A. Konteks historis
Untuk memahami teori kritis Jurgen Habermas_penting terlebih dahulu memahami konteks sejarah dan konteks pembentukan teori-teori yang melatar_belakangi pemikiran-pemikirannya. Sebagai pemikir otentik, Habermas tidak dikungkung oleh warisan pemikiran mazhab Frankfurt, tanpa melihat titik-titik lemahnya untuk kemudian berupaya memperbaharuinya. Di sinilah posisi penting Habermas dalam teori kritis mazhab Frankfurt.
Pemikiran mazhab Frankfurt merupakan pemikiran yang sangat kritis terhadap pemikiran Karl Marx dan penerusnya. Namun_pemikiran mazhab Frankfurt tidak dapat dipisahkan dari sejarah pemikiran Marxis itu sendiri, karena bagaimanapun pemikiran teori kritis merupakan perkembangan lebih lanjut dari Marxisme di Barat[1]. Dalam “Das Kapital”, Karl Marx mengemukakan bahwa perkembangan masyarakat kapitalis akan berjalan sedemikian rupa sehingga sistem ini akan menuju penghancuran oleh dirinya sendiri. Friederich Engels_sahabat dekat Marx, mempopulerkan teori Marx ini sampai dijadikan idiologi politik gerakan buruh di Jerman dengan “Partai Sosial Demokrat Jerman”. Di dalam kongresnya tahun 1891 di Erfurt_gerakan buruh terbesar pada waktu itu_dengan tegas menerima ajaran Marx sebagai dasar program partainya dan dalam kongres internasional II telah menyebabkan teori Marxis diterima oleh gerakan buruh di luar Jerman (termasuk Partai Sosial Demokrat Rusia) dimana Lenin menjadi wakilnya[2]. Dengan demikian_pandangan Marx tentang perkembangan kapitalisme menjadi pandangan resmi gerakan buruh internasional.
Kapitalisme sebagai suatu bentuk masyarakat akan terus menghisap kaum buruh dan konsentrasi modal ada di tangan kaum kapitalis_yang secara kuantitas klas proletar akan bertambah. Ada keyakinan bahwa_sistem kapitalis akan ambruk dengan sendirinya dan digantikan dengan sistem sosialisme (dimana kekuasaan ada di tangan kaum proletar atau buruh). Keyakinan atau pandangan Internasionale II di sebut determinisme ekonomis atau ekonomisme, yakni suatu penafsiran positivistis atas ajaran-ajaran Marx di dalam “Das Kapital”. Penafsiran ini tentu telah melenyapkan peran historis klas proletariat melalui perjuangan kelasnya karena anggapan dasar bahwa sistem sosialis akan datang dengan sendirinya secara alamiah.
Sebuah kenyataan sejarah bahwa sampai dengan perang dunia I,
ramalan ilmiah ini tak pernah terbukti. Konflik klas yang diharapkan terjadi
tidak pernah terjadi_dan datangnya zaman baru, zaman sosialisme_secara otomatis
juga tidak dapat diharapkan lagi. Pada aras ini, seorang cendekiawan Marxis
Eduard Bernstein mempunyai pandangan bahwa sistem kapitalisme mampu membenahi
dan menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan yang baru. Negara Jerman dan
negara-negara kapitalis-Industrial berhasil menstabilkan dirinya dengan meredam
kemungkinan munculnya krisis sebagaimana yang diharapkan pendukung teori Marx.
Kemudian Bernstein mengusulkan agar Marxisme juga disesuaikan dengan
kenyataan,_tetapi gagasan ini ditolak dan dicap sebagai “revisionisme”[3].
Lenin adalah salah satu penganut determinisme ekonomis yang tetap setia dengan
teori-teori ortodoksnya.
Dalam revolusi tanggal 7 Oktober 1917_Lenin punya peran
untuk meruntuhkan Tsarisme Russia dan memberikan kemenangan gemilang kaum
Bolshevik; juga memberikan dampak yang mendalam pada gerakan buruh
Internasional. Pada waktu yang bersamaan didirikan Uni Soviet di bawah kaum
Bolshevik, namun gerakan buruh terpecah
menjadi dua sayap: sayap demokratis anti-soviet (partai-partai sosial demokrat)
dan sayap komunis yang pro-soviet (partai-partai komunis). Sayap moderat dalam
perkembangan lebih lanjut telah kehilangan sifat Marxisnya, sementara sayap
komunis semakin memperteguh diri dengan determinisme ekonomis Marxis yang telah
digabungkan dengan ajaran-ajaran Lenin.
Munculnya Stalin sebagai pengganti Lenin, partai komunis
melakukan pembersihan terhadap anasir-anasir partai yang tidak sejalan dengan
ajaran pusat di bawah dominasi ajaran Uni Soviet sebagai kakak tertua dari
sosialis[4]. Di bawah pimpinan Stalin,
pemikiran-pemikiran Karl Marx dan Lenin dibekukan menjadi idiologi resmi
Soviet. Pada aras ini, kontrol dan sensor diadakan untuk meluruskan pikiran
para cendekiawan (baik pada tataran akademis maupun kritik atas ajaran Marx
sendiri tidak dimungkinkan); karena bagi Moskwa tidak ada sesuatu yang lebih
berbahaya daripada kritik emansipatoris berdasarkan ajaran-ajaran Marx sendiri.
Akibatnya_segala usaha merevisi atau memperbaharui ajaran-ajaran Marx dan
tafsir resminya pasti akan dicurigai dan pasti berdampak pada kelesuan di
kalangan para cendekiawan.
Berkisar tahun 1885-1971 muncul pemikiran kritis dari Georg
Lukacs, Karl Korsch. Lukacs menolak determinisme ekonomis dari kalangan
penganut Marxisme ortodok dan menekankan bahwa kesadaran kelas proletariat
sebagai subyek dialektika sejarah. Sementara Korsch_mengemukakan bahwa hakikat
dari Marxisme adalah tafsiran praktis atas kesadaran manusiawi akan tetapi
maksud Marx ini telah dileyapkan oleh tafsiran positivistis atas Marxisme dalam
internasional II; lebih lanjut Korsch menyatakan bahwa sebenarnya pemikiran
Marx merupakan teori-teori yang memiliki maksud praktis.
Pemikiran kritis kedua filsuf masuk ke dalam aliran
pemikiran neo-Marxisme atau Marxisme kritis; Antonio Gramsci menyebut pemikiran
kedua filsuf itu filsafat praxis. Pada perkembangan selanjutnya_filsafat praxis
mendapatkan kritik dari kubu Marxis ortodoks dan pembersihan dari pihak partai
mereka sendiri_akibatnya filsafat praxis memudar, keduanya telah meninggalkan
kosnep-konsep penting bagi pembentukan teori Marxisme kritis berikutnya, yaitu konsep
alienasi (diambil dari pemikiran Marx Muda; hegemoni, praxis dan konsep
reifikasi dari Lukacs). Dan inilah yang dikatagorikan sebagai pemikiran kritis
gelombang pertama, sementara pemikiran kritis gelombang kedua yaitu pemikiran
kritis mazhab Frankfurt.
Generasi pertama Teori Kritis memperkembangkan
gagasan-gagasan Lukacs dalam Geschichte und Klassenbewusstein. Usaha menarik
yang dilakukan Lukacs adalah mengaitkan konsep rasionalisasi menurut Max Weber
dan konsep fetisisme komoditi menurut Karl Marx. Hasil sintesis kedua konsep
itu_Lukacs menghasilkan konsep reifikasi (verdinglichung), yaitu pandangannya
mengenai hubungan antara manusia yang nampak sebagai hubungan antara
benda-benda[5]. Konsep reifikasi ini muncul dengan wajah baru dalam pemikiran
teori kritis mengenai Rasio Instrumental, kritik mereka atas masyarakat modern
dan rasionalitasnya.
Kritik adalah konsep kunci untuk memahami teori kritis dan
juga merupakan suatu program bagi mazhab Frankfurt untuk merumuskan suatu teori
yang bersifat emansipatoris tentang kebudayaan dan masyarakat modern. sasaran
kritik mereka pada berbagai bidang kehidupan masyarakat modern, seperti : seni,
ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan kebudayaan_pada umumnya dianggap mazhab
ini telah menjadi rancu karena diselubungi idiologi-idiologi yang menguntungkan
pihak-pihak tertentu yang sekaligus mengasingkan manusia individual di dalam
masyarakatnya.
Teori kritik mempergunakan konsep kritik_dihubungkan dengan
konsep kritik yang diperkembangkan pada masa-masa setelah renaisasnce (masa
aufklarung-abad ke 17 dan 18) serta abad ke 19. Pada masa ini muncul
filsuf-filsuf seperti: Immanuel Kant, Friederc Hegel, Karl Marx_yang oleh
mazhab Farkfurt di pandang sebagai filsuf-filsuf kritis.
Teori kritis yang dirintis oleh Max Horkheimer, Adorno,
Markus dari mazhab Frankfurt atau
Frankfurt schule pada awalnya merupakan sebuah upaya untuk mengatasi
determinisme ekonomi dari Marxisme ortodoks yang dianut sebagai ideologi resmi
Uni Soviet. Pemikiran Karl Mark betapapun dibela dan dianggap tabu, tetap dapat
diperlakukan sebagai sebuah teori sosial. Bahkan lebih radikal lagi, teori Marx
adalah salah satu produk rasionalisme Barat yang dikembangkan sejak Yunani Kuno
dan rasionalisme Barat itu mulai mendapat aktualisasi historisnya pada zaman renaissance
melalui pemikiran Rene Descartes.
Upaya Mazhab Frankfurt untuk mengatasi determinisme
ekonomis, bagaimanapun, adalah sebuah proyek
dalam rasionalisme Barat.
Pemikiran Barat sejak Descartes ditandai oleh gairah yang sangat besar untuk
kebebasan manusia secara universal. Keyakinan yang menandai para perintis
modernisasi Barat itu bahwa kebebasan manusia dapat diraih lewat penggunaan
rasio sampai tak terbatas, kalau perlu dengan menerjang batas-batas yang
ditetapkan berdasarkan iman keagamaan. Oleh karena itu, modernitas yang
ditandai rasionalisme Barat itu adalah bentuk kehidupan atau bentuk kesadaran.
Sebagai bentuk kehidupan, berkembanglah sistem ekonomi kapitalis dan sistem
politik liberal. Sebagai bentuk kesadaran, modernitas ditandai oleh individualisme,
kritik, dan kebebasan.
Jurgen Habermas dikenal sebagai pewaris utama mazhab
Frankfurt dan dapat dikatagorikan ke dalam salah satu dari tiga aliran utama atau mainstream
filsafat dewasa ini, yaitu aliran kritis. Dua aliran utama lainnya yaitu gaya
pemikiran fenomenologis dan analitis. Aliran kritis sebenarnya bertitik tolak
dari pemikiran Karl Marx yang berkaitan kritiknya terhadap hubungan-hubungan
sosial yang riil. Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya
sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emansipasi.
Aliran kritis berbeda dengan aliran fenomenologis ataupun
analitis; dimana teori kritis tidak mentasbihkan diri ke dalam menara gading
teori murni, seakan-akan filsafat dapat secara netral menganalisa hakekat
manusia dan masyarakat tanpa sekaligus terlibat di dalamnya[6]. Sementara
aliran fenomenologis dan aliran analitis mentasbihkan diri berada pada teori
murni yang secara netral menganalisa hakekat manusia dan masyarakat, sementara
pemikiran kritis tetap merasa bertanggung_jawab terhadap kenyataan sosial.
Sampai sekarang Habermas masih dikenal sebagai pembaru
tradisi intelektual yang dirintis oleh Marx Horkheimer. Sekarang sudah hampir
28 tahun yang sudah begitu jauh dari sendi-sendi pertama program Teori Kritis
yang diletakkan oleh Horkheimer. Di Jerman Horkheimer sebagai seorang direktur
“Insitut fur Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial) Frankfurt yang
didirikan tahun 1923; dan Juga dikenal sebagai peletak dasar-dasar pengembangan
sebuah program multidisipliner yang disebutnya Teori Kritis. Program ini
sebenarnya tidak bergerak pada ruang hampa_tapi bergerak melalui jalur Filsafat
kritis yang sudah dirintis sejak Hegel dan Karl Marx.
Orang-orang yang mengikuti perkembangan ilmu-ilmu sosial Barat
tidak akan terkejut jika mendengar bahwa secara intelektual, Marxisme dalam
bentuk ortodoknya sudah lebih dari setengah abad yang silam ditanggapi dengan
sikap kritis. Horkheimer bukanlah orang pertama yang tidak puas dengan Marxisme
ortodoks, sebab sebelum dia sudah ada para revisionis dan orang-orang, seperti
Antonio Gramsci, Lukacs dan Korsch yang tidak kurang kritisnya. Akan tetapi di
tangan Horkheimer_lah Marxisme dijadikan sebagai sebuah pendekatan
akademis-filosofis yang diharapkan dapat memberi terang teoritis pada praksis
kehidupan bermasyarakat. Atau dengan kata lain_Horkheimer berjasa sangat besar
untuk mengembalikan Marxisme menjadi filsafat kritis_yang kemudian dipadukan
dengan kritisme Emmanuel Kant, Hegel, dan juga metode psikoanalisis Freud.
Kemudian dua tokoh lainnya, yakni Theodor Adorno dan Herbert Marcuse ikut
bergabung di dalam program teori ini dan membentuk mazhab tersendiri yang
disebutnya “Mazhab Frankfurt” atau “die Frankfurter Schule”_mazhab ini yang
selalu memberikan kritik-kritik tajam terhadap masyarakat industri maju di
tahun 1960-an.[7]
Bagi Habermas_ada enam tema sentral yang menjadi pokok
kajian mazhab Frankfurt, yaitu bentuk-bentuk integrasi sosial masyarakat
postliberal, sosialisasi dan perkembangan ego, media massa dan kebudayaan
massa, psikologi sosial protes, teori seni dan kritik atas positivisme.[8]
Keenam tema sentral teori kritis itu seolah menjadi ilham bagi gerakan
mahasiswa pada tahun 1960-an yang kemudian dikenal dengan gerakan “The New Left
Movement”.
Gagasan sebuah teori kritis masyarakat ditemukan Habermas
pada Karl Marx. Berhadapan dengan penindasan-penindasan yang dialami kaum buruh
dalam sistem kapitalisme Marx membongkar kepercayaan bahwa hukum ekonomi
kapitalistik adalah sesuatu yang alamiah dan abadi. Kapitalisme adalah buah
karya manusia sendiri; penindasan-penindasannya bukan sesuatu yang dapat
diterima begitu saja. Bila membaca sejarah secara kritis (sejarah sebagai hasil
pekerjaan manusia) struktur-struktur sosial, politis dan ekonomis yang kita temukan
bukan hasil ketentuan sebuah nasib yang buta melainkan hasil pekerjaan manusia
dan sekaligus sebagai sejarah penderitaan[9].
Dua hal yang dapat dibaca dari kapitalisme, pertama. Keadaan di bawah
kapitalisme tidak wajar dan kedua, apa yang tampak sebagai hukum objektif
bidang ekonomi adalah perbuatan manusia sendiri_hasil sejarah dan oleh karena
itu terbuka untuk perubahan. Dengan demikian teori Marx membuka jalan ke
tindakan emansipasi.
Jurgen Habermas mendalami pikiran ini dengan menggunakan
pendekatan model psikoanalisa[10]. Akan tetapi menurut Habermas_Karl Marx tidak
konsisten mempertahankan pendekatannya. Daripada memahami teorinya sebagai
kegiatan kritis yang merangsang kegiatan mereka yang tertindas akan kemungkinan
pembebasan, maka Marx memahami teorinya menurut pola teori ilmu alam (jelas
pengaruh scientis abad ke 19). Sebagai teori objektif yang sekedar
mendeskripsikan hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat; Habermas dalam
hal ini bicara tentang salah faham positivistik Marx terhadap teorinya sendiri.
Akibatnya, teorinya menjadi sebuah dogma yang justru kehilangan daya pembebas
dan malah berubah menjadi daya dominasi. Maslahnya, mengapa Marx berubah
menjadi seorang positivistik sosial? Menurut Habermas karena Marx mereduksikan
manusia pada satu macam tindakan saja yakni pekerjaan.
Kritik terhadap Marx ini kemudian menjadi inti pemikiran
Habermas berikutnya. Bukan hanya Marx yang mereduksikan manusia pada pekerjaan,
melainkan seluruh teori kritis masyarakat mengikuti Marx dalam penyempitan perspektif
itu. Menurut Habermas itulah sebabnya mengapa Horkheimer dan Adorno tidak
melihat jalan keluar dari dialektika pencerahan, dari analisis mereka_bahwa
manusia semakin ia mau merasionalkan kehidupannya, malah semakin menjadi
irrasional.
Jurgen Habermas sering bicara tentang interaksi atau
komunikasi. Komunikasi adalah hubungan yang simetris atau timbal balik_terjadi
diantara dua pihak yang sama kedudukannya. Komunikasi bukan hubungan kekuasaan,
melainkan hanya dapat terjadi apabila kedua belah pihak saling mengakui
kebebasannya dan saling percaya. Komunikasi juga merupakan interaksi yang
diantarakan secara simbolis_menurut bahasa dan megikuti norma-norma. Bahasa
harus dapat dimengerti, benar, jujur dan tepat. Keberlakuan norma-norma itu
hanya dapat dijamin melalui kesepakatan dan pengakuan bersama bahwa kita
terikat olehnya. Komunikasi tidak mengembangkan keterampilan melainkan
kepribadian orang dan kita menjadi ahli komunikasi melalui internalisasi
peran-peran sosial.
Karl Marx memahami interaksi dalam kerangka pekerjaan, maka
pada aras ini teorinya gagal sebagai teori emansipatif. Jelas bahwa Marx mau
mengembalikan seluruh perkembangan masyarakat pada perkembangan alat-alat
produksi. Tetapi Habermas menegaskan bahwa perkembangan alat-alat produksi_meskipun
tetap memainkan peranan dalam perkembangan masyarakat, tidak memelopori,
melainkan menyusul perubahan sosial.
Maka pada penelitian yang dilakukan Habermas pada tahun
1970-an semakin di arahkan pada pengembangan sebuah teori perkembangan
masyarakat. Bagi Habermas, perkembangan masyarakat adalah proses kompleks
dimana sebuah masyarakat belajar bukan hanya dalam dimensi
keterampilan-keterampilan teknis, melainkan juga dalam dimensi normatif – etis.
Dan pada perkembangan selanjutnya kajian Habermas semakin terarah pada logika
perkembangan pandangan-pandangan dunia dan proses-proses masyarakat belajar
dalam bidang moral dan komunikasi dan proses belajar dalam bidang kesadaran
moral-praktis mempunyai fungsi kritis.
B. Biografi dan
kehidupan Habermas
Habermas dikenal sebagai pemikir sosial dan pewaris teori
kritis Frankfurt Schule_yang sangat penting saat ini. Dia di lahirkan di
Dusseldorf, Jerman tanggal 18 Juni 1929_dari lingkungan keluarga kelas menengah
yang agak tradisional. Ayahnya pernah menjabat Direktur Kamar Dagang_ketika
berusia belasan tahun, sedang terjadi perang dunia II dan sangat dipengaruhi
oleh perang itu. Usai perang_dunia II membawa harapan dan peluang baru bagi
pemuda Jerman_termasuk Habermas_namun Habermas kecewa karena hampir tidak ada
kemajuan yang berarti di tahun-tahun awal sesudah terjadinya perang.
Tidak berlebihan_kalau Habermas dianggap sebagai pewaris dan
pembaharu teori kritis Frankfurt,[11]
sebab sebagai pewaris dan pengembang_dia tidak termasuk ke dalam
kelompok Frankfurt (aliran Frankfurt sudah berakhir setelah kematian
Horkheimer, Adorno, Marcuse), tetapi Habermas punya jasa besar dalam
menumbuh_suburkan gaya pemikiran Frankfurt
itu bagi filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang lebih luas.
Jurgen Habermas walaupun dianggap sebagai pewaris teori
kritis, namun juga dikenal sebagai seorang rasionalis besar terakhir.
Rasionalisme yang dikembangkannya punya ciri tersendiri; dengan gaya dialektik
yang begitu apik_berusaha memasukkan core entral kritik atas rasionalisme ke
dalam rasionalismenya tersebut[12]. Theorie des Kommunicativen Handelns yang
diterbitkan dalam dua jilid di tahun 1981, mewakili titik puncak upaya-upaya
yang dilakukannya itu.
Hancurnya Nazisme menimbulkan optimisme bagi masa depan
Jerman_semua jenis peluang intelektual muncul dan buku-buku yang semula
dilarang dibaca kini boleh dibaca dan tersedia bagi semua warga Jerman_termasuk
Habermas (termasuk literatur Jerman dan Barat maupun risalah yang ditulis oleh
Marx dan Engels). Pada tahun 1949 dan 1954 Habermas mempelajari berbagai topik
(antara lain filsafat, psikologi, kesusastraan Jerman) di Gottingen, Zurich dan
Bonn. Namun, tidak seorang-pun di tempat Habermas sekolah_yang benar-benar
terkenal dan kabanyakan mereka mendukunh Nazi secara terang-terangan atau hanya
melanjutkan pelaksanaan tanggung_jawab akademis mereka di bawah rezim Nazi
sebelumnya. Habermas mendapat gelar akademik tertingginya atau Doktor dari
Universitas Bonn tahun 1954 dan selama dua tahun bekerja sebagai jurnalis.
Tokoh-tokoh aliran kritis pada waktu itu George Lukacs, Karl
Korsch, Erns Bloch, Antonio Gramsci. Salah satu aliran yang dalam kes,uruhan
gaya pemikiran kritis yang berinspirasi pada filsafat Marx itu apa yang disebut
kemudian sebagai teori Kritis Masyarakat atau “Eine kritische Theorie der
Gessellchaft”. Teori Kritis dikembangkan sejak tahun 1930-an oleh tokoh-tokoh
yang semula sampai melarikan diri dari kejaran pemerintah Nazi di Jerman,
bekerja di Institut fur Soziaforschung pada Universitas Frankfurt. Mereka itu
adalah dwi tunggal Marx Horkheimer, Theodor W. Adorno dan Herbert Marcuse.
Anggota lainnya adalah Freiderich Pollock, Leo Lowenthal, Walter Benjamin,
Franz Neumann, Otto Kirchheimer dan Karl August Wittfogel. Erich Fromm pun
semula masuk dalam aliran ini dan merek ini yang disebut sebagai Mazhab
Frankfurt atau “Die Frankfurter Schule”.
Pada tahun 1956 Habermas bergabung dengan The institute for
Social Research di Frankfurt dan dikenal dengan aliran Frankurt_menjadi asisten
riset dari Theodor Adorno, anggota aliran Frankfurt yang sangat terkenal.
Namun_posisi Habermas di dalam aliran Frankfurt sebagai orang yang mempunyai
orientasi intelektual yang bebas; dan posisi itu membuat hubungannya dengan Max
Horkheimer_pimpinan Institut itu_terutama ketika artikel yang ditulisnya pada tahun
1957. Habermas menekankan pemikiran kritis dan tindakan praktis_namun
Horlheimer takut pendirian seperti itu dapat membahayakan pendanaan dan
keberlangsungan Institut secara umum. Sehingga Horkheimer menyatakan bahwa “ia
agaknya mempunyai karir yang baik atau bahkan cemerlang sebagai penulis di masa
depan, tetapi ia hanya akan menyebabkan kerusakan besar terhadap Institut”.
Artikel Habermas itu akhirnya diterbitkan juga_tetapi tidak dengan bantuan
Institut dan sebenarnya tidak merujuk ke institut dan atas kejadian
itu_Horkheimer tidak enak hati dan menghadapi kondisi yang sangat sulit
berkenaan dengan karya Habermas itu_kemudian Horkheimer mengundurkan diri dari
jabatannya di institut.
Habermas tidak bersifat radikal dalam seumur hidupnya;
nampaknya setelah pertumbuhan dalam Nazi Jerman_dia hanya mulai bergerak ke
kiri di bawah pengaruh dari Adorno. Pada tahun 1960-an dia seorang pendukung
yang kuat dari mahasiswa sayap kiri_tetapi kemudian menjauh dari mereka, sambil
mengatakan bahwa mereka hanya membangun bentuk-bentuk dominasi baru.
Karya-karyanya sering diambil oleh golongan kiri_tetapi hal itu termasuk suatu
perpindahan yang radikal dari bentuk-bentuk Marxisme.
Tahun 1961_Habermas menyelesaikan disertasi keduanya di
Universitas Marburg Jerman. Setelah menerbitkan sejumlah karyanya yang
terkenal_Habermas direkomendasikan menjadi profesor filsafat di Universitas
Heidelberg_bahkan sebelum menyelesaikan disertasi keduanya_hingga tahun 1964
dan kemudian pindah ke universitas Frankfurt sebagai profesor filsafat dan
sosiologi (sebagai pengganti Adorno_suatu pengangkatan yang sangat bergengsi),
mengalami begitu banyak gangguan dan demonstrasi dari pihak mahasiswa sehingga
pada tahun 1971_hanya enam tahun kemudian, berhenti sebagai profesor. Dari
tahun 1971 sampai 1981 (setelah mundur dari profesor di universitas
Frankfurt)_Habermas menjadi Direktur Institut Max Planck di Starnberg. Sejak
tahun 1983 dalam alam akademis yang berbeda_ Ia kembali ke Universitas
Frankfurt sebagai profesor filsafat dan tahun 1994 pensiun di Frankfurt. Selama
karirnya di dunia akademis_Habermas telah menerima sejumlah penghargaan
bergengsi dan menerima gelar profesor kehormatan dari sejumlah universitas.
Jurgen Habermas dikenal sebagai rasionalis besar terakhir;
namun rasionalismenya mempunyai ciri tersendiri dengan gaya dialektik_dia
berusaha memasukan insight-insight sentral kritik atas rasionalisme ke dalam
rasionalisme-nya tersebut. Theorie des kommunicative Handelns_diterbitkan dalam
dua jilid pada tahun 1981_mewakili titik puncak upaya yang dilakukannya itu.
Juga_Habermas dikenal sebagai pemikir neo-Marxis yang paling
terkenal di dunia_walau hanya beberapa tahun, namun setelah itu karyanya
diperluasnya meliputi berbagai masukan teoritis yang berbeda dan tetap optimis
terhadap masa depan kehidupan modern; dan dengan sikap optimismenya itu_ia
menulis tentang modernitas sebagai proyek yang belum selesai; sementara Marx
menulis dan tetap pada kajiannya pada pekerjaan dan tenaga kerja, Habermas
terutama memusatkan perhatiannya pada masalah komunikasi yang ia anggap sebagai
proses yang lebih umum ketimbang pekerjaan. Sementara Marx memusatkan perhatian
pada pengaruh distorsif dari struktur masyarakat kapitalis terhadap
pekerjaan_titik tekan Habermas pada cara struktur masyarakat modern mendistorsi
komunikasi. Marx membayangkan kehidupan masa depan ditandai oleh pekerjaan
penuh dan tenaga kerja kreatif_sedangkan Habermas membayangkan masyarakat masa
depan ditandai oleh komunikasi bebas dan terbuka. Pada aras ini, terdapat
benang merah kesamaan antara Marx dan Habermas yakni keduanya merupakan pemikir
modernitas masih belum selesai (terciptanya pekerjaan penuh dan kreatif menurut
Marx dan terciptanya komunikasi yang bebas dan terbuka menurut Habermas) dan
keduanya berkeyakinan bahwa di masa depan proyek modernitas yang belum selesai
itu akan selesai.
Komitmen terhadap modernisme dan keyakinan terhadap masa
depan...inilah yang membedakannya dengan para pemikir sosial kontemporer lainya
(seperti Jean Baudrillard dan pakar post-modernisme lainnya)_sementara pakar
post-modernisme sering terjebak ke arah nihilisme_namun Habermas terus yakin
terhadap proyek jangka panjangnya_modernitas. Sementara para pemikir lain
seperti Lyotard menolak kemungkinan terciptanya teori agung (grand
theory)_Habermas tetap bekerja berdasarkan dan menyokong teori agung paling terkemuka
dalam teori sosial modern. pada aras ini_Habermas menghadapi banyak resika
ketika menghadapi pemikir post-modernisme; dan jika mereka menang_Habermas
mungkin akan dianggap sebagai pemikir modernitas besar terakhir_bila Habermas
(para penyokongnya) yang tampil sebagai pemenang, ia mungkin akan dipandang
sebagai juru selamat proyek modernitas dan teori agung dalam ilmu-ilmu sosial.
Habermas adalah tokoh
terkemuka filsafat kritis dan sangat berpengaruh dalam dunia filsafat maupun
ilmu-ilmu sosial. Sebagaimana diketahui bahwa filsafat kritis terinspirasi oleh
tradisi besar dan karya Karl Marx. Ciri yang menonjol dari filsafat kritis
adalah selalu berkaitan erat dengan kritik terhadap hubungan sosial yang nyata;
juga merefleksikan dirinya dan masyarakat dalam konteks dialektika
struktur-struktur penindasan dan emansipasi. Juga_filsafat kritis tidak
mengisolasi diri dalam menara gading teori murni, seakan-akan filsafat dapat
secara netral menganalisis hakekat manusia dan masyarakat tanpa sekaligus
terlibat di dalamnya; atau dengan kata lain bahwa filsafat kritis merasa diri
bertanggungjawab terhadap keadaan sosial yang nyata.
Siapapun tidak bisa berharap banyak pada filsuf-filsuf
kritis yang mengharapkan bimbingan dalam usaha mewujudkan keadilan
sosial_semacam teori transformasi sosial masyarakat yang tinggal dilaksanakan;
tapi justru mereka menolak untuk menjadi ajaran yang dapat menjadi pegangan
oleh gerakan mahasiswa kala itu_malahan mereka curiga terhadap segala
ajaran.[13] Diskursus pada tingkat filosofis-teoritis tetap menjadi ciri khas
filsafat kritis dan tetap menolak untuk menjadi sebuah idiologi perjuangan dan
menjadi guru[14] (itulah sebabnya murid-murid yang mau berguru pada mereka itu
selalu kecewa dan salah paham); tetapi di lain pihak filsafat kritis
berdasarkan anggapan-anggapan mana masuk ke dalam inti metodologinya_bahwa
justru sebagai kegiatan teoritis yang tetap tinggal dalam medium
fikiran_filsafat kritis menjadi praktis.[15]
Aliran pemikiran kritis memang dikenal sangat heterogen;
antara satu pemikir dengan pemikir aliran kritis tidak selamanya sepaham_mereka
suka saling menanggapi dan saling kritik. Pemersatu diantara mereka barangkali
hanya_mereka melanjutkan pemikiran Karl Marx secara kritis dan anti-dogmatis
dan malah menolak apa yang disebut “Marxisme Resmi” (terutama mereka tanpa
kecuali menolak idiologi komunis, Marxisme-Leninisme_oleh karenanya aliran ini
sangat dibenci dan dikutuk oleh kaum komunis.
Bagi mazhab Frankfurt dan Lukack teori merupakan
Reason_dengan huruf besar “R” yakni suatu pengetahuan rasional mengenai dunia
dan diri kita sendiri. Bagi Lucaks_cara Reason bisa maju berkembang ke arah
suatu pengetahuan yang bersifat totalisasi; bagi Adorno_hal itu dikembalikan ke
dalam kemampuan individu untuk menolak kesimpulan dalam totalitas; tetapi bagi
keduanya_hal itu adalah sesuatu yang harus dipercaya_dan akan menjadi sesuatu
kemungkinan dari suatu dunia yang lebih baik. Tetapi_bagi Habermas, tidak
berurusan dengan Reason tetapi dengan pemikiran rasional dan lebih tertarik
dengan penggambaran perbedaan-perbedaan yang tipis daripada
generalisasi-generalisasi yang luas.
Kata teori berasal dari kata Yunani “theoria” berarti
pemandangan atau kontemplasi.[16] Paham Yunani tentang theoriat erat
hubungannya dengan sebuah kosmologi; melakukan theoria merupakan kegiatan
tertinggi manusia karena berarti mengaktifkan logos (percikan logos ilahi yang
ada dalam diri manusia). Orang yang berfilsafat akan mengembangkan ethos, yaitu
sikap hidup yang teratur_karena ia mengorientasikan diri pada tatanan kosmik
yang mencerminkan tatanan abadi.
Ilmu-ilmu modern_seolah kehilangan kerangka acuan
kosmologis; ilmu-ilmu positif dengan metode yang bersifat nomotetik_mencari
pengetahuan terlepas dari orientasi yang abadi; kosmos menjadi empiris dan
kosmologi tidak terpakai lagi_yang dicari adalah fakta-fakta (ilmu sejarah dan
ilmu sosial umumnya mengikuti kecendrungan ini). Ilmu-ilmu modern dalam satu hal tetap terikat
pada tradisi kontemplatif (mereka mengandaikan bahwa penelitian harus bebas
nilai_pengetahuan harus dipisahkan dari kepentingan, dan pernyataan-pernyataan
logis harus dibebaskan dari yang normatif). Ilmu pengetahuan modern
mempertahankan kesan obyektifitas ilmu dalam pengertian bahwa pengetahuan yang
diusahakan itu diclaim tidak tercampur kepentingan dan lirikan manfaat.
Habermas menunjukan bahwa (atau bahkan Edmund Husserl_bapak
fenomenologi yang hendak mengembalikan obyektifitas murni pada
pemikiran)_mengkritik anggapan naif seakan-akan ilmu-ilmu dapat dipisahkan dari
dunia kehidupan (lebenswelt), justru buta terhadap pengandaian-pengandaian
terselubung pemikirannya sendiri.
C. Habermas dan
para pendahulunya
Jurgen Habermas bergabung ke dalam Institut fur Sozial
forschung pada tahun 1956, yaitu lima tahun setelah Institut ini didirikan di
bawah kepemimpinan Adorno. Satu hal penting untuk memahami posisinya sebagai
pemikir Marxis adalah peranannya di kalangan mahasiswa Frankfurt, seperti
Adorno dan Horkheimer; Habermas melibatkan diri dalam gerakan-gerakan mahasiswa
kiri Jerman (meski keterlibatannya hanya sebagai pemikir Marxis). Habermas
menjadi populer dikalangan mahasiswa sosialis Jerman dan mendapatkan reputasi
sebagai pemikir baru untuk melanjutkan tradisi pemikiran Horkheimer, Adorno dan
Marcuse.
Pada tahun 1970-an gerakan-gerakan mahasiswa mulai
melancarkan aksi-aksi kekerasan yang tidak dapat dibenarkan oleh pemikir
institut. Pada aras ini, Habermas melakukan kritiknya terhadap gerakan-gerakan
itu. Aksi-aksi itu dikecamnya sebagai revolusi palsu, bentuk pemerasan yang
diulangi kembali, picik dan counterproductive (juga seperti yang dialami
pendahulunya; Habermas menghadapi konflik langsung dengan para mahasiswa secara
dramatis). Konfrontasi itu_menempatkan Habermas dalam posisi sebagai pemikir
Neo-Marxis.
Pokok-pokok pikiran Habermas sebagai upaya penyegaran
kembali teori kritis menyangkut posisinya pada kontinuitas dan diskontinuitas
pemikirannya dengan pendahulunya; juga menekankan pada perbedaan jalan
pemikirannya dengan Marxisme; dan posisi teoritis mengenai konsep sentralnya
dan yang membedakannya secara radikal dari pemikiran Marxis dan Neo-Marxis
(terutama konsepnya mengenai praxis).
Sebagaimana uraian sebelumnya, para pendahulunya (Adorno,
Horkheimer dan Marcuse)_memandang pencerahan telah menghasilkan
Zweckrationalitat atau rasionalitas tujuan_sumber dari berbagai bentuk
saintisme, positivisme, teknokratisme dan barbarisme gaya baru. Rasionalitas
modern sebenarnya merupakan radikalisasi teori rasionalisasi Max Weber dan
dapat dipandang sebagai teori rasionalisasi versi teori kritis setelah mendapat
inspirasi dari Lukacs. Teori rasionalisasi tidak hanya menyangkut analisis atas
berbagai macam bentuk rasionalitas dalam sejarah, melainkan juga perwujudan
rasionalitas itu dalam berbagai bentuk kehidupan politik, ekonomi, sosial,
kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Habermas meminati masalah rasionalisasi ini sebagai masalah
kemanusiaan; keprihatinan terhadap masalah ini mendorongnya untuk memikirkan
kembali permasalahan rasionalitas dan proses rasionalisasi itu dengan membuat
analisis_baik terhadap rasio manusia maupun perwujudannya di dalam praxis hidup
sosial. Satu hal yang membedakannya dengan para pendahulunya, adalah sikapnya
terhadap masalah ini (jika para pendahulunya mengahadapi rasionalisasi secara
sistematis sebagai jalan tunggal menuju perbudakan gaya baru; Habermas
menemukan aspek positif dari proses itu sehingga dalam arti tertentu masih ada
harapan real yang dapat di tempatkan dalam konteks rasionalisasi).
Habermas, sebagaimana para pendahulunya_hendak membangun
sebuah teori dengan maksud praxis, karena itu dalam banyak hal tidak
meninggalkan konsep kritik menurut warisan Mazhab Frankfurt. Pada aras
ini_Habermas menghadapi masalah positivisme dalam ilmu-ilmu tentang masyarakat
dan aplikasinya sebagai teknologi sosial[17]. Jika para pendahulunya menolak
sama sekali pemikiran modern tersebut, Habermas melihat segi-segi positipnya.
Unsur-unsur modernitas, seperti teknologi, ilmu-ilmu empiris dan positivisme
sendiri sebagai cara berfikir_merupakan faktor penting bagi salah satu dimensi
dari praxis hidup manusia yaitu kerja. Dengan jalan itu, manusia berhasil
membebaskan diri dari alam eksternalnya. Hanya saja_walau Habermas menerima
cara berfikir positivistis dan teknologi dalam konteks kerja_tapi tetap
bersikap tegas terhadapnya bila diterapkan dalam konteks interaksi sosial.
Positivisme dalam konteks idiologi dan saintisme_tetap dikecam Habermas, karena
positivisme mengklaim diri sebagai pengetahuan sejati yang meliputi segala
bidang_termasuk kehidupan sosial manusia.
Latar belakang pemikiran Habermas berakar pada tradisi
idealisme Jerman, seperti para pendahulunya (khususnya transendentalisme Kant,
idealisme Fichte dan Hegel, serta materialisme Marx)[18]. Psikoanalisis Sigmund Freud_juga terintegrasi
ke dalam teori kritis Habermas, sebagaimana jamaknya mazhab Frankfurt dan
bahkan bila dibandingkan dengan mazhab Frankfurt ternyata psikoanalisis Freud
lebih ditonjolkan Habermas. Di tangan Habermas, teori kritis mendapatkan
wawasan baru yang diperolehnya dari tradisi Anglo_Amerika_yaitu linguistic-analysis
dari Wittgenstein, Searle dan Austin_Habermas mencoba mengintegrasikan
pemikiran analitis ini ke dalam pemikiran dialektis teori Kritisnya.
Perhatiannya terhadap linguistik manusia dapat dijumpai dalam karya-karya
awalnya_bahkan kerap dikatakan oleh sebagian ahli bahwa dalam pemikiran
Habermas telah terjadi “linguistic turn” dari pemikiran Marxis. Analisis bahasa
dapat dimengerti dalam konteks pemahaman baru teori kritisnya mengenai
komunikasi sebagai salah satu dimensi praxis. Habermas juga dipengaruhi oleh
pemikiran pragmatis Amerika, seperti Peirce, Mead dan Dewey[19]. Pelbagai
tradisi yang melatar_belakangi pemikirannya, Habermas mencoba meramunya sebagai
suatu teori yang integral dan sistematis; watak sistematis dari teori-teorinya
itu yang secara nyata membedakannya dari para pendahulunya (Mazhab Frankfurt)
yang terkenal sebagai anti-sistem.
Bidang-bidang kajian dan kritik Habermas_tidak terbatas pada
apa yang pernah di kaji para pendahulunya, namun berangkat dari pemahamannya
tentang praxis_membawanya untuk menyentuh wilayah-wilayah pengetahuan yang
berkembang dewasa ini (meskipun teori-teori itu berkembang dari tradisi
pemikiran yang bagi intelektual Marxis dicap sebagai “ilmu-ilmu borjuis). Misalnya, dengan minat yang besar sebelum melontarkan
kritiknya_ia mencoba menelaah teori fungsionalisme-struktural dan teori sistem
Parsons; perkembangan metodologi dalam lapangan etnometodologi dan ilmu
fenomenologi dan hermeneutis; bahkan dalam beberapa kesempatan_Habermas
berdiskusi dengan filsuf semisal Gadamer[20].
Endingnya, melalui pengetahuan ensiklopedisnya_Habermas
membangun sebuah teori Komunikasi Masyarakat sebagai jalan baru bagi teori
kritis. Walau demikian, pihak-pihak kiri yang tetap memegang teguh jalan
konflik-nya tetap menuduhnya sebagai sebagai seorang Marxis yang sesat dan
bekerja demi ilmu-ilmu borjuis[21]. Tuduhan itu dapat dipahami karena_Habermas
memberi tempat sentral bagi konsensus di dalam kritik idiologinya. Namun, yang
jelas bahwa Habermas dengan teori komunikasinya dianggap sebagai generasi baru
teori kritis atau generasi kedua teori kritis (bersama para sahabatnya Clauss
Offe, Albrecht Wellmer, Klaus Eder, dan Rainer Dobert).
D. Pokok-pokok
Pemikiran Jurgen Habermas
1. Ilmu bebas nilai?
Apakah ilmu-ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu
sosial_harus bekerja dengan bebas nilai[22], (bicara tentang yang ada, bukan
yang harus ada). Perselisihan metode awalnya terjadi di Jerman dan Austria
sekitar tahun 1890-an, para pendekar utama adalah Menger dan Schmoller yang
mempersoalkan apakah ilmu ekonomi harus memakai metoda eksak atau historis dan
kemungkinan syarat-syarat ilmu-ilmu sosial dan ekonomi yang normatif. Istilah
kebebasan nilai (wertfreyheit) dibentuk dalam perselisihan penilaian
(werturteilsstreit) termasyhur berlangsung antara tahun 1909 dan 1914). Posisi
yang paling terkenal adalah posisi Max Weber yang menuntut agar ilmu-ilmu
sosial bekerja dengan bebas nilai_tetapi juga tetap relevan terhadap masalah
nilai.
Para pendukung kebebasan nilai memberikan jawaban afirmatif_bahkan
menambahkan bahwa metode yang dipakai dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial
tidak berbeda. Artinya, kalau ilmu-ilmu sosial mau berlaku sebagai ilmu
pengetahuan, harus dapat menghasilkan dalil-dalil umum dan prediksi-prediksi
ilmiah seperti dalam ilmu alam. Untuk sampai ke tujuan itu_sebuah riset sosial
harus dapat menghasilkan deskripsi dan penjelasan ilmiah yang tidak memihak dan
tidak memberikan penilaian apapun. Oleh karena itu_seorang ilmuan atau peneliti
harus dapat meninggalkan rasa-perasaannya, harapan-harapannya,
keinginan-keinginannya, penilaian-penilaian moralnya atau bahkan
kepentingan-kepentingannya, untuk mendekati objek sosial, sehingga diperoleh
pengetahuan objektif tentang kenyataan sosial atau social fact. Berdasarkan
anggapan itu_para pendukung kebebasan nilai di masukkan ke dalam kubu
positivisme.
Dalam perselisihan Positivisme[23], Karl Popper dan Albert
mengemukakan postulat kebebasan nilai yang sebaliknya dikritik oleh Adorno dan
Habermas. Positivisme memang mau membatasi ilmu-ilmu pengetahuan pada fakta dan
mengesampingkan pertanyaan mengenai nilai sebagai irrasional. Kemudian pada
segi yang lain, rasionalisme kritis sendiri menolak usaha yang dilakukan Adorno
Cs. Untuk memasukannya ke dalam satu ranah (meminjam istilah Bourdieu) dengan
positivisme dan menyatakan diri sebagai anti-positivistik.
Baik Popper cs. maupun Adorno cs. Berada pada suatu situasi
yang saling serang dan saling tuduh sebagai positivistik. Adorno cs. Menuduh
Popper cs. Sebagai positivistik (Habermas: “ein positivistisch halbierter
Rationalismus”), sedangkan Popper cs, menuduh Adorno cs. Sebagai positivis yang
sesungguhnya. Walaupun demikian_pada aras yang sama, dua-duanya menyatakan diri
anti positivisme, sehingga Ralp Dahrendorf menyatakan bahwa secara kasat mata
kedua belah pihak itu kelihatan berpendirian sama.
Namun kedua-duanya, menolak verifikasi sebagai kriteria
kebenaran. Penolakan itu_baik oleh rasionalisme kritis maupun teori kritis,
bukan hanya menyangkut ilmu-ilmu sosial, melainkan juga ilmu-ilmu alam. Pada
aras ini, Habermas mengenai postulat kebebasan nilai bukan saja merupakan ilusi
bagi ilmu-ilmu sosial, melainkan juga ilmu-ilmu pengetahuan alam sama saja
tidak bebas nilai. Sebuah postulat yang menarik diungkapkan Habermas “apa yang
berlaku bagi ilmu alam lebih berlaku lagi bagi ilmu-ilmu sosial”.
Apa penjelasan yang diberikan terhadap postulat itu?
Postulat itu dapat disederhanakan sebagai berikut : ramalan-ramalan ilmiah
dapat dialihkan menjadi rekomendasi-rekomendasi teknis; rekomendasi-rekomendasi
itu dapat membedakan antara situasi semula yang sudah ada, sarana-sarana
alternatif dan tujuan-tujuan hipotetis”. Penilaian-penilaian masuk ke dalam
tujuan, tetapi begitu tujuan telah ditetapkan, maka untuk mencapainya harus
dipergunakan sarana-sarana yang netral nilai.
Menurut Habermas, niat seperti itu tidak dapat dilaksanakan,
karena untuk melaksanakan rekomendasi-rekomendasi teknis dalam suatu situasi
konkrit, tentu rekomendasi itu harus diinterpretasikan terlebih dahulu agar
maching dengan situasi itu. Tetapi pada tahap ini, sarana-sarana dan
tujuan-tujuan tidak lagi dapat diisolasikan. Artinya tujuan dapat menjadi
sarana bagi tujuan selanjutnya, sarana-sarana dapat menjadi tujuan. Kelihatan
bahwa realitas masyarakat tidak dapat ditangkap dalam kerangka peristilahan
sarana-tujuan, melainkan harus dimengerti sebagai totalitas unsur-unsur yang
saling menengahi.
Paling tidak_ada dua hal yang perlu dijadikan pertimbangan,
yaitu: pertama, ilmu-ilmu pengetahuan
yang dikatakan bebas nilai sebenarnya ditentukan secara normatif oleh suatu
kepentingan teknis. Kedua, ruang keputusan-keputusan normatif yang secara keliru dianggap irrasional dapat
saja dijelaskan secara rasional. Dengan demikian_kesan bahwa ilmu-ilmu
pengetahuan itu bebas nilai sangat bersifat idiologis. Asumsi bahwa suatu
pengertian yang murni, bebas dari kepentingan_padahal kepentingan murni ini
tetap ditentukan secara normatif oleh kepentingan-kepentingan teknis. Pemisahan
antara fakta dan keputusan sendiri hanyalah akibat dari reduksi yang tidak sah
(yaitu reduksi segala bentuk pengetahuan pada pengetahuan dari jenis teknis dan
ilmu pengetahuan alam). Oleh karena itu, menurut Habermas_ tidaklah kebetulan
bahwa perpisahan keras antara fakta dan keputusan baru diadakan dengan tajam
pada awal kapitalisme. Sebab reduksi di bawah kapitalisme_semua nilai pada
nilai tukar atau nilai ekonomis mengakibatkan bahwa hubungan-hubungan sosial
akhirnya dalam semua bidang kehidupan dibendakan[24] (dianggap benda atau
barang dagangan). Kritik Habermas terhadap postulat kebebasan nilai ilmu
pengetahuan_bukan sebatas teori ilmu pengetahuan, melainkan Habermas mau
membuka kedok suatu idiologi yang kekuasaannya menghalang-halangi emansipasi
manusia.
Apa yang diuraikan Habermas tentang kebebasan nilai
berangkat dari krisis ilmu pengetahuan Barat. Keprihatinan Habermas terhadap
krisis ilmu pengetahuan pada awalnya diungkapkan saat pengukuhan guru besar di
Universitas Franfurt tahun 1965; teks pidatonya berjudul Knowledge and Human
Interests_kemudian menjadi sebuah teks filosofis yang sangat termashur. Apa
yang diungkapkan Habermas dalam teks itu menjadi semacam rumusan dari posisinya
berhadapan dengan positivisme dan sekaligus menjadi proyek filsafatnya.
Dalam pidatonya_Habermas mengemukakan lima tesis yang
dianggap sebagai suatu kesadaran baru yang bertentangan dengan paham yang lazim
dalam ilmu-ilmu positif. Pertama, pencapaian-pencapaian subjek transendental
memiliki dasar dalam sejarah alam spesies manusia. Pengetahuan adalah hasil
perkembangan evolusioner spesies manusia dan pengetahuan yang bisa melampaui
data-data konkrit (transendental), kata Habermas tidak berasal dari langit[25].
Lalu apa bisa dikatakan bahwa rasio manusia adalah semacam organ adaftasi
(seperti kuku atau taring pada hewan)?. Pada aras ini, Habermas tidak menapik
kemungkinan itu, tetapi dia juga menyadari bahaya dari anggapan itu yakni
mereduksi pengetahuan pada proses-proses biologis. Karenanya_kepentingan yang
mengarahkan pengetahuan muncul dari alam sekaligus dari keterputusan dengan
alam sebab kebudayaan.
Kebudayaan adalah hasil kerja manusia, menurut Habermas. Dan
lewat kerjanya manusia mewujudkan hasrat-hasrat naluriahnya justru lewat
penundaan naluri-naluri itu. Di satu pihak_kebudayaan adalah hasil pembebasan
dari paksaan alamiah manusia (antara lain mempertahankan diri), juga dari dalam
(naluri) dan dari luar (proses-proses fisik). Habermas menunjuk pada sistem
sosial sebagai pengganti organ pertahanan diri di satu pihak, tetapi juga
sebagai hasil perwujudan proses-proses kognitif manusia yang bersifat utopis di
lain pihak. Untuk status kepentingan ini, Habermas menggunakan istilah
“kuasi-transendental”.
Kedua, pengetahuan berlaku sebagai alat pertahanan diri
sekaligus melampaui pertahanan diri semata-mata. Pembahasan proses-proses
pengetahuan sebagai sesuatu yang terwujud dalam proses institusional masyarakat
dan kebudayaan dimulai sejak Hegel. Pandangan idealistik menyatakan bahwa
pranata-pranata atau organisasi sosial pada hakekatnya adalah rasio atau roh
yang mendapat sosok tetapnya. Habermas mengakui bahwa ia tidak sepenuhnya
setuju dengan idealisme (namun bersama mazhab Frankfurt), tentu tidak bisa
lepas dari wawasan tradisi ini.
Ketiga, kepentingan-kepentingan kognitif manusia sebagai
spesies sejak awal terwujud dalam tiga medium organisasi sosial, yaitu: kerja,
bahasa dan kekuasaan. Ketiga medium itu, menurut Habermas memiliki fungsi
pertahanan diri atau penjagaan kelangsungan hidup bangsa manusia. Demi
kelangsungan hidupnya_ manusia harus menggunakan media sistem kerja sosial dan
penegasan diri lewat kekerasan[26]. Juga_bahasa sehari-hari sebagai sarana
komunikasi kehidupan bersama dalam cakrawala tradisi yang melindungi manusia
dari ancaman kekacauan sosial yang mungkin akan membinasakan manusia. Dalam
kehidupan sosial itu_ada tahapan dimana manusia memperkokoh kesadaran akan
ke-aku-an berhadapan dengan norma-norma kelompok_demi kelangsungan hidupnya
dalam bermasyarakat. Dan sebagai perekat ketiga medium itu adalah informasi
untuk memperluas kontrol teknis, interpretasi yang memungkinkan arah tindakan
dalam wawasan tradisi bersama, dan analisis yang membebaskan dari
kekuatan-kekuatan yang membeku. Lalu permasalahan adalah, bagaimana keterkaitan
kepentingan dengan pengetahuan? Guna menjawab permasalahan itu_sangat berkaitan
dengan tesis Habermas di bawah ini.
Keempat, di dalam kekuatan refleksi diri[27], pengetahuan
dan kepentingan menyatu. Konsep refleksi diri dipahami dalam konteks idealisme
Jerman (mengacu pada Hegel dan Fichte).
Rasio mengandung dua segi yaitu kesadaran dan kehendak[28]. Hegel
menunjukan bahwa rasio manusia memiliki kemampuan untuk menemukan
kendala-kendala yang merintangi perkembangan manusia untuk mencapai otonomi dan
tanggung jawab atau kedewasaan (Mundigkeit)[29]. Sebuah ilustrasi di berikut
ini untuk menjelaskan konsep itu, adalah dialektika tuan dan budak. Lewat kerja
paksanya_si budak menjadi sadar diri akan posisinya di hadapan tuannya.
Kepentingan kognitif emansipatoris dari rasio untuk mencapai otonomi dan
tanggungjawab ini, menurut Habermas sudah melekat dalam bahasa. Karena itu, apa
yang diungkapkannya sejalan dengan idealisme Jerman (universalitas rasio
merupakan arah refleksi diri bagi Habermas). Dan memang sangat kentara pidato
pengukuhan guru besar Habermas dipengaruhi filsafat sejarah Hegel.
Kelima, kesatuan antara pengetahuan dan kepentingan dapat
dibuktikan dalam suatu dialektika yang memiliki jejak-jejak sejarahnya dari
dialog yang ditindas dan merekonstruksi apa yang telah ditindas. Artinya_kesatuan
pengetahuan dan kepentingan tampak dalam usaha-usaha manusia dalam sejarah
untuk mencapai konsensus itu lewat dialog dan pada gilirannya, lewat tafsiran
atau refleksi atas dialog yang ditindas.
Kritik-kritik idiologi dari positivisme yang menyingkirkan
dogmatisme dengan memisahkan rasio dari keputusan yang mengandung komitmen yang
bermuara pada otomatisasi keputusan menurut rasionalitas dominan, yakni
rasionalitas teknologis. Masalahnya, apakah pemisahan rasio dan keputusan itu
sendiri dalam kenyataan mungkin? Menurut Habermas_itu tidak mungkin. Sebab jika
positivisme melakukan kritik dan tentunya kritik itu tidak bisa dilepaskan dari
pemihakan tertentu. Hanya lewat pemihakan terhadao rasionalitas tertentu_kritik
itu mendapat isi rasionalnya. Dan itulah_yang terjadi dalam
positivisme_betapapun dibatasi, rasionalisasi tidak bebas dari nilai apalagi
idiologi.
2. Krisis Legitimasi
Konsep krisis yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial dewasa
ini adalah konsep krisis yang berparadigma sistemik-teoritis. Suatu krisis
muncul ketika suatu struktur sistem sosial hanya mampu membuka sedikit sekali
pemecahan masalah daripada kepentingan untuk menjaga sistem itu tetap eksis.
Artinya bahwa krisis lebih dipahami sebagai gangguan terus menerus yang hendak
mencerai beraikan kesatuan sistem
Pendekatan Habermas terhadap konsep krisis memanfaatkan
teori sistem Parsonian_setelah memodifikasi secara kritis. Dari pendekatan
sistem Parson ini, Habermas mengeksplesitkan dua paradigma untuk menjelaskan
krisis, yaitu paradigma dunia-kehidupan dan sistem[30]. Paradigma diartikan
Habermas sebagai perspektif atau sudut pandang. Masalahnya kemudian adalah
bagaimana menunjukan kesaling_terkaitan diantara kedua paradigma itu?.
Fakta sosial didekati sebagai sistem-sistem sosial, menurut
perpektif sistem dan sistem sosial dipandang sebagai semacam organisme yang
memiliki identitas dan tujuan yang jelas. Habermas membedakan tujuan
sistem-sistem sosial itu dalam dua aspek yang saling berkaitan, yaitu integrasi
sistem dan integrasi sosial. Suatu masyarakat atau sistem sosial dapat
dikatakan memiliki integrasi sosial manakala para anggotanya berhubungan satu
sama lain secara sosial membentuk sistem-sistem institusi. Jadi, sistem sosial
pada aras ini_dilihat sebagai dunia-kehidupan (Lebenswelt), sebuah dunia yang
dihayati oleh para anggotanya yang terstruktur secara simbolik.
Berbeda halnya, sebuah sistem sosial memiliki integrasi
sistem kalau sistem sosial itu menunjukan dirinya sebagai sistem pengendalian
diri. Sistem sosial_dilihat sebagai dengan sudut pandang kemampuannya untuk
menjaga batas-batas identitasnya dan keberadaannya dengan mengatasi berbagai
masalah dari lingkungannya yang berubah-ubah. Dan dari pendekatan sistem
inilah_Habermas melahirkan dua paradigma untuk menjelaskan krisis sebagaimana
tersebut di atas.
Dengan perspektif dunia kehidupan, yang akan disoroti adalah
struktur-struktur normatif (nilai-nilai dan institusi-institusi) masyarakat.
Persitiwa-peristiwa dan kondisi-kondisi berdasarkan ketergantungan terhadap
fungsi-fungsi integrasi sosial (dalam istilah Parson, integrasi dan
pemeliharaan pola)akan dianalisa, sementara komponen non-normatif sistem
berfungsi sebagai kondisi-kondisi pembatasnya. Sementara dengan perspektif
sistem_akan dapat disoroti mekanisme-mekanisme pengendalian masyarakat dan
perluasan wilayah kemungkinan (contingency). Dengan pendekatan ini_yang akan
dianalisa peristiwa-peristiwa dan kondisi-kondisi ketergantungan pada
fungsi-fungsi integrasi sistem (istilah Parson, adaftasi dan pencapaian-tujuan),
sedangkan nilai-nilai tujuan berfungsi sebagai data[31]. Karena itu, jika
mencoba memahami sistem-sistem sosial sebagai dunia kehidupan, maka aspek
pengendalian akan terungkap, akan tetapi_jika mencoba memahami masyarakat
sebagai sistem, maka fakta atau realitas sosial terletak di dalam faktisitas
klaim-klaim kesahihan yang diakui_bahkan kontra-faktual, tetap tidak akan
terungkap.
Pertumbuhan pesat berbagai proses dalam masyarakat
kapitalis-lanjut menurut Habermas, telah menghadapkan dunia sosial kepada
persoalan yang tidak bisa dianggap sebagai kesalahan fenomena krisis sistem,
meskipun kemungkinan terbesar terjadi berbagai krisis disebabkan oleh
keterbatasan sistem. Seiring dengan kompleksitas yang terus tumbuh, sistem
dunia sosial melebarkan batas-batasnya sebegitu jauh sehingga mencapai
perbatasan outer nature serta inner nature[32]. Habermas melihat empat
kecendrungan krisis yang mungkin terjadi, sebagaimana tabel di bawah ini:
Titik Asal
Krisis sistem
Krisis Identitas
Sistem Ekonomi
Krisis Ekonomi
_
Sistem Politik
Krisis Rasionalitas
Krisis legitimasi
Sistem Sosio-kultural
_
Krisis motivasi
Sumber: Jurgen Habermas, 1979, Legitimation Crisis, Beacon
Menurut Joseph Heath, Habermas sebenarnya memposisikan diri
dalam buku “Legitimation Crisis” sebagai serangkaian usulan programatis. Meski
cukup provokatif_namun tidakmenyuguhkan detil-detil yang memuaskan_walau sudah
melakukan perbaikan terhadap seluruh pandangan sosio-teoritisnya. Perkembangan
pemikiran Habermas tentang persoalan legitimasi semenjak “legitimation crisis”
kemudian dalam “The Theory of Communication Action”, sampai pada karya “Between
Facts and Norms” posisi Habermas dicirikan oleh dua komitmen inti yang tampak
pengaruh teori sistem Parsonian dan pandangan luas Lukacsian tentang modernitas
kebudayaan (cultural modernity). Persoalan yang bisa diselesaikan Habermas
dengan penerapan komitmennya itu dan mencoba memetakan versi rekonstruksi dari
analisis krisis dan bagaimana konsep kuasa komunikatif (communicative power)
untuk bisa menemukan hubungan yang tepat antara dunia kehidupan dan negara.
Walaupun Habermas menerima model sistem sosial Parson,
tetapi terdapat perbedaan utama keduanya yakni mencakup penafsiran tentang
sub-sistem pola pemeliharaan (L) dan integrasi (I). Sub-sistem pola pemeliharaan
bagi Parson_mengatur sosialisasi agen dengan sistem nilai yang dianut bersama,
sistem integrasi (I) bertanggungjawab atas kontrol sosial melalui seperangkat
norma yang diakui bersama. Kedua sub-sistem ini berbeda dari sub-sistem
adaptasi (A) dan sub-sistem pencapaian tujuan (G) dalam bentuk mekanisme umum
yang menyalurkan resource-nya. Parsons menegaskan bahwa resource yang terdapat
pada masing-masing sub-sistem dimunculkan dalam bentuk media umum untuk
memperantarai hubungan pertukaran. Media-media itu adalah uang (A), kuasa (G),
pengaruh (I) dan komitmen (L). Masing-masing media digunakan untuk
menstrukturkan interaksi dengan cara tertentu sehingga tuntutan fungsional
sub-sistem bisa dihargai (tetapi cara-cara
yang digunakan oleh masing-masing media untuk menstrukturkan interaksi itu
berbeda). Semua menyiapkan sangsi (baik positif maupun negatif). Agen bisa
mengendalikan elemen-elemen situasi dimana agen lainnya harus bertindak, atau
bisa juga mengusahakan untuk mengubah niat mereka terlepas dari berbagai
perubahan yang terjadi di dalam situasi.
Habermas menegaskan bahwa perbedaan dalam hal saluran ini
mengakibatkan analogi antara dua kasus tersebut menjadi tidak cocok[33]. Karena
tujuan agen adalah sikap proforsional, maka setiap sarana yang bekerja
berdasarkan tujuan seperti itu akan menggunakan bahasa natural sebagai
substratumnya. Namun, di sisi lain, faktor situasi bisa dikendalikan tanpa
harus merujuk kepada bahasa. Dalam pandangan Habermas_penggunaan bahasa seperti
ini memberikan batasan signifikan pada rentang pola interaksi yang tersedia bagi
agen. Pembatasan ini ditentukan secara a priori oleh persyaratan komponen
pragmatis teori makna. Karena itu, Habermas_menegaskan bahwa sarana
pengendalian yang tepat harus dibedakan dari bentuk komunikasi yang umum dan
bahasa natural tidak dimungkinkan untuk membedakan fungsi , seperti yang
dilakukan oleh sarana pengendali.
Jadi yang dimaksud Habermas dengan integrasi sistem adalah
interaksi sub-sistem-sub-sistem melalui sarana pengendalian sedangkan integrasi
sosial adalah integrasi melalui komunikasi dalam bentuk umum. Sementara
lifeworlds dimaknai sebagai wilayah interaksi sosial yang diintegrasikan secara
sosial dan kesemuanya berkat ketergantungan pada bahasa natural yang
distrukturkan secara menyeluruh.
3. Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat = Modernisasi
Persoalan rasio dan rasionalitas merupakan persoalan yang
biasa mengusik perhatian para filosof[34]. Habermas mempersoalkan kembali makna
rasio di dalam masyarakat industri modern. mazhab Frankfurt terutama melalui
tiga tokohnya Horkheimer, Adorno dan Marcuse; berhasil merumuskan hakekat rasio
yang berlaku dalam masyarakat industri Modern, yakni rasio yang berfungsi
sebagai alat yang netral untuk mengoperasionalisasikan sebuah sistem. Rasio
bisa diperalat untuk mengoperasikan sistem sosial atau sistem teknologi
tertentu_justru karena rasio ini dipisahkan dari praxis[35].
Habermas dalam kaitan ini (netralisasi rasio)_berpendirian
yang sama denga mazhab Frankfurt walau penjelasannya berbeda. Rasio insrumental
dewasa ditempatkannya dalam konteks yang lebih luas_yaitu maslah kaitan teori
teori dengan praksis yang selalu menjadi persoalan dalam tradisi filsafat Barat
di masa pencerahan. Artinya_bahwa Habermas mengembalikan masalah kaitan teori
dan praksis pada akar filsafat Barat (Yunani kuno). Pada era ini Filsuf
seperti, Sokrates, Plato, Aristoteles berfilsafat untuk kebijaksanaan hidup;
filsafat menjadi way of life. Mereka berteori, tetapi teori mereka pada
gilirannya memberi pengarahan bagi praksis kehidupan sosial. Habermas
menyebut_bagi tradisi klasik ini pertautan teori dan praksis senantiasa mengacu
pada hidup yang baik dan layak, atau hidup yang benar; sebagaimana diungkapkan
dalam bukunya Knowledge and Human Interests, teori cendrung dipisahkan dari
praksis kehidupan sosial-individual manusia. Teori yang dicari dalam sejarah
filsafat adalah teori murni[36].
Dalam alam pemikiran abad ke 18, demikian Habermas
menunjukkan bahwa terdapat minat yang besar terhadap emansipasi sosial. Praksis
perubahan sosial yang dibimbing oleh teori mencakup tahap-tahap emansipasi yang
ditafsirkan Habermas sebagai pembebasan dari paksaan-pakasaan atau
pembatasan-pembatasan yang berasal dari luar individu. Karena itu_teori
mengandung pencerahan untuk bertindak secara tepat dan benar[37]. Hegel dan
Sigmund Freud banyak menginspirasi Habermas tentang makna kritik; tilikan
kritis ke dalam hubungan-hubungan kekuasaan menghasilkan pengalaman emansipasi.
Emansipasi itu_di abad 18 dapat terjadi karena manusia
memakai rasionya_bukan iman dan bukan juga kepercayaannya. Rasio dalam menghadapi
dogmatisme yaitu metafisika, kekuasaan feodal dan gereja_mengambil posisi
memihak; rasio tidak netral, melainkan berkepentingan untuk membebaskan diri
dari dogmatisme[38]. Emansipasi yang diperoleh rasio mengarah pada otonomi
individu, peleyapan penderitaan dan perwujudan kebahagiaan konkret. Dan tentu
saja_rasio yang memihak pada masa pencerahan ini terjewantahkan dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuahkan sukses-sukses
konkret itu. Rasio yang memihak itu menghasilkan emansipasi karena terwujud
dalam keputusan untuk emansipasi itu. Atau dengan kata lain, teori dan praksis
terkait dalam wujud rasio yang memutuskan untuk mewujudkan kepentingan
emansipasi.
Merujuk pada Karl Marx, Habermas menguraikan bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologi pada abad 18_semakin menjadi kekuatan produktif di
dalam masyarakat. Dalam kondisi sosial semacam ini, hubungan teori dan praksis
mengalami perubahan. Akibatnya, apa yang dimengerti sebagai rasio dogmatisme
dan keputusan mengalami perubahan juga, ungkap Habermas. Kegiatan produktif
masyarakat dalam industri, teknologi, ilmu pengetahuan dan administrasi menjadi
saling terkait dan saling menopang mengarah kepada penaklukan alam, yang oleh
Habermas disebut sebagai “kontrol Teknis atas Alam”. Dan dalam perkembangan
dewasa ini, menurut Habermas_potensi sosial rasio dalam ilmu
pengetahuan_direduksi menjadi kekuatan kontrol teknis. Artinya_rasio telah
mengalami pergeseran yang tidak lagi dipahami sebagai kemampuan kognitif
manusia untuk membebaskan diri dari dogmatisme, melainkan sebagai kemampuan
kognitif untuk memanipulasi alam secara teknis.
Permasalahannya sekarang, mengapa pergeseran pemahaman itu
terjadi? Bagi Habermas_hal itu diakibatkan oleh hilangnya kemampuan orang-orang
modern untuk membedakan antara dimensi teknis dan praktis di dalam
masyarakat[39]. Di dalam kebudayaan ilmiah_masyarakat industri maju, riset,
teknologi, produksi dan administrasi berinteraksi menjadi sebuah sistem yang
saling tergantung_yang kemudian menjadi basis kehidupan masyarakat modern.
manusia modern hidup dalam jaringan organisasi dan rangkaian barang-barang
konsumsi, sistem teknologi dan administrasi menjadi kebutuhan hidup yang
menentukan (namun di lain pihak, sistem itu tertutup bagi pengetahuan dan
refleksi).
Habermas_melihat paradoks pada aras ini “semakin pertumbuhan
dan perubahan masyarakat ditentukan oleh rasionalitas proses-proses riset
ilmiah, mengalami pembagian kerja, kebudayaan masyarakat itu (yang sekarang
menjadi makin ilmiah)_semakin kurang berakar dalam pengetahuan dan kesadaran
para warganya”. Dalam hal ini_istilah dogmatisme (seperti juga rasio dan
keputusan) mendapatkan pengertian baru sebagai pemutlakan dimensi teknis pada
bidang-bidang sosial dalam kebudayaan ilmiah dan diartikan sebagai dogmatisme
baru; atau Fichte menyebutnya sebagai “kesadaran yang membeku”[40].
4. Modernisasi: Proyek yang belum selesai
Jurgen Habermas mencoba mengatasi jalan buntu yang dihadapi
pendahulunya dengan paradigma komunikasinya, proyeknya menuju masyarakat
komunikatif itu tetap bergerak pada jalur yang sama_dirintis oleh Hegel
meneruskan proyek pencerahan dan proyek emansipasi kemanusiaan universal.
Sebagai generasi baru Mazhab Frankfurt, Habermas melangkah mantap untuk
mengemban tugas intelektual teori kritis.
Sementara itu, kritik terhadap pencerahan_yang dianggap
berakhir dengan kebuntuan dan kebingungan, Adorno dan Horkheimer justru
melangkah ke sebuah jalur filsafat yang berbeda. Pada aras ini, Habermas
menghadapi tantangan yang paling menggelisahkan untuk seluruh proyeknya. Mereka
yang menantang ini sangat kritis terhadap rasionalitas modern dan banyak
terinspirasi oleh filsafat Nietszche dan seorang diantaranya adalah
Jean-Francois Lyotard_yang di tahun 1980-an meluncurkan tema
“Post-modernisme”[41]. Tema tersebut_bagaikan hantu yang menyembul ke atas
genangan kesadaran sejarah Habermas, karena segera menempatkannya dalam posisi
tertentu yang diandaikan sudah out of date, yaitu modernisme dengan segala
proyek-proyek sejarahnya. Bagi Habermas_masih banyak yang harus dikerjakan
dalam kehidupan modern sebelum mulai berfikir mengenai kemungkinan
Post-modern_yang kemudian modernitas dilihatnya sebagai “proyek yang belum
selesai”[42].
Ada satu kata sepakat dalam semua lingkungan pemikiran,
bahwa modernisasi merupakan suatu kekuatan terbesar dalam sejarah[43]. Satu
kekuatan pemacu perkembangan peradaban umat manusia yang hampir tidak ada
presedennya di masa lampau. Bumi sebagai sebuah planet terus bergejolak dengan
berbagai perubahan radikal, menghadirkan ketidakpastian dalam sebuah krisis
besar peradaban. Lalu bagaimana_Habermas memberikan gambaran mengenai proyek
modernitas yang belum selesai itu?
Bagi Habermas, produk akhir dari proyek modernitas adalah
masyarakat rasional penuh dimana, baik sistem maupun rasionalitas kehidupan-dunia
dimungkinkan untuk mengungkapkan dirinya sendiri sepenuhnya tanpa yang satu
menghancurkan yang lain[44]. Saat ini,
manusia sedang mengalami penderitaan pemiskinan kehidupan-dunia yang segera
diatasi, dan jawaban tidak pada aras penghancuran sistem (terutama sistem
ekonomi dan administrasi), karena sistem itulah yang semestinya menyediakan
persyaratan material yang diperlukan untuk memungkinkan kehidupan dunia menjadi
rasional.
Satu masalah yang mendapat perhatian Habermas adalah masalah
yang dihadapi oleh negara kesejahteraan sosial yang birokratis dan modern.
penyelesaian masalah tersebut bagi Habermas tidak bisa terselesaikan pada
tingkat sistem saja, melainkan dalam kerangka hubungan antara sistem dan
kehidupan dunia. Rintangan pengendali (restraining barrier) harus digunakan
untuk mengurangi pengaruh sistem terhadap kehidupan-dunia, jelas Habermas.
Begitu pula_sensor harus di bangun untuk meningkatkan pengaruh kehidupan –dunia
terhadap sistem. Jadi, masalah kontemporer
tidak dapat terselesaikan dengan sistem pembelajaran untuk berfungsi
secara lebih baik; impuls-impuls kehidupan dunia harus mampu berperan dalam
pengendalian sendiri dari sistem fungsional. Hal ini merupakan langkah penting,
menurut Habermas menuju terciptanya saling memperkaya antara kehidupan-dunia
dan sistem.
Pada aras itulah, gerakan sosial mulai memainkan peran,
karena gerakan itu mencerminkan harapan akan pensejajaran sistem dan
kehidupan-dunia sehingga keduanya dapat mencapai tingkatan rasional setinggi
mungkin dan bisa hidup berdampingan secara damai dan setara dalam kehidupan
modern. persekutuan penuh antara rasionalitas sistem dan rasionalitas
kehidupan-dunia itulah manurut Habermas
cara penyelesaian proyek modernitas.
Rasio Komunikatif dan Pencerahan lanjut: suatu Alternatif
Kritik radikal atas rasio dan pencerahan yang dilontarkan
pemikir Post-modernitas (seperti Heidigger, Bataille dan Derrida)...tidak
ditolak sepenuhnya oleh Habermas; hal ini dapat dilihat dalam program teori
kritisnya yang memperlihatkan bahwa rasio dikondisikan secara empiris oleh
masyarakat, zaman, sejarah, kebudayaan dan bahasa. Juga, sama dengan pemikir
Post-modernitas, Habermas memandang ada sesuatu yang tidak beres dengan
pencerahan dan modernitas yaitu adanya hubungan antara rasio dan kekuasaan..Namun_semua
persamaan ini berubah menjadi ketidaksetujuan manakala kritik mereka menjadi
total dengan menolak kemungkinan rasio menjadi kritis, termasuk menolak bahwa
soalnya bukan rasio pada dirinya, melainkan distorsi rasio dalam modernisasi
kapitalis.
Perbedaan Habermas dengan pemikir Post-modernitas,
sebagaimana pendapatnya bahwa cacat-cacat pencerahan tidak bisa diatasi dengan
meninggalkan modernitas dan pencerahan, melainkan dengan pencerahan lebih
lanjut[45]. Tawaran alternatif rasional yang ditawarkan Habermas berangkat dari
sebuah kritik atas rasio yang mungkin menjadi kritis. Karena itu_ kritik
radikal atas rasio yang berpusat pada subjek akan menjumpai paradoks yang sulit
di atasi kalau tidak meyakini kemampuan kritis-emansipatoris dari rasio atau
menggunakan sementara untuk kemudian meninggalkannya. Paradoksanya adalah
bagaimana melangsungkan kritik itu tanpa tergelincir ke dalam rasio yang
berpusat pada subjek yang ingin dihancurkannya itu?.
Habermas yakin bahwa rasionalisasi dunia-kehidupan
dimungkinkan lewat tindakan komunikatif. Rasionalisasi akan menghasilkan tiga
segi, yaitu reproduksi kultural, integrasi sistem, dan sosialisasi. Dimana
masing-masingnya menjamin keberlangsungan tradisi, koherensi pengetahuan,
koordinasi tindakan tetap terpelihara dengan sarana-sarana hubungan antar
pribadi dan kemampuan untuk bertindak bagi generasi mendatang tetap terjamin
dalam bentuk kehidupan kolektif terpelihara.keterkaitan ketiganya menurut
Habemas melalui tindakan komunikatif.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K,1983, Filsafat Barat abad XX: Inggris-Jerman,
Jakarta: Gramedia.
Budiman, Hikmat, 1997, Modernisme dan Krisis Rasionalitas,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Frankel, Boris l,1974, Habermas Talking: An Interview, dalam
: Theory and Society vol 1
Frans Magnis Suseno, memberikan pengantar buku yang diterjemahkan oleh Hassan Basari
”Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi ”, karya Jurgen Habermas, Tecknik und
Wissenschaft als Ideologi, 1990.
George Ritzer-Douglas J. Goodman, 2007, Teori Sosiologi
Modern, Jakarta: Kencana
Habermas, Jurgen, 1990, Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi,
Jakarta: LP3ES
______, 2006, Teori Tindakan Komunikatif, buku satu,
Yogyakarta: Kreasi Wacana
______, 2007, Rasio
dan Rasionalisasi Masyarakat, Pent. Buku satu Nurhadi, Yogyakarta: Kreasi
Wacana
______, 2007, Kritik atas Rasio Fungsionalis, Pent. Buku Dua
Nurhadi, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
______,1975, Legitimation Crisis, Baecon Press
Hardiman, F.Budi,1993, Menuju Masyarakat Komunikatif,
Yogyakarta: Kanisius.
____, 1990, Kritik Idiologi: Pertautan Pengetahuan dan
Kepentingan, Yogyakarta: Kanisius
Harry Hamersma,1990, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern,
Jakarta: Gramedia
R. Roderic, 1986, Habermas and Foundation of Critical
Theory, Lond
[1] Teori-teori Marxisme di Barat_yang kemudian dikenal
dengan nama Marxisme Kritis atau Neo-Marxisme. Neo-Marxisme merupakan
serangkaian usaha untuk menyegarkan kembali pemikiran filosofis Karl Marx yang
telah dibekukan menjadi alat idiologis di tangan Partai Komunis Unisoviet.
[2] F. Budi Hardiman, 1990, Kritik Idiologi: Pertautan
Pengetahuan dan Kepentingan, Yogyakarta: Kanisius
[3] Revisionisme adalah usaha teoritis untuk memodifikasikan
ajaran-ajaran marxis-ortodoks sesuai dengan keadaan masyarakat kontemporer.
Kaum resivionis tidak meninggalkan sama sama sekali ajaran marxis dan tetap
berafiliasi pada suatu partai komunis. Tokoh utamanya adalah Bernstein; dan
lebih lanjut ia beranggapan bahwa bagan materialisme sejarah yang disusun Marx
dan Engels tidak sesuai lagi dengan fakta masyarakat kontemporer. Oleh karena
itu, ia menolak determinisme ekonomis atas sejarah perkembangan masyarakat.
Determinisme itu_justru dipertahankan oleh penentang revisionisme yaitu kaum
Marxis ortodok (dengan wakilnya yang terpenting Karl Kautsky).
[4] F.Budi Hardiman,1990,.Log.Cit.
[5] R. Roderic, 1986, Habermas and Foundation of Critical
Theory, London, Macmillan, p.35
[6] Frans Magnis Suseno, memberikan pengantar buku yang diterjemahkan oleh Hassan Basari
”Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi ”, karya Jurgen Habermas, Tecknik und
Wissenschaft als Ideologi, 1990.
[7] F. Budi Hardiman, Log.Cit.p.38
[8] Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
Boston: Beacon Press, 1987.p.378
[9] Franz Magnis Suseno,log.cit.. P. 185
[10] Psikoanalisa si pasien yang meningat-ingat kembali
sejarah hidupnya, dengan segala kemiringan, trauma dan penindasan pisik. Dan
dengan demikian bebas dari penguasaan yang tidak sadar dimana trauma-trauma
itu_tanpa disadari, bekerja terus, bekerja terus_begitu manusia mengingat
sejarahnya, sebagai sejarah penderitaan dan penindasan_dibebaskan dari
kekuasaannya yang sebelumnya tidak disadari. Ia menyadari bahwa situasi yang
sekarang ternyata dapat diubah.
[11] Fran Magnis Suseno, log.cit...
[12] Jurgen Habermas, Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat,
Pent. Buku satu Nurhadi, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007
[13] Magnis Suseno, log.cit. 176
[14] Mazhab Frankfurt menjadi sangat populer di kalangan
mahasiswa di era pemberontakan mahasiswa antara tahun 1965_1975. Hanya Herbert
Marcuse yang mendekati figur menjadi seorang guru_yang walaupun akhirnya juga
ditolak oleh mahasiswa yang memang sedang mencari sebuah idiologi perjuangan
untuk sebuah revolusi.
[15] Kata “praktis” selalu digunakan oleh Habermas dalam
konteks pengertian yang dipahami Aristoteles sebagai komunikasi yang mewujudkan
kehidupan nyata masyarakat.
[16] Kontemplasi mengacu kepada hal-hal yang abadi, yang
ilahi, juga kontemplasi kosmos_yang dalam keseluruhannya mencerminkan tatanan ilahi. Orang yang
melakukan kontemplasi itu adalah sang filosof; kontemplasi atas hal-hal yang
ilahiat yang tidak berubah mengorientasikan manusia yang melakukannya pada pada
tolok ukur-tolok ukur abadi.
[17] F. Budi Hardiman, Log.Cit.p.78
[18] Jurgen Habermas, 2006, Teori Tindakan Komunikatif, buku
satu, Yogyakarta: Kreasi Wacana
[19] F.Budi Hardiman, Log.Cit. p. 90
[20] Bertens,K,1983, Filsafat Barat abad XX: Inggris-Jerman,
Jakarta: Gramedia.p. 233
[21] Boris Frankel,1974, Habermas Talking: An Interview,
dalam : Theory and Society vol 1.p.38
[22] Bahwasanya orang sering tidak sepakat mengenai
nilai-nilai dan masalah nilai sesungguhnya adalah masalah pengutamaan, selera
(de gustibus non est disputandum), jadi orang tidak perlu mempertentangkannya.
Kalaupun dipertentangkan itu sudah mengarah kepada kepentingan (Ralph Barton
Perry dalam bukunya “General Theory of Value”).
[23] Disebut perselisihan Positivisme, karena para wakil
teori Kritis masyarakat berpendapat bahwa tuntutan agar ilmu-ilmu sosial
bekerja bebas dari pelbagai penilaian, pada dasarnya berakar dalam pendekatan
positivistik.
[24] Frans Magnis Suseno, Log.Cit. hal.202
[25] F.Budi Hardiman,1993, Menuju Masyarakat Komunikatif,
Yogyakarta: Kanisius.hal. 10.
[26] Jurgen Habermas, 1990, Ilmu dan Teknologi sebagai
Ideologi, Jakarta: LP3ES
[27] Refleksi diri_sepadan dengan kata” kritik”, dan rasio
yang menjalankannya adalah apa yang oleh mazhab Frankfurt disebut “Rasio
Kritis”. Dan dalam kosa kata Habermas menjadi “konsensus bebas-paksaan”.
[28] F.Budi Hardiman, Log.Cit. hal. 14
[29] Konsep “Mundigkeit” diartikan sebagai otonomi dan
tanggung jawab atau kedewasaan. Konsep ini berasal dari Zaman percerahan abad
ke 18 di Jerman.
[30] F.Budi Hardiman, 1993, Log.Cit.141
[31] Jurgen Habermas,1975, Legitimation Crisis, Beacon,
Press, p.97
[32] Ibid.p.179
[33] Jurgen Habermas,1975, Log.Cit.p.13
[34] Harry Hamersma,1990, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern,
Jakarta: Gramedia
[35] Praxis yaitu tindakan manusia untuk merealisasikan
hidup yang baik atau moralitas. Rasio tidak mengandung isi moral, sebab semua
harapan, penilaian moral, unsur-unsur subjektif_dianggap tidak rasional dan
menghambat efektivitas, efisiensi dan operasionalitas sistem sosial dan
teknologi. (lih.Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komunikatif, Jakarta: Kreasi
Wacana.
[36] Bertens,K, Log.Cit.hal. 21; lih. Muhammat Hatta,1998,
Filsafat Yunani, Jakarta: UI Press.
[37] Bentuk-bentuk teori yang terkait dengan praksis ini
dapat dilihat dalam tulisan Friederick Hegel “Pheneomenology of Mind” dan
psikoanalisis Signund Freud.
[38] F. Budi Hardiman, Log.Cit. hal.19
[39] Istilah “praktis”, Habermas_ mengacu pada komunikasi
inter-subjektif yang diarahkan dengan pertimbangan etis untuk mencapai saling
pemahaman. Sementara istilah” teknis”_mengacu pada penguasaan alam, kontrol dan
manipulasi atas proses-proses objektif.
[40] Harry Hamersma, Log.Cit. hal.35
[41] F.Budi Hardiman, Log.Cit. h.178
[42] George Ritzer-Douglas J. Goodman, 2007, Teori Sosiologi
Modern, Jakarta: Kencana
[43] Hikmat Budiman, 1997, Modernisme dan Krisis
Rasionalitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. h.28
[44] George Ritzer-Douglas J. Goodman, Log. Cit. h. 580
[45] F. Budi Hardiman, 1993, Log.Cit. h.227
0 komentar:
Posting Komentar