alt/text gambar

Jumat, 20 November 2015

Topik Pilihan: , ,

Pemikiran-Pemikiran Karl Marx sebagai Pisau Analisis Sosial



Pemikiran-Pemikiran Karl Marx[1]



1. Teori Kelas

Seluruh pemikiran Karl Marx berdasarkan praanggapan bahwa pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial. Kita telah melihat bahwa keterasingan manusia adalah hasil penindasan satu kelas oleh kelas lainnya. Emansipasi dari keterasingan itu hanya dapat tercapai melalui perjuangan kelas. 

Pada umumnya, mengikuti sebuah definisi termasyhur Lenin, “kelas sosial” dianggap sebagai golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi. Memang, menurut Franz Magnis Suseno, sulit menjelaskan apa itu kelas sosial. Namun, kata Magnis, ciri sebagai kelas, baru terpenuhi secara sempurna apabila golongan itu juga menyadari dirinya dan memiliki semangat juang sebagai kelas.[2]

Menurut Karl Marx, pelaku-pelaku utama perubahan sosial bukanlah individu-individu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial. Menurut Marx, akan terlihat bahwa dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai. Marx berbicara tentang kelas-kelas atas dan kelas-kelas bawah. Karena perhatian Marx terutama terarah pada masyarakat kontemporernya, kita akan melihat perbedaan itu pada kritik Marx terhadap masyarakat kapitalis. Menurut Marx, masyarakat kapitalis terdiri dari tiga kelas: kaum buruh (mereka yang hidup dari upah), kaum pemilik modal (hidup dari laba), dan para tuan tanah (hidup dari rente tanah). Tapi, yang lebih umum hanya disebutkan dua kelas, yaitu kaum buruh (mereka yang hidup dari upah), dan kaum pemilik modal (hidup dari laba).
Kita bertolak dari analisis keterasingan. Keterasingan dalam pekerjaan terjadi karena orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan jatuh dalam dua kelas sosial yang berlawanan, yaitu kelas buruh dan kelas majikan. Kelas majikan memiliki alat-alat produksi atau alat-alat kerja: pabrik, mesin, dan tanah (kalau mereka tuan tanah). Kelas buruh melakukan pekerjaan, tetapi karena mereka sendiri tidak memiliki tempat dan sarana kerja, mereka terpaksa menjual tenaga kepada kelas majikan. Dengan demikian, hasil kerja dan kegiatan bekerja bukan lagi milik para pekerja itu sendiri, melainkan milik para majikan. Itulah dasar keterasingan dalam pekerjaan.
Jadi, dalam sistem produksi kapitalis, dua kelas saling berhadapan: kelas buruh dan kelas pemilik. Keduanya saling membutuhkan: buruh hanya dapat bekerja apabila pemilik membuka tempat kerja baginya, dan majikan hanya mendapat untung dari pabrik dan mesin-mesin yang dimilikinya apabila ada buruh yang mengerjakannya. Tetapi, saling ketergantungan itu tidak seimbang. Buruh tidak dapat hidup kalau ia tidak bekerja. Dan ia tidak dapat bekerja kecuali apabila diberi pekerjaan oleh seorang pemilik. Sebaliknya, meskipun si pemilik tidak mempunyai pendapatan kalau pabriknya tidak berjalan, tetapi ia masih dapat bertahan lama. Ia dapat hidup dari modal yang dikumpulkannya selama pabriknya bekerja, ia dapat menjual pabriknya.
Apa keuntungan kelas atas dari kedudukan mereka? Keuntungannya ialah bahwa mereka tidak perlu bekerja sendiri, karena dapat hidup dari pekerjaan kelas bawah. Pekerjaan yang melebihi waktu yang diperlukan buruh untuk memenuhi kebutuhannya sendiri merupakan keuntungan si pemilik. Karena itu, hubungan antara kelas atas dan kelas bawah pada hakikatnya merupakan hubungan penghisapan atau eksploitasi.
Kelas pemilik modal hidup dari penghisapan tenaga kelas buruh. Pemilik modal, si kapitalis, secara hakiki adalah seorang penghisap tenaga orang lain, dan sebaliknya buruh secara hakiki merupakan kelas terhisap. Kelas atas secara hakiki merupakan kelas penindas. Pekerja upahan merupakan pekerjaan kaum tertindas: harapan dan hak mereka dirampas.

a.      Individu, Kepentingan Kelas, dan Revolusi

Perlu diperhatikan bahwa pertentangan antara kelas buruh dan kelas majikan tidak ada sangkut-pautnya dengan sikap hati atau moralitas masing-masing pihak. Pertentangan antara mereka bukan karena para buruh iri atau para majikan egois, melainkan karena kepentingan dua kelas itu secara objektif berlawanan satu sama lain. Tentang sikap para buruh, Marx menulis: “Masalahnya bukan apa yang dibayangkan sebagai tujuan oleh seseorang proletar atau pun seluruh proletariat. Masalahnya ialah proletariat itu apa dan apa yang akan, secara historis, terpaksa dilakukannya berdasarkan hakikatnya itu. Tujuan dan aksi historisnya telah digariskan secara jelas, tak terbantahkan, dalam situasi hidupnya sendiri maupun dalam seluruh organisasi masyarakat borjuis sekarang.” Menurut Marx, setiap kelas sosial bertindak sesuai dengan kepentingannya dan kepentingannya ditentukan oleh situasinya yang objektif.
Pada kelas majikan, hal itu berarti bahwa mereka berkepentingan untuk mengusahakan laba sebanyak mungkin. Bukan karena pemilik secara pribadi rakus atau asosial, melainkan karena hanya dengan mencapai laba mereka dapat mempertahankan diri dalam persaingan di pasar bebas. Dan, karena itu, setiap majikan dengan sendirinya akan menekan biaya tenaga kerja buruh yang dibelinya serendah mungkin. Sebaliknya, kelas buruh berkepetingan untuk mendapatkan upah yang sebanyak-banyaknya, untuk mengurangi jam kerja, dan untuk menguasai sendiri kondisi-kondisi pekerjaan mereka, yang dengan demikian untuk mengambil alih pabrik tempat mereka bekerja dari tangan kelas pemilik.
Hubungan kerja dalam sistem produksi kapitalis, dilihat dari perspektif Marx, tidak stabil. Begitu kelas atas berkurang, hubungan sosial tidak dapat stabil lagi: kelas buruh secara otomatis semakin mampu memenangkan kepentingan mereka, sehingga akhirnya terjadi revolusi dan hak milik pribadi dapat mereka hapuskan.
Ada beberapa unsur dalam teori kelas Karl Marx yang perlu diperhatikan. Pertama, tampak betapa besar peran segi struktural dibandingkan segi kesadaran dan moralitas. Pertentangan antara buruh dan majikan bersifat objektif karena berdasarkan kepentingan objektif yang ditentukan oleh kedudukan mereka masing-masing dalam proses produksi. Maka, seruan agar masing-masing mawas diri, agar mereka mau memecahkan secara musyawarah konflik-konflik yang mungkin timbul, agar kepentingan umum didahulukan daripada kepentingan golongan dan sebagainya, tidak mempan. Masalahnya bukan di situ. Selama sistem ekonomi berdasarkan monopoli hak kekuasaan kelas pemilik atas proses produksi berlangsung, niscaya ada pertentangan antara kedua kelas itu. Bukan perubahan sikap yang mengakhiri konflik kelas, melainkan perubahan struktur kekuasaan ekonomis.
Kedua, karena kepentingan kelas pemilik dan kelas buruh secara objektif bertentangan, mereka juga akan mengambil sikap dasar yang berbeda terhadap perubahan sosial. Kelas pemilik, dan kelas-kelas atas pada umumnya, mesti bersikap konservatif, sedangkan kelas buruh, dan kelas-kelas bawah pada umumnya, akan bersikap progresif dan revolusioner.Kelas atas sudah berkuasa. Ia hidup dari pekerjaan kelas bawah. Karena itu, kelas atas secara hakiki berkepentingan untuk mempertahankan status quo, untuk menentang segala perubahan dalam struktur kekuasaan. Mengingat mereka sudah mantap, setiap perubahan mesti mengancam kedudukan mereka itu.
Sebaliknya, kelas-kelas bawah berkepentingan terhadap perubahan. Karena mereka tertindas, setiap perubahan merupakan kemajuan. Bagi mereka, setiap perubahan mesti merupakan pembebasan. Seperti ditulis Marx dalam Manifesto Komunis, proletariat paling-paling dapat kehilangan belenggu-belenggunya. Kepentingan objektif terakhir kelas-kelas bawah adalah revolusi, pembongkaran kekuasaan kelas atas.[3]
Ketiga, dengan demikian, menjadi jelas mengapa bagi Marx setiap kemajuan dalam susunan masyarakat hanya dapat tercapai melalui revolusi. Begitu kepentingan kelas bawah yang sudah lama ditindas mendapat angin, kekuasaan kelas penindas mesti dilawan dan digulingkan. Apabila kelas bawah bertambah kuat, kepentingannya akan mengalahkan kepentingan kelas atas. Sebaliknya, kelas atas, karena ia kelas atas, berkepentingan untuk mempertahankan kekuasaan. Maka, kelas atas tidak pernah mungkin merelakan perubahan sistem kekuasaan, karena perubahan itu niscaya mengakhiri peranannya sebagai kelas atas. Karena itu, sebuah perubahan sistem sosial hanya dapat tercapai dengan jalan kekerasan, melalui revolusi.[4]
Itulah sebabnya mengapa Marxisme menentang semua usaha untuk memperdamaikan kelas-kelas yang saling bertentangan, mengapa mereka mereka bersitegang bahwa reformasi, yaitu perbaikan kedudukan kelas-kelas bawah di dalam sistem sosial yang sudah ada, tidak mungkin. Marxisme yakin bahwa semua reform dan usaha perdamaian antara kelas atas dan kelas bawah hanya menguntungkan kelas atas karena mengerem perjuangan kelas bawah untuk membebaskan diri.

b.     Negara Kelas

Menurut Marx, semua sistem ekonomi sampai sekarang ditandai oleh adanya kelas-kelas bawah dan kelas atau kelas-kelas atas. Struktur kekuasaan dalam bidang ekonomi itu tercermin juga dalam bidang politik. Salah satu pokok teori Karl Marx adalah bahwa negara secara hakiki merupakan negara kelas, artinya dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas (-kelas) yang menguasai bidang ekonomi.
Karena itu, menurut Marx, negara bukanlah lembaga di atas masyarakat yang mengatur masyarakat tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam tangan kelas-kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka. Jadi, negara pertama-tama tidak bertindak demi kepentingan umum, melainkan demi kepentingan kelas-kelas atas. Negara bukanlah sang wasit netral yang melerai perselisihan-perselisihan yang timbul dalam masyarakat secara adil serta mengusahakan kesejahteraan umum. Jadi, negara tidak netral, melainkan selalu berpihak. Sebagaimana ditulis oleh Friedrich Engels: “Negara... bertujuan untuk mempertahankan syarat-syarat kehidupan dan kekuasaan kelas berkuasa terhadap kelas yang dikuasai secara paksa.”
Maka kebanyakan kebijakan negara akan menguntungkan kelas-kelas atas. Negara dapat saja bertindak demi kepentingan seluruh masyarakat, misalnya dengan membangun sarana transportasi, menyelenggarakan persekolahan umum, dan melindungi masyarakat terhadap tindak kriminal. Tetapi, tindakan ini pun demi kepentingan kelas atas, karena kelas atas pun tidak dapat mempertahankan diri apabila kehidupan masyarakat pada umumnya tidak berjalan. Kalau sekali-sekali negara mengadakan perbaikan-perbaikan sosial, hal itu adalah untuk menenangkan rakyat dan untuk membelokkan perhatian rakyat dari tuntutan-tuntutan perubahan yang lebih fundamental. Negara pura-pura bertindak atas nama kesejahteraan seluruh rakyat, tetapi sebenarnya itu hanya siasat untuk mengelabui kelas-kelas pekerja.
Perspektif negara kelas dapat menjelaskan mengapayang biasanya menjadi korban pembangunan adalah rakyat kecil, mengapa pencuri kecil dihukum lebih keras daripada koruptor besar, dan mengapa persentase orang kecil dalam penjara lebih besar daripada persentase mereka dalam masyarakat. Kita sering menyaksikan bahwa orang kecil dikalahkan. Negara itu negara hukum, tetapi orang kecil tidak mempunyai akses terhadap hukum. Sehingga orang besar terlindung, tetapi orang kecil tidak.
Karena negara dianggap selalu merupakan negara kelas yang mendukung kepentingan kelas-kelas penindas, maka negara dalam perspektif Marx termasuk lawan, bukan kawan, orang kecil. Orang kecil hendaknya tidak mengharapkan atau bantuan yang sungguh-sungguh dari negara, karena negara adalah justru wakil kelas-kelas yang menghisap tenaga kerja orang kecil.[5] Negara memungkinkan kelas atas untuk memperjuangkan kepentingan khusus  mereka “sebagai kepentingan umum”.

c.      Ideologi

Mengajukan sesuatu sebagai kepentingan umum yang sebenarnya merupakan kepentingan egois pihak yang berpamrih itulah inti dari apa yang oleh Marx disebut sebagai ideologis. Ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga orang menganggapnya sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi. Kritik ideologi adalah salah satu sumbangan terpenting teori Marx terhadap analisis struktur kekuasaan dalam masyarakat.
Marx memberikan beberapa contoh pendekatan ideologis. Yang disebutkan di atas adalah klaim negara bahwa ia mewujudkan kepentingan umum padahal ia melayani kepentingan kelas berkuasa. Begitu pula tuntutan untuk taat kepada hukum dianggap ideologis, karena tuntutan itu dibenarkan dengan keadilan hukum, padahal hukum melayani kepentingan golongan atas, sedangkan orang kecil sulit memanfaatkan hukum.
Kapitalisme membenarkan diri dengan dua pertimbangan yang khas ideologis karena sekaligus menutup-nutupi bahwa sistem kapitalisme menguntungkan para pemilik modal. Pertama, kapitalisme mengklaim bahwa ia adalah sistem sosial ekonomi pertama yang tidak mengenal privilese, yang memperlakukan setiap orang secara sama, yang menghormati kebebasan siapa pun yang mau berusaha untuk maju dan memberi imbalan atas prestasi. Tetapi, kapitalisme mengabaikan kenyataan bahwa, karena anggota masyarakat tidak sama kekuatannya, kesamaan formal tidak dapat dipergunakan oleh mereka yang lemah. Apabila yang kuat dan yang lemah sama bebasnya, maka yang kuat selalu akan mendahului yang lemah. Begitu pula buruh. Ia memang bebas untuk menerima atau tidak menerima pekerjaan yang ditawarkan. Tetapi, karena ia hanya dapat hidup apabila ia bekerja, maka ia terpaksa “dengan bebas” menerima pekerjaan dengan syarat-syarat yang ditetapkan sepihak oleh majikan.
Kritik ideologi Marx lebih luas jangkauannya. Menurut Marx, semua sistem besar yang memberikan orientasi kepada manusia bersifat ideologis. Yang paling terkenal adalah kritik Marx terhadap agama. Menurut Marx, agama adalah candu rakyat. Candu itu memberikan kepuasan, tetapi kepuasan itu semu karena tidak mengubah situasi buruk si pecandu. Agama menjanjikan ganjaran di akhirat. Maka, rakyat kecil bukannya memperjuangkan perbaikan nasib mereka, tetapi malah bersedia menerima penghisapan dan penindasan yang dideritanya, hal yang justru menguntungkan kelas-kelas yang menindas.[6]
Begitu pula pandangan-pandangan moral masyarakat, nilai-nilai budaya,[7] filsafat, dan seni menunjang kepentingan kelas-kelas atas. Nilai kerukunan, misalnya, menguntungkan majikan karena atas nama nilai itu buruh dapat dilarang mogok: ia bersedia kompromi, bukan memperjuangkan keadilan. Begitu pula tuntutan moral agar kita bersikap sepi ing pamrih, tidak mau menang sendiri, secara efektif dapat mematikan ambisi orang kecil untuk membebaskan diri dari ketertindasannya.
Salah satu kesimpulan yang dapat diambil dari kritik ideologi Karl Marx adalah bahwa kita sebaiknya curiga kalau penguasa mengkotbahi masyarakat tentang nilai-nilai luhur serta kewajiban-kewajiban moral mereka. Sering tanpa disadari, kotbah-kotbah macam itu sarat dengan pamrih, alias ideologis.

d.     Sejarah

Menurut Marx, motor perubahan dan perkembangan masyarakat adalah pertentangan antara kelas-kelas sosial. Kelas-kelas sosial merupakan aktor sejarah yang sebenarnya. Jadi, yang menentukan jalannya sejarah bukan individu-individu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial yang masing-masing memperjuangkan kepentingan mereka. Kepentingan mereka bukan apa yang kebetulan diminatioleh orang-orang tertentu, melainkan ditentukan secara objektif oleh kedudukan kelas masing-masing dalam proses produksi.
Jadi, menurut Marx, tidaklah tepat kalau sejarah dipandang sebagai hasil tindakan raja-raja dan orang-orang besar lainnya. Apa yang diusahakan oleh orang-orang besar yang kita kenali dari buku-buku sejarah, meskipun tidak pernah tanpa kepentingan atau cita-cita pribadi, dalam garis besarnya selalu bergerak dalam rangka kepentingan kelas mereka serta mencerminkan struktur kekuasaan kelas-kelas sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Di belakang semua perang dan pemberontakan, akhirnya terdapat kelas-kelas sosial yang memperjuangkan kepentingan mereka, yang satu tetap menindas segala ancaman terhadap kedudukan mereka, dan yang lain membebaskan diri dari ketertindasan itu.[8] Revolusi Prancis, misalnya, bukan karya raja Louis XVI, melainkan gerak pembebasan kelas menengah dan bawah dari kekuasaan kelas atas feodal.[9]

2.   Mekanisme Perubahan Masyarakat[10]

Pokok teori Marx: negara jangan diharapkan menjadi agen of change. Negara hanyalah pendukung kekuasaan para pemilik. Maka tidak mungkin negara mengadakan perubahan yang sungguh-sungguh “menggigit”. Tidak mungkin kelas-kelas atas memotong dahan di mana mereka duduk.
Marx berpendapat, bahwa setiap perubahan sosial mesti bersifat revolusioner. Tidak ada perubahan perlahan-lahan. Sejarah dimengerti sebagai pergantian terus-menerus antara keadaan-keadaan yang stabil dan tidak berubah yang dapat berlangsung lama dan keadaan-keadaan kegoncangan dan revolusi yang berlangsung dalam waktu singkat dan menghasilkan struktur-struktur kekuasaan yang baru. Mengapa perubahan perlahan-lahan tidak mungkin? Mengapa perubahan harus selalu revolusioner? Jawabannya: karena kelas-kelas atas, berdasarkan kepentingan untuk tetap mempertahankan posisi mereka, menentang setiap perubahan. Maka perubahan baru dapat terjadi apabila kelas-kelas bawah sudah cukup kuat untuk memaksakannya ke kelas-kelas atas, dan itulah revolusi. Kekuatan untuk menjungkirbalikkan sistem kekuasaan yang ada diperoleh oleh kelas-kelas bawah melalui perjuangan kelas yang membutuhkan jangka waktu panjang sampai mereka dapat mematahkan kekuasaan kelas-kelas atas. Semula mereka tentu ditindas dan gagal. Tetapi, lama-kelamaan daya juang kelas-kelas bawah semakin besar, sehingga akhirnya mereka dapat mengalahkan kelas-kelas atas. Kemenangan itulah yang melahirkan struktur masyarakat yang formasinya lebih tinggi. Maka, Marx berpendapat bahwa perjuangan kelas adalah motor kemajuan sejarah.

3.   Kapitalisme dan Sosialisme[11]

Menurut pandangan sejarah materialis, yang menjadi motor perkembangan masyarakat adalah ketegangan-ketegangan dalam bidang ekonomi, tepatnya dalam hubungan produksi, yaitu pertentangan kepentingan antara kelas-kelas atas dan kelas-kelas bawah, dan ketegangan itu sendiri ditentukan oleh perkembangan alat-alat produksi.
Marx menyatakan dapat memastikan secara ilmiah bahwa kapitalisme mesti runtuh dan sosialisme merupakan hasil perkembangan sejarah yang tak terelakkan. Kapitalisme, karena dinamikanya sendiri, menuju ke keruntuhannya.
Zaman feodal memang penuh dengan nilai-nilai suci dan luhur, dengan sikap dan adat seperti kerukunan, kegotongroyongan, dan penghormatan terhadap raja atau bangsawan, dengan tatanan sosial di mana kedudukan di atas dan di bawah dianggap sesuatu yang adiduniawi. Padahal, itulah implikasi Marx, segala macam hubungan, tatanan, sikap, perasaan, upacara, dan norma feodal itu sebenarnya tidak lebih daripada selubung suci yang menutup-nutupi eksploitasi kelas-kelas feodal atas kelas-kelas bawah. Di belakang perasaan sungkan dan hormat masyarakat terhadap raja serta kepercayaannya akan kebaikannya tersembunyilah kerakusan kelas-kelas atas yang hidup dari pekerjaan rakyat. Nilai-nilai feodal tidak lebih dari selubung ideologis kenyataan bahwa masyarakat feodal adalah masyarakat berdasarkan penghisapan manusia atas manusia.
Borjuasi merobek selubung-selubung suci itu, menggantikan penghisapan yang ditutup-tutup oleh ilusi religius dan politik dengan penghisapan terbuka, tak malu-malu, langsung, kering.
Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang hanya mengakui satu hukum: hukum tawar-menawar di pasar. Jadi, kapitalisme adalah ekonomi yang bebas: bebas dari pelbagai pembatasan oleh raja dan penguasa lain (orang boleh membeli dan menjual barang di pasar mana pun), bebas dari pembatasan-pembatasan produksi (orang bebas mengerjakan dan memproduksikan apa pun yang dikehendaki), bebas dari pembatasan tenaga kerja (orang boleh mencari pekerjaan di mana pun, ia tidak terikat pada desa atau tempat kerjanya). Yang menentukan semata keuntungan yang lebih besar.
Dari segi output perbedaan kapitalisme dari sistem-sistem produksi lain adalah bahwa nilai yang ingin dihasilkan oleh para peserta pasar adalah nilai tukar bukan nilai pakai. Maksudnya, orang memproduksi atau membeli sesuatu bukan karena ia mau menggunakannya, melainkan karena ia ingin menjualnya lagi dengan keuntungan setinggi mungkin. Keuntungan itu sendiri mahapenting, karena hanya kalau laba cukup besar, seorang usahawan akan bertahan dalam persaingan yang ketat dengan pengusaha lainnya. Secara sederhana, tujuan sistem ekonomi kapitalis adalah uang, dan bukan barang, yang diproduksi. Barang hanyalah sarana untuk memperoleh uang.

Pembentukan Kelas Proletariat

Hukum keras kapitalisme adalah persaingan. Demi persaingan, produktifitas produksi harus ditingkatkan terus menerus. Artinya, biaya produksi perlu ditekan serendah mungkin sehingga hasilnya dapat dijual semurah mungkin dan dengan demikian menang terhadap hasil produksi saingan. Dengan demikian, lama-kelamaan semua bentuk usaha yang diarahkan secara tidak murni ke keuntungan akan kalah. Dan itu berarti bahwa hanya usaha-usaha besar yang dapat survive. Toko-toko dan perusahaan-perusahaan kecil tidak dapat menyaingi efisiensi kerja—jadi produktivitas—usaha-usaha besar. Lama-kelamaan semua bidang produksi maupun pelayanan dijalankan secara kapitalistik. Apa yang semula dijalankan secara iseng-iseng dan sampingan, misalnya membuka biro perjalanan, akan dijalankan dengan semakin efisien dan hal itu hanya mungkin dilakukan oleh usaha-usaha besar. Maka usaha kecil akan dimakan oleh yang besar.
Begitu pula kelas petani. Lama-kelamaan akan hilang. Pertanian menjadi usaha produksi hasil pertanian. Hanya usaha besar yang dapat bertahan dan mampu mengorganisasikan pertanian secara idustrial. Dalam persaingan dengan industri kimia, industri pertanian harus mengorganisasikan diri secara kapitalistik. Akhirnya, tinggal dua kelas sosial saja: para pemilik modal yang jumlahnya sedikit dan modalnya amat besar, dan kelas buruh.
Sementara ini kelas buruh pun mengalami perkembangan. Kelas buruh bertambah terus karena kebanyakan anggota kelas menengah lama-kelamaan kehilangan dasar eksistensi mereka. Mereka tidak dapat bertahan dalam persaingan dengan modal besar dan akhirnya bangkrut, lalu masuk ke dalam kelas buruh. Begitu pula keanekaragaman pekerjaan semakin berkurang. Para tukang ahli semakin menjadi buruh biasa. Sekaligus, untuk menekan biaya produksi, para pemilik modal niscaya akan terus menekan upah dan imbalan kerja kaum buruh agar daya saing mereka ditingkatkan. Maka kaum buruh pun semakin melarat. Akhirnya, kelas buruh sampai tidak dapat membeli lagi apa yang perlu untuk bekerja, mereka “merosot ke bawah syarat-syarat eksistensi kelas mereka sendiri”.
Tetapi, di lain pihak, kelas buruh menjadi semakin sadar akan situasinya, akan eksploitasi yang mereka derita, akan kesamaan situasi mereka sebagai kelas proletariat. Pada permulaan, para buruh belum mempunyai kesadaran kelas. Mereka berhadapan dengan kaum kapitalis masing-masing sendiri-sendiri. Mereka bersaing satu sama lain dalam mencari tempat kerja. Tetapi, pengalaman bersama dalam memperjuangkan kepentingan mereka terhadap para kapitalis menjadikan kaum buruh semakin sadar bahwa mereka merupakan satu kelas senasib sepenanggungan. Buruh tidak lagi merasa diri sebagai tukang kunci, tukang kayu, atau tukang cat, melainkan sebagai sama-sama buruh.
Kaum buruh mengorganisasikan diri dalam serikat-serikat buruh. Dengan demikian, perjuangan proletariat semakin efektif. Majikan tidak lagi dapat mempermainkan mereka dengan memanfaatkan persaingan antara mereka. Buruh, semakin dihisap, daya juang mereka semakin tinggi. Tujuan perjuangan proletariat bukan lagi sekedar kenaikan upah, melainkan penghapusan hak milik kaum kapitalis atas alat-alat produksi. Ternyata, kapitalisme sendiri memproduksi kelas yang akan menghancurkan mereka sendiri, yaitu proletariat.
Pemerataan semua bentuk pemilikan menjadi pemilikan modal di satu pihak, pemerataan segala bentuk pekerjaan menjadi pekerjaan upahan di lain pihak, akhirnya menghasilkan keadaan di mana hanya tinggal dua kelas saja yang saling berhadapan: kaum kapitalis dan kaum proletar. Tetapi dua kelas itu tidak seimbang: kelas kapitalis adalah amat kecil karena kebanyakan kapitalis yang lemah sudah hancur dalam persaingan tajam di pasar bebas dan masuk ke dalam proletariat. Padahal, dalam tangan kelompok kecil orang itu berkumpullah seluruh modal raksasa yang telah tercipta dan terus bertambah. Sedangkan proletariat memuat hampir seluruh anggota masyarakat, tetapi mereka tidak memiliki apa-apa.
Tetapi, meskipun proletariat sudah terhisap habis, pemelaratan mereka berjalan terus di bawah tekanan pasar yang tampa ampun menuntut peningkatan produktivitas dari perusahaan-perusahaan yang ingin bertahan. Dengan demikian, irasionalitas sistem produksi kapitalis mencapai puncaknya: gudang dan toko penuh dengan segala macam komoditas yang amat dibutuhkan dan diminati masyarakat, tetapi masyarakat tidak kuat untuk membelinya. Sang kapitalis tidak dapat menjual barang yang diproduksikannya, dan sang proletar tidak dapat membeli barang yang ditawarkan. Di depan toko-toko yang penuh barang kebutuhan, rakyat yang terdiri atas proletariat tidak mempunyai apa-apa lagi. Dengan demikian, akhirnya tercapai titik di mana proletariat tinggal memilih antara dua alternatif saja: mati atau memberontak.
Semakin miskin buruh, semakin tinggi kesadaran kelas. Semangat juang mereka semakin kokoh. Mereka tidak ingin membiarkan diri mati. Mereka akan memberontak. Mereka akan menjalankan revolusi sosialis.
Revolusi itu pada permulaannya bersifat politis: proletariat merebut kekuasaan negara dan mendirikan diktator proletar. Tujuannya sebatas menindas kaum kapitalis: mencegah mereka menggagalkan revolusi proletar maupun mengembalikan status quo. Diktator proletar hanya bertugas sebatas mengembalikan hak milik atas tanah, pabrik-pabrik, serta alat-alat produksi lainnya. Apabila perbedaan kelas dalam masyarakat sudah hilang, dengan sendirinya diktator proletar juga hilang karena tidak ada lagi kelas yang perlu diawasi dan ditindas lagi. Dengan demikian, produksi sudah terpusat dalam tangan individu-individu yang berasosiasi, maka kekuasaan umum kehilangan sifat politisnya. Negara lama-kelamaan menghilang.[12]
Jadi, dengan merebut kekuasaan dan menghapus hak milik pribadi, proletariat akhirnya menciptakan masyarakat tanpa kelas. Dalam masyarakat tanpa kelas, negara sebagai “panitia untuk mengurus kepentingan borjuasi” tidak mempunyai dasar lagi: “Negara tidak ‘dihapus’, negara menjadi layu dan mati sendiri.” (Engels).[13]

4.   Ajaran tentang Krisis-krisis Kapitalisme[14]

a.   Ajaran tentang Konsentrasi dan Akumulasi Modal

Hukum pasar ditentukan oleh persaingan. Makin besar laba, makin baik harapan sebuah perusahaan untuk menang dalam persaingan. Salah satu cara mengalahkan saingan adalah menurunkan harga produk. Mereka harus terus meningkatkan produktivitas perusahaan mereka. Untuk tujuan itu, kaum kapitalis terus memperbarui mesin-mesin mereka. Dalam persaingan keras ini, para kapitalis yang bermodal kecil tidak dapat bertahan. Lama-kelamaan perusahaan dengan modal kecil bangkrut. Karena itu, kapitalisme, menurut Marx, di mana-mana menunjukkan tendensi ke arah konsentrasi modal di tangan orang yang semakin sedikit. Jadi modal semakin bertumpuk-tumpuk di sedikit tempat saja. Itulah yang dimaksud dengan “hukum konsentrasi dan akumulasi modal”. Dalam proses ini, jumlah proletariat terus bertambah, karena para pengusaha kecil, para tukang dan pemilik bengkel kecil, para petani dan wiraswasta kecil lainnya lama-kelamaan mati dalam persaingan dengan industri besar, sehingga mereka tersapu ke dalam proletariat.

b.   Pemelaratan yang Terus Bertambah

Agar dapat bertahan dalam persaingan, si kapitalis harus membuat produksinya menjadi lebih murah, dan karena itu ia mencoba untuk terus-menerus menekan upah buruh. Karenanya, proletariat menjadi semakin miskin. Menurut The German Ideology dan Manifesto Komunis, revolusi tak terelakkan karena proletariat harus sedemikian melarat sehingga harus memilih antara mati atau berrevolusi.

c.    Ajaran tentang Krisis Ekonomi

Titik terakhir kapitalisme tercapai apabila produksi kapitalis berlimpah ruah, tetapi masyarakat yang membutuhkannya terlalu miskin untuk membelinya. Toko-toko penuh dengan segala apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, tetapi orang tidak dapat membelinya. Itulah puncak irasionalitas sistem kapitalisme. Sementara itu, militansi proletariay terus meningkat. Pada saat itulah revolusi sosialis tak terelakkan.[15]
Dalam bahasa Marx: “Dengan jumlah kapitalis besar yang terus berkurang... tumbuhlah massa kemelaratan, tekanan, perbudakan, kepalsuan, penghisapan, dan kemarahan kelas buruh yang terus bertambah besar dan dididik oleh mekanisme proses produksi kapitalis itu sendiri... tibalah saat kehancuran hak milik pribadi. Para perampas dirampas.

5.   Teori tentang Nilai Lebih

a.        Nilai-Lebih

Mari kita bertolak dari pengandaian bahwa seorang buruh membutuhkan rata-rata sepuluh ribu rupiah per hari supaya ia dan keluarganya dapat hidup, artinya memulihkan tenaga kerja serta membesarkan anak-anaknya supaya kemudian hari mereka dapat menggantikannya (di mana, misalnya, termasuk biaya sekolah dan sebagainya). Jadi nilai tenaga kerjanya adalah sepuluh ribu rupiah per hari. Marx mengandaikan bahwa dalam keadaan ekonomi normal, majikan yang membeli tenaga kerja buruh itu akan membayar upah yang “sesuai”, dalam kasus kita sekitar sepuluh ribu rupiah (kalau jumlah buruh yang menawarkan diri berlimpah, “harga” tenaga kerja, dibedakan dari “nilainya”, akan turun, jadi upah akan kurang dari Rp 10.000; sebaliknya,kalau ada kekurangan buruh, upah akan naik di atas Rp 10.000; tetapi pada hakikatnya upah buruh akan berkisar sekitar Rp 10.000).
Sesudah majikan membeli tenaga kerja buruh itu, apa yang akan dilakukannya? Ia memakainya. Artinya, ia menyuruh buruh bekerja. Berapa lama? Karena ia membeli seluruh tenaga kerja buruh (dan membayarnya sesuai dengan nilainya), ia memilikinya seluruhnya. Jadi, ia akan memakai tenaga kerja itu sepenuhnya. Secara teoritis, ia boleh memakainya selama 24 jam per hari. Tetapi, karena manusia tidak dapat bekerja terus-menerus, melainkan memerlukan waktu istirahat, waktu kerja dengan sendirinya kurang dari 24 jam/hari. Majikan yang bijaksana tidak akan mempekerjakan buruh sedemikian ketat sehingga mutu tenaga kerja (yang dibelinya) menurun. Misalnya, ia mempekerjakannya selama delapan jam setiap hari ) yang berarti bahwa buruh sesudah bekerja capai dan tidak dapat bekerja lagi; itulah yang artinya seluruh tenaga dihabiskan). Jadi, buruh bekerja enam hari seminggu (satu hari dibebaskan untuk pemulihan tenaga kerja lebih menyeluruh) selama delapan jam per hari dengan upah Rp 10.000.
Mari kita andaikan bahwa yang berhasil diproduksikan dalam pekerjaan delapan jam itu bernilai Rp 20.000. Jadi, dengan tenaga kerja buruh itu, majikan  memperoleh nilai total Rp 20.000. Padahal, upah yang diterima hanyalah Rp. 10.000. Untuk menciptakan nilai yang seimbang dengan upahnya sebenarnya buruh hanya perlu bekerja selama empat jam. Tetapi, karena ia sudah menjual seluruh tenaga kerjanya kepada majikan, ia harus menghabiskannya seluruhnya, artinya, ia harus bekerja delapan jam (atau lebih, andaikata mungkin). Pekerjaan empat jam melebihi apa yang perlu untuk menggantikan tenaga kerja buruh itu adalah nilai-lebih. Jadi, nilai lebih adalah diferensi antara nilai yang diproduksikan selama satu hari oleh pekerja dan biaya pemulihan tenaga kerjanya.

Tambahan:
Perlu diingat, bahwa menurut Marx, satu-satunya keuntungan si kapitalis adalah pekerjaan buruh. Pekerjaan mesin-mesin tidak memberikan keuntungan, karena hanya memproduksikan kembali apa yang perlu dikeluarkan untuk pembelian mereka. Jadi, pertambahan konstan (mesin-mesin) tidak menambah laba. Maka meskipun jumlah laba absolut barangkali bertambah, tapi persentase laba atas modal yang dipakai terus berkurang.
Itu adalah salah satu “hukum ekonomi kapitalis” Marx yang paling banyak dipersoalkan apakah memang benar, yaitu “hukum persentase laba yang terus berkurang”. Kita tidak perlu memasuki diskusi sekitar keabsahan hukum ini. Dalam teori Marx, hukum ini penting. Mengapa? Karena berkurangnya laba hanya dapat diimbangi dengan satu cara, dengan meningkatkan nilai lebih. Jadi, dengan meningkatkan eksploitasi. Kalau, misalnya, semula buruh bekerja empat jam untuk upahnya dan selama empat jam lagi menghasilkan nilai lebih, maka dengan kenaikan produktivitas ia hanya perlu bekerja dua jam untuk upahnya dan selama enam jam menghasilkan nilai lebih. Jadi, penghisapan tenaga manusia bertambah terus.

b.   Teori tentang Laba

Satu-satunya sumber keuntungan dalam proses produksi kapitalis adalah tenaga kerja buruh, tepanya nilai-lebih.
Dalam sistem produksi sosialis pun—di mana tidak ada si kapitalis—para pekerja memproduksikan nilai-lebih. Tetapi, nilai-lebih itu seluruhnya tetap menjadi milik mereka, entah mereka menanamkannya kembali ke dalam pabrik tempat mereka bekerja, entah mereka menggunakannya untuk konsumsi pribadi. Yang eksploitatif bukan nilai-lebih itu sendiri, melainkan bahwa ia semata-mata menjadi milik si pemilik modal, entah untuk konsumsi pribadinya, entah ditanamkan kembali dalam perusahaan yang, meskipun modal yang ditanamkan lagi dihasilkan oleh buruh, menjadi milik ekslusif si kapitalis.[16]

6.   Keterasingan dalam Pekerjaan

Marx memahami bahwa keterasingan manusia dari kesosialannya diproduksi dalam pekerjaan di bawah sistem ekonomi kapitalis. Tampak bahwa teori Marx tidak bebas nilai sebagaimana didogmakan oleh Marxisme ortodoks. Marx mempunyai pandangan tentang hakikat manusia serta bagaimana manusia seharusnya diperlakukan. Jadi, Marx ternyata mempunyai keyakinan-keyakinan moral yang jelas meskipun ia tidak pernah memaparkannya secara terbuka dan meskipun ia kemudian mencoba untuk menutup-nutupi karena takut dianggap tidak ilmiah.

I.     Pekerjaan: Sarana Manusia untuk Menciptakan Diri Sendiri

Keterasingan dalam pekerjaan adalah dasar segala keterasingan manusia karena, menurut Marx, pekerjaan adalah tindakan manusia yang paling dasar: dalam pekerjaan, manusia membuat dirinya menjadi nyata. Visi pekerjaan itu diperoleh Marx dari Hegel.

a.      Pekerjaan sebagai Objektivasi Manusia

Dalam arti apa manusia menyatakan diri dalam pekerjaan? Mari kita ambi contoh seorang pengukir. Ia masuk hutan, menebang sebatang pohon yang kayunya sesuai, mengulitinya, lalu mulai mengukir sampai sempurna patung seekor kera. Apa yang dilakukannya? Dari potongan kayu itu, ia mengambil bentuknya yang alami dan memberikan kepadanya bentuk baru, bentuk yang dikehendakinya sendiri. Bentuk alami diambil dan diberi bentuk manusiawi (bentuk yang dikehendaki manusia). Bentuk kayu yang telah menjadi patung mencerminkan kehendak dan kemampuan si pengukir. Apa yang hanya ada di kepalanya sekarang menjadi kenyataan objektif. Sekarang ia mempunyai kepastian tentang dirinya sendiri: ia tidak hanya bermimpi menjadi seniman, ia memang seorang seniman.
Hal yang sama terjadi dalam setiap pekerjaan. Bekerja berarti bahwa manusia mengambil bentuk alami dari objek alami dan memberikan bentuknya sendiri. Ia mengobjektivasikan diri ke dalam alam melalui pekerjaan. Ia dapat melihat dirinya dalam hasil kerjanya, mendapat kepastian tentang bakat dan kemampuannya. Ia menjadi nyata. Itu berlaku bagi segala macam pekerjaan: bagi petani yang kecakapannya tercermin dalam sawah yang menghijau, bagi tukang las, bagi si ilmuwan, bagi ibu yang memasak. Manusia selalu melahirkan kekuatan-kekuatan hakikatnya ke dalam realitas alami: dengan demikian alam menjadi alam manusia, mencerminkan siapa manusia itu, membuktikan realitas hakikat manusia.
Makna pekerjaan itu tercermin dalam perasaan bangga. Keringat yang tercurah tidak berarti apa pun ketika dihadapkan dengan kebanggaan melihat hasil pekerjaan kita. Kita betul-betul membenarkan diri di dalamnya. Pekerjaan membuktikan kepada kita bahwa kita tidak berkhayal, meainkan nyata.

b.     Pekerjaan Sifat Sosial Manusia

Tetapi, makna pekerjaan tidak terbatas pada orang yang bekerja itu saja. Melalui pekerjaan, manusia membuktikan diri sebagai makhluk sosial. Tidak mungkin setiap orang menghasilkan sendirian apa saja yang dibutuhkannya.
Jadi, hasil pekerjaan kita memenuhi kebutuhan orang lain, pekerjaan kita ternyata membuat orang lain gembira. Sebaliknya, karena dia menerima dan menghargai hasil pekerjaan kita, kita merasa diakui olehnya. Kita merasa berarti karena tahu bahwa kita berarti bagi orang lain. Ternyata kita mampu memenuhi kebutuhan orang lain. Karena itu—andaikan struktur masyarakat mengizinkan—kita sebenarnya lebih senang menghadiahkan hasil kerja kita kepada orang lain daripada menjualnya. Kita merasa dihormati apabila hasil kerja kita diterima oleh orang lain. Karena itu, pekerjaan itu menggembirakan.

II.      Keterasingan dalam Pekerjaan

Kalau pekerjaan menjadi sarana perealisasian diri manusia, seharusnya bekerja mesti menggembirakan. Bekerja mestinya memberikan kepuasan. Tetapi, dalam kenyataan, yang sering terjadi adalah kebalikannya. Bagi kebanyakan orang, dan khususnya bagi para buruh industri dalam sistem kapitalis, pekerjaan tidak merealisasikan hakikat mereka melainkan justru mengasingkan mereka.
Mengapa demikian? Karena, jawab Karl Marx, dalam sistem kapitalisme, orang tidak bekerja secara bebas dan universal, melainkan semata-mata terpaksa, sebagai syarat untuk bisa hidup. Jadi, pekerjaan tidak mengembangkan, melainkan mengasingkan manusia, baik dari dirinya sendiri, maupun orang lain.

a.   Terasing dari Dirinya Sendiri

Keterasingan dari dirinya sendiri mempunyai tiga segi. Pertama, si pekerja merasa terasing dari produknya. Hasil pekerjaan seharusnya menjadi sumber perasaan bangga, seharusnya mencerminkan kecakapan pekerja, karena “produk pekerjaan... adalah objektivasi pekerjaan..... Pekerja meletakkan hidupnya ke dalam objeknya”. Tetapi, sebagai buruh upahan, ia tidak memiliki hasil pekerjaannya. Produknya adalah milik pemilik pabrik. Apalagi apabila ia hanya mengerjakan bagian terkecil dari produk yang ketika sudah jadi, barangkali tak pernah dilihatnya. Yang dikerjakannya tak ada artinya baginya. Marx mengomentari: “Semakin si pekerja menghasilkan pekerjaan, semakin ia, dunia batinnya, menjadi miskin.”
Karena hasil pekerjaan terasing darinya, tindakan bekerja itu sendiri pun kehilangan arti bagi si pekerja. Itulah segi kedua keterasingan. Bukannya menjadi pelaksanaan hakikat yang bebas dan universal, pekerjaan malah menjadi pekerjaan paksaan. “Si pekerja baru ada pada dirinya sendiri apabila ia tidak bekerja, dan, apabila ia bekerja, ia berada diluar dirinya sendiri.... Begitu ia tidak terpaksa, ia akan lari dari pekerjaannya seperti dari penyakit sampar”, karena ia tidak dapat bekerja menurut hasrat dan dorongan batin, melainkan harus menerima pekerjaan apa saja yang ditawarkan oleh pemilik pabrik.
Jadi, bukan pekerjaan itu kebutuhan si pekerja, melainkan ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup di luar pekerjaan. Ia harus menjadikan kegiatan hidupnya, pekerjaan, sebagai sarana untuk mempertahankan kehidupan fisik. Ia bekerja untuk tidak kelaparan. Itulah keterasingan dalam pekerjaan.
Tetapi, karena pekerjaan adalah tindakan hakiki manusia, maka dengan memperalat pekerjaannya semata-mata demi tujuan memperoleh nafkah, manusia memperalat dirinya sendiri. Dalam pekerjaan, manusia tidak mengembangkan diri, melainkan memiskinkan diri. Seluruh perhatian terpusat pada satu-satunya saat di mana ia masih dapat menjadi dirinya sendiri: waktu pekerjaan selesai dan ia dapat pulang dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiknya. Padahal, pemenuhan kebutuhan fisik sebenarnya adalah sarana untuk mengembangkan diri—dalam pekerjaan dan kegiatan yang bermakna. Dengan demikian, ia menyangkal dirinya sebagai makhluk yang bebas dan universal. Ia tidak lagi bebas karena bekerja di bawah perintah orang lain, dan pekerjaannya tidak lagi universal karena, sama dengan binatang, semata-mata terarah pada pemenuhan fisik di luar pekerjaan. Ia hanya bekerja untuk dapat hidup terus.

b.   Terasing dari Orang Lain

Tetapi, kalau manusia terasing dari hakikatnya, ia sekaligus terasing dari sesamanya. Pekerjaan upahan juga menyebabkan keterasingan antar manusia. Keterasingan dari hakikatnya berarti manusia terasing dari sesamanya karena sifatnya yang sosial terasing juga daripadanya.
Secara empiris, keterasingan dari sesama menyatakan kepentingan-kepentingan yang bertentangan. Ada dua arah. Pertama, dalam sistem hak milik pribadi di mana mereka yang bekerja berada di  bawah kekuasaan para pemilik yang tidak bekerja, masyarakat terpecah ke dalam kelas-kelas pekerja dan kelas-kelas para pemilik. Dua macam kelas itu saling berlawanan, bukan karena secara emosional tidak saling menyukai, melainkan karena kepentingan mereka secara objektif saling bertentangan. Si pemilik mau tak mau harus mengusahakan untung setinggi-setingginya. Untuk itu, ia harus mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk upah dan fasilitas pekerja lain. Sedangkan para pekerja dengan sendirinya berkepentingan mendapat upah setinggi mungkin dan syarat-syarat kerja yang baik. Kaum buruh dan para pemilik terasing satu sama lain.
Tetapi, keterasingan itu juga merusak hubungan di dalam masing-masing kelas. Buruh bersaing dengan sesama buruh dan pemilik modal dengan pemilik modal. Para buruh berebut tempat kerja, sedangkan para pemilik modal berebut pasar. Marx memperlihatkan bahwa dalam masyarakat yang berdasarkan hak milik, hubungan antar manusia mesti bersifat saingan: keuntungan yang satu merupakan kerugian yang lain.
Tanda keterasingan itu adalah kekuasaan uang, “Pelacur umum, mak comblang manusia dan bangsa-bangsa.” Manusia tidak lagi bertindak demi sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri atau demi kebutuhan sesamanya, melainkan hanya sejauh tindakannya menghasilkan uang. Semuanya dilihat dari segi harganya. Maka, uang menandakan keterasingan manusia dari alam dan dari sesama manusia. Di alam kapitalisme, orang, misalnya, meminati sebuah lukisan bukan demi keindahannya, tetapi sebagai penanaman modal; ia juga dapat membeli emas, sama saja. Yang penting nilai  uangnya, bukan barang (“alam”) itu sendiri. Begitu pula meskipun orang lapar, tetapi apabila ia tidak mempunyai uang, saya tidak akan memberikan makanan kepadanya. Dan sebaliknya, asal saya mempunyai uang, biarpun  saya tidak lapar, saya dapat memperoleh makanan sebanyak yang saya kehendaki. Keterasingan dari manusia lain terlihat dalam fakta bahwa kebutuhannya tidak lagi mendesak saya untuk memenuhinya meskipun saya mampu. Sikap saya seluruhnya egois. Saya hanya akan memenuhi kebutuhan orang lain sejauh saya sendiri memperoleh keuntungan darinya. Sifat sosial yang termasuk hakikat manusia sudah terasing.
Hubungan antarmanusia yang tidak terasing, diperlihatkan oleh Marx dengan indah pada hubungan cinta antara laki-laki dan perempuan. “Hubungan langsung, alami, niscaya, manusia dengan manusia adalah hubungan laki-laki dengan perempuan. Dalam hubungan alami ini, hubungan manusia dengan alam langsung menjadi hubungan dengan manusia, sebagaimana hubungan dengan manusia langsung adalah hubungan dengan alam.... Dalam hubungan ini juga terlihat sejauh mana kebutuhan manusia menjadi kebutuhan manusiawi, jadi sejauh mana orang lain sebagai manusia menjadi kebutuhan, sejauh mana ia dalam eksistensi individual sekaligus makhluk sosial”. Maksud Marx: dalam cinta, laki-laki dan perempuan saling menjadi kebutuhan secara alami; secara alami dan spontan manusia yang satu terdorong dan gembira untuk memenuhi kebutuhan manusia yang lain, tanpa melirik pada keuntungan egoisnya sendiri. Apabila dua orang saling mencintai, mereka ingin saling membahagiakan. Kebahagiaan yang satu adalah kebahagiaan yang lain dan sebaliknya. Apabila mereka saling memberi hadiah, mereka tak pernah berpikir untuk menuntut pembayaran. Maka cinta sejati merupakan hubungan di mana individu bersifat individu sekaligus bersifat sosial.

III.   Hak Milik Pribadi

Bagaimana keterasingan manusia dapat diakhiri dan manusia dijadikan utuh kembali? Dalam naskah-naskah Paris, Marx belum memberikan jawaban yang analitis. Tetapi, ia mulai merenungkan sebuah pertanyaan yang perlu dijawab terlebih dahulu: mengapa sampai terjadi keterasingan dalam pekerjaan?
Kita melihat bahwa pekerjaan yang mengasingkan adalah pekerjaan upahan. Orang bekerja demi upah tidak bekerja demi pekerjaan, tidak demi pengembangan diri, melainkan bekerja karena terpaksa. Untuk hidup, ia membutuhkan uang dan untuk mendapatkan uang, ia harus bekerja sesuai kehendak majikan yang menawarkan pekerjaan. Maka, baik pekerjaan itu sendiri maupun hasil pekerjaannya tidak ada sangkut pautnya dengan kepribadiannya. Demi upah, si pekerja memperalat kegiatan hakikinya, jadi ia memperalat dirinya sendiri. Maka, ia pun terasing dari hakikatnya.
Tetapi, pekerjaan upahan hanya sebagian dari hak milik pribadi atas alat-alat produksi. Sistem hak milik pribadi memisahkan antara pemilik dan pekerja, antara yang menguasai alat kerja dan yang menguasai tenaga kerja. Jadi, keterasingan dalam pekerjaan adalah akibat langsung sistem hak milik pribadi. Dalam sistem hak milik, majikan memonopoli kesempatan kerja. Karena itu, orang yang perlu bekerja, harus mengkontrakkan diri kepada majikan. Dengan demikian, majikan dapat hidup dari penghisapan tenaga buruh, sedangkan buruh harus menyangkal diri dan memperbudak diri pada majikan.
Adalah menarik bahwa menurut Marx hubungan hak milik pribadi juga mengasingkan majikan dari hakikatnya. Majikan pun tidak mampu mengembangkan diri sebagai manusia. Ia hanya secara pasif menikmati hasil kerja orang lain, padahal—di sini Marx mengikuti Aristoteles—nikmat pasif saja tidak mengembangkan manusia. Hanya, majikan mengalami sudut madu keterasingan, sedangkan buruh mengalami sudut pahitnya. Dengan demikian, sistem hak milik pribadi mengasingkan baik pemilik maupun pekerja dari diri sendiri: pemilik terpisah dari pekerjaan dan pekerja tidak berkembang di dalamnya. Pada akhirnya, segala keterasingan manusia adalah akibat dari sistem hak milik pribadi. Bukan keadaan politis, bukan agama yang menjadi sumber keterasingan dan egoisme manusia, melainkan penataan produksi menurut sistem hak milik pribadi.
Tetapi, mengapa manusia mengorganisasikan proses produksi dalam sistem hak milik pribadi? Mengapa pekerjaan dan pemilikan mesti dipisahkan? Jawaban atas pertanyaan ini penting karena penghapusan hak milik pribadi tergantung padanya. Menurut Marx, hak milik pribadi bukan hasil sebuah keputusan kebetulan, melainkan hasil sebuah proses yang tak terelakkan, proses pembagian kerja. Pembagian kerja perlu untuk meningkatkan efisiensi kelompok dalam melindungi diri dan menjamin kebutuhan-kebutuhannya. Semula semua orang dalam kelompok masih melakukan semua kegiatan bersama-sama. Tetapi, masyarakat purba itu segera menyadari bahwa jauh lebih efisien kalau pekerjaan dibagi. Wanita yang secara alami sudah lain dari pria karena mengandung, melahirkan, dan menyusui anak, diberi pekerjaan di sekitar tempat tinggal kelompok, sedangkan pria berburu dan berperang. Kemudian, barangkali yang pandai membuat kapak dan panah disuruh tinggal di rumah dan bekerja, tak perlu ikut berburu. Orang yang kelihatan lebih pandai dibebaskan dari pelbagai tugas agar dapat memimpin kelompok. Dengan perpisahan antara pekerjaan jasmani dan rohani, perpisahan umat manusia ke dalam kelas-kelas pekerja dan kelas-kelas yang hidup dari pekerjaan jasmani orang lain semakin terwujud.
Maka Marx membedakan tiga tahap umat manusia. Tahap pertama adalah masyarakat purba sebelum pembagian pekerjaan dimulai. Tahap kedua—yang masih berlangsung—adalah tahap pembagian kerja sekaligus tahap hak milik pribadi dan tahap keterasingan. Tahap ketiga adalah tahap kebebasan, yaitu apabila hak milik pribadi sudah dihapus. Jadi, sistem hak milik pribadi  bukan sebuah “kecelakaan”, melainkan tahap yang pasti dalam perjalanan umat manusia ke tahap kebebasan. Tahap hak milik pribadi tak terelakkan karena pembagian kerja tak terelakkan. Hanya melalui pembagian kerja, umat manusia dapat menjamin keberlangsungan hidupnya. Maka, meskipun keterasingan manusia dinilai negatif, ia merupakan tahap yang harus dilalui oleh umat manusia.
Apabila kita menempatkan keterasingan manusia di bawah hak milik pribadi ke dalam perspektif dialektika sejarah, tampak bahwa tahap itu sendiri pun tidak boleh dinilai semata-mata negatif. Pembagian kerja dan hak milik pribadi menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan umat manusia meningkatkan produksi melebihi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan langsung. Tanpa pemaksaan oleh kelas atas, rakyat akan membatasi pekerjaannya pada apa yang langsung dibutuhkan, mengingat untuk itu saja tenaga kerja mereka sering tidak mencukupi. Adanya kelas-kelas atas yang kalau dengan kejam memaksa rakyat untuk membangun istana dan candi, membuat patung, berperang, serta melayani selera kaum elite lainnya, dalam perspektif dialektika sejarah, menjadi faktor yang memacu umat manusia untuk terus-menerus mengembangkan budayanya. Anggapan bahwa monumen-monumen sejarah perlu dihancurkan karena merupakan hasil penghisapan tenaga kerja rakyat dinilai Marx sebagai “komunisme kasar”. Marx menolak penghancuran itu dengan argumen bahwa monumen-monumen itu dan ciptaan budaya lainnya merupakan objektivasi, dan oleh karena itu faktor pengembang kekayaan hakikat manusia, meskipun dalam bentuk terasing. Sesudah hak milik pribadi dihapus dan tahap keterasingan manusia berakhir, monumen-monumen itu akan menjadi milik seluruh umat manusia.
Jadi, jelas bahwa hak milik pribadi tidak dapat dihapus semata-mata karena dianggap menghasilkan keterasingan. Hak milik pribadi adalah akibat keniscayaan sejarah dan hanya dapat dihapus sebagai konsekuensi dinamika keniscayaan sejarah selanjutnya. Sistem hak milik pribadi berdasarkan syarat-syarat objektif dan kerena itu baru akan dihapus apabila kondisi-kondisi objektif itu telah terpenuhi. Apabila hal itu terjadi, prasejarah umat manusia akan berakhir dan manusia akhirnya akan mampu merealisasikan diri secara bebas dan universal. Kekayaan yang telah diciptakan manusia dalam keterasingan akan menjadi milik seluruh umat manusia. Keterasingan manusia dengan alam maupun dengan manusia lain akan berakhir.
Marx melukiskan saat ini—yang disebutnya “komunisme” karena memiliki segala-galanya bersama—dengan kata-kata yang hampir puitis: “Komunisme [adalah] penghapusan positif milik pribadi sebagai keterasingan diri manusia (“positif” karena apa yang telah diciptakan dalam keterasingan tidak ditiadakan, melainkan dimiliki bersama, Franz MS, red.), dan karena itu pemilik nyata hakikat manusia oleh dan bagi manusia; ... komunisme itu adalah sebagai naturalisme utuh = humanisme, sebagai humanisme utuh = naturalisme, ia adalah pemecahan nyata pertentangan antara manusia dengan alam dan dengan manusia, ... antara kebebasan dan keniscayaan... Ia adalah pemecahan teka-teki sejarah.”
Tetapi, kapan hak milik pribadi akhirnya akan terhapus? Kapan kondisi-kondisi objektif penghapusan itu akan terpenuhi? Pertanyaan ini belum juga dijawab oleh Marx.

Basis dan Bangunan Atas

Marx menulis:
“Dalam produksi sosial kehidupan mereka, manusia memasuki hubungan-hubungan tertentu yang mutlak dan tidak tegantung pada kemauan mereka; hubungan-hubungan ini sesuai dengan tingkat perkembangan tertentu tenaga-tenaga produktif materialnya. Jumlah seluruh hubungan-hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat, dasar nyata di mana di atasnya timbul suatu bangunan atas yuridis dan politis dan dengannya bentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu bersesuaian. Cara produksi kehidupan material mengkondisikan proses kehidupan sosial, politik, dan spiritual pada umumnya. Bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, tetapi, sebaliknya, keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka.”
Dalam teks ini, Marx membagikan lingkup kehidupan manusia dalam dua bagian besar, yang satu adalah “dasar nyata” atau “basis” dan yang lain adalah “bangunan atas”. Dasar atau basis itu adalah bidang “produksi kehidupan material”, sedangkan bangunan atas adalah “proses kehidupan sosial, politik, dan spiritual.” Kehidupan bangunan atas (super-structure) ditentukan oleh kehidupan dalam basis (basic-structure).

a.      Basis (basic-structure)

Basis ditentukan oleh dua faktor: tenaga-tenaga produktif dan hubungan-hubungan produksi.
Tenaga-tenaga produktif adalah kekuatan-kekuatan yang dipakai oleh masyarakat untuk mengerjakan dan mengubah alam. Ada tiga unsur yang termasuk tenaga produktif: alat-alat kerja, manusia dengan kecakapan masing-masing, dan pengalaman-pengalaman dalam produksi.
Hubungan-hubungan produksi adalah hubungan kerjasama atau pembagian kerja antara manusia yang terlibat dalam proses produksi. Maksudnya adalah struktur pengorganisasian sosial produksi. Misalnya, pemilik modal dan pekerja. Setelah zaman purba, hubungan-hubungan produksi selalu berupa hubungan kelas, tepatnya struktur kelas yang konkret dan terperinci dari sebuah masyarakat. Ciri khas basis adalah pertentangan antara kelas-kelas atas dan kelas-kelas bawah.
Dan karena struktur kelas pada hakikatnya ditentukan oleh sistem hak milik, hubungan-hubungan produksi itu sama juga dengan hubungan hak milik.
Yang penting adalah bahwa menurut Marx, hubungan-hubungan produksi ditentukan oleh tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif: “Dalam produksi sosial kehidupan mereka, manusia memasuki hubungan-hubungan tertentu yang mutlak dan tidak tergantung pada kemauan mereka; hubungan-hubungan ini sesuai dengan tingkat perkembangan tertentu tenaga-tenaga produktif materialnya.”
Struktur kelas masyarakat bukan sesuatu yang kebetulan, melainkan ditentukan oleh tuntutan efisiensi produksi, jadi oleh tingkat perkembangan perkembangan tenaga-tenaga produktif. Bochenski menjelaskan maksud Marx sebagai berikut: “Kalau misalnya sekelompok orang menangkap ikan dari sebuah perahu, dengan sarana-sarana tertentu, mislnya dengan jala, satu orang harus memberi komando, yang lain memegang kemudi dan seterusnya. Apabila pola alat kerja dan cara produksi sudah ada, hubungan-hubungan produksi tertentu terbentuk dengan niscaya dan tidak tergantung dari kemauan orang.
Maka, yang pertama menentukan hubungan-hubungan produksi atau struktur kelas sebuah masyarakat adalah tenaga-tenaga produktif. Dalam teks di atas, Marx menegaskan bahwa hubungan-hubungan tidak tergantung pada kemauan orang, melainkan pada tuntutan objektif produksi. Dengan demikian, Marx merasa dapat menganalisis perkembangan masyarakat secara ilmiah.
Tetapi, apakah alat-alat kerja sendiri bukan ciptaan manusia? Kita akan segera membahas pertanyaan ini. Untuk sementara cukup dicatat bahwa alat-alat kerja dikembangkan bukan menurut selera manusia, melainkan di bawah tekanan untuk berproduksi dengan semakin efisien. Jadi, ada faktor objektif juga. Tingkat perkembangan alat-alat kerja tidak tergantung pada kesewenangan manusia, melainkan mengikuti logika internal insting manusia untuk mempertahankan diri. Dalam arti itu, perkembangan alat-alat kerja dan tenaga-tenaga produktif memang mutlak.

b.     Bangunan Atas (super-structure)

Bangunan atas (super-structure) terdiri dari dua unsur: tatanan institusional dan tatanan kesadaran kolektif, atau dalam bahasa Marxisme: “bangunan atas ideologis”.
Yang dimaksud dengan tatanan institusional adalah segala macam lembaga yang mengatur kehidupan bersama masyarakat di luar bidang produksi, jadi organisasi sebuah pasar, sistem pendidikan, sistem kesehatan masyarakat, sistem lalu lintas, dan terutama sistem hukum dan negara. Kita akan berfokus pada negara, termasuk hukum.
Sedangkan tatanan kesadaran kolektif memuat segala sistem kepercayaan, norma-norma dan nilai yang memberikan kerangka pengertian, makna, dan orientasi spiritual kepada uasha manusia. Di sini termasuk pandangan dunia, agama, filsafat, moralitas masyarakat, nilai-nilai budaya, seni, dan sebagainya.
Pembagian keseluruhan bidang kehidupan manusia ke dalam bidang produksi (di mana manusia memiliki kesibukan secara nyata dan individual), bidang institusi-institusi (yang memastikan peran masing-masing dan memberi kerangka organisatoris kepada kesibuka itu), dan bidang kepercayaan serta nilai-nilai (yang memberikan makna kepadanya) cukup masuk akal. Tetapi, mengapa yang satu, bidang produksi, dianggap basis yang menentukan, sedangkan dua bidang lain, institusi-institusi dan kepercayaan dan nilai-nilai dianggap bangunan atas? Marx bertolak dari pengandaian bahwa institusi-institusi, agama, moralitas, dan sebagainya ditentukan oleh struktur kelas dalam masyarakat. Menurut Marx, negara selalu mendukung kelas-kelas atas, dan agama serta sistem nilai lainnya memberikan legitimasi kepada kekuasaan kelas-kelas atas itu.
Untuk memahami apa yang dimaksud Marx, kita perlu memperhatikan bahwa hubungan-hubungan produksi dalam basis selalu berupa struktur-struktur kekuasaan, tepatnya struktur kekuasaan ekonomi. Hubungan-hubungan produksi ditandai oleh kenyataan bahwa bidang produksi dikuasai oleh para pemilik. Teori tentang basis dan bangunan atas berarti bahwa struktur-struktur kekuasaan politis dan ideologis ditentukan oleh struktur hubungan hak milik, jadi oleh struktur kekuasaan di bidang ekonomi. Itulah inti konsepsi Marx tentang basis dan bangunan atas. Kita sudah melihat arti kaitan ini. Yang menguasai bidang ekonomi, pada umumnya para pemilik, juga menguasai negara, sehingga kekuasaan negara selalu mendukung kepentingan mereka. Begitu pula kepercayaan-kepercayaan dan sistem-sistem nilai berfungsi memberi legitimasi kepada kekuasaan kelas-kelas atas. Dalam arti ini struktur kekuasaan politik dan spiritual dalam masyarakat selalu mencerminkan struktur kekuasaan kelas-kelas atas terhadap kelas-kelas bawah dalam bidang ekonomi.[17]

Tanggapan dan Catatan-catatan Kritis

1.      Kiranya tidak dapat disangkal bahwa analisis kelas sosial amat memperkaya kemampuan kita untuk memahami dinamika perubahan sosial. Dapat dikatakan bahwa analisis masyarakat yang tidak memperhatikan struktur kelas yang terdapat di dalamnya tidak mungkin bermanfaat. Begitu pula teori Marx tentang negara kelas dan peran ideologi merupakan perangkat kerja analitik yang amat penting untuk memahami apa yang sedang berlangsung dalam sebuah masyarakat. Barangkali perspektif kelas sosial itu merupakan sumbangan Marx yang paling penting bagi ilmu-ilmu sosial dan politik.[18]
2.      Namun demikian, teori Marx tentang kelas sosial juga menimbulkan berbagai pertanyaan. Pertama, apakah hanya kelas-kelas sosial-ekonomi itu menjadi sebab perubahan sosial? Apakah afiliasi ideologis atau agama tidak dapat mempersatukan sekelompok orang meskipun terdiri dari pelbagai kelas sosial? Apakah keagamaan tidak relevan untuk memahami struktur serta dinamika sosial sebuah masyarakat? Apakah perubahan ekonomi, sosial, dan budaya yang dibawa oleh agama Islam dalam wilayah yang terbentang dari Spanyol di Barat sampai ke kepulauan Melayu di Timur terutama berdasarkan dinamika sosial ekonomi kelas-kelas sosial yang bersangkutan, ataukah berdasarkan ikatan rohani agama Islam? Apakah perang-perang agama sekedar konflik antar kelas sosial, misalnya kelas atas dengan kelas bawah dan bukan terutama berdasarkan permusuhan agama? Apakah konflik-konflik primordial seperti misalnya di bekas Yugoslavia dan di Kaukasus merupakan konflik kelas?
3.      Tidak benar bahwa perbaikan sosial selalu mengandaikan revolusi (dengan kekerasan). Kepentingan yang bertentangan antara buruh dan pemilik dapat saja dikompromikan atas dasar kepentingan bersama yang lebih mendasar agar perusahaan mereka maju. Yang benar adalah bahwa setiap perbaikan sosial harus diperjuangkan. Hanya kalau kelas buruh kuat dan terorganisasi, dia dapat memaksa para pemilik untuk memperlakukannya dengan wajar. Para pemilik hanya akan mengurangi eksploitasi buruh apabila eksistensi mereka sebagai kelas betul-betul terancam. Hanya kalau kelas buruh dapat menekan kelas pemilik, keadaan mereka akan berubah. (Franz Magnis-Suseno, h. 131). Karena kepentingan kelas pemilik dan kelas buruh secara objektif bertentangan, mereka juga akan mengambil sikap dasar yang berbeda terhadap perubahan sosial. Kelas pemilik, dan kelas-kelas atas pada umumnya, mesti bersikap konservatif, sedangkan kelas buruh, dan kelas-kelas bawah pada umumnya, akan bersikap progresif dan revolusioner.
Kelas atas sudah berkuasa, ia hidup dari pekerjaan kelas bawah. Karena itu, kelas atas secara hakiki berkepentingan untuk mempertahankan status quo, untuk menentang segala perubahan dalam struktur kekuasaan. Mengingat mereka sudah mantap, setiap perubahan mesti mengancam kedudukan mereka itu. Sebaliknya, kelas-kelas bawah berkepentingan terhadap perubahan. Karena mereka tertindas, setiap perubahan merupakan kemajuan. Bagi mereka, setiap perubahan mesti berupa pembebasan. Marx, dalam Manifesto Komunisnya, menulis, proletariat paling-paling kehilangan belenggu-belenggu mereka. Tetapi, menurut Franz Magnis-Suseno, perubahan itu tidaklah mesti selalu dengan kekerasan. Meski demikian, perubahan tetaplah harus diperjuangkan. Karena, secara logika, kelas atas tidaklah mungkin rela memotong dahan tempat mereka berdiri. Ingat juga ucapan Hannah Arendt, teoritikus politik Jerman, "Revolusioner yang paling radikal pun akan berubah menjadi seorang konservatif satu hari setelah revolusi usai."
Maksudnya: setelah menduduki tahta, sang penguasa yang dulunya radikal akan berupaya mempertahankan kekuasaannya atau akan pro terhadap status quo. Oleh karena itu, bagi revolusioner sejati, tak ada kata akhir untuk revolusi. Semuanya dalam "proses menjadi". Tidak ada titik final dari suatu perubahan. Perubahan bukanlah sebuah titik beku yang akan tercapai melalui revolusi yang bersifat temporer
4.      Apakah negara selalu mesti merupakan negara kelas? Apakah negara selalu sekedar alat dalam tangan kelas-kelas atas? Kiranya tidak dapat disangkal, bahwa tanda-tanda negara kelas ditemukan di segala zaman dan di seluruh bumi. Malah biasanya, negara maupun pemerintahan selalu menguntungkan golongan atas. Tetapi, apakah hal ini sebuah keniscayaan? Yang tidak dibahas secara mendalam adalah implikasi bentuk pemerintahan yang disebut demokrasi, yang pada waktu Marx menulis memang belum terlaksana. Barangkali benar juga bahwa setiap negara yang tidak demokratis merupakan negara kelas. Meskipun penguasa mengaku mengusahakan kepentingan umum, serta barangkali secara subjektif yakin akan hal itu, namun karena yang mempunyai pegangan pada kekuasaan hanyalah kelas atas, secara otomatis dan apriori kepentingan merekalah yang pertama-tama dijamin. Masyarakat-masyarakat tradisional pada umumnya mengeksploitasi tenaga kerja rakyat kecil, tetapi membenarkannya secara ideologis sebagai tatanan sosial hierarkis yang sudah wajar. Tetapi, dalam demokrasi yang sesungguhnya, situasinya berbeda. Karena kelas-kelas terpenting dalam masyarakat dapat diwakili oleh partai-partai politik dan pemerintah memang di bawah kontrol parlemen, tidak mungkin negara dikuasai oleh elite dari salah satu kelas sosial saja. Dapat dikatakan bahwa semakin demokratis suatu negara, ia semakin tidak menjadi negara kelas.[19]
5.      Bagaimana halnya masyarakat tanpa kelas? Bukankah tetap akan ada pembagian kerja? Bukankah ada yang merencanakan dan membagi pekerjaan? Dalam kenyataannya, di negara-negara sosialis abad ini, baik yang komunis maupun yang tidak, penghapusan pasar selalu diganti dengan pembagian kerja dari atas, oleh negara. Jadi, sosialisme selalu cenderung menjadi etatisme.[20]

Catatan-catatan Tambahan

1.      Hegel, Thomas Hobbes, John Locke, J.J. Rousseau, dan Smith berpandangan bahwa negara representasi dari kolektivitas sosial yang berdiri di atas kepentingan tertentu kelas-kelas dan menjamin bahwa persaingan antara individu-individu dan kelompok terpelihara secara teratur, ketika kepentingan seluruh kolektif sosial dilindungi dalam tindakan-tindakan yang dilakukan negara.  Marx menolak pandangan  bahwa negara merupakan kesepakatan dari seluruh masyarakat atau berupa kontrak sosial. Bagi Marx, negara merupakan ekspresi politik dari struktur kelas yang melekat dalam produksi. Dalam masyarakat berkelas seperti masyarakat kapitalis, negara didominasi oleh kaum borjuis. Oleh karena itu, negara merupakan ekspresi politik dari kelas yang dominan itu. Menurut Marx, masyarakat membentuk negara, dan masyarakat dibentuk pula oleh cara produksi yang dominan dan hubungan-hubungan produksi yang ada di dalamnya.[21]

2.      Menurut Marx, dalam masyarakat borjuis, negara merupakan senjata represif dari kaum borjuis. Munculnya negara sebagai kekuatan represif untuk menjaga pertentangan kelas adalah hakikat dari negara, selain fungsinya yang represif dan pelayan bagi kelas yang dominan yaitu kelas borjuis.[22]

3.      Franz Magnis-Suseno, sebagaimana dikutip oleh Nezar Patria dan Andi Arief dalam bukunya, Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni,mengatakan bahwa menurut Marx, negara tidak mengabdi pada kepentingan seluruh masyarakat, melainkan hanya melayani kepentingan kelas-kelas sosial tertentu saja, menjadi alat suatu kelas dominan untuk mempertahankan kedudukan mereka.[23] Kelas dominan dalam masyarakat kapitalis adalah kelas pemilik modal.

4.      Lenin, seorang penafsir Marx dari Rusia, menyimpulkan kemudian, bahwa negara adalah alat pengatur kelas. Lenin menganggap bahwa jalan untuk menyelesaikan pertentangan kelas itu adalah revolusi. Bila pertentangan kelas telah usai, negara akan turut “melenyap”. Lenin berkata, "Tak ada masalah apa pun dalam hubungan perjuangan kelas dapat diselesaikan tanpa kekerasan."

5.      Kalau menurut Thomas Hobbes, manusia selalu berada dalam situasi hommo homini lupus bellum omnium comtra omnes. Situasi ini mendorong dilakukannya perjanjian antara masyarakat dan penguasa. Perjanjian tadi berisi penyerahan hak-hak rakyat kepada penguasa. Oleh karena itu, ajaran Thomas Hobbes mengarah kepada pembentukan monarkhi absolut. Berbeda dengan Hobbes, John Locke memandang bermasyarakat dan bernegara merupakan kehendak manusia yang diwujudkan dalam dua bentuk perjanjian: pactum unionis, perjanjian antaranggota masyarakat untuk membentuk masyarakat politik dan negara, dan pactum subjectionis, yaitu perjanjian antara rakyat dan penguasa untuk melindungi hak-hak rakyat yang tetap melekat ketika berhadapan dengan kekuasaan penguasa. Tugas negara menurut Locke adalah melindungi individu: hak hidup (life), kebebasan (liberty), dan hak milik (estate). Jaminan perlindungan hak-hak tersebut dituangkan dalam konstitusi. Sehingga, ajaran Locke sering disebut monarkhi konstitusional. Tujuan Revolusi Prancis banyak dipengaruhi oleh dua orang filsuf ini (Hobbes dan Locke), termasuk juga Montesquieu.[24]

6.      Pertanyaannya, bagaimana dengan Indonesia? Apakah negara Indonesia terbentuk sesuai dengan teori Hegel, Thomas Hobbes, John Locke, J.J. Rousseau, dan Smith? Atau sesuai dengan teori negara Karl Marx? Atau mungkin juga sintesa dari keduanya? Kalau kita perhatikan kondisi hari ini dan juga latar belakang historis, pembentukan negara Indonesia lebih dekat kepada teori Marx. Mengapa? Karena negara Indonesia modern dibentuk oleh kekuatan kolonialisme-kapitalisme Belanda. Jadi, bagaimana dengan pembentukan negara Indonesia merdeka pada 1945? Menurut saya, negara Indonesia bukan didirikan dari nol. Negara Indonesia hanyalah kelanjutan dari negara yang dibentuk oleh kolonial Belanda sebelumnya. Buktinya, silakan baca teks Proklamasi. Di sana dikatakan “pemindahan kekuasaan”. Artinya, dipindahkan. Dialihkan. Walaupun dalam UUD 1945 dikatakan membentuk negara. Akan tetapi, kita tetap diawali oleh negara kapitalis sebelumnya. Artinya, bukan dari nol. Oleh karena itu, jika kita telusuri latar belakang historisnya, tidaklah mengherankan kalau hari ini Indonesia masih dalam cengkeraman kolonialisme atau yang sering disebut neokolonialisme dan juga kapitalisme. Karena bangsa Indonesia tidaklah tercipta di dunia hampa, tetapi terikat erat dengan sejarahnya sebelumnya. Tapi, ini hanya pandangan sekilas. Silakan saja kalau ada yang ingin memperdebatkannya.

7.      Di Inggris, rakyat menginginkan kekuasaan raja dibatasi. Mengapa mesti dibatasi? Karena, menurut Lord Acton, seorang Inggris yang menggeluti bidang sejarah, mengatakan, "Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely." Dalam Al Qur' an juga dijelaskan, bahwa orang-orang yang melihat dirinya serba cukup, cenderung berbuat sewenang-wenang.[25]

8.      "Bila manusia modern dewasa ini berbicara tentang perubahan sosial, pengasingan, dan sejarah, tanpa disertai dengan analisis Marxistis—minimal sebagai referensi bandingan—maka sama maknanya dengan menghadirkan buah pikiran yang cair." (Andi Muawiyah Ramly, dalam Peta Pemikiran Karl Marx, h. 186). Senada dengan Andi, Bung Hatta juga mengatakan bahwa teori Marx mesti dijadikan sebagai pisau analisis sosial. Bukan dijadikan ideologi politik. Dengan kata lain, pemikiran atau teori Marx sangat memperkaya analisis sosial dalam rangka memecahkan problem keadilan sosial umat manusia. Sementaraterwujudnya kehidupan sosial ekonomi yang adil dan sejahtera merupakan cita-cita bagi seluruh umat manusia di muka bumi.





[1]Catatan ini dikutip dari Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.
[2]Ibid., h. 111-112.
[3]Tambahan Catatan: apakah setiap Perubahan Sosial Harus Diperjuangkan? "Tidak benar bahwa perbaikan sosial selalu mengandaikan revolusi (dengan kekerasan). Kepentingan yang bertentangan antara buruh dan pemilik dapat saja dikompromikan atas dasar kepentingan bersama yang lebih mendasar agar perusahaan mereka maju. Yang benar adalah bahwa setiap perbaikan sosial harus diperjuangkan. Hanya kalau kelas buruh kuat dan terorganisasi, dia dapat memaksa para pemilik untuk memperlakukannya dengan wajar. Para pemilik hanya akan mengurangi eksploitasi buruh apabila eksistensi mereka sebagai kelas betul-betul terancam. Hanya kalau kelas buruh dapat menekan kelas pemilik, keadaan mereka akan berubah. (Franz Magnis-Suseno, h. 131). Karena kepentingan kelas pemilik dan kelas buruh secara objektif bertentangan, mereka juga akan mengambil sikap dasar yang berbeda terhadap perubahan sosial. Kelas pemilik, dan kelas-kelas atas pada umumnya, mesti bersikap konservatif, sedangkan kelas buruh, dan kelas-kelas bawah pada umumnya, akan bersikap progresif dan revolusioner. Kelas atas sudah berkuasa, ia hidup dari pekerjaan kelas bawah. Karena itu, kelas atas secara hakiki berkepentingan untuk mempertahankan status quo, untuk menentang segala perubahan dalam struktur kekuasaan. Mengingat mereka sudah mantap, setiap perubahan mesti mengancam kedudukan mereka itu. Sebaliknya, kelas-kelas bawah berkepentingan terhadap perubahan. Karena mereka tertindas, setiap perubahan merupakan kemajuan. Bagi mereka, setiap perubahan mesti berupa pembebasan. Marx, dalam Manifesto Komunisnya, menulis, proletariat paling-paling kehilangan belenggu-belenggu mereka. Tetapi, menurut Franz Magnis-Suseno, perubahan itu tidaklah mesti selalu dengan kekerasan. Meski demikian, perubahan tetaplah harus diperjuangkan. Karena, secara logika, kelas atas tidaklah mungkin rela memotong dahan tempat mereka berdiri. Ingat juga ucapan Hannah Arendt, teoritikus politik Jerman, "Revolusioner yang paling radikal pun akan berubah menjadi seorang konservatif satu hari setelah revolusi usai." Maksudnya: setelah   tahta, sang penguasa yang dulunya radikal akan berupaya mempertahankan kekuasaannya atau akan pro terhadap status quo. Oleh karena itu, bagi revolusioner sejati, tak ada kata akhir untuk revolusi. Semuanya dalam "proses menjadi". Tidak ada titik final dari suatu perubahan. Perubahan bukanlah sebuah titik beku yang akan tercapai melalui revolusi yang bersifat temporer.

[4]CATATAN: Menurut Bung Hatta, Marxisme tidak tepat dijadikan sebagai ideologi seseorang. Bagusnya ialah dijadikan sebagai “pisau analisis sosial” dalam upaya memahami dan melakukan perubahan-perubahan sosial. Oleh karenanya, ada guyonan, bahwa Karl Marx sendiri pun bukan seorang Marxis.
[5] Pokok teori Marx: negara jangan diharapkan menjadi agen of change. Negara hanyalah pendukung kekuasaan para pemilik. Maka tidak mungkin negara mengadakan perubahan yang sungguh-sungguh “menggigit”. Tidak mungkin kelas-kelas atas memotong dahan di mana mereka duduk (lihat lebih jelas Franz Magnis-Suseno, h. 147-148).
[6] Agama yang dikritik Marx dalam konteks ini adalah agama Kristen di masanya hidup. Karena, waktu itu, kaum agama juga ikut melegitimasi penindasan yang dilakukan kelas atas (negara) terhadap kelas bawah.
[7] Baca juga tentang “hegemoni budaya” dalam gagasan politik Antonio Gramsci.
[8] Ingat Revolusi Agustus bangsa Indonesia di bawah pimpinan Bung Karno.
[9]Ibid., h. 126-127.
[10]Ibid., h. 147-149.
[11]Ibid., h. 159.
[12] Ajaran Marx tentang masyarakat komunis (masyarakat tanpa kelas), adalah yang paling utopis dari seluruh ajaran Marx. Oleh karenanya, ajaran Marx, tidak tepat dijadikan ideologi atau dogma. Tetapi, dijadikan “pisau analisis sosial”. Karena tidak semua ajaran Marx itu baik, namun tidak semuanya juga tidak baik. Ada bagian-bagian ajaran Marx yang baik untuk dijadikan semacam pisau analisis secara ilmiah terhadap perubahan sosial politik dan ekonomi.
[13]Catatan: Teori menghilangnya negara tidak pernah terbukti. Franz Magnis Suseno menjelaskan lebih luas: yang khas bagi negara komunis adalah negara bukannya menghilang, melainkan malah menjadi mahakuasa. Bagaimana halnya masyarakat tanpa kelas, lanjut Magnis, bukankah tetap akan ada pembagian kerja? Dalam kenyataannya, di negara-negara sosialis abad ini, baik yang komunis maupun yang tidak, penghapusan pasar selalu diganti dengan pembagian kerja serta hasil kerja dari atas oleh negara. Jadi, kata Magnis, sosialisme cenderung menjadi etatisme. Dan karena pembagian kerja serta hasil kerja—kalau tidak lagi terjadi melalui pasar—harus ditentukan dari atas, oleh negara, maka di semua negara sosialis terbentuk sebuah “kelas atas baru”, yaitu birokrasi. Di mana-mana, birokrasi sosialis itu menjadi otoriter dan korup, dan sekarang diketahuimenjadi salah satu sebab ketidakefisienan ekonomi-ekonomi sosialis. Jadi, mewujudkan masyarakat yang demokratis-lah yang lebih tepat untuk melakukan pembongkaran ketidakadilan sosial. Dalam hal ini, saya (NE), sepakat dengan apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, “Komunisme itu ada dua macam: sebagai ideologi perorangan dan sebagai sistem politik. Sebagai sistem politik, sudah membuktikan tidak demokratis. Sampai sekarang. Dan, manusia hidup ini untuk sistem, apakah sistem untuk manusia? Itu persoalannya. Kalau manusia itu dilahirkan untuk sistem, maka manusia itu akan menderita. Walaupun manusia itu lahir tidak atas kemauannya sendiri, tapi aturan-aturan dari sistem belum tentu sesuai dengan individu. Maka itu, menurut saya, bagaimanapun jeleknya demokrasi sebagai sistem, toh lebih baik daripada yang ada. Sebab, manusia punya hak untuk bicara.”
[14] Ibid., h. 197.
[15]"Force is the midwife of every old society pregnant with a new one." (Karl Marx)

[16]Ibid., h. 191-192.
[17]Ibid., h. 142-147.
[18] Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999, h. 128.
[19] Demokrasilah sistem pemerintahan yang terbaik. Dalam hal ini, sekali lagi, saya (NE), sepakat dengan apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, “Komunisme itu ada dua macam: sebagai ideologi perorangan dan sebagai sistem politik. Sebagai sistem politik, sudah membuktikan tidak demokratis. Sampai sekarang. Dan, manusia hidup ini untuk sistem, apakah sistem untuk manusia? Itu persoalannya. Kalau manusia itu dilahirkan untuk sistem, maka manusia itu akan menderita. Walaupun manusia itu lahir tidak atas kemauannya sendiri, tapi aturan-aturan dari sistem belum tentu sesuai dengan individu. Maka itu, menurut saya, bagaimanapun jeleknya demokrasi sebagai sistem, toh lebih baik daripada yang ada. Sebab, manusia punya hak untuk bicara.”
[20]Ibid., h. 176.
[21] Lihat Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, h. 9 dan 38.
[22]Ibid., h. 10.
[23]Ibid., h. 25.
[24] Lihat Idrus Affandi dan Karim Suryadi, Hak Asasi Manusia (HAM), Jakarta, Universitas Terbuka, 2007, h. 1.5.
[25]Ibid., h. 1.4.

CATATAN: "Marxisme bukanlah kajian hafalan (dogma), melainkan satu petunjuk untuk aksi revolusioner." --Tan Malaka





2 komentar: