1. Bahwa prinsip-prinsip pembentukan hukum yang adil menurut Lon Fuller dalam bukunya The Morality of Law (moralitas Hukum), diantaranya yaitu:
a. Hukum-hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti oleh rakyat biasa. Fuller juga menamakan hal ini juga sebagai hasrat untuk kejelasan;
b. Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain;
c. Dalam hukum harus ada ketegasan. Hukum tidak boleh diubah-ubah setiap waktu, sehingga setiap orang tidak lagi mengorientasikan kegiatannya kepadanya;
d. Harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang diumumkan dengan pelaksanaan senyatanya.
2. kepastian hukum (legal certainty) sangat terkait dengan kejelasan rumusan sebuah regulasi sehingga dapat diprediksikan maksud dan tujuannya. Hal ini sesuai dengan pengertian kepastian hukum dalam berbagai doktrin dan putusan Pengadilan Eropa bahwa kepastian hukum mengandung makna:
“the principle which requires that the rules of law must be predictable as well as the extent of the rights which are conferred to individuals and obligations imposed upon them must be clear and precise”
Terjemahan:
(prinsip yang
mensyaratkan bahwa ketentuan hukum harus dapat terprediksi sebagaimana halnya
lingkup hak yang diberikan kepada individu dan kewajiban yang kenakan kepada
mereka haruslah jelas dan persis”; dan
“the
principle which ensures that individuals concerned must know what the law is so
that would be able to plan their actions accordingly”
Terjemahan:
(prinsip yang
menjamin bahwa seseorang harus mengetahui hukum sehingga ia mampu merencanakan
tindakannya sesuai dengan hukum itu);
3. prinsip
kepastian hukum, khususnya dalam hukum pidana, selalu terkait dengan asas
legalitas yang harus diterapkan secara ketat. Melalui asas legalitas inilah
individu mempunyai jaminan terhadap perlakuan sewenang-wenang negara
terhadapnya sehingga terjadi kepastian hukum;
4. Bahwa suatu negara hukum, seperti diungkapkan
oleh Frans Magnis Suseno, adalah “…didasarkan pada suatu keinginan bahwa
kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Hukum
menjadi landasan dari segenap tindakan negara, dan hukum itu sendiri harus baik
dan adil. Baik karena sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat dari
hukum, dan adil karena maksud dasar segenap hukum adalah keadilan. Ada empat
alasan utama untuk menuntut agar negara diselenggarakan dan menjalankan
tugasnya berdasarkan hukum: (1) kepastian hukum, (2) tuntutan perlakuan yang
sama (3) legitimasi demokratis, dan (4) tuntutan akal budi” (Frans Magnis
Suseno, 1994, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Jakarta: Gramedia, hal 295);
5. Bahwa untuk memenuhi unsur-unsur agar disebut
sebagai negara hukum, khususnya dalam pengertian rechtstaat, Julius
Stahl mensyaratkan beberapa prinsip, yang meliputi: a. Perlindungan hak asasi
manusia (grondrechten); b. Pembagian kekuasaan (scheiding van machten);
c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatigheid van bestuur);
dan d. Adanya peradilan administrasi—tata usaha negara (administratieve
rechspraak).
6. Bahwa pengertian negara hukum Indonesia yang
berdasar pada UUD 1945 dan Pancasila, menurut Simorangkir, adalah berbeda
dengan pengertian negara hukum dalam kerangka rechtsstaat, seperti yang
berlaku di Belanda. Akan tetapi lebih mendekati negara hukum dalam pengertian rule
of law.
7. Moh.
Mahfud MD, juga memberikan pendapat yang senada dengan Simorangkir. Dikatakan
Mahfud, penggunaan istilah rechtsstaat dalam UUD 1945 sangat
berorientasi pada konsepsi negara hukum Eropa Kontinental. Bilamana melihat
materi muatan UUD 1945, justru yang terlihat kental adalah meteri-materi yang
bernuansakan anglo saxon, khususnya ketentuan yang mengatur tentang jaminan
perlindungan hak asasi manusia.
8. Bahwa
menurut Kusumadi Pudjosewojo dikarenakan Indonesia adalah negara hukum, maka
segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara harus pula
berdasarkan dan diatur oleh hukum. Penguasa bukanlah pembentuk hukum, melainkan
pembentuk aturan-aturan hukum, oleh sebab itu hukum berlaku bukan karena
ditetapkan oleh penguasa, akan tetapi karena hukum itu sendiri. Hal ini membawa
konsekuensi, bahwa penguasa pun dapat dimintai pertanggungjawaban jika dalam
menjalankan kekuasaannya melampaui batas-batas yang telah diatur oleh hukum,
atau melakukan perbuatan melawan hukum. Kewenangan penguasa dan organ-organ
negara sangat dibatasi kewenangan perseorangan dalam negara, yang berupa hak
asasi manusia. Pendapat tersebut menegaskan bahwa hak asasi manusia merupakan
unsur penting dalam sebuah negara hukum.
9. Bahwa
di dalam negara hukum, aturan perundangan-undangan yang tercipta, harus berisi
nilai-nilai keadilan bagi semua orang. Seperti yang dikutip oleh Jimly
Asshiddiqie, dari Wolfgang Friedman dalam bukunya, “Law in a Changing
Society”, membedakan antara organized public power (the rule of
law dalam arti formil), dengan the rule of just law (the rule of
law dalam arti materil). Negara hukum dalam arti formil (klasik) menyangkut
pengertian hukum dalam arti sempit, yaitu dalam arti peraturan
perundang-undangan tertulis, dan belum tentu menjamin keadilan substanstif.
Negara hukum dalam arti materiel (modern) atau the rule of just law merupakan
perwujudan dari Negara hukum dalam arti luas yang menyangkut pengertian
keadilan di dalamnya, yang menjadi esensi daripada sekedar memfungsikan peraturan
perundang-undangan dalam arti sempit
10. Pasal-pasal
dalam UU harus mencerminkan aturan yang jelas, mudah dipahami, dan dilaksanakan
secara adil (fair). Rumusan delik pemidanaan dalam Pasal-pasal yang
tidak jelas dapat berpotensi disalahgunakan secara sewenang-wenang; Ketentuan
dalam Pasal-pasal yang tidak jelas dan sumir merupakan bentuk pelanggaran atas
konsep negara hukum (rule of law) dimana “a legal system in which
rules are clear, wellunderstood, and fairly enforced”.
11. Rule
of law dapat dimaknai sebagai “a legal system in which rules are clear,
well-understood, and fairly enforced”. Dengan salah satu cirinya ada
kepastian hukum yang mengandung asas legalitas, prediktibilitas, dan
transparansi.
12. Negara
hukum juga mesti mengikuti konsep hukum, yang oleh Gustav Radbruch
diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) general precepts, yaitu: purposiveness,
justice, and legal certainty (lihat penjelasan mengenai konsep Radbruch
dalam Torben Spaak, “Meta-Ethic and Legal Theory: The Case of Gustav
Radbruch”)
13.
ketentuan-ketentuan yang saling bertentangan dan
kontradiktif jika diberlakukan, mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi semua
orang. Ketidakpastian demikian akan mengakibatkan kekacauan hukum dan sangat
rentan akan adanya penyalahgunaan dan pemberlakuan secara sewenang-wenang;
14. Asas
legalitas ini mencakup 4 (empat) aspek penting yaitu;
a. peraturan
perundang-undangan (law)/lex scripta,
b. retroaktivitas
(retroactivity),
c. lex
certa, dan
d. analogi
15. Aspek
penting terkait dengan kejelasan sebuah rumusan tindak pidana yang menjamin
adanya kepastian hukum adalah asas lex certa yaitu pembuat
undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai
perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes).
Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum
crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu
mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak
jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan
menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan
dapat membela diri.
16. Pasal
dalam UU tidak boleh dirumuskan secara samar-samar dan harus dirumuskan secara
jelas dan rinci mengenai perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana,
serta pengertiannya tidak boleh terlalu luas dan rumit. Sehingga berpotensi
disalahgunakan oleh penguasa dan pihak-pihak tertentu karena Pasal yang tidak
jelas akan bersifat lentur, subjektif, dan sangat tergantung interpretasi
penguasa. Oleh karenanya berpotensi dan secara faktual menimbulkan
ketidakpastian hukum dan melanggar hak asasi manusia.
17. UU
tidak boleh multi interpretative dan dapat ditafsirkan menurut kehendak pihak
yang kuat, pemerintah dan aparat penegak hukum. Ketentuan seperti ini dapat
melegitimasi praktik kriminalisasi. Dalam pengaturan tindak pidana harus juga
diperhatikan beberapa hal diantaranya; 1) keseimbangan antara kepastian hukum,
kelenturan dan keadilan, 2) keseimbangan antara nilai-nilai nasional dan
universal, dan 3) aspirasi universal masyarakat beradab.
18.
Bahwa pengaturan tindak pidana haruslah seimbang
antara kepastian hukum, kelenturan dan keadilan, sehingga perumusan tindak
pidana harus melihat keadilan bagi korban maupun pelaku.
19.
Pasal dalam UU tidak boleh bertentangan dengan
asas lex certa. Artinya, unsur-unsurnya harus dirumuskan secara terang,
jelas dan tegas serta harus dirumuskan dan disebutkan secara jelas maksud,
tujuan serta batas-batas perbuatan yang hendak dilarang. Sehingga, dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktik penegakan hukum pidana.
20.
Asas Lex Certa merupakan asas hukum yang
menghendaki agar hukum itu haruslah bersifat tegas dan jelas. Pasal yang bersifat kabur (tidak pasti) dapat berpotensi
multitafsir. Dalam ranah hukum, rumusan-rumusan hukum seharusnya pasti dan
jelas agar orang juga memperolah kepastian hukum, bukannya kebingungan tanpa
jaminan kepastian hukum karena rumusan pasal-pasalnya yang multitafsir;
21. berdasarkan
asas Lex Certa dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat
undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai
perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes). Hal
inilah yang disebut dengan asas lex certa atau bestimmtheitsgebot.
Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum
crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu
mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak
jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan
menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan
dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai
pedoman perilaku.
22. Dalam
praktiknya ternyata tidak selamanya pembuat undang-undang dapat memenuhi
persyaratan di atas. Tidak jarang perumusan undang-undang diterjemahkan lebih
lanjut oleh kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat apabila norma tersebut secara
faktual dipermasalahkan.
23. Berdasarkan
asas Lex Certa atau bestimmtheitsgebot dimaksudkan kebijakan
legislasi dalam merumuskan undang-undang harus lengkap dan jelas tanpa
samar-samar (nullum crimen sine lege stricta). Perumusan yang tidak
jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan
menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan
dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai
pedoman perilaku;
24. Perumusan
ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan
ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana)
karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti
itu tidak akan berguna sebagai pedoman perilaku. Di samping itu, UU juga tidak
boleh mencerminkan pembedaan kedudukan dan perlakuan (unequal
treatment), ketidakadilan (injustice), ketidakpastian hukum (legal
uncertainty).
KONSTITUSI SEBAGAI KONTRAK SOSIAL TERTINGGI
Pendelegasian wewenang pengaturan (legislative delegation and sub-delegation of rule-making power), didasarkan atas prinsip otonomi dalam demokrasi. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara berhak mengatur sendiri kehidupan mereka. Bahkan, semua norma aturan dalam kehidupan bernegara hanya boleh diatur oleh rakyat sendiri sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, bukan oleh pejabat negara atau pemerintah. (Jimly Asshiddiqie, Teori Hierarki Norma Hukum, h. 164-165)
0 komentar:
Posting Komentar