Konstitusi
"Konstitusi atau verfassung itu sendiri, menurut Thomas Paine dibuat oleh rakyat untuk membentuk pemerintahan, bukan sebaliknya ditetapkan oleh pemerintah untuk rakyat. Lebih lanjut Paine mengatakan: konstitusi itu mendahului pemerintahan karena pemerintahan itu justru dibentuk berdasarkan konstitusi." (Jimly Asshiddiqie)
"Hukum itu adalah kontrak atau kesepakatan masyarakat. Karena itulah maka konstitusi disebut sebagai kontrak sosial." --Jimly Asshiddiqie
"Pemerintah bisa saja ada tanpa hukum. Tapi, hukum tak mungkin ada tanpa pemerintah." (Filsuf Inggris, Bertrand Russell)
Maksud dari filsuf Bertrand Rusell ini adalah: hukum tak akan bisa berfungsi apa-apa jika tak ada kekuatan (politik) yang bisa memaksakan berlakunya. Maka, ada pepatah dalam hukum, "Kekuasaan tanpa hukum adalah kesewenang-wenangan. Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan."
PERUBAHAN KONSTITUSI MENURUT K.C. WHEARE
1. Melalui amandemen formal;
2. Melalui penafsiran yudisial atas teks konstitusi, yaitu melalui proses peradilan tata negara;
3. Perubahan melalui kebiasaan dan konvensi.
Namun, yang jelas: "Pada pokoknya, konstitusi itu merupakan produk politik."
"Konstitusi bukanlah peraturan yang dibuat oleh pemerintahan, tetapi merupakan peraturan yang dibuat oleh rakyat untuk mengatur pemerintahan, dan pemerintahan itu sendiri tanpa konstitusi sama dengan kekuasaan tanpa kewenangan. Konstitusi adalah hukum dasar, norma dasar, dan sekaligus paling tinggi kedudukannya dalam sistem bernegara." (Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, h. 161)
"Konstitusi yang bersifat tertulis biasa disebut undang-undang dasar." (Jimly., h.161)
KONSTITUSI SEBAGAI KONTRAK SOSIAL TERTINGGI
Pendelegasian wewenang pengaturan (legislative delegation and sub-delegation of rule-making power), didasarkan atas prinsip otonomi dalam demokrasi. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara berhak mengatur sendiri kehidupan mereka. Bahkan, semua norma aturan dalam kehidupan bernegara hanya boleh diatur oleh rakyat sendiri sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, bukan oleh pejabat negara atau pemerintah. (Jimly Asshiddiqie, Teori Hierarki Norma Hukum, h. 164-165)
UNDANG-UNDANG
Dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang". Undang-undang itu selalu berisi segala sesuatu yang menyangkut kebijakan kenegaraan untuk melaksanakan amanat UUD di bidang tertentu yang memerlukan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.Oleh karena itu, dalam Pasal 20 ayat (2) ditentukan, "Setiap rancangan undang-undang itu dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama".
Setelah mendapat persetujuan bersama, maka RUU tersebut harus disahkan oleh Presiden. Kemudian, diundangkan dengan menerbitkannya dalam Lembaran Negara. Sedangkan Penjelasannya ditempatkan di dalam Tambahan Lembaran Negara.
UU vs MK
Undang-undang merupakan produk demokrasi atau produk kehendak orang banyak. Jika undang-undang telah dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, kemudian disahkan oleh Presiden, berarti undang-undang tersebut telah mencerminkan kehendak politik mayoritas rakyat yang diwakili oleh DPR dan aspirasi rakyat pemilih Presiden. Namun, suara mayoritas rakyat yang tercermin dalam undang-undang tidaklah identik dengan suara seluruh rakyat yang tercermin dalam UUD. Suara mayoritas rakyat tidak selalu identik dengan suara keadilan dan kebenaran konstitusi. Oleh sebab itu, jika UU bertentangan dengan UUD, undang-undang itu, baik sebagian materinya maupun seluruhnya dapat dinyatakan tidak mengikat untuk umum, meskipun yang menyatakan hanya terdiri atas 5 dari 9 orang hakim MK. Melalui proses peradilan tata negara yang fair, independen, imparsial, dan terbuka, MK dapat menjalankan fungsinya sebagai penyeimbang (countervailingpower) dan sekaligus mengawal dinamika proses demokrasi berdasarkan konstitusi (theguardianoftheconstitutionaldemocracy) (Jimly Asshiddiqie, PengantarIlmuHukumTataNegara, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, h. 270)
Tambahan catatan: sebenarnya, kalau mengacu pada pemikiran Montesquieu tentang trias politica,lembaga eksekutiflah yang mempunyai kewenangan membuat hukum. Presiden dalam hal ini hanyalah sebagai pihak yang turut membahas secara bersama-sama dan juga dapat mengajukan RUU. Namun, menurut UUD hasil amandemen, kekuasaan membentuk UU hanyalah di tangan DPR.
MK dan Pembubaran Partai Politik
Partai politik dan Pemilu merupakan tiang utama demokrasi. Bangunan demokrasi akan runtuh apabila parpol dan pemilu tidak sehat dan kuat. Partai politik merupakan cerminan kebebasan berserikat (freedom of association) dan berkumpul (freedom of assembly) sebagai perwujudan adanya kemerdekaan berpikir dan berpendapat (freedom of thought) serta kebebasan berekspresi (freedom of expression). Oleh karena itu, kemerdekaan berserikat dalam bentuk partai politik sangat dilindungi oleh setiap UUD negara demokrasi konstitusional (constitutional democracy) atau negara hukum yang demokratis. Oleh karena itu, partai politik tidak boleh dibubarkan secara semena-mena oleh penguasa. Seorang penguasa yang menduduki jabatan karena peranan partai politik, tidak boleh diberi peluang untuk membubarkan parpol lain yang merupakan lawan politiknya. Sebab, jika hal demikian terjadi, kemerdekaan berserikat dapat terganggu oleh watak kekuasaan para penguasa yang cenderung tidak menginginkan adanya persaingan politik yang sehat. Jika ditemukan kenyataan adanya partai politik yang secara objektif memang mengharuskan tindakan pembubaran, maka hanya dapat dilakukan melalui suatu proses peradilan konstitusional yang bersifat independen, imparsial, objekif, dan terbuka. Karena sifat peradilan atas perkara semacam ini terkait erat dengan persoalan konstitusionalitas, UUD 1945 menentukan sebagai wewenang MK, bukan MA
TIGA TUJUAN HUKUM
1. Keadilan (justice)
2. Kepastian (certainty; zekerheid)
3. Kegunaan (utility)
(Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, h. 119)
Sumber-Sumber Hukum Tata Negara
1. Nilai-nilai konstitusi yang tidak tertulis;
2. UUD, baik pembukaannya maupun pasal-pasalnya;
3. Peraturan perundang-undangan tertulis;
4. Yurisprudensi peradilan;
5. Konvensi ketatanegaraan;
6. Doktrin ilmu hukum (pendapat para ahli hukum) yang telah diakui secara umum atau telah menjadi ius comminis opinio doctorum;
7. Hukum internasional yang sudah diratifikasi atau yang telah berlaku sebagai hukum kebiasaan (Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, h. 133-134)
Konstitusi
Konstitusi ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis. Konstitusi yang tertulis disebut undang-undang dasar, grondwet (Belanda), grundgesetz (Jerman), atau droitconstitutionnel (Prancis). Sementara yang tidak tertulis disebut konstitusi yang tidak tertulis, yang juga termasuk pengertian grund-norms atau norma dasar atau hukum dasar (basic principles) (Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, h. 134)
UUD= naskah konstitusi yang tertulis dalam satu kodifikasi (Jimly Asshiddiqie, PengantarIlmuHukumTataNegara, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, h. 136)
Produk Hukum
Pada umumnya, hukum tertulis itu merupakan produk legislasi oleh parlemen atau produk regulasi oleh pemegang kekuasaan regulasi yang biasanya berada di tangan pemerintah dan badan-badan yang mendapat delegasi kewenangan regulasi lainnya. Oleh karena itu, bentuknya dapat berupa legislative acts seperti UU atau executive act seperti PP, Perpres, atau Peraturan BI, Peraturan KPU, KPPU, KPI, dsb. Demikian pula lembaga-lembaga pelaksana undang-undang lainnya yang diberi kewenangan menetapkan peraturan sendiri seperti Peraturan MA, Peraturan MK, Peraturan BPK, dll. Lebih jelas: lihat UU No 12/2011 Ttg Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (lihat Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, h. 140).
YURISPRUDENSI
Dalam pengertian modern, negara pertama yang dapat dikatakan menyusun konstitusinya dalam satu naskah UUD seperti sekarang ini adalah Amerika Serikat pada 1787. Beberapa negara yang dianggap sampai sekarang dikenal tidak mempunyai undang-undang dasar dalam satu naskah tertulis adalah Inggris, Israel, dan Arab Saudi. Undang-undang dasar di ketiga negara ini tidak pernah dibuat tersendiri, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dari aturan dan pengalaman praktik kenegaraan (Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, h. 92)
Kerajaan Inggris tidak memiliki konstitusi tertulis. Sedangkan AS memiliki konstitusi tertulis (lihat Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, h. 115) Inggris dikenal tidak memiliki naskah undang-undang dasar yang bersifat tertulis dalam arti terkodifikasi dalam satu naskah (Ibid., h. 147)
Dalam sistem common law, putusan pengadilan justru lebih utama sesuai asas precedent. Akan tetapi, dalam tradisi civil law, putusan pengadilan tidak dianggap paling utama, meskipun tetap dijadikan sebagai salah satu sumber hukum.
Di Inggris, Amerika, Kanada, dan Australia, istilah jurisprudence berarti "ilmu hukum", sebab sejak semula hukum dalam tradisi Anglo Saxonia memang tumbuh dari putusan-putusan pengadilan. Ilmu hukum dikembangkan dengan cara mempelajari kasus-kasus dan putusan pengadilan. Oleh karena itu, lama-kelamaan, istilah jurisprudence di Inggris dan negara-negara berbahasa Inggris lainnya yang dipengaruhi oleh sistem hukum Anglo Saxon, berkembang dalam pengertian ilmu hukum.
Dalam sistem Eropa kontinental seperti Belanda, Prancis, dan Jerman, putusan pengadilan dianggap sebagai salah satu saja dari norma hukum yang dipelajari dan dijadikan sumber hukum. Untuk itu, istilah jurisprudentie di Belanda menunjuk kepada pengertian putusan pengadilan yang bersifat tetap yang kemudian dijadikan referensi bagi hakim lain dalam memeriksa perkara serupa di kemudian hari. Pengertian inilah yang diadopsi ke dalam sistem hukum Indonesia.
Seperti dikemukakan di atas, tidak semua putusan pengadilan dapat menjadi atau dianggap sebagai yurisprudensi. Dalam sistem hukum Indonesia, dipersyaratkan bahwa putusan pengadilan itu (1) harus sudah merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkrachtvangewijs), (2) dinilai baik dalam arti memang menghasilkan keadilan bagi pihak-pihak bersangkutan, (3) putusan yang harus sudah berulang beberapa kali atau dilakukan dengan pola yang sama di beberapa tempat terpisah, (4) norma yang terkandung di dalamnya memang tidak terdapat dalam peraturan tertulis yang berlaku, atau kalau ada tidak begitu jelas, dan (5) putusan itu dinilai telah memenuhi syarat sebagai yurisprudensi dan direkomendasikan oleh tim eksaminasi atau tim penilai tersendiri yang dibentuk oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi untuk yurisprudensi yang bersifat tetap (Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, h. 142-143)
Keterangan: Commonlaw= secara harfiah artinya: hukum kebiasaan, yaitu terdiri atas the laws and customs yang sejak dahulu kala diakui sebagai hukum oleh para hakim dalam mengadili suatu perkara tertentu yang diajukan kepada mereka (Jimly., h. 152)
verfassungrecht= Hukum Tata Negara (HTN)
constitutionallaw= HTN
Droitconstitutional= HTN
Regeling= bersifat mengatur (maksudnya adalah: peraturan perundang-undangan)
Beschikking (keputusan administratif)--digugat ke PTUN
Vonis (putusan peradilan)--digugat melalui upaya banding, kasasi, dan PK
The guardian of democracy and the constitution =pengawal demokrasi dan konstitusi (tugas MK)
The protector of the constitutional rights= pelindung hak-hak konstitusional warga negara (tugas MK)
Produk Legislasi
produk legislatif atau produk legislator, yaitu peraturan perudang-undangan yang berbentuk UU, yang dibentuk oleh DPR dan pembahasannya dilakukan bersama-sama dengan presiden/pemerintah untuk mendapatkan persetujuan bersama. Untuk UU tertentu, dapat juga melibatkan DPD R I. Jalur pengujiannya ke MKmelalui judicialreview.
Produk Regulasi
Selain peraturan perundang-undangan yang berbentuk UU, ada pula peraturan perundang-undangan yang disusun oleh lembaga eksekutif. Setiap lembaga pelaksana undang-undang dapat diberi kewenangan regulasi oleh UU dalam rangka menjalankan UU yang bersangkutan. Jalur pengujiannya ke MA melalui judicialreview juganamanya. Pemerintah karena fungsinya, diberi kewenangan pula untuk menetapkan sesuatu peraturan tertentu. Semua produk hukum tertulis yang berisi norma yang bersifat mengatur (regeling) itu dalam ilmu hukum kita namakan peraturan perundang-undangan.
Pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a.keterangan saksi;
b.keterangan ahli;
c.surat;
d.petunjuk;
e.keterangan terdakwa.
Peraturan, Keputusan, dan Upaya Perlawanan Hukum Terhadapnya
Penggunaan nomenklatur untuk bentuk hukum yang berisi norma yang mengatur dinamakan "peraturan", bukan "keputusan". Sedangkan yang bersifat penetapan tidak boleh disebut "peraturan" karena sifatnya memang tidak mengatur (regeling). Yang bersifat penetapan atau pun keputusan disebut "keputusan". Upaya hukum untuk melawan produk peraturan ialah melalui mekanisme pengujian peraturan (judicialreview). Sedangkan upaya hukum untuk melawan keputusan administratif negara (beschikking) adalah melalui gugatan ke PTUN. Contoh produk peraturan adalah: PP, Perpres, Permen, Peraturan KPU, Peraturan KPI, Peraturan BI, Peraturan Kapolri, Peraturan BPK, Peraturan Tata Tertib DPR, Peraturan MA (PERMA), Peraturan MK, Peraturan BI, Peraturan Kepala Badan, Peraturan Lembaga, Peraturan KPK, atau peraturan lembaga setingkat lainnya, merupakan bentuk-bentuk peraturan pelaksana undang-undang atau biasa disebut subordinatelegislations yang merupakan peraturan yang didelegasikan oleh undang-undang (delegatedlegislation). Semua itu dapat disebut peraturan perundang-undangan. dsb. Sedangkan contoh bentuk keputusan adalah: Kepres, Kepmen, Keputusan Kepala Badan, dsb.
Subordinate legislations= peraturan perundang-undangan yg lebih rendah yg dibuat utk melaksanakan UU berdasarkan perintah yg jelas dari UU. Ygdiatur adalah hal2 yg bersifat teknis. Misalnya, PP, Perpres, Peraturan MK, Peraturan MA, Peraturan KPU, Peraturan Bank Indonesia, dsb. (Lihat Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 12/2011tt Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lihat juga Jimly h. 194).
Delegated legislations=peraturan-peraturan yg berfungsi sebagai pelaksana UU yg diperintahkan oleh UU/(legislasi limpahan), mis: PP dan Perpres
"Nemo punitur pro alieno delicto; tidak ada seorang pun yang dihukum karena perbuatan orang lain." (Adagium hukum dalam hukum pidana)
"Kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkan." (JohnLocke)
"Men by nature are all free, equal, and independent." (John Locke)
TENTANG PERDA DAN PERATURAN TINGKAT DAERAH
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 UU No. 12/2011, Peraturan Daerah adalah termasuk ke dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, peraturan tingkat daerah beserta peraturan pelaksanaannya adalah termasuk juga dalam pengertian peraturan perundang-undangan. Peraturan-peraturan tingkat daerah itu terdiri dari Perda Provinsi, Pergub, Perda Kabupaten/Kota, Perbup, dan Peraturan Walikota. Hubungan antara Perda Provinsi dengan Peraturan Kepala Daerah dapat disetarakan dengan hubungan antara UU dengan PP atau Perpres. Demikian pula bentuk-bentuk peraturan lainnya, misalnya Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi, Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota, dapat disebut sebagai peraturan tingkat daerah.
Regelende functie= fungsi pengaturan (fungsi utama DPR/ fungsi pembuatan UU)
Regeling= peraturan/bersifat pengaturan
Beschikking= keputusan administratif
Vonis= putusan peradilan
Commonlaw= secara harfiah, common law artinya: hukum kebiasaan, yaitu terdiri atas the laws and customs yang sejak dahulu kala diakui sebagai hukum oleh para hakim dalam mengadili suatu perkara tertentu yang diajukan kepada mereka. Common law sering juga disebut case law.
Act= undang-undang
Tambahan Lembaran Negara= berisi tentang Penjelasan UU
UU Darurat= istilah Perpu pada masa 1949- 1950, yaitu masa konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950
Judicial review= pengujian peraturan
The independence of the judiciary= independensi peradilan
Maxims= asas-asas
Constitutional adjudication= peradilan tata negara (peradilan konstitusi)
Constitutional democracy= negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Dengan kata lain, negara hukum yang demokratis.
Law making function= fungsi pembentukan hukum (undang-undang)
Independence of judiciary/ independensi peradilan
Government performance= kinerja pemerintah
Political appointment= pengangkatan politis (misalnya jabatan Hakim Agung, Pimpinan BI, dsb)
Social contract= kontrak sosial ( perjanjian masyarakat)
The citizens' constitutional right= hak konstitusional warga negara
Nonderogablerights= HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, di antaranya: hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas hukum yang berlaku surut.
Undang-undang= peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden (Pasal 1 angka 3 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)
ISTILAH-ISTILAH UU DI BERBAGAI NEGARA
Belanda= wet
AS= law; legislative act
Jerman= gesetz
Seputar Ketentuan Hukum Pidana dalam LampiranUU No. 12/2011
1. Dalam merumuskan ketentuan pidana di UU, perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu KUHP, kecuali jika oleh UU ditentukan lain (Lampiran no. 113)
2. Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda, perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku.
3. Ketentuan pidana hanya dimuat dalam UU dan Perda Prov/Kab/Kota. Perda pun hanya boleh memuat ancaman pidana paling tinggi 6 bulan dan denda 50jt.
4. Sehubungan adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran dalam KUHP, rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas kualifikasi dari perbuatan yang diancam dengan pidana itu sebagai pelanggaran atau kejahatan. (Lihat contohnya dalam KUHP dan UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan)
5. Walaupun ketentuan lain dapat diberlakusurutkan dalam UU, namun untuk ketentuan pidananya tetap tidak dapat berlaku surut (lihat Lampiran UU No. 12/2011, no. 132 dan no. 156)
BAHASA HUKUM
Dalam UU No.12/2011 tentang Penbentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam bagian Lampiran II No. 242, dijelaskan: bahasa Peraturan perundang-undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun, bahasa Peraturan perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum, baik dalam perumusan, maupun cara penulisan.
Ciri-ciri bahasa Peraturan perundang-undangan antara lain:
1. Lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan (atau untuk menghindari multitafsir/multiinterpretative);
2. Bercorak hemat. Hanya kata yang diperlukan yang dipakai;
3. Memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat;
4. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan perundang-undangan, digunakan kalimat yang tegas, singkat, dan mudah dimengerti (secara teori, Peraturan perundang-undangan yang baik itu ialah yang dapat dibaca dan dimengerti oleh orang awam sekalipun. Tujuannya tidak lain adalah agar Peraturan perundang-undangan itu bisa dipatuhi dengan baik);
5. Tidak menggunakan kata atau frasa yang artinya tidak menentu atau konteksnya dalam kalimat tidak jelas (misalnya: istilah minuman keras mempunyai makna yang kurang jelas dibandingkan dengan istilah minuman beralkohol);
6. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan perundang-undangan, gunakan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku.
Subjek Hukum (legal subject):
Setiap pembawa atau penyandang hak dan kewajiban dalam hubungan-hubungan hukum. Penyandang hak dan kewajiban itu bisa orang biasa (natuurlijke persoon), bisa juga bukan orang biasa, yang lazim disebut rechtspersoon. Subjek hukum rechtspersoon itulah yang dikenal dengan istilah "badan hukum", yang merupakan persona ficta (orang fiktif) atau orang yang diciptakan oleh hukum sebagai persona. (Tapi ini salah satu saja dari berbagai teori tentang "badan hukum". Ada banyak lagi teori yang menjelaskan apa itu badan hukum. Lihat Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, h. 70-75)
"Melalui fungsi kritisnya, filsafat hukum membantu memberi visi pada norma hukum. Tanpa sikap kritis, hukum dapat berubah menjadi monster efektif di tangan kekuasaan untuk kepentingan penguasa. Tanpa sikap kritis untuk mendorong hukum ke arah lebih berwajah manusiawi, manusia akan diperbudak oleh hukum ciptaannya sendiri." (Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan, Yogyakarta, Kanisius, 2009, h. 33-34)
0 komentar:
Posting Komentar