alt/text gambar

Sabtu, 30 Januari 2016

Topik Pilihan:

Intelektual Kiri Dalam Dekapan Borjuasi: Kasus Budiman Sudjatmiko dan Mbakyu Ginuk Ginuk

Posted On 13 Jan, 2014 - By tikusmerah1 - With 3 Comments

                                                          Oleh: Lenggah Mardiko*


Hari itu, 8 Januari, hari yang tak terlupakan. Ibu kota benar-benar penuh sesak. Ratusan ribu manusia menyemut, berdesakan, bersuara dan mengepalkan tangan. Sorak-sorai bergema, hampir tak putus-putus. Bendera Movimiento 26 de Julio, berwarna merah hitam, terus berkibaran. Massa rakyat yang wajahnya berseri-seri, tampak penuh suka cita dan pengharapan menyambut kedatangan kaum Barbudos. Rakyat memang sudah menunggu sejak mula pergantian tahun, menunggu kedatangan para kombatan yang bertempur tanpa kenal menyerah. Diceritakan, sosok berjambang lebat, berkeringat dan berpakaian lusuh, terlihat melambaikan tangan, membalas sambutan orang-orang. Fidel, Camillo, Ernesto dan Raul, sekumpulan pria awal 30an tahun, akhirnya sanggup membuktikan kenyakinannya. Bahwa dengan bedil dan sebuah teori -ilmu perang gerilya yang kelak dinamai oleh Debray dengan sebutan Foquismo- satu negeri kecil di Karibia dapat dibebaskan. Bermula dari bahtera Granma dan bukit Sierra Maestra sebuah bangsa menemukan titik balik sejarahnya. Dan jaman pun mencatat, hari itu, 8 Januari 1959, Havana jatuh ke tangan Tentara Pemberontak, jatuh ke pelukan rakyat Kuba. Revolusi menapaki jalan kemenangannya.

“Decir la verdad es el primer deber de todo revolucionario”, ungkap El Comandante Fidel Castro dalam pidato pertamanya saat menginjakkan kaki di Havana. “Mengatakan kebenaran adalah tugas pertama seorang revolusioner”.

Hari itu, 8 Januari, lebih dari setengah abad kemudian. Ruang Sidang Kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Sumatera Utara (USU), katanya juga lumayan penuh, meski tak sampai bisa dibilang sesak. Konon seratus-an orang hadir, konon mereka duduk menyimak. Tepuk-tangan mungkin sesekali bergema, mungkin juga sering, mungkin juga berlebihan. Patut diduga diantara mereka ada yang memancarkan tatapan kagum. Patut diduga lagi, seratusan hadirin itu bisa saja terjangkiti perasaan gembira. Sebuah sensasi fans club yang mendapati idolanya persis di depan batang hidung. Sosok berkacamata, berwajah bersih dan berpakaian sopan, (lagi-lagi) patut diduga, berulang melepaskan senyuman ramah. Budiman Sudjatmiko, anggota DPR RI Komisi II, pria awal 40an tahun, membuktikan diri, membedah bukunya. “Anak-Anak Revolusi” disajikan selayaknya harta pusaka yang pantas disimpan dalam ingatan generasi selanjutnya. Blog kurang terkenal mencatat, hari itu, 8 Januari 2014, Ruang Sidang FISIP USU jatuh ke tangan politisi, jatuh ke pelukan dusta. “Anak-Anak Revolusi” tentu saja tak bertalian apa-apa dengan hari depan revolusi.

“Aku menjadi saksi atas penderitaan rakyatku yang tengah berjuang, dan akan kubawa kesaksian itu sampai ke pembebasannya”, ungkap El Legislador Budiman Sudjatmiko di masa silam. Silahkan pembaca menilai sendiri perkataannya ini.

Kita lanjutkan. Fidel Castro pemimpin utama Tentara Pemberontak itu adalah seorang terpelajar. Ia alumnus fakultas hukum Universitas Havana. Lelaki penggemar bisbol ini sempat terjun menjadi pengacara muda sebelum memutuskan angkat senjata. Sobat Fidel, Camarada Che Guevara, pun figur terpelajar. Ia dikenal luas sebagai seorang dokter lulusan Universitas Buenos Aires. Kiranya Budiman pun begitu, termasuk golongan terpelajar. Dirinya sempat menimba ilmu nun jauh di London sana. Ketiganya seketika saja memiliki kesamaan, sama-sama terpelajar. Atau bolehlah kita sebut ketiganya sama-sama intelektual, sekurang-kurangnya dalam pengertian yang paling awam. Untuk membuatnya jadi lebih gampang, sudilah kita sejenak berkunjung ke desa saya. Di desa saya sukar sekali ditemukan orang yang begitu familiar dengan istilah “intelektual”. Disana istilah yang lebih dekat dengan “intelektual” adalah “orang pintar”. Dan menurut kebanyakan orang di desa saya, orang pintar diidentifikasi dengan berbagai ciri, sebutlah beberapa diantaranya: berkuliah, pandai bicara, kaya perbendaharaan ilmu pengetahuan, pintar berdebat dan tentunya suka membaca buku. Berangkat dari ukuran kebanyakan penduduk desa saya ini, dengan mudah bisa disimpulkan bahwa Fidel, Che dan Budiman adalah orang pintar alias intelektual. Maka mari kita tutup ulur-mengulur kata ini dengan penegasan: ketiganya adalah intelektual! Titik.

Lalu mengapa mereka berbeda?

*****

Desember 2006, pemerintah Mexico mengumumkan identitas pria bertopeng yang selama bertahun-tahun hanya dikenal dengan panggilan Sub Comandante Marcos. Wajah terbungkus balaclava itu dinyatakan sebagai Rafael Sebastian Guillen Vicente, seorang profesor yang pernah bekerja untuk Universidad Autonama Metropoliana di Mexico City. Seorang profesor? Sungguh terdengar ganjil di telinga publik tanah air, bila seorang profesor memutuskan masuk hutan dan terlibat gerilya. Lazimnya di negeri ini, seorang profesor yang cerdik cendekia itu duduk nyaman di kursi Ketua Mahkamah Konstitusi, menjadi penasehat presiden atau sibuk berceloteh dari satu televisi ke televisi lainnya. Suatu hari, seorang profesor bernama Emil Salim -anasir Neoliberal- resmi menjabat Ketua Dewan Ekonomi Nasional. Lima tahun sebelumnya, 1 Januari 1994, Profesor Marcos bersama ribuan petani suku Maya turun dari pegunungan Tenggara, menyerbu Chiapas, menentang NAFTA, menyatakan perang terhadap agenda Neoliberal. Selama bertahun-tahun Marcos menulis puisi-puisinya diantara kumpulan petani dan kabut dingin hutan Lacandon, sementara Gabriel Garcia Marquez mengagumi karya-karyanya itu. Sedang di tanah Melayu, seorang penyair yang membaptiskan dirinya sebagai “Satu Matahari” asyik bergeliat dengan birahinya, memperkosa seorang gadis dan Goenawan Muhamad kemudian sibuk berkilah. Begitulah, Marcos tentu saja mewakili perilaku yang berbeda dari kebanyakan kalangan intelektual di Indonesia. Dia pemberani, bukan tukang bual, apalagi budak lembaga donor asing, lebih-lebih seorang pemerkosa.

Marcos tentu tidak kesepian sebagaimana nasib sisa-sisa aktivis kiri ’98 yang menggigil teralieniasi, dikhianati kawan-kawan seperjuangannya. Tidak sedikit nama selain Marcos. Sebutlah salah satu pendahulunya, semisal Manuel Rubén Abimael Guzmán Reynoso atau yang lebih populer dengan nom de guerre -nya, Presidente Gonzalo. Pendiri gerakan bersenjata Sendero Luminoso (Jalan Terang) ini tiada lain merupakan profesor filsafat yang sempat mengajar di Universidad Nacional de San Cristóbal de Huamanga. Dalam peta pertempuran di Amerika Latin kala itu, kehadiran Guzman seolah memutus trend Foqoisme yang tengah menjalar seantero benua. Sejak keberhasilan Revolusi Kuba, Foqoisme benar-benar menjadi mazhab gerilya yang diamini banyak kelompok. Di Bolivia berdiri Ejercito Liberacion Nacional (ELN) mewarisi Che Guevara, nama yang sama juga muncul di Kolombia dengan ikon Camilo Torres. Sedang di Nikaragua ada Sandinista, Monteneros Argentina, FMLN El Salvador, Tupamaros untuk Uruguay dan banyak lainnya. Semuanya sedang kasmaran dengan Foqoisme, sampai kemudian Guzman datang menegaskan metode “Perang Rakyat”. Sebuah metode yang disarikan dari pengalaman Revolusi Rakyat Tiongkok. Guzman pula, Marxis pertama yang menyatakan bahwa “Fikiran-Fikiran Mao Tse Tung” memiliki nilai kebenaran universil sehingga dapat didudukkan menjadi “Maoisme”. Walau akhirnya tertangkap pada 1992, Abimael Guzman sukar untuk tidak disebut sebagai intelektual jempolan, sekaligus pejuang militan. Tanyakan saja pada Tom Morello, gitaris band Rage Against The Machine lulusan ilmu politik Harvard University itu, kenapa banyak dari badan gitarnya ditempeli stiker Sendero Luminiso.

Marcos, Guzman atau Fidel dan Che tentunya sekedar segelintir nama yang bisa diapungkan untuk menjelaskan sebuah tradisi. Sebuah tradisi intelektual yang menyatukan ucapan dan tindakan, atau dalam bahasa para aktivis: “menyatukan teori dengan praktek”. Mao pernah menjelaskan: “….bahwa hanyalah praktek sosial manusia saja yang menjadi ukuran kebenaran dari pengetahuannya tentang dunia luar. Sebenarnya. pengetahuan manusia menjadi teruji hanya apabila dia, dalam proses praktek sosial….”(Tentang Praktek, Mao Tje Tung, Yayasan Pembaruan, Jakarta 1964). Beberapa intelektual menjalankan tradisi itu, beberapa diantaranya sanggup terus bergulat, sementara yang lain menyerah dan tumbang. Budiman Sudjatmiko, Dita Indah Sari [Mbakyu Ginuk Ginuk] atau yang lainnya tak lebih dari sekumpulan manusia yang tumbang. Kita tidak akan menggolongkan mereka sebagai orang-orang yang cacat karakter sejak dalam kandungan. Mereka hanyalah para desertir yang menyerah, lalu mencari alibi dan merias diri dengan menyemburkan berbagai pembenaran. Mereka terkejut bukan kepalang mendapati kenyataan bahwasanya perjuangan klas itu ternyata panjang, keras dan melelahkan. Tidak seperti mie instan yang bisa disantap dalam sepuluh menit penyajian. Mereka yang tak sanggup untuk terus menggengam kebenaran teori dalam praktek politik dan di kehidupan sehari-sehari, pada akhirnya hanya akan menghibur diri dengan terus-menerus menipu diri sendiri. Tradisi menyatukan ucapan dan tindakan senyata-nyatanya merupakan barang mahal di negeri ini. Waktu edar konsistensi untuk diktum ini seringkali demikian singkatnya. Para aktivis yang kencang berpidato saat muda dengan cepat kehilangan segalanya saat usia makin bertambah. Saat tuntutan hidup mulai meningkat, mereka pun segera frustasi, limbung dan tak sedikit yang menyeberang ke kubu lawan.

Menjadi rakyat jelata (entitas yang bertahun-tahun katanya mereka bela) pada akhirnya terlihat tidak menyenangkan. Rakyat jelata pergi ke ladang, mencari rumput untuk ternaknya atau memikul gabah yang baru saja dipanennya. Rakyat jelata pergi ke pabrik, upah mepet, badan remuk dan tenaga terkuras. Rakyat jelata membuka lapak dagangan, mencari untung 10 ribu perak untuk tiap barang yang dijajakan. Rakyat jelata tidak banyak yang memiliki kendaraan roda empat, cukup motor kreditan atau beli bekas. Rakyat jelata tidak nongkrong di Hard Rock Cafe, cukup kopi yang diaduk isteri di dapur. Rakyat jelata tidak pergi berseminar di hotel bintang lima, mereka hanya mengunjungi rumah tetangga yang sama sederhananya. Kesemuanya itu, cara hidup rakyat itu, sungguh tampak jauh dari menggairahkan, bahkan mungkin sangat mengerikan. Dan inilah salah satu phobia intelektual di Indonesia. Phobia menjadi rakyat jelata, hidup sebagaimana cara hidup rakyat kebanyakan. Panda titik ini, diakui atau tidak, intelektual Indonesia sebenarnya telah membangun garis demarkasi yang tegas dan angkuh. Garis demarkasi yang memisahkan diri mereka dengan kebanyakan rakyat, sejak dalam fikiran! Garis batas yang menceraikan teori dengan praktek, memenggal ucapan dengan tindakan. Lalu bagaimana mungkin “Intelektual Kiri” di Indonesia merasa meriang jika harus hidup selayaknya buruh atau petani, sementara IDE tentang Sosialisme yang mereka agung-agungkan itu menyandarkan dirinya pada kekuatan buruh dan tani? Inilah olok-olok jaman yang paling menggelikan. Ide berhenti dalam fikiran dan tulisan.

Intelektual di negeri ini juga sangat gemar cakar-cakaran, suka sekali berkelahi. Beradu argumen dengan galak di kantor, studio televisi, cafe gaul, hingga via Blacberry messanger dan jejaring sosial. Ada yang gemar menghimpun catatan kaki, ada pula yang lantang melancarkan kalimat-kalimat pedas. Tak ada yang salah dengan ini. Saya pun ikut menikmati sebagian dari kegaduhan tersebut. Budaya kebebasan berfikir dan perdebatan ilmiah memang anugerah sejarah yang musti terus dirawat. Dan intelektual Indonesia benar-benar merayakan ungkapan “Let a hundred flowers bloom; let a hundred schools of thought contend” dengan caranya sendiri. Maklumi saja, sebagian mereka dahulu adalah kumpulan anak-anak rumahan yang mulutnya diplester selama tiga dekade kekuasaan Fasis Soeharto. Mulut mereka sudah lama gatal. Intelektual “Kiri” tentu juga tidak mau melewatkan kegaduhan ini. Mereka ambil bagian dengan sangat energik. Tiap pekan lalu kita akan disuguhkan tulisan-tulisan tajam, polemik kebudayaan atau analisa ekonomi politik. Tapi semoga saja kita tidak lupa, bahwa klarifikasi paling kongkrit dari sebuah ide berada dalam praktek sosial. Mulut memang bisa dilawan dengan mulut. Argumen bisa ditinju dengan argumen. Tulisan bisa digebuki dengan tulisan. Namun Salihara dan Goenawan Muhammad tak akan pernah dipukul Knock Out melalui rangkaian kata-kata, betapapun berbobotnya kata-kata itu. Lekra menyatukan kegiatan kebudayaannya dengan pembangunan organisasi buruh dan tani, Tampa terpisah dengan perjuangan massa. Imperialisme yang jahanam itu tidak akan enyah dengan pidato menggelegar berbunyi: “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis” Revolusi Kuba mengusirnya dengan senjata, bahkan Taliban pun sangat memahami itu semua.

Sebagai penutup, baiknya kita cecap bersama-sama kalimat Mao Tse Tung untuk kesekian kalinya:

“Para intelektual seringkali cenderung subyektif dan individualistis, tidak praktis dalam berpikir dan ragu-ragu dalam tindakan sampai mereka melemparkan diri ke dalam hati dan jiwa perjuangan revolusioner massa, atau mengambil keputusan untuk melayani kepentingan rakyat dan menjadi satu dengan mereka. ” (“Revolusi Cina dan Partai Komunis China”,1939, Selected Works, Vol. II, hal. 322.)

*) Penulis adalah peternak, tamatan SMA dan menjagokan Argentina di Piala Dunia mendatang.



 

0 komentar:

Posting Komentar