Artinya hanya oposisi saja, tapi harus bervariasi.
Lalu mengapa pemerintah kian mendekati HMI?
Mungkin saja karena melihat potensi HMI itu sendiri. Seperti Soekarno dulu memeluk HMI. Tentu saja strategi Pak Harto ini tidak bisa disamakan dengan Bung Karno. Artinya, kalau dulu masalah ideologis, tetapi sekarang lebih ke masalah ekonomi.
Agaknya visi politik HMI sudah berubah. Buktinya, HMI menolak ikut bergabung dalam Forum Komunikasi Pemuda Indonesia (FKPI) yang dibentuk kelompok Cipayung baru-baru ini. Betulkah demikian?
Kekhawatiran seperti itu relatif sekali. Itu bisa merupakan persepsi yang sangat subyektif. Bisa juga itu merupakan retorika dari orang yang ingin supaya HMI bersama mereka. HMI bisa berbalik (bertanya) mengapa mereka tidak mengikuti kami? Sebab HMI itu interest group-nya itu besar sekali. Jadi ia tidak bisa bermain asal-asalan. Ya, kalau PMII , PMKRI, GMKI itu kecil sekali. Organisasi mahasiswa yang masih ada itu kan tinggal HMI. Yang lainnya tinggal papan nama. Karena itu tidak bisa disamakan dengan mereka. Kalau misalnya HMI celaka, itu nyata. Karena menyangkut sekian puluh ribu anggota dan alumninya. Pada tingkat retorika nasional, mereka berkumpul dan bikin pernyataan, malah HMI terisolir. Tapi pada tingkat nyata manusianya, HMI tidak terisolir sama sekali.


0 komentar:

Posting Komentar